KH. Abdullah Salam Kajen

Berkenaan dengan haul Simbah KH. Abdullah Salam Kajen, rahimahuLlah, aku turunkan kembali tulisanku saat itu. Saat kudengar kepulangan orang hebat ini ke hadirat Ilahi 25 Sya'ban 1422. Mudah-mudahan ada manfaatnya.

 

MBAH DULLAH

Di Surabaya, dalam perjalanan pulang dari Jember, saya mendapat telpon dari anak saya bahwa Mbah Dullah, KH. Abdullah Salam Kajen, telah pulang ke rahamtuLlah. Innaa liLlahi wainnaa ilaiHi raaji’uun! Dikabarkan juga, berdasarkan wasiat almarhum walmaghfurlah, jenazah beliau akan langsung dikebumikan sore hari itu juga.

SubhanaLlah! Selalu saja setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang meninggal, saya merasa seperti anak-anak yang terpukul, lalu hati kecil bicara yang tidak-tidak. Seperti kemarin itu ketika mendengar Mbah Dullah wafat, secara spontan hati kecil saya ‘gerundel’: “Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?” Astaghfirullah!

Sepanjang perjalanan itu pun saya terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi mulia mbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.

Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.

Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.

Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari beliau menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.

Ketika beliau masih menjadi pengurus (Syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Seingat saya, beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.

Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb.

Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumah beliau. Saya pernah kebetulan sowan, agak kaget di rumah beliau ternyata banyak sekali orang. Belakangan saya ketahui bahwa Mbah Dullah sedang punya gawe. Menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah.

Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.

Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? 

Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).

Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau. 

Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.

Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. 

Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.

Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”

“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”

“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”

“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.

“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.

Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.

32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini.

Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah’, Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya.

Agaknya mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT.

Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.

Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.

Waba’du; sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!

Ke-’wali’-an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin-- melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.

Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.

Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 / 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam sorgaKu!”

Selamat jalan, Mbah Dullah! AnnasakumuLlah ilaa yaumi yub’atsuun! 

KH. ABDULLAH SALAM KAJEN: NELAYAN MENABUR IKAN DI LAUT?

Seorang nelayan yang sebetulnya sudah mapan, datang ke Kyai Abdullah Salam di kediamannya, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati. Maksud kedatangannya adalah untuk mengeluhkan perihal rizkinya yang akhir-akhir ini tersendat-sendat. Ia ingin ijazah do'a. 

"Kyai, akhir-akhir ini hasil tangkapan kami menurun, tolong berilah kami do'a agar hasil ikan kami melimpah?" kata tamu itu pada Kyai. 

"Bapak ini nelayan tulen?" tanya Kyai Dullah Salam. 

"Betul Kyai!" 

"Untuk menjaring ikan di laut, tentu Bapak ini memakai kapal?"

"Benar Kyai. Bahkan kami sudah punya kapal sendiri."

"Punya jaring sendiri, punya mesin sendiri, dan punya peralatan-peralatan untuk menunjang kelancaran penangkapan ikan!" sahut Kyai. 

"Betul sekali, Kyai!" 

Diam sejenak.

"Bapak ini pernah menabur bibit ikan di laut?" tanya Kyai tiba-tiba, membuat nelayan itu terkejut. 

"Tentu saja tidak, Kyai!" jawab sang nelayan agak linglung. Ia tak menduga jika akan menemukan pertanyaan demikian. Seabreg orang pandai yang pernah dikenalnya, tidak pernah menanyai demikian. Tentu tak terbayangkan jika nelayan harus menabur bibit ikan di laut agar berkembang biak dan menjadi besar-besar sebelum kemudian dijaring ikannya. Mulai dari moyang, buyut hingga kakeknya, ikan-ikan di laut tinggal saja mengeruk tanpa harus menabur anakan ikan terlebih dahulu. Dan.... tak pernah habis. 

"Bapak dan kawan-kawan pernah memberi makan ikan-ikan di laut?" tanya Kyai melanjutkan. 

"Tid.... tidak pernah Kyai!" Nelayan itu tampak makin gugup. Pertanyaan Kyai tampak kian 'ekstrim'.

"Jika demikian adanya, ya sudahlah!" kata Kyai kemudian. 

Diputusi Kyai demikian, nelayan itu tambah bingung, bukankah maksud kedatangannya minta ijazah do'a agar dapat ikan banyak?

