Manaqib Syaikh Abdul Qadir al Jailani
Yang istimewa dari manaqib ini adalah diambil dari karya Imam Ibn Hajar Asqalani, seorang ulama hadits yang terkenal kehati-hatiannya. Beliau jarang membahas tentang tasawuf (sufi), sehingga karya yang diambil dari kitab kecil ini perlu mendapat perhatian. Karya tidak diambil semuanya, hanya dicuplik sebagian kecil saja. Jika ingin menelaah seluruhnya, silakan baca kitabnya. Banyak beredar di toko buku.
Syaikh Abdul Qadir al Jailani (470 – 562H)
Beliau adalah syekh Abdul Qadir Ibn Abu shalih Musa “Janki Dost” ibn Abu Abd Allah Ibn Yahya al-Zahidi Ibn Muhammad Ibn Dawud, Muhyi al-Din (Penegak Agama), Abu Muhammad al-Jili, al-Jilani (orang Jilan), al-Baghdadi (orang Baghdad), seorang Arif bi Allah (mencapai makrifat Allah), al-shufi (seorang sufi), al-Hanbali (pengikut mazhab Hanbali). Beliau lahir pada tahun 470 Hijriah.
Datang ke Baghdad untuk belajar hadis, beliau belajar fikih kepada Abu Sa’id al-Makhzumi al-Hanbali. Syekh Abu Sa’id membangun sebuah madrasah, lalu memberikannya kepada Syekh Abdul Qadir. Di madrasah itulah syekh Abdul Qadir berdakwah kepada manusia, memberi wejangan kepada mereka semua, dan manusia memperoleh banyak manfaat karena kehadiran beliau. Beliau memiliki wajah yang sejuk, juga sangat pendiam, kecuali jika sudah menyangkut amar makruf nahi munkar-maka beliau sangat tegas dan keras. Di dalam diri beliau bersemayam sikap zuhud yang tak berbanding, dan beliau memiliki ahwal (kondisi ruhaniah) yang baik, serta peIbuagai ketersingkapan spiritual. Bagi para pengikut dan sahabat-sahabat, beliau mewariskan peIbuagai ajaran. Beliau wafat pada malam Sabtu tanggal 8 Rabi, al-Awwal tahun 562 Hijriah, dan usia 90 tahun, dimakamkan di [areal] madrasahnya.
Syekh Abdul Qadir memiliki beberapa karya, antara lain:
(1) Tuhfah al-Muttaqin wa Sa bil al-’Arifin;
(2) Hizb al-Ra ja’wa al-lntiha ‘;
(3) Risa la h al-Gha utsiyya h;
(4)) Al-Ghunya h fi alTasha wwuf;
(5) Futuh al-Ghaib;
(6) al-Fuyudlat at-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadiriyyah;
(7) Al-Kibrit al-Ahmar fi Shala t ‘ala at-Nabiyy Saw;
(8) Mara tib al-Wujud;
(9) Mftaj Lathif al-Ma’a ni;
(10) Yawaqit al-Hikam, dll.
Berkaitan dengan tarjamah (biografi, sejarah hidup) beliau, Anda bisa melihat dalam kitab-kitab berikut ini:
(1) Kasyf al-Zhunun, 5/596;
(2) Al-A’lam karya al-Zarkali, 4/47;
(3) Al-Nujum al-Zahirah, 5/371.;
(4) Syadzarat al-Dza hab, 4/198;
(5) Al-Thabaqat aLKubra karya al-Sya’rani, 1/108;
(6) At-Ka wakib al-Durriyyah, 1/676;
(7) Fawat al-Wafayat, 2/2;
(8) Mu’jam al-Mu’a llifin, 5/307;
(9) Hadiyyah al-Arifin, 1/596;
(10) Al-Bidayah wa al-Nihayah, 12/276, dll.
Telah ada sebuah riwayat yang sering disebut tentang hari kelahiran Syekh, kata Ibnu al-Najjar: Syekh dilahirkan pada tahun 471. Yang lain dari kalangan ahli sejarah mengkabari kami, bahwa Syekh lahir sekitar tahun 470, atau sesudahnya. Ketika Syekh Abdul Qadir ditanya tentang kelahirannya, beliau berkata: ‘Aku tidak tahu persis, akan tetapi yang jelas aku memasuki Baghdad ketika berumur delapan belas tahun bertepatan dengan tahun wafatnya Syekh al-Namimi. ” Syekh al-Namimi adalah seorang Syekh mazhab Hanbali yang bernama Rizq Allah bin Abd al-Wahhab-dan wafatnya pada bulan Jumadil Awwal, tahun 488 Hijriah.
