al-Habib Husain bin Abu Bakar al-Aydrus (Luar Batang)

 HABIB KERAMAT LUAR BATANG

Al Imam Husein Abu Bakar Alaydrus yang terkenal dengan kramat Luar Batang, lahir di desa Ma'ibad, Migrab, dekat Hazam, Hadhramaut, Yaman Selatan. Datang di Betawi sekitar tahun 1746  M. Berdasarkan cerita, bahwa beliau  wafat di Luar Batang, Betawi, tanggal 24  Juni 1756 M. bertepatan dengan 17 Ramadhan 1169 Hijriyah dalam usia lebih dari 30 tahun ( dibawah 40 tahun ). Jadi diduga sewaktu tiba di Betawi  berumur 20 tahun. Habib Husein bin Abubakar Alaydrus memperoleh ilmu tanpa belajar atau dalam istilah Arabnya “ Ilmu Wahbi “ , yaitu pemberian dari Allah tanpa belajar dahulu. 

Silsilah beliau : Habib Husein bin Abubakar bin Abdullah bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Husein bin Abdullah al-Aydrus bin Abubakar Al-Sakran bin Abdurrahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Al-Dawilah  bin Ali bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al- Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad An- Naqib bin Ali-‘Uraidhi bin Ja'far Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az- Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.  

Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus memiliki silsilah yang sampai kepada Baginda Rasulullah SAW. Beliau dilahirkan di sebuah desa yang bernama Ma’ibad, Hadhramaut Yaman Selatan, dan pada usianya yang ke 11 tahun, beliau ditinggal wafat oleh ayahnya.

Selepas mangkatnya ayahnya, Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus hijrah ke kota Tarim, dan ternyata di pintu kota Tarim telah menunggu seorang wali besar, yaitu Quthbil Irsyad, Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad, yang langsung menyambut kedatangan dari Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus. Setelah tiba di kota Tarim, beliau didampingi oleh Al-Imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad langsung berziarah kepada Sayyidina Faqih Muqaddam Al’imam Muhammad Bin Ali Ba’alawy, Sayyidina Abdurrahman Bin Muhammad Assegaf dan Datuk Beliau Sayyidina Abdullah Alaydrus Akbar. Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad mengatakan kepada beliau bahwa semalam kakekmu, Sayyidina Abdullah Alaydrus Akbar datang kepadaku dan mengabarkan tentang kedatanganmu wahai Husein.

Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus menimba ilmu kepada Quthbil Irsyad, Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad, dan menurut cukilan dari Alhabib Ali Bin Husein Alattas dalam kitabnya Taajul A’rasy mengatakan bahwa Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus sebelum hijrah ke Indonesia, beliau telah mendapatkan mandat kepercayaan dari guru beliau Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad untuk melaksanakan da’watul islam.

Al Imam Husein bin Abu Bakar Alaydrus kemudian hijrah ke India dan Asia Timur kemudian sampai di Indonesia, khususnya pulau Jawa tepatnya di Pelabuhan Sunda Kelapa, lalu setibanya di Pelabuhan Sunda Kelapa, beliau diusir kembali oleh penjajah Belanda. Akhirnya dengan bantuan para Muhibbin di malam hari dengan menggunakan sekoci beliau tiba kembali di Pelabuhan Sunda Kelapa. Beliau kemudian berda’wah di tanah Batavia ini dan pada saat itu penjajah Belanda sangat sensitif kepada para ulama karena di Sunda Kelapa ini masih ada bekas-bekas pertempuran Sunda Kelapa yang berada di bawah pimpinan dari Sunan Gunung Jati Al-imam Syarif Hidayatullah dan Fatahillah, sehingga penjagaannya sangat ketat dan berakibat pada dicurigainya Al-Habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus sebagai pemberontak, akhirnya beliau dimasukkan ke dalam penjara, yang berada di sekitar Glodok.