"Tapi, kami perlu doa agar hasil kami melimpah Kyai!" Kata nelayan itu belum puas. Ia masih belum mengerti apa yang dimaksud Kyai. 

"Iya, saya tahu itu. Bapak ini setiap hari berangkat ke laut?" 

"Setiap hari Kyai!" 

"Dapat ikan?"

"Dapat Kyai! Tapi tidak sesuai dengan pengeluaran untuk perbekalan melaut! Akhir-akhir ini hasil yang kami peroleh masih merugi!"

"Baiklah. Saya ulangi lagi. Bapak pernah menabur ikan di laut dan memberi makan?"

"Tidak pernah Kyai!" 

"Jadi selama ini Bapak ini hanya mengeruk kandungan ikan di laut?"

"Begitulah Kyai. Kami hanya menangkap dan menjaring saja!" 

"Oo... jadi selama ini para nelayan itu hanya mengeruk saja?" Kyai geleng-geleng kepala. 

"Betul, Kyai. Kami hanya tinggal menjaring saja!"

"Ya sudah kalau begitu!" jawab Kyai sambil beranjak dan masuk ke dalam rumah. 

Nelayan itu tampak makin linglung, sungguh ia tidak bisa menangkap jalan pikiran Kyai Abdullah Salam. Perasaannya jadi amat gundah, apalagi jika dilihatnya wajah Kyai menyimpan rasa kekesalan pada dirinya. 

Tamu lain yang kebetulan tahu peristiwa itu kasihan juga. Mumpung Kyai masuk ke dalam kamar, tamu itu memberi penjelasan singkat pada pak nelayan. 

"Begini Pak. Maksud Kyai Dullah Salam tadi adalah, Bapak ini sebaiknya narimo saja. Jika Bapak tidak pernah merasa menabur ikan dan memberinya makan, tapi setiap hari Bapak jaring ikan-ikan di laut itu, maka adakalanya dapat banyak, adakalanya dapat sedikit. Jadi Bapak sudah baik mau berusaha mencari ikan. Jadi cobalah Bapak untuk bersyukur pada Allah yang telah menyediakan ikan-ikan di laut untuk dikeruk. Intinya adalah, berdoalah seperti biasanya dan besyukurlah, jangan suka mengeluh!" 

Demi mendengar keterangan dari tamu itu, kini nelayan itu jadi paham dan mengerti. Kini lega hatinya. Sekarang ia tahu apa yang harus diperbuatnya, yaitu belajar bersyukur.

Antara Doa dan Sugesti “ Suwuk Mbah Abdullah Salam”

Dalam beberapa hari itu, Mbah Dullah, panggilan akrab dari Kiai Abdullah Salam, selalu kebanjiran tamu yang sowan dengan membawa maksud yang beragam. Bahkan tidak jarang yangh aneh-aneh.

Salah satu dari sekian banyak tamu itu ada tamu yang datang dengan maksud minta kesembuhan. Sesampainya di hadapan Mbah Dullah, tamu itu langsung mengutarakan maksudnya , “Mbah, saya minta kesembuhan penyakit saya. Sudah bertahun-tahun saya terkena penyakit kencing manis dan kencing batu sekaligus."

Demi mendengar keluhan tamu tersebut, sepontan Mbah Dullah menjawab dengan lembut,“Sampean ini bagaimana, wong sakit begitu kok malah datang ke saya, tidak ke dokter saja?"

  

Dan tamu itu menjawab lagi, “Saya sudah ke dokter Yai, bahkan bukan hanya satu, dan tidak pernah ada perkembangannya, malah beberapa bulan ini tambah parah.”

“Sampean ini aneh,” tutur Mbah Dullah, “Lha kalau dokter saja tidak bisa menyembuhkan, apalagi saya. Wong saya ini bukan dokter, juga bukan dukun.”

Namun sang tamu itu tetap ngotot dan memelas, “Saestu, Yai. Pokoknya saya minta tolonglah, gimana caranya supaya penyakit saya ini lekas sembuh. Saya sudah hampir-hampir tidak bisa tahan lagi.”

Dan Mbah Dullah pun akhirnya berkata, “Baiklah kalalu begitu, jika memang sampean ngawur minta obat kepada saya, saya juga ngawur memberi obat kepada sampean.”Kemudian Mbah Dullah masuk sebentar dan keluar lagi sambil membawa sebotol madu. “Ini saya punya madu, asli, diminum pagi satu sendok dan sore satu sendok ya.” Terang Mbah Dullah kepada tamunya itu.