Ibu Syekh Abdul Qadir bernama Fathimah, dengan nama alias Ummul Jabbar, dan sering dijuluki Ummul Khair. Al-Yunaiti berkata: “Beliau dinamakan demikian karena memiliki anugerah yang banyak dan agung, yakni berupa kebajikan dan kesalehan.” Abu Sa’id al-Hasyimi berkata: “Dalam hal ini, beliau memang pantas [dijuluki demikian], karena beliau merupakan putri dari seorang syekh ahli zuhud Abu Abdullah al-Shum’i, dan apalagi beliau [Fathimah] memiliki sifat-sifat kebajikan dan kesalehan.”
Al-Syanthufi meriwayatkan dari jalur Nashr bin Abd al-Razzaq: Aku mendengar dari para syekh terkemuka negeri-negeri Ajam, serta ulama-ulama mereka, yang meriwayatkan dari nenek-moyang mereka, bahwa [ketika masih bayi] Syekh Abdul Qadir tidak menyusu puting bundanya pada bulan Ramadhan. Ada tambahan riwayat darijaluryang lain: Bahwa suatu waktu Imenjelang Ramadhan] tanggaltertutup awan, maka orang-orang bertanya kepada Ibnda Abdul Qadir, dan dijawabnya bahwa Abdul Qadir hari itu tidak menyusu, dan kemudian orang-orang diyakinkan bahwa pada hari itu adalah [memang] awal Ramadhan. Al-Syanthufi menambahkan, katanya: “Kemudian tersebarlah berita ke seluruh negeri, bahwa Abdul Qadir adalah bocah mulia, karena ia tidak menyusu di siang hari Ramadhan, dan dia mempunyai seorang bibi bernama Aisyah, seorang yang salehah.”
ClRI-CIRI SYEKH
Syekh al-Muwaffiq berkata: “Beliau berbadan langsing, posturnya tinggi sedang, dan dadanya lebar. Beliau memiliki jenggot yang lebat, kedua alis mata beliau bewarna coklat dan bertemu satu sama lain. Beliau memiliki suara yang keras terdengar.” Syekh Iburahim bin Sa’id al-Dari berkata: “Beliau memakai pakaian ulama, memakai thailosan (sorban khas ulama, semacam toga di zaman sekarang,-pent.), dan mengendarai bagal/keledai [jika bepergian].”
MASA DEWASA, MENCARI ILMU, DAN MASUK DUNIA TAREKAT
Ibnu al-Najjar berkata, melalui jalur periwayatan yang sudah sangat dikenal: Abu Muhammad Abduilah bin Abu ar-Husain al-Hayani menulis untukku, dan aku menyalinnya dari tulisannya itu, katanya, syekh al-Jilani berkata, bahwa suatu kali Ibndanya berkata kepadanya: “Pergilah ke Baghdad dan carilah ilmu di sana.” Kata Syekh: “Maka aku pun melewati negeri demi negeri, dan aku waktu itu masih berumur enam belas tahun." Ibnu Tsaman mengatakan: sepuluh tahun, dan aku suntuk dalam laku mencari ilmu tersebut.”
Thalhah bin Muzhaffar al-Alani berkata: Syekh berkisah: “Suatu kali aku tinggal di Baghdad selama 20 hari, tetapi aku tidak mendapatkan apa pun yang bisa aku makan, juga aku tidak mendapatkan pekerjaan. Maka aku pergi ke Serambi Agung lwan Kisra, mencari pekerjaan. Di sana aku berjumpa dengan tujuh puluh orang saleh, yang kesemuanya punya maksud yang sama denganku. Aku berkata sendiri: “Rasanya seperti tidak memiliki watak muru’oh [wibawa], jika aku harus bersaing dengan mereka.”
