Ma’ruf Al-Karkhy

Nama lengkapnya adalah Ma'ruf bin Faizan Abu Mahfudz al-Ibid bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad,  Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan  Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah, namun para ahli sejarah tidak ada yang mengetahui tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan. Beliau adalah seorang sufi yang dikenal dengan Al-Karkhi, sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama tempat kelahirannya Al-Karkhi.Beliau dibesarkan di Baghdad dan dikota itu pula beliau menimba berbagai macam ilmu kepada para ulama fiqih dan memperdalam ilmu tasawuf kepada para sufi terkenal. Dari pergaulan dengan para sufi itulah membawa beliau menjadi seorang zahid. Sealain belajar di Baghdad, beliau juga mengembara kenegeri-negeri lain untuk menambah wawasan keilmuannya. Pengembaraan itu membawa dirinya banyak dikenal di negerri orang dan ia pun banyak dikunjungi banyak orang sehingga ia bukan hanya dikenal oleh penduduk bumi, namun juga dikenal oleh penghuni langit.Menurut pakar sejarah, kedua orang tuanya memeluk agama Kristen dan menurut yang lain menganut agama Sabiah. Diriwayatkan katika Ma’ruf al-Karkhi pada usia meningkat remaja ia sangat menentang ajaran gurunya yang mengatakan bahwa Allah merupakan salah satu oknum Tuham. Ma’ruf al-Karkhi menentang pendapat ini katanya Tuhan hanya satu. Karena pendapatnya yang berbeda dengan pendapat gurunya, ia dipukul oleh gurunya dan ia melarikan diri dan bersembunyi. Karena kedua orang tuanya telah kehilangan anak yang dicintainya dan mengharap kepulangan anaknya dan orang tuanya berjanji kalau anaknya mau pulang agama apa saja yang dipeluk anaknya dianut juga oleh kedua orang tuanya. Setelah sekian lama ia memeluk agama Islam di bawah bimbingan Ali bin Musa al-Ridha, setelah ia pulang dengan mengatakan bahwa ia telah memeluk agama Islam yang kemudian disusul oleh kedua orang tuanya.

Ma’ruf al-Karkhi mempelajari agama Islam melalui sejumlah ulama di Bagdad yang di antaranya Daud al-Thai. Bakar bin Humais dan Farqad as-Sabukhi. Karena ketekunannya dan ketabahannya dalam menuntut ilmu pengetahuan dan khususnya ilmu tasawuf, ia berhasil menjadi sesufi yang terkemuka di Bagdad. Ia membuka halaqah pengajian dan di antara murid-muridnya yang terkenal di kemudian hari adalah Sari al-Saqati. Sebagai sesufi ia juga dikenal di kalangan fukaha sebagai seorang fakih. Diriwayatkan ada dua orang fakih Bagdad yang terkemuka; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Main berdiskusi tentang sujud sahwi dan keduanya belum sepakat. Untuk lebih lanjut mereka berdua ingin menanyakan pendapat Ma’ruf al-Karkhi. Ma’ruf al-Karkhi menjawab dari sudut pendang tasawuf katanya: sujud sahwi merupakan hukuman kepada hati karena lalai mengingat Allah.

Ma’ruf al-Karkhi menurut pada peneliti tasawuf sebagai tokoh yang memperkembangkan ajaran tasawuf. Ia menambah hasil perolehan jiwa dari cinta yang telah ditemukan oleh Rabiatul Adawiyah. Menurutnya cinta harus dilanjutkan sampai ke titik thuma’ninah (ketenangan) jiwa. Karena cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf. Kebahagiaan yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai melalui ma’rifah (pengenalan) akan yang dicinta. Apabila yang dicintai telah dikenal, terwujudlah kebahagiaan dan ketenteraman dalam hati dan kecillah segala urusan kebendaan dalam penglihatan hati. Ma’ruf al-Kakhi dipandang oleh para peneliti tasawuf sebagai tokoh penting yang merupakan pengembang ajaran tasawuf yakni memunculkan teori baru dalam tasawuf ialah melalui mencari ma’rifah sebagai inti ajaran tasawufnya. Kalau dahulu ajaran tasawuf baru berkisar berupa ajaran zuhud dan tekun beribadah untuk memperoleh keredhaan Allah. Pandangan ini berdasarkan penelitian kepada makna tasawuf itu sendiri. Di antara makna tasawuf yang dibawakan Ma’ruf al-Karkhi ialah tasawuf adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di tangan makhluk. Mencari hakikat tidaklah berbeda dengan mencari ma’rifat itu sendiri karena ma’rifat adalah ujung ilmu pengetahuan yang dikembangkan sufi ialah ilmu syariat, ilmu thareqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.