Perjuangan da’wah Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus sangatlah luar biasa, dan salah satu karomah beliau adalah di pagi hari beliau berada di dalam penjara sementara anehnya menjelang maghrib beliau sudah tidak ada di dalam penjara, beliau menyampaikan da’wah-da’wahnya di musholla dan masjid-masjid, sehingga membuat takut para sipir penjara dan akhirnya kepala sipir penjara tersebut meminta agar Habib Husein keluar saja dari dalam penjara tapi beliau menolaknya sampai akhirnya beliau keluar dari penjara dengan keinginannya sendiri.

Pada suatu ketika di dalam perjalanan da’wahnya, Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus melihat seorang tentara Belanda yang memang memiliki akhlak yang baik terhadap beliau, di mana tentara Belanda ini selalu menegur dan ramah terhadap Beliau. Akhirnya Habib Husein memanggilnya dan mengatakan bahwa tentara Belanda tersebut kelak akan menjadi Gubernur, di Batavia. tentara Belanda tersebut berkata sambil tertawa “mana mungkin aku menjadi seorang Gubernur”. Selang beberapa bulan kemudian sang tentara Belanda tersebut dipanggil ke negerinya dan kembali ke Batavia untuk dipercaya menjadi Gubernur.

Sang tentara Belanda yang kini telah menjadi Gubernur teringat akan Habib Husein dan menemui beliau seraya ta’jub atas perkataan dari Habib Husein dan sebagai balasannya Tentara ini memberikan hadiah berupa uang, bahkan emas, tetapi semuanya ditolak oleh Habib Husein. Karena Gubernur tersebut memaksa, Akhirnya Al-habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus berkata bahwa jika Engkau ingin memberiku hadiah, maka berikanlah aku tanah yang berada di luar pelabuhan Sunda Kelapa yang saat itu sedang surut. Tentara belanda tersebut kaget dan berkata percuma bila Aku berikan tanah tersebut, sebentar lagi air akan naik dan daratan itu akan terendam air laut. Al-habib Husein berkata “bila Engkau berikan sekarang, maka mulai saat ini air tidak akan pernah pasang bahkan hingga yaumil qiyamah”.. Allahu Akbar.. sehingga akhirnya diberikanlah tanah tersebut.

Al-habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus memiliki tanah ± 10 hektar dan di atas tanah tersebut, kemudian pertama kali yang dibangun oleh Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus adalah Masjid, kemudian rumah beliau yang saat ini menjadi tempat pusaranya beliau. Dan semenjak itu, dipatok tanah-tanah tersebut yang besarnya ± sampai 10 hektar dengan pilar dan batang-batang sehingga daerah ini dikenal dengan sebutan “Luar Batang”, disebabkan diluar pelabuhan Sunda Kelapa muncullah batang-batang.  Di sini beliau bersama salah satu muridnya Haji Abdul Qodir yang merupakan penterjemahnya mengajarkan kepada murid-muridnya yang dating dari Banten, Indramayu, Cirebon, Tuban Gresik dan pelosok-pelosok kota lain di Indonesia.

Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya, berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.

Habib Husain adalah seorang imam yang utama dan seorang alim yang se­nantiasa mengamalkan ilmunya.

Suatu ketika ia pergi dari Hadhramaut ke Jawa dengan tujuan ke kota Jakarta de­ngan maksud berdagang. Tetapi per­tolongan Allah menariknya ke medan dak­wah.

Pada awalnya orang-orang belum mau mengikutinya. Tetapi setelah mere­ka merasakan  keberkahannya dan me­nyaksikan hal-hal di luar kebiasaan pada dirinya, barulah orang-orang mendatangi­nya dari mana saja. Maka Habib Husain pun menyeru mereka ke jalan Allah dan meng­ingatkan mereka tentang hari Kiamat. Banyak orang yang masuk Islam lewat tangannya, bahkan setelah ia wafat.

Para pejabat pemerintah setempat pun segan terhadapnya dan menghor­mati­nya, baik ketika ia masih hidup mau­pun setelah wafatnya. Mereka sering membawakan hadiah-hadiah dan nazar-nazar, tetapi ia sendiri tidak mempeduli­kan­nya. Terkadang ia jauhi dan ia ting­galkan pemberian itu, agar diambil oleh orang yang membutuhkannya.