Maka aku kemudian kembali ke Baghdad, dan kemudian aku bertemu dengan seorang yang mengenaliku kenal, karena dia [ternyata] adalah penduduk satu kampung denganku. Dia memberiku beberapa uang logam, sembari berkata: “Ini ibumu yang mengirimkan untukmu melalui aku.” Aku istirahat sejenak setelah menerima uang tadi, lalu aku mengambil sebagian untukku, sedangkan sisanya aku bawa ke kawasan miskin di sekitar Serambi Agung, dan di sana aku membagi-bagikannya kepada tujuh puluh orang saleh itu. " Apa ini?” tanya mereka. Aku menjawab: “Ini pemberian dari bundaku di Jilan untukku. Aku merasa tidak sreg untuk menghabiskannya sendiri tanpa berbagi dengan kalian”. Kemudian aku kembali lagi ke Baghdad, dan menggunakan uang yang tersisa untuk beli makanan yang cukup banyak. Aku mengajak orang-orang miskin bergabung denganku, dan kemudian kami pesta bersama. Tidak ada sisa lagi sedikit pun dari uang-uang logam tadi. Habis.”
Thalhah berkata, kata syekh lagi: “Dalam hatiku tebersit keinginan untuk keluar [saja] dari Baghdad, karena waktu itu kurasa banyak sekali fitnah (bencana) terjadi di sana. Maka aku mengambil mushaf al-Qur’an dan menggantungnya di pundakku. Aku laiu berjalan menuju gerbang al-Khaliqah, agar aku bisa keluar menuju gurun pasir [saja]. Akan tetapi, tiba-tiba aku mendengarsebuah suara berkata kepadaku: “Kamu hendak ke mana?” Suara itu [seperti] mendorong fisikku dengan sangat kuat, sehingga aku terhempas ke tanah. serasa suara itu berdiri di belakangku ketika dia berkata: “Kembalilah, karena manusia akan memperoleh rnanfaat dari keberadaanmu di sini.” Aku menjawab: “Apa urusanku dengan orang lain! Kepentinganku adalah bagaimana menyelamatkan agamaku.” Dia menjawab: “Pokoknya kembali saja, maka keselamatan agamamu akan dijamin!” Hingga sekarang aku tak pernah melihat wujud fisikal suara tersebut.”
“Tidak lama setelah itu, pada suatu malam aku mengalami penghampiran aneka keadaan ruhani (ahwal). Aku merasa sangat sulit memahami makna-makna di balik ke semua ihwal tersebut. Aku pun berdoa kepada Allah, kiranya Dia sudi mempertemukan aku dengan seseorang yang akan menyingkapkan makna-makna itu untukku. Esoknya, aku berjalan melewati sebuah tempat bernama Al-Muzhaffariyyah. Di sana aku berpapasan dengan seorang yang membuka pintu rumahnya. Dia berkata kepadaku: “Hai Abdul Qadir, kesinilah!” Aku mendatangi rumahnya dan berdiri di hadapannya, dan dia bertanya: ‘Apa yang kamu minta tadi malam atau kemarin?” Aku terdiam, seperti kehilangan kata-kata.
Sikapku itu rupanya membuat dia jengkel. Dia membanting daun pintu keras-keras di depanku, sampai debu-debu ujung pintu itu mengepul menerpa wajahku.” “Kemudian, ketika aku berlalu sebentar, aku baru teringat tentang apa yang aku mohonkan kepada Allah, dan aku langsung berpikiran bahwa orang itu tadi adalah seorang dari kalangan saleh (wali). Maka aku coba melangkah balik, mencari rumah itu lagi. Sayangnya, aku tidak bisa menemukannya, sampai akhirnya dadaku terasa sesak.