Ma’ruf al-Karkhi menurut sufi sebagai shufi yang dikuasai oleh perasaan cinta yang membara kepada Allah seperti halnya Rabiatul Adawiyah. Berkenaan dengan cinta kepada Allah Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui pengajaran ia merupakan pemberian atau kurnia Tuhan. Pernyataan ini yakni cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk maqam (posisi yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal (keadaan jiwa) yang dikurniakan Allah.

Menurut para peneliti Barat yang di antaranya Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya. Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu ialah Kristen atau Sabiah. Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau renungannya dalam tasawuf.

Menurut sufi martabat yang tinggi yang dicapai oleh Ma’ruf al-Karkhi tidak disangsikan lagi. Mereka beralasan dengan mimpi Ahmad bin Fath yang bertemu dengan Bisyir bin Haris yang telah wafat lebih dahulu. Ahmad bin Fath menyatakan tentang keadaan yang dialami Ma’ruf al-Karkhi dirinya diampuni Allah. Kulihat Ahmad bin Hanbal berdiri sedang antara mereka terdapat pembatas. Karena Ma’ruf al-Karkhi menyembah Tuhan bukan mengharap surga, tidak pula karena takut kepada neraka, karena itu ia diangkat ke tempat yang tinggi yang tidak ada pembatas antaranya dengan Tuhan. Begitulah pengakuan orang-sufi tentang martabat Ma’ruf al-Karkhi.

Menurut sufi bahwa Ma’ruf al-Karkhi seperti halnya para zahid dan shufi lainnya. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan shufi memiliki banyak keramat yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia berdoa dalam shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun.

Kemudian di belakangnya datang lagi Haris al-Muhasibi, yang menambah ajaran tasawuf Ma’ruf al-Karkhi dengan persatuan (ittihad). Haris al-Muhasibi nama lengkapnya Abu Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri adalah ulama yang namanya sangat menonjol dalam bidang tasawuf di zamannya. Ia dilahirkan di kota Basrah pada tahun 165 H/781 M kemudian pindah ke Bagdad ibu kota negara Bani Abbasiyah dan meninggal di kota itu pada tahun 242 H/895 M pada usia 78 tahun.

Pada awal kehidupan intelektual al-Muhasibi berkecimpung dan menggeluti ilmu hadis dan tasawuf sehingga ia sangat matang dalam kedua ilmu itu. Al-Muhasibi menimba ilmu hadis dan fikih dari para ulama yang terkenal di zamannya. Di antaranya guru-gurunya dalam fikih ia belajar dengan Imam Syafi’i, Abu Ubaid al-Qasimi bin Salam, dan Kadi Abu Yusuf. Dan dalam bidang ilmu hadis ia belajar dengan Hasyim, Syuraih bin Yunus, Yazid bin Haran, Abu an Nadar, dan Suwaid bin Daud.

Al-Muhasibi tidak seperti ulama-ulama hadis dan fikih di masa itu yang membatasi telaahan pada bidang yang ditekuninya tetapi al-Muhasibi juga memberikan perhatian besar terhadap perkembangan politik dan kehidupan sosial. Perkembangan pemikiran teologi Islam (ilmu kalam) di masanya, diikutinya denga seksama, ia mempelajari dan memahami dengan baik pemikiran Mu’azilah, Syi’ah, Khawarij, jabariyah, dan Qadariyah. Sekalipun al-Muhasibi tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah namun aliran ini sangat mempengaruhi cara berpikirnya di antaranya menghargai akal dalam memahami agama dan untuk mencapai kebenaran. Dalam dua ilmu yang ia tekuni, ia juga menelaah perilaku dan ucapan-ucapan para zahid (ahli ibadah) yang hidup sebelumnya, seperti Hasan Basri, Iberahim bin Adham, Daud al-Thai dan Fudhail bin Iyad dan juga pemikiran-pemikiran para zahid di zamannya seperti Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, Bisyar Khafi, Zi Nun al-Misri dan Sirri al-Saqati.

