Sunan Kalijaga

Ada aturan tegas yang diberlakukan saat para peziarah mengunjungi makam Sunan Kalijaga, Desa Kadilangu, Kecamatan Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Mereka dilarang untuk membawa senjata pusaka jenis apapapun.

Jika peziarah itu nekat melawan aturan tersebut, banyak orang percaya senjata berupa wesi aji atau besi bertuah akan hilang kesaktiannya.

"Setiap peziarah kita tanyakan dan kita beri pesan, jika membawa besi berharga atau senjata pusaka, tolong ditinggalkan di pos pendaftaran ziarah, ungkap R. Prayitno yang merupakan juru kunci Makam Sunan Kalijogo saat ditemui merdeka.com di Kompleks Makam Sunan Kalijogo, Demak, Senin (6/7). 

Berdasarkan pengalamannya, Prayitno mengungkapkan ada beberapa peziarah yang nekat dan mengindahkan aturan tersebut. Tak ayal beberapa senjata atau pusaka mereka langsung hilang kesaktiannya atau khodam-nya.

"Kalau nekat ya sudah. Kalau hilang khodam-nya yang kita tidak bisa mengembalikan khodam-nya ke pusakanya lagi. Yang penting kami sudah menasehati tapi kalau tidak mau menuruti yang tanggung sendiri risikonya, ungkapnya.

Banyak yang percaya yang membuat kesaktian pusaka hilang adalah makam Empu Supo. Adik ipar kanjeng Sunan Kalijaga yang merupakan sesepuh atau resi pembuat senjata atau pusaka raja-raja Jawa dan dikenal mempunyai senjata ampuh dan sakti. 

Diyakini keahlian Empu Supo yang hingga saat tidak ada tandingannya, sehingga senjata jenis apapun luntur keampuhannya.

Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.

Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.

Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.

Walau Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.

Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.

Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu karena   Raden Said melakukannya dimalam hari secara sembunyi-sembunyi.

Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip  penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.

Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan  ke Majapahit.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya, maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?

Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang.

Harta hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.

Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti Raden Said juga.

Pada suatu malam Raden Said baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa kampunya sedang djarah perampok.

Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik.

Raden Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdenganr suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian itu.

Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan orang.

Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban.

Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.

Sang adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati.

Hanya ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.

Mencari Guru Sejati

Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi.  Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.

Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat.

Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.

Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya.  Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.

Bukan tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.

Hanyam beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.

Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu.

Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.

Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini?

Saya menginginkan harta?

Untuk apa?

Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang keliru.

Orang tua….apa maksudmu?

Boleh aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?

Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.

Lelaki itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing.

Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal.

Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.

Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini.  Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.

Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas.

Raden Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.

Ketika sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada ditempat.

Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.

Raden Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan.

Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang.

Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.

Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya.

Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau belajar apa?

Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid….

Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?

Saya bersedia….

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai. Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya.

Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.

Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.

Setelah lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.

Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya.

Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.

Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan tidak terkena  percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Kerinduan Seorang Ibu

Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang.

Kebetulan saat ditangkap oleh prajurit tuban, kepala perampok  itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke istana kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.

Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan  isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan putera-puterinya yang sangat dicintainya itu.

Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di jawa tengah hingga ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi Allah. 

Fakta Nama 'Kalijaga' 

Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.

Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.

Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak. Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.

Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik

Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.

Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga. Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut.

Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali. Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.

Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.

Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.

Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya.

Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.

Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya. Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.

Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.).

Beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat. Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.

Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :

Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah. Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya.

Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi. 

Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya.

Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.

Bagian ini memuat sebuah prosa yang dikutip dari Suluk · Linglung. Sebuah kitab klasik semacam kumpulan puisi yang berisi : dialog-pertemuan-dan wejangan Nabi Khidir kepada SunanKalijaga. Suluk ini aslinya berbahasa Jawa. menurut penelitiah : penulis isi dari suluk ini hampir sama dengan Serat Dewa Ruci yang  sebelumnya disinyalir oleh para sejarawan sebagai pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir.

Karena berupa suluk apalagi berisikan wejangan mahaguru para wali. maka orang awam tidak bisa hanya sekali baca langsung : mengerti. Ajaran-ajaran syari'at- ma'rifat-hakikat tingkat tinggi mewarnai suluk ini.

PERTEMUAN SUNAN KALIJAGA DENGAN NABI KHDIR 

Sete1ah menjalani latihan berat, berupa puasa dan riyadhah-riyadhah lainnya seperti dikubur hidup-hidup selama beberapa hari, Sunan Kalijaga menghadap gurunya yaitu Sunan Bonang. Berkata Sunan Bonang, "Muridku ketahuilah olehmu, jika kau ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, pergi ke Baitullah di Mekkah dengan hati tulus ikhlas.