Di kemudian hari aku tahu bahwa orang tersebut adalah Syekh Hammad al-Dabbas. Aku menjadi muridnya, dan dia berkenan menyingkapkan makna dari ihwal yang sulit aku pahami itu.” “[Biasanya, selama menjadi muridnya, jika aku tidak hadir di hadapan Syekh Dabbas karena sedang belajar ilmu fikih, disaat aku kembali menghadapnya dia [akan] berkata: “Apa urusanmu datang kemari? Kamu kan seorang ahli fikih. Enyah saja dari sini, dan bergabunglah dengan para fukaha!” Aku hanya diam saja. Ketika tiba hari Jumat, di keluar dari Baghdad bersama beberapa sahabatnya untuk menunaikan salat Jum'at. Aku juga ikut bergabung. Shalatnya di masjid jami' Rushafah. Dia tampak sangat kedinginan, karena waktu itu memang sedang musimnya. Ketika melintasi sebuah sungai, dan sampai di jembatannya, dia mendorongku sehingga aku tercebur dan hanyut. Telanjur basah, aku niatkan saja sekalian mandiJumat. “Bismillah, aku mandi Jumat,” kataku. padahal waktu itu aku memakai jubah wul, dan di [saku] lenganku ada upah [hasil kerjaku], maka aku angkat kedua tanganku [untuk minta tolong]. Tetapi mereka membiarkanku begitu saja, dan mereka pergi. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil mentas (keluar) dari sungai. Aku peras jubahku yang kuyup dan mengikuti mereka ke masjid, dan aku waktu itu merasa sangat sakit karena kedinginan.
”Di kali yang lain, jika aku tidak datang ke hadiratnya, [lagi-tagi] karena sedang belajar fikih, dan kemudian datang lagi kepadanya, dia biasanya berkata: “Hari ini kita menerima kiriman roti berlapis madu yang sangat banyak. Kami makan semuanya, dan tidak menyisakan sedikit pun buat kamu.” sahabat-sahabat syekh Dabbas juga tidak jarang-jarang berlaku kasar kepadaku, mungkin karena mereka juga kerap kali melihat syekh Dabbas menyakitiku, terutama melalui kata-katanya yang pedas. Jika aku datang, mereka biasanya akan berkata-kata mencibir seperti ini: “Kamu kan ahli fikih, jadi untuk apa kamu ke sini?” atau, “Apa yang membawamu ke sini?”. Tetapi, jika Syekh Hammad tahu mereka menyakitiku, serta merta dia membelaku dengan berkata kepada mereka: “Wahai anjing-anjing, kenapa kalian sakiti dia! Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang [derajat spiritualnya] setara dengan dia. Aku menyakiti dia semata-mata demi menguji dia, supaya dia kelak menjadi gunung yang tak bisa tergoncangkan."
KELUASAN PENGETAHUAN SYEKH
Ibnu al-Jauzi berkata dalam kitabnya, Mir’oh al-Zoman, bahwa: “suatu kali beberapa fatwa dari negeri seperti lrak dan sekitarnya disampaikan kepada Syekh Abdul Qadir. Tetapi, tidak pernah sekali pun suatu fatwa singgah pada syekh, kecuari beliau langsung menuliskan tanggapan setelah membacanya tanpa berpikir sama sekali. syekh berfatwa menurut mazhab syafi'i dan mazhab Ahmad bin Hanbal (Hanbali), dan beliau memberikan jawabannya kepada para ulama, sehingga mereka merasa takjub karena begitu cepat beliau memberikan tanggapan.
Siapa pun yang menguasai suatu bidang keilmuan, pasti syekh juga menguasai ilmu tersebut, sehingga beliau bisa mengatasi lawan-debatnya, dan membuat mereka jadi butuh terhadap syekh. Dan sebagaimana dinukil dari beberapa ulama terkemuka, bahwa syekh menguasai tiga belas macam iimu pengetahuan” Di madrasahnya, beliau mulai dengan mengajar ilmu tafsir, kemudian ilmu hadits, lalu fikih, lalu tentang khilafiah, dan [khusus] bakda dhuhur, para santri membaca al-qur'an dengan aneka macam qira’ah, lengkap dengan jalur riwayatnya.”
Diceritakan dari syekh Ali: ’Aku berziarah ke makam lmam Ahmad Ibn al- Hanbali Ra, [maka] aku lihat [secara ruhaniah] lmam Ahmad keluar dari kuburnya dan mendekap Syekh sampai menempel ke dadanya dan memakaikan kepadanya sebuah pakaian [jubah, khirqah], sembari berkata: “Mereka telah berhajat kepadamu dalam ilmu syariat dan ilmu hakikat.”