Telaahannya yang begitu luas yang menjadikan dirinya menjadi ulama terkemuka di zamannya. Persaksian dari tiga orang penulis sejarah tasawuf di belakangnya mengakui keluasan wawasan ilmu al-Muhasibi seperti al-Qusyairi yang menulis dalam bukunya “al-Risalah al-Qusyairiyah” menyatakan al-Muhasibi adalah seorang ulama yang tidak ada tolok bandingnya di zamannya, baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang tasawuf. Al-Tamimi menggambarkan bahwa al-Muhasibi merupakan imam kaum muslimin dalam bidang hadis, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dan Ibnu Khaldun menulis dalam bukunya “Al-Muqaddimah” mengakui al-Muhasibi menghimpun ilmu fikih batin, ilmu fikih lahir, ilmu fikih wara’, dan ilmu akhirat.

Di samping ilmu-ilmu yang dimilikinya al-Muhasibi dalam bidang hadis dan fikih, ia juga menggeluti ilmu dalam bidang tasawuf bahkan namanya sangat populer di kalangan para shufi. Ia mempelajari tasawuf pada usia tiga puluh tahu, dalam pengakuannya katanya “telah berlalu masa selama tiga puluh tahun dan selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari kepalaku. Kemudian berlalu pula masa selama tiga puluh tahun yang selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari Allah”.

Dalam ungkapan di atas, ia menegaskan setelah ia bergaul selama tiga puluh tahun dengan ilmu pengetahuan yang memerlukan analisa pemikiran seperti fikih dan ilmu kalam, ia berpindah ke bidang ilmu tasawuf untuk membersihkan batinnya, mempertajam kesadaran hatinya agar memperoleh bisikan suci dari Allah. Kesungguhannya untuk menggabungkan dan menjaga kebersihan batinnya luar biasa. Ia selalu mengadakan perhitungan (muhasabah) sehingga ia digelar al-Muhasibi, ia selalu memperhitungkan semua aktivitas batinnya.

Sebagai seorang sufi yang terkenal beliau mempunyai beberapa keistimewaan dan kelebihan, antrara lain sebagai berikut :

Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya.  Kebesarannya diakui berbagai golongan

Nama sufi ini tidak terlalu  populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuler Syekh  Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah  Ma'ruf Al-Karkhi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia  Tasawuf yang jiwanya selalu 

diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada  sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi  sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sirry Al-Saqaty, yang terpengaruh  gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus  Rabi'ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.

Menurut  Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya,  orang tua Ma'ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru  sekolahnya berkata, "Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga", tapi Ma'ruf membantah, "Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa."

Mendengar  jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma'ruf tetap dengan  pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma'ruf  melarikan diri. Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia  pergi, orang tua Ma'ruf berkata, "Asalkan ia mau pulang, agama apapun  yang dianutnya akan kami anut pula. "Ternyata Ma'ruf menghadap Ali bin  Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.

Tak  beberapa lama, Ma'ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. "Siapakah itu" tanya orang tuanya. "Ma'ruf", jawabnya. "Agama apa yang engkau anut?" tanya orang tuanya. "Agama Muhammad, Rasulullah", jawab Ma'ruf.  Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun langsung memeluk Islam.

Cinta  Ilahiyah

Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud Al-Tsani,  ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu  menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang  sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu  tasawuf dan 

mengembangkan paham cinta Ilahiah.

Menurut Ma'ruf,  rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar,  melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran  tasawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma'ruf  merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT.  Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma'ruf Al-Karhy yang  pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah  yang mendefinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap  zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.

Masih menurut Ma'ruf,  seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu  yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak  mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan,  sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang  salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti  Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan  yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah  SWT.

Gambaran tentang Ma'ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya  sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, "Kulihat ada goresan  bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak  terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?"Ma'ruf pun menjawab,  "Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal  yang berfaedah bagimu."