Tapi kemudian tamu jadi terheran, “Mbah Yai, penyakit saya ini penyakit kencing manis. Apa ndak malah bahaya kalau saya minum madu ini?!”

“Lho, saya tadi kan sudah bilang sama sampean, saya ini bukan dokter, juga bukan dukun,” kata Mbah Dullah, “sampean ngawur minta obat kesini, saya ngawur memberi obat sampean. Tapi meski begitu, sampean jangan meremehkan, khasiat madu ini ada dalam Al-Qur’an. Sekarang terserah sampean, mau percaya apa ndak", timpal Mbah Dullah

Akhirnya tamu itu pulang sambil membawa madu pemberian Mbah Dullah. Selang tidak berapa lama, tamu itu sembuh dari penyakitnya. Bersyukur karena penyakitnya telah sembuh, orang itu sowan lagi ke Mbah Dullah dengan membawa segepok uang yang dimasukkan amplop. Dan ketika mau di’aturkan’, Mbah Dullah lang sung bilang, “Apa di tempat sampean sudah tidak ada orang miskin? Kalau memang sampean menganggap saya miskin, ya ini saya terima. Nah, apakah sampean menganggap saya miskin?”

“Tidak, Yai”. Jawab orang tiu sambil menutupi rasa malunya.

“Ya sudah, kalau begitu uang ini sampean bawa pulang saja, berikan kepada yang lebih memerlukan. Tapi kalau sampean menganggap saya miskin, saya terima ini.

Dan akhirnya tamu itu pulang sambil membawa uangnya kembali.

Kopyah Bolong si-mbah Abdus Salam

Pagi itu Kang Wahab dan Kang Dien dengan berboncengan motor bebek pergi Kemakam Simbah KH. Abdullah Salam Kajen-Pati, rahimahuLlah yang telah satu minggu mereka rencanakan dalam rangka haul. dalam perjalanan, Kang Dien dan Kang Wahab berbincang-bincang untuk sekedar penghilang penat.

 Kang Wahab, bensin motormu udah kamu penuhi belum? tanya kang Dien yang sedang membonceng di belakang

ya udah tho... emange kenapa kang Dien?

Ya kalau tidak kamu isi penuh bensinnya bisa bahaya, karena di sepanjang jalan Jepara - Kajen  jarang sekali ada pom bensin. Jadi ya bisa susah kalau sampai kehabisan bensin.

Gak usah hawatir, apa lagi ke kajen, ke rumahu rembang pun sanggup. he.he.he...

Oh ya kang Dien, Simbah KH. Abdullah Salam Kajen itu orangnya bagaimana ya?

 

Kang Dien pun coba menjawab pertanyaan sahabat karibnya itu. Secara langsung sih aku gak begitu faham, tapi dari cerita guruku Gus Mus, Simbah KH. Abdullah Salam Kajen berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang. 

Terus kalau dilihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan … semuanya disuguh makan.

 Terus Simbah KH. Abdullah Salam Kajen kalau sifatnya bagaimana? tanya kang Wahab yang semakin penasaran

 Walaa...h sido dadi mentri penerangan iki aku, kiro-kiro ono bayarane gak? he, he, he, .... canda kang Dien

 Wes beres pokokke, mengko tak traktir.. jawab kang Wahab sambil menepuk saku celananya.

 

Kang Dien pun meneruskan ceritanya, Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, beliau termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Beliau bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.

 Tawaduk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.

 Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya?

 Ya iya sih bila diangen-angen, tapi kalau jaman sekarang yang dinilai ya rumah, kendaraan, sama uangnya. Sahut kang Wahab menjawab pertanyaan kang Dien.

Kalau gitu Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini?

 Ha, ha, ha, .... Betul, dan nilai seratus untuk kang Wahab. jawab kang Dien smbil menepuk punggung kang Wahab.

Lalu kang Dien pun melanjutkan cerinanya kembali tentang Mbah Dullah: suatu ketika Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. 

 Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.

 Kisah lain yang satu ini juga tak kalah menarik. Seru kang Dien dengan nada mantap kepada Kang wahab yang dari tadi mengendarai motor dengan santainya; pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.”

 “Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?”

 “Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”

 “Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.