Ambillah air zam-zam di Mekah. Itu adalah air yang suci dan sekaligus mengharap berkat syafaat Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan umat manusia.

Sunan Kalijaga tunduk patuh, setelah memberi hormat penuh takzim sebagaimana dilakukan seorang murid kepada gurunya maka ia mohon diri untuk mengerjakan apa yang dianjurkan gurunya yaitu pergi ke Tanah Suci Mengharap hidayah ilahi.

Konon Sunan Kalijaga menempuh jalan pintas, menerobos hutan, naik gunung turun jurang dan tanjakan, tetebingan didakinya memutar, tanpa terasa perjalannya tiba di tepi pantai. Hatinya bingung kesulitan menempuh jalan selanjutnya. Terhalang oleh samudra luas. Sejauh mata memandang yang nampak hanya air semata. Dia diam termenung lama sekali, memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.

Sementara itu, di tepi samudra syahdan seorang insan kamil yaitu Nabi Khidir as mengetahui seorang kedatangan Sunan Kalijaga yang tengah bingung. Nabi Khidir as mengetahui segala perjalanan yang dialami oleh Sunan Kalijaga dengan sejuta keprihatinan, karena ingin meraih hidayat. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayat, kecuali kalau mendapatkan anugerah atau rahmat tlari Allah Yang Mahabenar.

Sementara itu Sunan Kalijaga temyata sudah terjun merenangi lautan luas, tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri, semakin lama Sunan Kalijaga, sudah hampir di tengah samudera, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudera. Ternyata setelah Sunan Kalijaga, ada di tengah samudera, ia melihat seseorang, yang sedang berjalan tenang di atas air, siapa lagi orang yang mampu berjalan di atas air di tengah samudera, ia tak lain adalah mahaguru para wali yaitu Nabi Khidir as, yang tidak diketahui dari mana datangnya, sosok manusia suci yang penuh perbawa itu bertanya dengan lemah lembut :

"Hai Kalijaga apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Padahal di sini tidak ada apa-apa? Tiada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan, juga untuk berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu dengan melihat itu semua?

"Sunan Kalijaga, heran mengetahui penjelasan itu. Nabi Khidir as berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, "Kalijaga di sini ini, banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini, di tempat ini, segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya." · "Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, padahal kamu: tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, disini tidak mungkin kau dapatkan yang dapat diharapkan hasilnya"

Sunan Kalijaga bingung hatinya tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh selanjutnya. Semakin pelan ucapan Sunan Kalijaga, "Terserah bagaimana baiknya menurut guru:

Sang mahaguru Nabi Khidir as menebak, "Apakah kamu juga, sangat mengharapkan hidayahtullah (petunjuk Allah)?"

Sunan Kalijaga mengangguk penuh hormat.

Akhirnya Nabi Khidir as menjelaskan. "Ikutilah petunjukku sekarang ini!"

 Panji birahi ananireku,

         aranira Allah jati,

         Tanana kalih tetiga,

         sapa wruha yen wus dadi,

         ingsun weruh pesti nora,

         ngarani namanireki,

Artinya :

           Timbullah kemauan dan kehendak Allah swt. menjadikan terwujudnya dirimu, dengan adanya wujud dirimu menunjukan akan adanya Allah swt. yang sesungguhnya. Allah tidak mungkin ganda apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

          Sipat jamal ta puniku,

          ingkang kinen angarani,

          pepakane ana ika,

          akon ngarani puniki,

          iya Allah angandika,

          mring Muhammad kang kekasih,

Artinya:

          Adapun sifat jamal itu sifat yang selalu berusaha menyebutkan,bahwa pada dasarnya adanya dirinya,karna ada yang mewujudkan adanya. Demikian yang difirmankan Allah kepada Muhammad saw. yang menjadi kekasih-Nya.

           Yen tanana sira iku,

            ingsun tanana ngarani,

            mung sira ngarani ing wang,

            dene tunggal lan sireki iya ingsun iya sira,

            aranira aran mami,

Artinya:

           Jika tidak ada dirimu, Allah swt. tidak disebut-sebut. Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku,Allah,menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya ZatKu.

            Tauhid hidayat sireku,

             tunggal lawan Sang Hyang Widhi, 

             tunggal sira lawan Allah,

             uga donya uga akhir,

             ya rumangsana pangeran,

             ya Allah ana nireki,

Artinya:

          Tauhid hidayah yang sudah ada padamu,menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah swt., baik di dunia maupun di akhirat. Dan, kamu merasa bahwa Allah swt. itu ada dalam dirimu.