Syekh ‘Umar berkata: “Pada suatu malam, ketika aku memanggil bangsa jin karena suatu urusan [dengan mereka], mereka datang terlambat. Ketika akhirnya datang, mereka berkata: “Jangan lagi kamu panggil kami pada hari ketika kami sedang berada di majelis Syekh Abdul Qadir.” Aku bertanya: “Hei, apakah kalian juga menghadiri majelis Syekh Abdul Qadir.ra?” Mereka menjawab: “Ya, dan demi Allah, sebagian dari kami ada yang masuk Islam melalui tangannya, sementara sebagian yang lain sekarat dan mati [karena mendengar ceramahnya].”
Al-Syanthufi dari jalur Abu Abdillah bin Abu al-Fatah mengisahkan: ‘Aku berkhidmat pada Syekh Abdul Qadir selama empat puluh tahun. Selama itu pula aku melihat bahwa Syekh selalu salat subuh dengan wudhu salat isya; beliau memasuki ruang khalwatnya sehabis salat isya dan tidak keluar kecuali saat terbit fajar.”
Kata Syanthufi lagi: ‘Aku pernah bermalam di rumah Syekh, aku melihat beliau salat di awal malam dengan cara yang ringan (berdurasi pendek), kemudian beliau berzikir hinggal sepertiga malam yang pertama dan beliau melayang ke udara sehingga lepas dari pandanganku. Kemudian beliau salat [sunat] sembari berdiri dan memanjangkan sujudnya, lalu duduk dengan mantap dan sedemikian suntuk (tenang), dan kulihat seberkas cahaya meliputi beliau sehingga pandanganku hampir lenyap.” Syekh pernah berkata: ‘Aku telah menelisik segala bentuk amal [kesunatan]. Kesimpulanku, tak ada amal yang lebih utama dari memberi makan sesama. Jika ada sedikit saja harta duniawi di tanganku, maka tak aku sisakan sedikit pun, karena semuanya aku berikan kepada orang-orang yang kelaparan.”
Syekh, jika malam hari tiba, selalu menyuruh pelayannya bernama Muzhaffar untuk mengambil senampan roti, sehingga beliau bisa memberi makan kepada siapa pun yang ingin bermalam di rumah beliau. Beliau pernah berkata: ‘Aku membayangkan diriku berada di gurun dan padang pasir, seperti yang pernah aku alami dahulu, di mana aku tidak melihat manusia, dan tak ada manusia pun yang tahu tentang aku, namun dengan cara seperti itu kemudian Allah menjadikanku bermanfaat bagi manusia. Sungguh, lebih dari lima ratus orang yahudi dan Nasrani telah bertaubat melalui tanganku, dan lebih dari seratus ribu kaum gelandangan dan penjahat bertaubat lewat aku. Ini semua merupakan kebaikan yang mahabesar.”
Adalah Syekh, jika beliau memiliki anak yang baru saja terlahir, beliau membawanya kepada orang-orang dengan kedua tangannya dan berkata: “Ini adalah mayat,” maka ingatan kepada sang anak sejak itu lenyap dari hati beliau. Maka jika sekali waktu salah seorang anaknya meninggal, [peristiwa] kematian itu tidak memperngaruhi beliau sedikit pun. Karenanya, ketika sekali waktu seorang anaknya meninggal, sementara beliau sedang berada di majelis pengajian, beliau hanya menywuh orang-orang untuk mengurus jenazah anaknya tetapi beliau sendiri tidak menghentikan ceramahnya di majelis pengajian tersebut. Biasa saja terjadi, ketika sang pemandi jenazah sedang memandikan jenazah anaknya, di sisi lain beliau sedang berceramah kepada orang-orang. Jika pengajian telah selesai, orang-orang pun langsung menghadapkan jenazah kepada beliau, dan beliau pun turun dari kursinya, kemudian beliau salat jenazah, mengantarkannya ke kuburan, dan setelah itu beliau kembali ke aktivitas semula.”