 “Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

 Kang Wahab yang dari tadi terdiam mendengarkan cerita kang Dien mencoba menanggapinya. Kang Dien, Kalau dibanding jaman sekarang Mbah Dullah sangat jauh,  sebabnya Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.

 Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.

 Kang Dien: Dan begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. Agaknya beliau, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.

 Kang Wahab: “Mengapa bukan orang yang mengaku islam tapi tingkahnya korupsi dan jadi tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti mbah Dullah yang dipanggil?”

 Husss..!!

jarke wae, dongakno mugo-mugo diparingi hidayah karonan Alloh banjur tobat...amin. kan begitu kang Wahab

 

Kang Wahab: Tobat apanya, nyatanya tidak brubah babarblas. Mung etok-etok tok !

Coba lihat saat mereka tertangkap, dipersidangan dia berkamuflase pakai kopyah, apa itu namanya tidak memalukan islam?

 

Ya memalukan sih, seperti orang saat ini, Dia memekai kopyah, baju koko bahkan juga memakai kain sorban yang mana hanya untuk mengankat setatus aja dan parahnya lagi untuk cari popularitas biar dianggap pak kiai atau ustad tapi  tingkahnya tidaklah mencerminkan sama-sekali seorang ustad apalagi kiai. mereka korupsi, gemar mencakar saudaranya sendiri, wes pokoknya menyebabkan  fitnah alhasil dia menadi "laknatan llil'alamin"... 

Udah ah, ko' malah ngerasani orang, ayuk cari warung buat ganjel perutku yang udah dangdutan . Jawab kang Dien yang sudah mulai lapar

 

ayo, itu didepan ada warung... jawab kang Wahab sambil membelokkan sepeda motor kearah warung yang kebetulan sudah didepan.

Belajar Tasawuf dan Tafsir dari Almarhum KH Abdullah Salam Kajen

I. Mendaki Puncak Hening

“Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi. Mung alam tumlawung ngalangut datan patepi.” Inilah sepenggal kalimat, yang dalam tiap adegan kahyangan, pada pertunjukan wayang purwa, kalimat dalam Bahasa Jawa inilah yang sering tampil untuk menggambarkan keabadian.

Atau dalam Bahasa Indonesia kurang lebih begini: Ada terang bukan terangnya siang,ada gelap bukan gelapnya malam. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya ke-luas-an yang tanpa tepi. Yang menarik – seperti dalam buku Anom Sukatno: Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo — dalam janturan yang dilantunkan  ki dalang,  kahyangan adalah keadaan tanpa subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.

Kata suwung berbeda dengan kosong atau hampa. Suwung sebenarnya bukanlah sebuah defisit. Suwung punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati-nyaKi Ronggowarsito, menampilkan sebuah keadaan “paradoksal” dalam meditasi: Suwung Sakjatining Isi (suwung sesungguhnya berisi, yang dalam ajaran Buddha: Isi adalah kosong, kosong adalah isi). 

Bila kahyangan digambarkan sebagai suwung dan tak ada ‘rasa pribadi.’ Maksudnyabukanlah sebuah gambaran kekurangan, justru sebaliknya. Cipta, rasa dan karsa, tak ada karena tak dibutuhkan.  Keheningan itu total: “Datan Kaprabawaning Rasa Bungah lan Susah.” Yang artinya kebebasan dari pengaruh perasaan suka dan sedih. 

Manusia masa kini justru cenderung (seperti) ingin menjadi orang kuat dari luar, gagah dari luar, kaya dari luar meski terus miskin di dalam. Tapi ya sudahlah, toh saya tak ingin beretorika tetang cerita pewayangan atau tenggelam dalam budaya dan istilah jawa (meski saya bangga lahir sebagai orang  jawa dan terbiasa hidup dalam lingkungan nahdliyin).

Saya hanya ingin mencoba belajar bagaiman menghargai hidup, belajar untuk rendahdiri, belajar menghargai kebebasan orang lain dalam bersikap, menghargai bagaimana menjadi “kaya” dalam arti sesungguhnya, balajar dan belajar untuk –jika mungkin-- mencapai kesempurnaan hidup.

II. Samudra Jiwa

Belajar rendah diri? Atau ingin menjadi kaya? Saya jadi teringat tentang ceritasosok almarhum KH Abdullah Salam Kajendari Polgarut Kajen, Pati, Jawa Tengah. Cerita ini pernah saya dengar dari orang tua dan kyai saya, almarhum Abah Saudi Effendi dari Jombang, serta cerita-cerita dari beberapa kyai yang pernah saya kunjungi.