             Ruh idhofi neng sireku,

             makrifat ya den arani,

             uripe ingaran Syahadat,

             urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,

             rukuk pamore Hyang Widhi,

Artinya:

          Roh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut kesaksian(syahadat), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan.

             Sekarat tananamu nyamur,

             ja melu yen sira wedi,

             lan ja melu-melu Allah, iku aran sakaratil,

             ruh idhofi mati tannana

             urip mati mati urip

Artinya:

          Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal dalam kondisi sekarat tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapisakaratul maut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah swt. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Roh idhofi tidak akan mati. Hidup mati,mati hidup.

             Liring mati sajroning ngahurip,

             iyo urip sajroning pejah,

             urip bae salawase,

             kang mati nepsu iku,

             badan dhohir ingkang nglakoni,

             ketampan badan kang nyata,

             pamore sawujud,

             pagene ngrasa matiya,

             Syekh Mlaya den padhang sira nampani,

             Wahyu prapta nugraha,

Artinya:

          Mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Adalah hidup abadi. Yang mati itu adalah nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna,sukma moksa. Jelasnya mengalami kematian. Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

          Dari wejangan tersebut sebenarnya kita mendapatkan nilai-nilai dan jaran agar kita bisa lebih dekat dan menganal Allah swt. Aktivitas yang imani adalah media pengantar untuk menyampaikan kita pada tingkat kedekatan dengan Allah swt. Sesungguhnya Allah selalu bersama kita dimanapun kita berada. Agar kita bisa berkomunikasi dengan-Nya, maka yang semestinya kita lakukan adalah selalu mengingat-nya dan menyemaikan nama-Nya sedalam mungkin dihati kita. Seharusnya kita tidak perlu takut pada kematian. Selain itu,hikmah yang dapat kita ambil dari wejangan diatas adalah bagaimana upaya kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini secara baik dengan tetap menjaga hubungan dengan Allah SWT.

Nasab Kanjeng Sunan Kalijaga

Data Pendukung bahwasanya Sunan Kalijaga sayyid keturunan Nabi adalah dari keselarasan dgn kisah Babad Tuban sebagaimana disebut di atas. Kitab Syajaroh & Tarikh Al Azamat Khan dikutip dalam “Sejarah & Silsilah dari Nabi Muhammad SAW ke Walisongo oleh Drs. Aburumi Zainal Lc. – Habib Zainal Abidin Assegaf menuliskan secara jelas nasab beliau sebagaimana di bawah ini, begitu pula Kitab Syamsud Dhahirah, Karya Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur sebagai data Rabithah Alawiyyah dan Kitab Nasab Wali Songo, juga Karya Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini.

Silsilah ini juga sesuai dengan keterangan Profesor Husaini Jayadiningrat didalam bukunya yang menceritakan bahwa dalam tradisi Cirebon terdapat Silsilah Sunan Kalijogo yang diurutkan hingga sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula keterangan Van Den Berg dan Hj de Graff, sesuai dengan kisah Tome Pires.

Sunan Kalijaga juga menikahi 4 Syarifah putri para anggota Walisongo sehingga secara fiqih mengenai pernikahan kafaah nasab pd syarifah, makin menguatkan fakta bahwasanya Sunan Kalijaga adalah Sayyid turunan Nabi Muhammad* [* secara aktual nasab dr garis laki keturunan Ali bin Abi Thalib, namun secara syar’i keturunan Nabi Muhammad meski melalui garis perempuan / putri beliau Fathimah, berdasarkan dalil hadist “SEMUA anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), KECUALI putra-putra Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka”]

1. Nabi Muhammad Rasulullah berputri

2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra (menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib) berputra turun temurun :

3. Al-Husain

4. Ali Zainal Abidin

5. Muhammad Al-Baqi

6. Ja’far Shadiq

7. Ali Al-Uraidhi

8. Muhammad

9. Isa

10. Ahmad Al-Muhajir

11. Ubaidillah

12. Alwi

13. Muhammad

14. Alwi

15. Ali Khali’ Qasam

16. Muhammad Shahib Marbath

17. Alwi Ammil Faqih

18. Abdul Malik Azmatkhan

19. Abdullah

20. Ahmad Jalaluddin

21. Ali Nuruddin

22. Maulana Mansur (8.a,b,c)/ Tumenggung Tuban (8.a,b)/ Bupati Tuban ke-7 Hariyo Tejo (1,2,3,4,5,6) / Syekh Subakir alias Muhammad Al-Baqir (8c)

23. Ahmad Sahuri alias Raden Sahur alias Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban ke-8)

24. SUNAN KALIJAGA / Raden Said / Jaka Said / Syekh Malaya / Lokajaya / Raden Abdurrahman / Pangeran Tuban / Muhammad Abdussyahid (Generasi ke-24 dari Rasul, Turunan Rasul ke-23)