Tapi Manshur terus mendesak. "Demi Allah, jelaskan kepadaku", maka Ma'ruf pun menjawab. "Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka'bah. Doaku itu  terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan  mukaku terbentur sehingga wajahku luka."

Pada suatu hari Ma'ruf  berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda  yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda  itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma'ruf mendesak agar gurunya  berdo'a kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal.  Maka Ma'ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia  berdoa, "Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka  kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat  nanti." Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. "Tunggulah sebentar,  kalian akan mengetahui rahasianya", ujar Ma'ruf.

Beberapa saat  kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma'ruf, mereka  segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan  gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma'ruf dan bertobat. Lalu kata  Syekh Ma'ruf kepada muridnya, "Kalian saksikan, betapa doa kalian  dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun juga."

Ma'ruf  mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur  melihat Ma'ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing.  Menyaksikan itu pamannya berseru, "Tidakkah engkau malu makan roti  bersama seekor Anjing?" maka sahut sang kemenakan, "Justru karena punya  rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin." Kemudian  ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat  kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma'ruf. Lalu  katanya kepada sang paman, "Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala  sesuatu akan malu pada dirinya". Mendengar itu, pamannya terdiam, tak  dapat berkata apa-apa.

Suatu hari beberapa orang syiah mendobrak  pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma'ruf hingga  tulang rusuknya patah. Ma'ruf tergelatak dengan luka cukup parah,  melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, "Sampaikan wasiatmu yang  terakhir", maka Ma'ruf pun berwasiat. "Apabila aku mati, lepaskanlah  pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin meninggalkan dunia ini dalam  keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku."

Sarri  as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat  Ma'ruf tengah memunguti biji-biji kurma. "Apa yang sedang engkau  lakukan?" tanyaku.

Ia menjawab, "Aku melihat seorang anak  menangis. Aku bertanya, "Mengapa engkau menangis?" ia menjawab. "Aku  adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu, Anak-anak yang lain mendapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka  juga dapat kacang, sedangkan aku tidak," lalu akupun memunguti  biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan  kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama  anak-anak lain. "Biarkan aku yang mengurusnya," kataku.

Akupun  membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat  gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan  sejak saat itu, akupun berubah.

Suatu hari Ma'ruf batal wudlu. Ia  pun segera bertayamum. Orang-orang yang melihatnya bertanya,  "Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?" Ma'ruf menjawab,  "Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu."

Ketika  Ma'ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang berta'ziyah,  Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para  sahabatnya membaca wasiat almarhum: "Jika ada kaum yang dapat mengangkat  peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka". Kemudian orang  Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika  tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Makruf al-Karkhi, ada yang menyebutnya Ma’ruf al-Karkhi  yang meninggal tahun 200 H. Menurut Makruf al-Karkhi, tasawuf ialah menimba hakikat realitas-realitas dan berputus asa terhadap apapun yang di tangan mahluk. Tasawuf menurut Makruf al-Karkhi, didasarkan pada syariah dan tuntutan-tuntutan amal ibadah maupun ketaatannya. Sekalipun  tasawuf menafikan perbantahan secara teoritis tentang persoalan agama (Islam) serta lebih menekankanpelaksanaan ibadah dalam hal ini al-Sulami berpendapat,: “Jika Allah menghendaki kebaikan atas seorang hamba-Nya, maka dia bukakan baginya pintu gerbang amal serta Dia tutupkan baginya pintu gerbang perbantahan. Dan jika Allah menghendaki keburukan atas seorang hamba-Nya, maka Dia tutupkan baginya pintu gerbang amal serta Dia bukakan baginya pintu gerbang perbantahan.

 Menurut Makruf al-Karkhi, ilmu itu haruslah berkaitan dengan amal, “Jika seorang alim beramal dengan ilmunya, maka akan luruslah kalbu orang-orang yang beriman, dan akan dibenci oleh orang-orang yang kalbunya sakit.” Makruf al-Karkhi

Pendapat Syeikh Ma’ruf Al Karkhi Soal Maulid 

Suatu hari ketika sedang berpuasa Sunah, Maruf Al Karkhi rahimahullah berjalan melewati seorang yang membagi bagikan air secara gratis. Dengan suara lantang lelaki itu berkata :

Semoga Allah merahmati orang yang mau minum air ini

Mendengar ucapannya, Ma’ruf Al-Karkhi rahimahullah berhenti dan meminum air tersebut.