Dalam cerita itu, Mbah Dullah, begitulah orang-orang biasa menyapa KH Abdullah Salam Kajen, adalah orang yang cukup “kaya raya.” Padahal, melihat penampilan dan rumahnya tidaklah “lebih baik” dari gotakan seperti tempat tinggal santri-santrinya yang sederhana.

Melihat bangunan empat persegi milik Mbah Dullah ini, mungkin orang menganggapnya miskin, atau minimal tidak kaya. Tapi jangan salah, setiap minggu sekali, Mbah Dullah selalu menggelar pengajian yang diikuti ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya disuguhi makan gratis.

Tradisi Mbah Dullah inilah, yang kemudian –yang mungkin juga berkaca dari ajaran Mbah Dullah, yang selalu memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW-- di sekitar awal Tahun 90-an, di tempat kyai saya (semasa hidup beliau), di Sambong Dukuh, Jombang, tiap seminggu sekali menggelar istighosa bersama para santri dan juga banyak dihadiri beberepa jama’ah di luar pesantren, yang semuanya, selain tausiah yang menyejukkan hati, juga mendapat makan gratis, seperti yang kerap dilakukan Mbah Dullah.

Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari Mbah Dullah juga menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyakpun beliau terima dan ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.

Ketika beliau masih menjadi pengurus (syuriah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. Beliau tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul Masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang.

Dalam sebuah catatan Gus Mus (KH Mustofa Bisri) yang pernah saya baca, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang dan Mantan Rais PBNU ini bercerita: Pada saat pembukaan Muktamar NU ke 28 di Situbondo, panitia meminta beliau –atas usul Kyai Syahid Kemadu— untuk membuka muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan beliau jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.

Semasa kondisi tubuh beliau masih kuat, beliau juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin Khataman Qur’an, menikahkan orang, memimpin doa dan sebagainya. Ketika kondisi beliau sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acara di rumah beliau. Bahkan, beliau pernah menikahkan tiga pasang calon pengantin dari berbagai daerah di gubuknya yang kecil.

III. Melayani Bagian dari Memberi

Meskipun sangat disegani dan dihormati, termasuk oleh kalangan ulama sendiri, Mbah Dullah termasuk ulama’ yang menyukai musyawarah. Kyai sepuh Haamilul Qur’an ini bersedia mendengarkan,bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Beliau rela meminjamkan telinganya hanyauntuk sekadar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat “tawadluk” dan kedermawanan beliau yang sudah diketahui banyak orang.

Tawadluk atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan.

Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatan beliau ditopang kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, di samping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kyai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta.

Menjadi pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? Ya, Mbah Dullah adalah tokoh langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah di’wakaf’kan untuk masyarakat. Bukan saja karena beliau punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas. Lebih dari itu,sepanjang hidupnya, Mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).

Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung, tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana Mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi Mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekadar menerima imbalan jasa-- merupakan salah satu pantangan utama beliau.  

 

Beliau tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersama’. Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji.

Inilah inti dari penciptaan manusia. Pusat dari kehidupan di alam fana. Tujuan hidup manusia adalah untuk bersujud pada sang pencipta seru sekalian alam. Inilh pusaka kehidupan sesungguhya. Bukam keris, tombak atau ilmu kesaktian yang didapat dari semedi atau ulah kanuragan. “Wamakhalakuljinnati wal insan illaliya’budhuun.” Yang artinya: Dan sesungguhnya Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah kepada-Ku.

IV. Sepenggal Cerita dari Gus Mus

Dalam cerita Gus Mus, di pesantren Mbah Dullah, pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kyai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami Mbah Dullah dengan salam tempel (bersalaman dengan menyelipkan uang). Spontan Mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jama’ah yang mengaji tidak usah bersalaman dengan beliau sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” kata beliau. 

Foto: Cermin Kesederhanaan Mbah Dullah

Konon orang kaya itu kemudian diajak beliau ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata beliau kepada tamunya itu. Memang hanya hamba yang faqir ilaLlah-lah, seperti Mbah Dullah, yang sebenar-benar orang kaya. Kisah lain: Pernah suatu hari datang menghadap beliau, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada Mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini mbah, sedekah kami ala kadarnya.” Kemudian dijawab Mbah Dullah dengan tanya: “Di tempat sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya Mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, dan kembali beliau berkata: “Kok sampeyan repot-repot membawa sedekah ke mari?”