Sumber : Kitab Kuno Sunan Tembayat 1443 saka halaman 8 – 10

versi lain yang kuat adalah  ;

SILSILAH TAUTAN SUNAN KALIJAGA KE SAYYIDINA ABBAS PAMAN NABI MUHAMMAD 

(keterangan angka dalam kurung setelah nama, menunjukkan sumber data penulisan redaksi nama, yang terdapat di bagian sumber-sumber data)

 

1. Sayyidina ABBAS r.a bin Abdul Muthalib [Paman dari Nabi Muhammad SAW] (Sumber sebagai leluhur Sunan Kalijaga 1,2,3,5)

Menurut sumber 7.b Abbas memiliki 5 orang keturunan, diantaranya adalah

 

a. Abdullah bin Abbas, yang kerap disebut pula Ibnu Abbas. Dia pernah menjadi gubernur di Basrah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dia meninggal dan dikuburkan di Thaif, Arab Saudi.

b. Ubaidillah bin Abbas, pernah menjadi gubernur di Yaman pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Madinah.

c. Fahdl bin Abbas, dikuburkan di Syam.

d. Qutsam bin Abbas, pernah menjadi gubernur di Bahrain pada masa Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Samarkand

e. Ma'bad bin Abbas, pernah menjadi gubernur di Mekkah pada masa kekuasaan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan dikuburkan di Afrika

Silsilah Sunan Kalijaga yang bersambung ke Abbas menyebutkan melalui nama Abdullah, ada yang menuliskan dengan tambahan “Al-Baghdadi” yang bermaksud  leluhur beliau pernah di negeri Irak, secara fakta Abdullah bin Abbas adalah satu2nya Putra Abbas yang pernah menjabat sebagai Gubernur di Irak, namun lebih tepatnya di Basrah-Irak. Istilah Al-Baghdadi pada silsilah leluhur Sunan Kalijaga mengindikasikan leluhur beliau adalah keturunan dari Sayyidina Abbas yang dari jalur daerah Irak. Ada yang menduga leluhur Sunan Kalijaga adalah dari Dinasti Abbasiyah Baghdad, namun penelitian penulis dari nama-nama leluhur yang tercantum tidak mengindikasikan kepada para Sultan Dinasti Abbasiyyah Baghdad yang penulis juga pegang datanya. Data leluhur Sunan Kalijaga versi ke Sayyidina Abbas yang ada, hanya mengindikasikan leluhur beliau dari daerah Irak, tidak ada yang mengindikasikan sebagai keturunan para atau beberapa Sultan Dinasti Abbasiyyah. Lantas bila kemudian kita temukan nama leluhur Sunan Kalijaga yang tidak lazim secara bahasa Arab, itu mengindikasikan leluhur beliau ada yang pindah & berbaur ke daerah Persia yang tidak begitu jauh dari Irak, bahkan pada masa tertentu Irak adalah bagian dari Persia. (Contoh nama Kharmia / Kharmis dll adalah nama dari daerah Persia).

 

2.  Abdullah ibnu Abbas ra (Sepupu Nabi Muhammad & Ali bin Abi Thalib) (7.b&c)

3.  Ali bin Abdullah (7.c&d) [Satu2 nya keturunan dari Abdullah bin Abbas yang tercatat sejarah secara resmi & mayshur]

4.  Abdullah “Al-Akbar” (7.d) / Abdallah “Azhar” (2) / Abdul “Wakhid” (3) / Syekh Abdul “Wahid” Qurnqin Al Baghdadi (1)

 

(Istilah Al-Akbar, Azhar, & Wahid sama2 mempunyai makna yang merujuk sebagai yang paling besar, karena beliau mempunyai adik yang lebih kecil juga bernama sama yakni Abdullah dengan gelar Abdullah Al-Ashgar yang pergi ke daerah Syam 7.d)

 

5.     Wakhis (2) / Syekh Waqid Arumni (1)

6.     Mudzakir (2&3)/ Syekh Mudzakir Arumni (1)

7.     Abdullah (2&3)

8.     Kharmia (3) / Kharmis (2)  

9.     Mubarak (2&3)

10.   Abdullah (2&3)

11.   Ma'ruf (2) / Madhra’uf (3)

12.   Arifin (2&3)

13.   Hasanuddin (2&3)

14.   Jamal (2&3)

15.   Ahmad (2&3)

16.   Abdullah (2&3)

17.   Abbas (2&3)

18.   Kouramas (3)/ Khurames (2)/ Syekh Kharamis (1)

19.   Syekh Abdullah (1)

20.   Syekh Abdurrahman (1&2)/ Abdur Rakhim (3)/ Kyai Lanang Baya (5&6) / Arya Wiraraja (9)

21.   Bupati Tuban ke-2 Haryo Ronggo Lawe (4,5,6)/ Rangga Teja Laku (1,2,3) / Syeikh Jali Al-Khalwati (1&5)/ Syekh Khawaji (1)