Mengapa begitu? Habib Husain tidak membutuhkannya, karena ia seorang yang selalu beribadah, hidup seadanya, berlaku zuhud, dan banyak tenggelam da­lam musyahadah (menyaksikan de­ngan mata bathin) Tuhannya.

Ia mengasingkan diri dari orang-orang di pinggir laut di suatu tempat yang ke­mudian dinamakan “Luar Batang”, lokasi yang berada di luar batas Pelabuhan Sunda Kelapa saat itu. Di situ pula ia membangun masjid, dan setelah wafat ia pun dimakamkan di situ.

Habib Husain wafat pada tanggal 17 Ramadhan 1169 H/27 Juni 1756 M. Se­jak itu setiap hari makam Luar Batang se­lalu dipenuhi para peziarah yang berda­tangan dari berbagai pelosok.

Di sebelah timur makam Habib Hu­sain terdapat makam murid terdekat Ha­bib Husain dari kalangan pribumi sekali­gus penerjemahnya, yakni Haji Abdul Qadir. Sumber lain mengatakan, ia seorang dari etnis Tionghoa yang sudah masuk Islam. Ada keterang­an yang mengatakan bahwa Habib Husain pernah berkata demikian, “Barang siapa tidak menziarahi Haji Abdul Qadir, tidak diterima ziarah­nya.”

Demikian yang dituturkan oleh Habib Husain bin Ali Al-Attas (Habib Ali Bungur) dalam karya monumentalnya, Tajul A‘ras, jilid II halaman 391-393.

Ada banyak kisah yang dituturkan orang mengenai karamah Habib Husain Al-Aydrus ini. Di antaranya suatu ketika seorang opsir Belanda lewat di depan Habib Husain. Tanpa dinyana, Habib me­manggil orang itu lalu menepuk pundak­nya dan berkata, “Anda harus kembali ke negeri Anda. Anda akan menjadi orang besar.”

Perwira itu hanya bisa tertegun. Te­tapi lantaran cerita karamah Habib Hu­sein sudah termasyhur di kalangan ma­syarakat Betawi, ia pun menuruti saran­nya.

Dan betul saja, tak lama kemudian terdengar kabar bahwa ia telah diangkat menjadi seorang gubernur. Maka, seba­gai ungkapan rasa terima kasih, sang gubernur baru itu datang lagi ke Batavia hanya untuk bertemu Habib Husain buat memberikan hadiah khusus, yang bentuk dan jenisnya terserah Habib. Tetapi se­sampainya di sana, ternyata Habib me­nolak segala pemberian itu.

Akhirnya, karena didesak terus, Habib Husain memilih satu kawasan tempat tinggal sebagai pusat dakwah, yang tak lain adalah Luar Batang. Konon, dulunya kawasan yang dimiliki Habib itu seluas 30 hektare, tetapi kemudian dibagi-bagi­kan kepada warga sekitar. Sejak itu, Luar Batang menjadi salah satu basis Islam di bumi Jayakarta.

Kini, Luar Batang menjadi kawasan padat penduduk. Bahkan karena dekat pantai, kawasan itu terkesan kumuh. Tetapi toh tempat itu tak pernah sepi pengunjung.

Tidak sedikit peziarah yang “bermu­kim” di sana hingga berbulan-bulan demi mendapatkan keberkahan sang habib. Bahkan di antara mereka banyak juga yang datang dari luar Jawa dan manca­negara, seperti Timur Tengah, Eropa, dan Afrika.

Makam yang tak pernah sepi itu kian ramai jika malam Jum’at tiba. Begitu juga pada peringatan Maulid Nabi dan haul wafat sang habib (karena wafat pada bulan Ramadhan, peringatan haulnya di­adakan pada bulan Syawwal). Hingga kini, sebagian besar rombongan Wali­sanga yang datang dari arah timur men­jadikan makam Habib sebagai “bonus” ziarah setelah berziarah ke wali kesem­bilan, yakni makam Sunan Gunung Jati, di Cirebon.