Lalu dijawab oleh orang tadi: “Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah. Semua sudah saya beri.” Disahut lagi dengan pertanyaan oleh Mbah Dullah:“Apa sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya Mbah Dullah lagi. “Yaenggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum selesai bicaranya, Mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, sampeyan bawa kembali uang sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!”

Kisah yang beredar tentang ‘sikap kaya’ Mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya. “Untuk bisa seperti itu, harus ‘ngaji urip’ dulu Wak Bayan (panggilan kecil saya). Orang harus sanggup hidup untuk menghidup-hidupi,” seloroh teman yang biasa saya sapa Mbah Gelung atau oleh santri yang lain akrab dipanggil Wong, karena sikapnya dan penampilannya yang aneh bin ghoib. 

V. Memelihara yang Lama dan Mengambil yang Lebih Relevan

Mbah Dullah ‘memiliki,’ di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kyai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh, termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal. 

32 tahun Pemerintah Orde Baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan,’ jangan coba-coba memasuki madrasah ini.

Ini bukan berarti madrasah Mbah Dullah itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali tidak! Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiemis shaalih wal akhdzu bil jadiedil ashlah.’

Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, Madrasah Mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan hanyalah karakternya.

Foto: Gus Mus Baca Puisi

Agaknya Mbah Dullah –rahimahuLlah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam,’ yang gagah ‘dari dalam,’ yang kaya ‘dari dalam’ sebagaimana beliau sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT. Bila benar inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi Mbah Dullah.  Di zaman kini: Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat, meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah, meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah, meski setiap saat terus merasa kekurangan.Waba’du, sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan Mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib, dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal, dapat menyembuhkan segala penyakit, dan sebaginya dan seterusnya. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekadar semacam dukun saja. Masya Allah!

VI. Jiwa Mbah Dullah Seteduh Pohon Bidara

Foto: Kenangan Almarhum Mbah Dullah Bersama Gus Dur

Ilustrasi Gambar: Kuda Pengantar Rasulullah

Ke’wali’an Mbah Dullah –waLlahu a’lam-- justru karena sepanjang hidupnya, beliau berusaha --dan membuktikan sejauh mungkin-- melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW, terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatan beliau, baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya.

Begitulah, Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu, telah 10 tahun meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Bahkan, menjelang kematiannya dan ketika nfasnya terhentipun, seperti semasahidupnya, beliau tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya.Beliau sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal. 

Dan Ahad, 25 Sya’ban 1422 (11 November 2001) sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatuLlah, wasiat beliau pun dilaksanakan. Beliau dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba sejati-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku!”

SubhanaLlah! Selalu saja, setiap kali ada tokoh langka yang dicintai banyak orang,Allah selalu memanggilnya terlebih dahulu. Bahkan, kyai sekelas Gus Mus, merasa seperti anak-anak yang terpukul ketika mendengar berita meninggalnya Mbah Dullah, lalu hati kecilnya –seperti yang pernah ditulisnya ketika usai menghadiri haul Mbah Dullah-- bicara yang tidak-tidak: “Secara spontan hati kecil saya ‘gerundel.’ Mengapa bukan koruptor dan tokoh-tokoh jahat yang sibuk pamer gagah tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak itu yang dicabut nyawanya? Mengapa justru orang baik yang dicintai masyarakat seperti Mbah Dullah yang dipanggil? Astaghfirullah!”

Sepanjang perjalanan menuju rumah Mbah Dullah, kyai asal Rembang itu pun terus diam dengan pikiran mengembara. Kenangan demi kenangan tentang pribadi muliaMbah Dullah, kembali melela bagai gambar hidup.

Kyai berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.

Dan sosok Mbah Dullah inilah seperti yang saya maksud: Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi. Mung alam tumlawung ngalangut datan patepi. Keindahan dan keteduhan sorga, seperti yang digambarkan Al Qur’anulkarim, akan tanpak ketika kita menatap keteduhan wajah-wajah waliyuLlah.Kita seolah berada di bawah bayangan Pohon Bidara yang dikelilingi telaga susu dan telaga madu. SubkhanaLlah!*** Sumber: buku-buku seni pewayangan, serat jawa kuno, Tempo (catatan pinggir) dan kumpulan kisah dari beberapa ulama' langitan.