22.   Bupati Tuban ke-3 Haryo Siro Lawe (5&6)

23.   Bupati Tuban ke-4 Haryo Siro Wenang (5&6)

24.   Bupati Tuban ke-5 Haryo Lana (5&6)/Arya Teja I (1&4)

25.   Bupati Tuban ke-6 Haryo Dikoro (5&6)/ Arya Teja II (1&4) BERPUTRI *(6)

 

[Putri beliau sebagai istri dari penguasa Tuban selanjutnya yang dari Arab secara objektif dapat kita temukan pada sumber no.6 pada Babad Tuban yang menjelaskan tentang sejarah para Bupati Tuban]

26.   Raden Ayu Haryo Tejo [Istri dari Bupati Tuban ke-7 Haryo Tejo Kusumo (1,2,4,5,6) / Arya Teja III (4)/

27.   Bupati Tuban ke-8 Tumenggung Wilatikta

28.   SUNAN KALIJAGA / Raden Said / Jaka Said / Syekh Malaya / Lokajaya / Raden Abdurraman / Pangeran Tuban / Muhammad Abdussyahid

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Jasa Kanjeng Sunan Kalijaga

A. SEBAGAI MUBALIGH.

Beliau dikenal sebagai ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri diantara Wali-Wali lainnya. Dan paling terkenal di kalangan atas maupun dari kalangan bawah. Hal itu disebabkan Sunan Kalijaga suka berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau juga dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu mubaligh yang menyiarkan agama Islam sambil mengembara. Sementara Wali lainnya mendirikan pesantren atau pedepokan untuk mengajar murid-muridnya.

Caranya berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang adat istiadatnya. Beliau dekati rakyat yang masih awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah sehingga rakyat tidak merasa angker dan mau menerima kedatangannya dengan senang hati.

Pakaian yang dikenakan sehari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di disain dan disempurnakan sendiri secara Islami. Adat istiadat rakyat, yang dalam pandangan Kaum Putihan dianggap bid’ah tidal langsung ditentang olehnya selaku Pemimpin Kaum Abangan. Pendiriannya adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima agama Islam, mau mendekat pada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang bertentangan dengan agama Islam.

Kesenian rakyat baik yang berupa gamelan, gencing dan tembang-tembang dan wayang dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal agama Islam.

B. SUNAN KALIJAGA SEBAGAI AHLI BUDAYA.

Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan lain-lain.

a. Seni Pakaian :

Beliau yang pertama kali menciptakan baju taqwa. Baju taqwa ini pada akhirnya disempurnaka oleh Sultan Agung dengan dester nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Baju ini masih banyak di pakai oleh masyarakat Jawa, setidaknya pada upacara pengantin.

b. Seni Suara :

Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula Semarangan.

c. Seni Ukir :

Beliau pencipta seni ukir bermotif dedaunan, bentuk gayor atau alat menggantungkan gamelan dan bentuk ornamentik lainnya yang sekarang dianggap seni ukir Nasional.

Sebelum era Sunan Kalijaga kebanyakan seni ukir bermotifkan manusia dan binatang.

d. Bedug atau Jidor di Mesjid :

Beliaulah yang pertama kali mempunyai ide menciptakan Bedug di masjid, yaitu memerintahkan muridnya yang bernama Sunan Bajat untuk membuat Bedug di masjid Semarang guna memanggil orang untuk pergi mengerjakan shalat jama’ah.

e. Gerebeg Maulud :

Ini adalah acara ritual yang diprakarsai Sunan Kalijaga, asalnya adalah tabliqh atau mengajian akbar yang diselenggarakan para wali di Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi.

f. Gong Sekaten :

Adalah gong ciptaan Sunan Kalijaga yang nama aslinya adalah Gong Syahadatain yaitu dua kalimah Syahadat. Bila gong itu dipukul akan berbunyi bermakna :di sana di situ, mumpung masih hidup, berkumpullah untuk masuk agama Islam.

g. Pencipta Wayang Kulit :

Pada jaman sebelum Sunan Kalijaga, wayang bentuknya adalah sebagai berikut;