Bukankah engkau sedang berpuasa”? Tanya seseorang kepadanya. Benar, tetapi aku berharap mendapat rahmat Allah sebagaimana doa lelaki tersebut. (Abul Qashim “Abdul Karim Bin Hawazin, Ar Risallatul Qusyairiyah, Darul Khair hal 427-428)

Syeikh Ma’ruf Al Karkhi rahimahullah sangat memperhatikan majelis Maulid Nabi. Dalam salah satu nasihatnya, beliau radhiyallahu anhu berkata :

Barang siapa mempersiapkan makanan, mengumpulkan teman teman, menyalakan lampu, mengenakan pakaian baru , memakan parfum dan menghias dirinya untuk membaca dan mengagungkan mauled rasul, maka kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkan bersama para Nabi, orang orang yang berada dalam barisan pertama. Dia kan ditempatkan di Illiyyin yang tertinggi (Abu Bakar Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Ianathuth Thalibin Darul Fikr, juz3, hal 255)

Obat Mujarab

al-Imam al-Hafidz Abul Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzi merupakan imam pembesar madzhab Hanabilah. Dalam sebuah kitabnya yang berjudul Bahr ad-Dumu' (بحر الدموع), beliau menyebutkan sebuah kisah menarik tentang Imam Ma'ruf al-Karkhi, juga sedikit menuturkan tentang Imam Ahmad bin Hanbal. 

 

كان أبو محفوظ معروف الكرخي قد خصّه الله بالاجتباء في حال الصبا، يذكر أن أخاه عيسى قال: كنت أنا وأخي معروف في المكتب، وكنا نصارى، وكان المعلم يعلم الصبيان: "أب" و"ابن" فيصيح أخي معروف: "أحد أحد" فيضربه المعلم على ذلك ضربا شديدا، حتى ضربه يوما ضربا عظيما، فهرب على وجهه.

Imam Abu Mahfudh Ma’ruf al-Karkhi (Salaf ‘Alim Sufi) sungguh telah mendapat kemulyaan disisi Allah Ta’alaa sejak masih kecil. Saudaranya yakni ‘Isaa berkata : “aku bersama saudaraku Ma’ruf disebuah maktab, ketika itu kami masih nashrani, pengajar mengajarkan anak-anak tentang (Tuhan) bapak dan anak. Namun, saudaraku Ma’ruf berteriak “Ahad Ahad”, maka pengajar memukulnya dengan pukulan-pukulan yang keras, maka kemudian Ma’ruf kabur.

 

وكانت أمه تبكي وتقول: لئن ردّ الله عليّ معروفا، لأتبعنّه على أي دين كان، فقدم عليها معروف بعد سنين كثيرة، فقالت له: يا بنيّ، على أي دين أنت؟ قال: على دين الإسلام، فقالت: أشهد أن لا اله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله، فأسلمت أمي وأسلمنا كلنا.

Sedangkan ibunya menangis saraya mengatakan : “seandainya Allah (Tuhan) mengembalikan Ma’ruf kepadaku, niscaya aku akan mengikutinya yakni mengikuti agamanya. Maka setelah lebih dari dua tahun Ma’ruf kembali, maka ibunya berkata kepadanya : “wahai putraku, apakah agamumu ? Ma’ruf berkata : “aku beragama Islam”, Ibunya berkata : “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka ibuku masuk Islam dan kami semua juga masuk Islam”.

 

وقال أحمد بن الفتح: رأيت بشر بن الحارث في منامي وهو قاعد في بستان بين يديه مائدة وهو يأكل منها، فقلت: يا أبا نصر, ما فعل الله بك؟ قال: رحمني وغفر لي، وأباح لي الجنة بأسرها، وقال لي: كل من جميع ثمارها، واشرب من أنهارها، وتمتع بجميع ما فيها، كما كنت تحرم نفسك عن الشهوات في دار الدنيا.