Kalau kemudian makam Habib Hu­sain menjadi salah satu tujuan para pe­ziarah, itu tak lain karena keagungan Ha­bib Husain, baik budi pekerti maupun ilmu pengetahuan agamanya. Ia adalah dai be­sar di kawasan Batavia abad ke-18 hingga Islam tersebar luas di sana.

Jika pada abad ke-18 tokoh habaib yang sangat terkenal adalah Habib Husain bin Abu Bakar Al-Aydrus, pada abad ke-19 setidaknya ada dua nama yang sangat menonjol. Yakni Habib Ahmad bin Muhammad Bin Hamzah Al-Attas, yang mendirikan Masjid Zawiyah di Pekojan, dan Habib Utsman bin Abdul­lah Bin Yahya, yang popularitasnya tak perlu dikomentari lagi. Keduanya hidup kurang lebih semasa di tempat yang tidak terlalu berjauhan meskipun tidak didapat­kan keterangan mengenai hubungan an­tara keduanya.

1. Menjadi mesin pemintal

Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya.

Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang.

Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”

2. Menyuburkan Kota Gujarat

Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana.

Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam.

Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.

3. Mengislamkan tawanan

Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda.

Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa.

Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.”

Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.

4. Menjadi Imam di Penjara

Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.”

Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain.

Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci.

Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.

5. Si Sinyo menjadi Gubernur

Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya.

Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini.

Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.

6. Cara Berkirim Uang

Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein.

Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman.

Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein.

Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.

7. Kampung Luar Batang

Makam Luar Batang Gubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir.

Habib Husein meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang.

Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasah Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula.

Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.”

Selama beberapa waktu beliau berada di Banten dan seperti kebiasaan beliau di mana pun berada selalu yang utama adalah berdakwah, demikian juga pada saat di Banten beliau melakukan dakwah tidak kenal waktu siang dan malam. Setelah berdakwah di Banten beliau melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Cirebon, dalam perjalanan dakwahnya di Cirebon ini beliau Al Imam Habib Husein Abubakar Alaydrus menikah dengan seorang Syarifah dari al bin Yahya yang bernama Aminah kemudian melahirkan seorang putri yang diberi nama Fatimah. 

Syarifah Fatimah binti al Imam Habib Husein Abubakar al Aydrus terus kemudian dinikahkan dengan Sayyid Thoha bin Yahya yang bergelar As Sayyid Tofur juga Sayyid Nakur seorang Guru Besar yang di akui ilmuwan dan keshalihannya yang menjadi guru juga panutan sultan, para Adipati dan Senopati di wilayah Jawa dan karena itu beliau diberi gelar oleh keraton dengan nama Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Kusumo sekaligus the Riau dikenal sebagai bapak umat di wilayah Asia Afrika karena sebelum menetap di Mataram beliau pernah tinggal di Pakistan, India dan Malaysia Penang. 

Dari pernikahan Sayyid Thoha bin Yahya dengan Sarifah Fatimah binti al Imam Habib Husein Abubakar Al Aydrus melahirkan empat Putra yaitu:   

1. As Sayyid Al Syarif Hasan bin Toha bin Yahya dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Soemodiningrat seorang Senopati Mataram. yang di makamkan di Semarang, terkenal juga dengan Kramat Jati.         

2. As Sayyid Al Syarif Husein dengan gelar Sayid Kramat Gunung Tugel beliau seseorang yang menjadi panutan dan guru beberapa ulama besar pada saat itu. 

3. As Sayyid Al Syarif Alwi yang berdomisili di Majalengka dan mempunyai pondok pesantren serta ribuan Santri.

4. Syarifah Alawiyah/Aliyah yang bergelar Raden Ayu Dewi Notokusumo (nantinya menjadi istri Sri sultan Hamengkubuwono II).                          