Adegan demi adegan wayang tersebut digambar pada sebuah kertas dengan gambar ujud manusia.Dan ini diharamkan oleh Sunan Giri. Karena diharamkan oleh Sunan Giri, Suna Kalijaga membuat kreasi baru, bentuk wayang dirubah sedemikian rupa, dan digambar atau di ukir pada sebuah kulit kambing, satu lukisan adalah satu wayang, sedang di jaman sebelumnya satu lukisan adalah satu adegan. Gambar yang ditampilkan oleh Sunan Kalijaga tidak bisa disebut gambar manusia, mirip karikatur bercita rasa tinggi. Diseluruh dunia hanya di Jawa inilah ada bentuk wayang seperti yang kita lihat sekarang.Itulah ciptaan Sunan Kalijaga.

h. Sebagai Dalang :

Bukan hanya pencipta wayang saja, Sunan Kalijaga juga pandai mendalang. Sesudah peresmian Masjid Demak dengan shalat Jum’ah, beliaulah yang mendalang bagi pagelaran wayang kulit yang diperuntukkan menghibur dan berdakwah kepada rakyat.

Lakon yang dibawakan seringkali ciptaannya sendiri, seperti ; Jimat Kalimasada, Dewi Ruci, Petruk Jadi Raja, Wahyu Widayat dan lain-lain.

Dalang dari kata “dalla” artinya menunjukkan jalan yang benar.

i. Ahli Tata Kota :

Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama.Sebab Jawa dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan Kalijaga dalam membangun Tata Kota.

Tehnik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiri dari :

1. Istana atau Kabupaten

2. Alun-alun

3. Satu atau dua pohon beringin

4. Masjid

Letaknya juga sangat teratur, bukan sembarangan.Alun-alun ;berasal dari kata “Allaun” artinya banyak macam atau warna. Diucapkan dua kali “Allaun-allaun” yang maksudnya menunjukkan tempat bersama ratanya segenap rakyat dan penguasa di pusatkota.

Waringin : dari kata “Waraa’in artinya orang yang sangat berhati-hati. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun itu sangat hati-hati memelihara dirinya dan menjaga segala hukum atau undang-undang, baik undang-undang negara atau undang-undang agama yang dilambangkan dengan dua pohon beringin yaitu Al-Qur’an dan hadits Nabi. Alun-alun biasanya berbentuk segi empat hal ini dimaksudkan agar dalam menjalankan ibadah seseorang itu harus berpedoman lengkap yaitu syariat, hadiqat dan tariqat dan ma’rifat. Jadi tidak dibenarkan hanya mempercayai yang hakikat saja tanpa mengamalkan syariat agama Islam.

Untuk itu disediakan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah.

Letak istana atau kantor kabupaten : letak istana atau pendapat kabupaten biasanya berhadapan dengan alun-alun dan pohon beringin. Letak istana atau kabupaten itu biasanya menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Ini artinya para penguasa harus menjauhi kesombongan, sedang menghadap ke laut artinya penguasa itu hendaknya berhati pemurah dan pemaaf seperti luasnya laut. Sedang alun-alun dan pohon beringin yang berhadapan dengan istana atau kabupaten artinya penguasa harus selalu mengawasi jalannya undang-undang dan rakyatnya.

Ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga melakukan transmogrifikasi dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam budaya-budaya Jawa seperti memasukannya ke dalam syair-syair macapat, memodifikasi wayang kulit, menciptakan lagu yang sangat terkenal Lir- ilir, dan sebagainya. 

Sunan Kalijaga, mengungkap ajaran serta amalan yang diwariskan, seperti doa-doa (kidung) baik yang berbahasa Jawa maupun yang diambil dari ma'surat. Dengan demikian kita bisa lebih paham ajaran (pesan) kearifan Sunan Kalijaga serta bisa mendapatkan khazanan lama yang berharga. Sebagai contohnya, wejangan dibalik tembang Lir-ilir dan wejangan tentang pacul. 

Berikut ini lirik tembang Lir-ilir Sunan Kalijaga beserta artinya

Lir-ilir, lir ilir, tandure wus sumilir (Bangunlah, bangunlah tanaman sudah bersemi)

Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau) 

Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan gairah pengantin baru)

Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)

Penekno belimbing kuwi (Panjatlah pohon belimbing itu)

Lunyu-lunyu penekno (Walaupun licin dan susah tetaplah kau panjat)

Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh/mencuci pakaian)

Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)

Kumitir bedah ing pinggir (Terkoyak-koyak dibagian samping)

Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, benahilah)

Kanggo sebo mengko sore (Untuk menghadap nanti sore)

Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)

Mumpung jembar kalangane (Mumpung banyak waktu luang)

Yo surako surak iyo (Bersoraklah dengan sorakan Iya)

Wejangan dibalik tembang Lir-ilir Bila kita renungkan secara mendalam apa yang tersirat dari suratan tembang Lir-ilir tersebut secara globalnya adalah sebagai berikut: 

*) Bait pertama, mulai bangkitnya Islam. 