Ahmad bin al-Fath berkata : “aku melihat Bisyr bin al-Harits didalam mimpiku, ia duduk di disebuah taman yang dihadapannya ada hidangan dan ia memakannya. Aku berkata : “wahai Abu Nashr, apakah yang telah Allah lakukan kepada engkau ?. ia berkat : “Allah telah merahmatiku dan memberikan pengampunan kepadaku, serta memberikan surga beserta isinya kepadaku. Allah mempersilahkan kepadaku : “makanlah dari seluruh buah-buahnya, minumlah dari sungai-sungainya, serta nikmatilah seluruh apa yanga didalamnya sebagaimana engkau pernah mengharamkan (mencegah) atas dirimu sendiri dari syahwat-syahwat ketika berada di dunia”.

 

فقلت له: فأين أخوك أحمد بن حنبل؟ فقال: هو قائم على باب الجنة يشفع لأهل السنة ممن يقولون: القرآن كلام الله غير مخلوق.

Aku berkata (tanya lagi) kepadanya : dimanakah saudaramu yakni Ahmad bin Hanbal ?, ia berkata : Ia berdiri di pintu surga sedang memberikan syafa’at kepada Ahl Sunnah yakni mereka yang berkata bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk”.

 

فقلت له: وما فعل الله بمعروف الكرخي؟ فحرّك رأسه، وقال هيهات هيهات! حالت بيننا وبينه الحجب. إن معروفا لم يعبد الله شوقا إلى جنّته، ولا خوفا من ناره، وإنما عبده شوقا إليه، فرفعه إلى الرفيق الأعلى، ورفع الحجاب بينه وبينه.

Aku berkata (tanya lagi) kepalanya : apakah yang Allah perbuat kepada Ma’ruf al-Karkhi ? Ia menggerakkan kepadanya, kemudian ia berkata ; sungguh jauh, sungguh jauh, antara kami dan dia terpisah oleh hijab-hijab (banyak hijab). Sungguh Ma’ruf tidak menyembah Allah karena berharap kepada surga-Nya, tidak pula karena takut kepada neraka-Nya, karena itu ia diangkat ke sisi-Nya (ilaa Rafiqil A’laa), dan dihilangkan hijab antara ia (Ma’ruf) dan Rabb-Nya.

 

ذلك الترياق المقدس المجرّب، فمن كانت له إلى الله حاجة، فليأت قبره، وليدع، فانه يستجاب له إن شاء الله تعالى

Itulah obat suci yang mujarab, maka barangsiapa memiliki hajat kepada Allah,hendaknya ia mendatangi kuburan Ma’ruf al-Karkhi, dan berdo’ah disana. Maka sesungguhnya akan terkabul keinginannya, InsyaAllah Ta’alaa.

 

بحر الدموع  للإمام الحافظ جمال الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد الجوزي

Al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi RA:kubur/ Makam Al-Syeikh Ma'ruf Al-karkhi adalah tiryaaq (penawar) yang mujarrab (sebagai sebab) untuk menunaikan/ dikabulkan segala hajat

 ---------------------------------

-----------------------------------

Al-Syaikh Ma'ruf al-Karkhi QS atau nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma'ruf bin Fairuz al-Karkhi adalah seorang wali besar yang dimakamkan di Kota Baghdad (di sebelah adalah foto makam beliau). Al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi RA dalam "Syarhul 'Ainiyyah" halaman 64 - 67 menyebut antara lain:-

"Beliau adalah seorang syaikh besar yang mustajab do'anya, penduduk Baghdad beristisqa' dengan kuburnya (yakni bertawassul dengan beliau untuk memohon Alloh menurunkan hujan) dan menyatakan bahwa kuburnya itu adalah tiryaaq mujarrab (penawar yang mujarrab)..... barang siapa yang ada hajat kepada Alloh, maka berdo'alah kepada Alloh di sisi kuburnya (yakni kubur Al-Syaikh Ma'ruf), sesungguhnya Alloh akan mengabulkan permohonannya. Dan sebagian 'ulama' menyatakan bahwa kubur/ Makam Al-Syeikh  Ma'ruf Al-karkhi adalah tiryaaq (penawar) yang mujarrab (sebagai sebab) untuk menunaikan/ dikabulkan segala hajat."