 

Sekembalinya Al Imam Habib Husein Abubakar Alaydrus ke daerah Sunda Kelapa yang dikenal dengan Luar Batang akhirnya beliau berdomisili di tanah yang diberikan oleh Gubernur Batavia saat itu dan meneruskan dakwah di sana sampai wafat beliau Al Imam Habib Husein Abubakar Alaydrus. Dan pada saat itu Sayid Thoha dan keluarga kemudian berdomisili di daerah Depok Semarang dan bersama Adipati Semarang waktu itu yaitu Raden Kertoboso atau Sayid Abdullah membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi untuk mendirikan Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat yang akhirnya dengan bantuan banyak pihak dan terutama dukungan Sayid Thoha dan beberapa Adipati berdirilah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pangeran Mangkubumi naik tahta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. 

Setelah beberapa lama tinggal di Semarang Sayid Thoha kemudian tinggal lagi di Penang dan beberapa waktu kemudian Sayid Thoha mendengar bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I dibuang ke Penang oleh Belanda, mendengar hal tersebut membuat Sayid Thoha sangat prihatin dan marah. Kemudian Sayid Thoha membuat surat yang ditujukan kepada Thomas Stanford Raffles yang isinya agar segera mengembalikan Sri Sultan Hamengkubuwono I ke Mataram dan apabila Sir Thomas Stamford Raffles tidak mau maka Sayid Thoha bersama pasukannya akan mengobarkan peperangan di Asia Afrika. 

Sir Thomas Standford Raffles mendengar permintaan dari Sayid Thoha tidak punya pilihan lain yaitu mengembalikan beliau Sri Sultan Hamengkubuwono I ke Tanah Mataram. Dan Sri Sultan Hamengkubuwono I sendiri meminta kepada Sayid Thoha agar diantar oleh beliau ke Tanah Mataram. 

Dan begitu sampai di Mataram Sayid Thoha dinikahkan dengan salah seorang putri dari Sri Sultan Hamengkubuwono I karena memang dari sisi usia Sayid Thoha jauh lebih muda dari Sri Sultan Hamengkubuwono I, dan akhirnya Sayid Thoha kembali mendiami Depok Semarang kemudian beliau meneruskan pondok pesantren ayahanda beliau, yaitu Sayid Muhammad bin Qodhi bin Yahya yang hingga akhirnya hayatnya dimakamkan di Terboyo Semarang yang terkenal dengan Kanjeng Kyai Ageng Terboyo sedangkan teman perjuangan beliau yaitu Kanjeng Adipati Semarang Kanjeng Adipati Terboso atau Sayid Abdulloh atau lebih dikenal dengan Kyai Bustaman dimakamkan di Breroto Semarang. 

Putra putri beliau as-Sayyid Thoha bin Muhammad al-Qadhi bin Yahya antara lain :

Dengan istri Syarifah Aisyah binti Al Imam Hasan bin Imam Abdulloh bin Hasan Al Idrus Mau ladoh melahirkan :

 

Dengan Istri Syarifah Fatimah Binti Abubakar Alaydrus melahirkan :

 

Dengan Istri Raden Ayu Dewi Notokusumo binti Sri Sultan Hamengkubuwono I melahirkan : 

 

Putra-putra dari Sayid Thoha selain dibina langsung oleh ayahandanya juga kemudian diberangkatkan ke sumber-sumber ilmu ke wilayah Asia Afrika khususnya Haromai, Hadramaut, Mesir dan India. Dan tidak satupun dari putra putri beliau yang tidak menjadi alim dan semua menjadi wali quthub.