*) Bait kedua, merupakan perintah untuk melaksanakan kelima Rukun Islam. 

*) Bait ketiga, bertobat, memperbaiki kesaahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kesemuanya untuk bekal kelak bila mati. 

*) Dan bait selanjutnya mempunyai arti yang menyimpulkan mumpung ada kesempatan baik. 

Dalam alinea pertamanya berbunyi “Lir-ilir-Lir-ilir, Tandure wus sumilir , ijo royo-royo, Tak sengguh temanten anyar” mempunyai makna bagunlah bukan berarti bangun dari tempat tidur. Tetapi kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, bangun dari sifat yang buruk penyakit hati, bangun dari kesalahan-kesalahan dan hendaknya kita senantiasa mohon ampun kepada Allah dan brdzikir untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. “tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak, senggo temanten anyar”. Bait ini mengandung makna  jika kita telah berdzikir kita akan mendapatkan banyak manfaat bagi kita sendiri dan menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya msih dalam level pertama.

Selanjutnya makna Cah Angon-cah angon Penekno Blimbing Kuwi Lunyu-lunyu penekno Kanggo mbasuh dodotiro . “Cah angon” ? kenapa kata yang di pilih Sunan Kalijaga adalah cah angon, bukan presiden atau para pengusaha, ini menjadi pertanyaan besar buat kita ? Sunan Kalijaga memilih kata “cah angon” karena pada dasarnya cah angon adalah pengembala, Pengembala mempunyai makna seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah. Pengembala dalam tembang disini masksudnya dapatkah kita menggembalakan dan menahan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya dan menahan hal-hal yang membuat kita akan cenderung melakukan dosa. Kita harus menentang hawa nafsu yang dapat menejerumuskan kita  ke lembah syetan yang tidak diridhoi Allah, dengan cara berpegang teguh dengan rukun Islam yang yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah yang di ibaratkan rukun islam.  Jadi meskipun sulit, kita harus sekuat tenaga tetap berusaha menjalankan rukun islam yang merupakan dasar dari agama Islam meskipun banyak halangan dan rintangan. Penekno ? dalam bahasa indonesia adalah “panjatlah” ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk memeluk Islam dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejek para pemimpin Islam Nabi dan Rosul dalam menjalankan syari’at Islam. Walaupun dengan penuh rintangan baik harta, benda maupun tahta dan godaan  lain maka kita harus tetep bertaqwa kepada Allah.

Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing pinggir”, yang maknanaya Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita hindari dan kita tinggalkan, perbaiki kehidupan dan akhlak kita, seperti merajutpakaian hingga menjadi pakaian yang indah ”karena sebaik-baik pakaian adalah pakaian bertaqwa kepada Allah. Dondomono, Jlumatono, Kanggo Sebo Mengko sore ini Pesan dari para wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu didunia baik amal baik maupun amal buruk. Maka perbaikilah  dan sempurnakanlah ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.

Mumpung padhang rembulane Mumpung jembar kalangane Yo surako surak iyo!!! Selagi kita masih ada kesempatan, kita harus senantiasa mohon ampun kepada Allah, menahan hawa nafsu duniawi yang dapat menjermuskan kita, dan senantiasa bertaqwa kepada Allah sebagai bekal pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. Begitulah, para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata kita, ketika usia masih menempel pada hayat kita ketika kita masih di beri kesehatan . Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai, senantiasa bersyukur dan menegakan syari’at Islam. Dalam firman Allah :

“Mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :24)

Dari uraian diatas kita melihat bagaimana Sunan Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang dalam memperhatikan hidup kita selama di dunia ini. Jangan hanya berorientasi pada keduniawian melainkan berorientasikan pada kehidupan dalam alam kekekalan yaitu akhirat. Sehingga kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Sunan Kalijaga mengingatkan manusia bahwa kita mempunyai  pertanggung jawaban pribadi kepada Tuhan, Karena semua perbuatan kita akan dimintai pertanggung jawaban dari kita. Sunan Kalijaga menawarkan Islam sebagai jalan dan bekal untuk menghadapi kematian dan pertanggungjawaban akhir. Dengan berbekal mengenai keislaman dengan Rukun Imannya yaitu Sahadat, Sholat, Zakat, Shaum, Haji dan senantiasa melakukan hal-hal yang baik menjauhi perbuatan buruk untuk mendapatkan kehidupan yang baik diakhirat nanti