Al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi Ra tersebut mengutip pernyataan para 'ulama' sebelum beliau mengenai keutamaan Syaikh Ma'ruf, antaranya sebagaimana yang disebut oleh guru beliau sendiri yaitu al-Habib 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad RA.

Maka telah menyebut al-Imam al-Quthub al-Habib 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad rahimahumUlloh dalam karya beliau "Sabilul Iddikar" halaman 64 sebagai berikut:-

"Demikian pula apabila menziarahi kubur-kubur para sholihin maka perbanyakkanlah berdoa di sisinya kerana di antara mereka ada yang Allah jadikan doa di sisi kuburnya mustajab. Perkara seumpama ini mujarrab sehingga penduduk Baghdad menamakan kubur as-Sayyid al-Imam Musa bin al-Imam Ja'far ash-Shoodiq sebagai "at-Tiryaaq al-Mujarrab", iaitu kerana mustajabnya segala doa dan jadi sebab tersingkapnya segala keperluan. Dan demikianlah pula dengan kubur Ma'ruf al-Karkhi dinamakan sedemikian juga dan adalah kuburnya di Baghdad juga."

Rasanya sejarah hidup Syaikh Ma'ruf telah dikenali ramai. Di sini kita bawakan sekelumit mengenai tawadhu` dan khumulnya beliau. Diceritakan bahawa pada satu hari Syaikh Ma'ruf sedang berpuasa sunnat. Tiba-tiba beliau mendengar seorang saudagar berteriak dengan katanya: "Semoga Allah merahmati orang yang sudi meminum airku ini." Mendengar suara saudagar tersebut, Syaikh Ma'ruf telah menghampirinya dan meminum air yang diberikan oleh si saudagar tersebut, walaupun sebelumnya beliau berpuasa. Murid-murid beliau kehairanan dengan tindakan Syaikh tersebut, lalu ada yang bertanya: "Bukankah tuan sedang berpuasa?" Syaikh Ma'ruf al-Karkhi menjawab: "Ya, tetapi aku berbuka dan meminum airnya kerana ingin termasuk dalam doanya (yakni ingin memperolehi doa rahmatnya tadi)."

Allahu ... Allah, lihatlah bagaimana khumulnya Syaikh Ma'ruf yang meninggalkan puasa sunnatnya semata-mata ingin mendapat doa si saudagar tersebut. Bayangkanlah di mana darjat Syaikh Ma'ruf dan di mana pula maqam si saudagar tersebut. Mungkin ada di antara kita yang tidak atau kurang menghargai doa orang lain, dengan anggapan bahawa kita sendiri pun tahu untuk berdoa maka tidak perlulah kepada doa orang lain. Sebenarnya, perasaan sedemikian adalah petanda bahawa dalam diri kita masih ada unsur bangga diri atau membesarkan diri dan kurangnya tawadhu` dan khumul. Juga jangan lupa pada kehebatan tawadhu` Junjungan Nabi SAW yang sanggup berpesan doa daripada Sayyidina `Umar RA, dan demikian juga tawadhu`nya Sayyidina 'Umar RA dan Sayyidina 'Ali sehingga sanggup memohon doanya Sayyidina 'Uwais RA.

Berapa ramai yang tidak mahu mengaminkan doa imamnya setelah sholat berjemaah atas alasan -"Ya semua orang boleh berdoa masing-masing, jadi apa perlu aku mengaminkan doa orang lain, aku sendiri pun boleh berdoa". Mungkin ada yang terlintas begitu di benaknya apabila bangkit meninggalkan jemaah yang sedang mengaminkan doa imam. Teringat akan kata-kata seorang guru - "Orang dulu setelah sholat wiridannya Allahumma antas Salam, sekarang ramai yang wiridannya Allahumma lantas jalan." Alasan-alasan bid`ah dan sebagainya hanya seumpama serbuk perasa untuk menyedapkan keegoan diri. Moga Allah lenyapkan sikap bangga diri kita dan menjadikan kita insan yang khumul berkat Syaikh Ma'ruf al-Karkhi .... al-Fatihah.