 

Al Imam Habib Husein Abu Bakar Alaydrus mempunyai istri seorang Syarifah bernama Aminah keturunan bin Yahya kemudian menurunkan satu putri bernama Fatimah yang dipersunting kerabat Prawiro Kusumo yang saat itu sedang mendapat tugas khusus dari Kerajaan Mataram untuk melihat kondisi prajurit Kerajaan Mataram yang dikirim ke Teluk Jakarta setelah melakukan pengepungan di Batavia. Setelah mereka menikah mereka kemudian menurunkan seorang putri yang menjadi salah satu istri selir dalem Sri Sultan Hamengkubuwono II yang dan Raden Ayu Dewi Notokusumo. Dan setelah menjadi istri Sri Sultan Hamengkubuwono II kemudian melahirkan beberapa putri dan salah seorang putri beliau yang bernama Bendoro Raden Ayu Nitinegoro dan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono II dinikahkan dengan Habib Hasan bin Thoha bin Muhammad bin Toha bin Yahya, karena pada waktu itu Habib Hasan bin Toha bin Yahya atau yang lebih dikenal dengan Syekh Kramat Jati merupakan Panglima Perang Mataram yang tiada duanya dan tanpa tanding juga sangat setia kepada Sri Sultan Hamengkubuwono II sehingga beliau diberi gelar Raden Tumenggung Senopati Agung Wedono Lebet Ngayogyakarta Soemodiningrat, dan dari keturunan Habib Hasan bin Muhammad bin Toha bin Yahya ini Syiar Islam berkembang di wilayah Kerajaan Mataram, khususnya perkembangan thariqot di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan beberapa kerajaan di Tanah Jawa.

 

 

Al-Imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus Wafat pada Malam 17 Ramadhan, akan tetapi mengapa acara haul dari beliau diperingati setiap hari Ahad di akhir bulan Syawwal?

Karena ini merupakan ijtima’ dari para ulama dan habaib yang saat itu berada di bawah pimpinan Mufti Betawi yaitu Alhabib Utsman Bin Abdullah Bin Yahya. Di mana para penjajah saat itu masih menguasai dan transportasi yang sangat sulit sekali serta bertepatan dengan keadaan orang-orang yang sedang berpuasa, sehingga diputuskanlah oleh para ulama dan habaib agar pelaksanaan Haul Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus diadakan pada akhir Ahad bulan Syawwal, di mana setelah orang-orang melaksanakan silaturrahim lebaranan barulah kembali berkumpul dan bersilaturrahim di pusara beliau untuk memperingati Haulnya Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus.

Inilah sekelumit tentang perjalanan dan perjuangan dari Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus. Semoga Allah semakin mengangkat derajat beliau dan semoga kita semua mendapatkan curahan keberkahan, rahasia-rahasia dan ilmu serta karomah dari Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus.. Amin Ya Robbal Alamin.

Catatan :

Pengalaman masa lampau, tersiar khabar bahwa Al-Habib Husein membuang sejumlah uang ke laut di daerah “Pasar Ikan”. Tidak henti-hentinya para pengunjung menyelami tempat itu. Dengan bukti nyata, mereka mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu, untuk dapat bekerja masih sukar di peroleh. Satu-satunya mata pencaharian yang mudah dikerjakan ialah, menyelam di laut. Dengan demikian, bangkitlah keramaian dikawasan kota tersebut, sehingga timbullah istilah “Mencari Duit ke Kota”

Penutup

1. Perayaan-perayaan tahunan di Makam Keramat Luar Batang.

a. Perayaan/peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, pada minggu terakhir di bulan Rabi’ul Awwal.

b. Perayaan/peringatan haulnya Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Keramat Luar Batang pada minggu terakhir di bulan Syawal.

c. Perayaan “akhir ziarah” pada bulan Sya’ban, yaitu pada 3 (tiga) hari atau 7 (tujuh) hari menjelang bulan suci Ramadhan.

2. Sumber Riwayat ini di peroleh dari :

a. Nara Sumber, sesepuh keluarga Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ialah Almarhumah Syarifah Muznah binti Husein Alaydus, kakak kandung Al-Habib Abu Bakar bin Husein Alaydrus, diceritakan kembali oleh penulis, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan Maghfirah-Nya….Amiin.

b. Diktat sejarah Kampung Luar Batang, oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta/Dinas Museum dan Sejarah, 1982/1983