Tembang lir-ilir ciptaan Sunan Kalijaga ini mempunyai makna yang mendalam dan dapat menginspirasi hakikat kehidupan kita. Karena dalam tembang jawa ini mengandung unsur-unsur ajakan untuk kembali kepada Allah, senantiasa mengingat kepada Allah, dan menahan hawa nafsu agar kita tidak terjerumuskan ke lembah yang tidak di ridho’i Allah, selalu mohon ampun kepada Allah. Sunan Kalijaga juga meningatkan kepada kita bahwa perbuatan baik dan amalan menempati peran penting termasuk Sahadat, Sholat, Zakat, Haji, Puasa dalam Islam sebagai bekal yang menentukan keselamatan seseorang yang harus dibawa dan dipertanggungjawabkan saat mereka mengalami kematian kelak. Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan, hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dalam bahasa jawa diibaratkan “urip iku sekedar mampir ngombe” yang maknanya hidup itu sementara, seyogjanya kita semua harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua dipanggil menghadap kehadirot Allah SWT.

Wejangan tentang Pacul Wejangan Sunan Kalijaga tentang Pacul yang diberikan kepada Ki Ageng Sela juga sangat menarik untuk dikaji. Wejangan yang nampaknya sederhana itu bermakna sangat dalam. 

Pacul atau cangkul merupakan senjata utama andalan para petani. Senjata yang ampuh  ini digunakan untuk mengolah lahan pertanian. 

Menurut wejangan Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Sela, cangkul terdiri dari 3 bagian, yaitu: 

1) Pacul (bagian yang tajam), 

2) Bawak (lingkaran tempat batang doran), dan 

3) Doran (batang kayu untuk pegangan cangkul). 

1) Pacul. Pacul dari kata: ngipatake barang kang muncul, artinya membuang bagian yang mendugul (semacam benjolan yang tidka rata). Sifatnya memperbaiki. Sebagai umat Islam, kita harus selalu berbuat baik dan selalu memperbaiki hidup kita yang penuh dosa. Maka, seperti halnya pacul yang baik, yaitu kuat dan tajam, kita harus kuat iman, tajam pikiran kita untuk berbuat kebaikan. Jadi, falsafah pacul tersebut mengandung makna ajaran agama yang tinggi nilainya. 

2) Bawak. Bawak dari kata obahing awak, artinya geraknya tubuh. Maksudnya: sebagai orang hidup wajib bergerak tubuh akan menjadi sehat. Arti istilah yang luas, bahwa sebagai manusia kita wajib berikhtiar, seperti halnya bekerja untuk memperoleh nafkah dunia dan bergerak mengerjakan shalat untuk memperoleh nafkah batin.

3) Doran. Doran dari kata donga marang Pangeran, artinya berdo'a kepada Tuhan. Maksudnya: kita manusia sebagai umat harus selalu berdo'a kepada Tuhan, yakni Allah SWT. Karena do'a ini juga bagian vital dari ibadah. Apalagi shalat lima waktu merupakan kewajiban umat Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, harus dilaksanakan sepenuhnya.

Filosofi Kanjeng Sunan Kalijaga juga diantaranya ;

1. Urip Iku Urup

(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)

2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro

(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

3. Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti

(segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dgn sikap bijak, lembut hati dan sabar)

4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho

(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan)

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan

(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

6. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, ojo Kagetan, ojo Aleman

(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).

7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman

(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

8. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka

(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).

9. Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo

(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).

10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguno

(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti)

Adapun ajaran-ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut:

Pertama, marsudi ajining sarira. Artinya, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak kita untuk menghargai diri sendiri, kemudian setelah kita baru menghargai orang lain.

Kedua, manembah. Manembah artinya menyembah. Dalam hal ini, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak kepada kita untuk menyembah Allah Swt sebagai Tuhan pencipta alam semesta. Menyembah juga berarti mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah Swt yang tercantum dalam Al Quran maupun hadis.

Ketiga, Mangabdi. Mangabdi berarti mengabdi atau bakti di mana dalam hal ini Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak kita untuk berbakti kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Islamcendekia.com sendiri kemudian menafsirkan lagi, bahwa mangabdi yang dimaksud Kanjeng Sunan Kalijaga juga berarti berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara.

Keempat, Maguru. Maguru secara literal-bahasa berarti berguru. Dengan ajaran ini, Kanjeng Sunan Kalijaga mengajak kepada kita untuk belajar dan mencari ilmu.

Kelima, martapa. Secara bahasa, martapa berarti bertapa. Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan kita untuk memiliki laku prihatin, hidup sederhana dan tidak berlebihan.

Demikian 5 ajaran hidup Kanjeng Sunan Kalijaga yang mesti dicontoh, ditiru dan diteladani oleh generasi bangsa Indonesia sekarang. Generasi bangsa yang siap untuk menghargai diri sendiri dan orang lain, beribadah kepada Allah, berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara, terus mencari ilmu dan generasi yang hidup prihatin atau tidak berlebihan.