Umar al-Kuhmani berkata: “Majelis Syekh tidak pernah sepi dari orang-orang yang masuk Islam, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani’ Tidak juga sepi dari orang-orang yang bertaubat, baik dari kalangan penyamun, pembunuh, dan selain itu.” Katanya lagi: “Suatu kali seorang rahib datang dan masuk Islam melalui tangan Syekh, dan sang rahib kemudian berkata kepada orang-orang (jemaah): “Namaku Sinan, aku orang Yaman, dan Islam telah lama tumbuh di dalam diriku. Ada keinginan kuat dalam diriku, bahwa aku tidak akan masuk Islam kecuali melalui tangan manusia terbaik di Yaman menurut pandanganku. Aku suatu kali duduk sembari berpikir, tiba-tiba aku tertidur, dan aku bermimpi Sayyid Isa Ibn Maryam AS menemuiku dan berkata kepadaku: “Wahai Sinan, pergilah ke Baghdad dan masuk Islam-lah melalui tangan Syekh Abdul Qadir Jailani, karena sesungguhnya dia adalah manusia terbaik di muka bumi untuk saat ini.”
Masih kata al-Kuhmaniy: “Datang pula tiga belas orang Nasrani ke majelis pengajian Syekh, dan mereka masuk Islam melalui tangan beliau. Mereka berkata: “Kami adalah Nasrani Arab, kami ingin masuk Islam, namun kami bingung tentang siapa yang melalui tangannya kami akan mengucapkan syahadat. Tiba-tiba, ketika kami sedang berkumpul, ada suara yang mengarah kepada kami, tetapi kami tidak melihat wujud fisiknya, dan kami dengar kata-katanya: “Wahai para pencari yang tengah beruntung, datanglah ke Baghdad dan masuk Islamlah melalui tangan Syekh Abdul Qadir. Dia akan meletakkan formula keimanan di dalam hati kalian dengan keberkahan yang dia miliki; keimanan yang formulanya tidak dimiliki oleh seorang pun selain dirinya dari sekalian manusia untuk saat ini.”
Manshur Ibn al-Mubarak al-Wasithi, yang lebih terkenal dengan sebutan ‘Al-Juradah” [Buah Pohon Palm], berkata: “Suatu kali, ketika aku masih muda, aku menemui syekh Abdul Qadir, dan aku membawa sebuah kitab tentang fiIsafat abstrak (falsafah) dan pengetahuan ruhaniah spekulatif (at-ruhaniyyah). Beliau serta merta berkata kepadaku, padahal beliau belum pernah melihat isi buku tersebut: “Hai Manshul kitab yang ada padamu itu adalah teman yang buruk. Pergilah dan mandikan ia sebersih mungkin.” Menanggapi perintah Syekh, aku putuskan meninggalkan kitab itu di rumah saja, dan tak akan pernah membawanya lagi setelah itu. Hatiku tidak merasa sreg jika mencucinya, karena hatiku telah terikat dengan sebagian isi kitab tersebut. Aku hampir beranjak dan pergi, untuk mewujudkan rencanaku, tetapi syekh mengawasiku. Entah kenapa, aku seperti tidak bisa beranjak. Rasanya seperti terjebak. Syekh kemudian berkata kepadaku: “serahkan kitab itu kepadaku.” Aku membukanya [terlebih dahulu], dan alangkah teikejut daku, karena aku lihat kitab tersebut hanya berisi halaman-halaman kosong. Tak ada satu cuil pun tulisan tertulis di dalamnya. Aku pun memberikannya kepada Syekh, dan beliau kemudian membuka-buka lembaran-lembaran kitab tersebut, lalu berkata: “Ini adalah kitab Fadilah al-Qur’an, (Fadlail al-Qur’an), karya Ibn al-Daris Muhammad.” Ketika aku menerimanya, kulihat bahwa kitab itu benar-benar [kitab] Fadla’il al-Qur’an, yang ditulis dengan khat yang sangat indah. Syekh kemudian berkata kepadaku: “Bertaubatlah dari berkata-kata melalui mulutmu hal-hal yang tidak berasal dari hatimu.” Sejenak kemudian aku tiba-tiba mampu bangun. Tetapi aku sudah lupa semua hal yang aku dapatkan dari buku [fiIsafat dan pengetahuan ruhaniah spekulatif tadi]."
Dinukil dari sang Qutub, yakni al-Yutaini, dalam kitab Mukhtashar al- Mir'ah, dari Syekh Abu Sa'id al-Qilawi, katanya: 'Aku melihat para nabi di majelis syekh tidak hanya sekali, karena arwah nabi-nabi berlalu lalang antara langit dan bumi bersama angin di setiap ufuk." Katanya lagi: “Aku lihat juga kaum rijal al-ghaib (wali dari kalangan gaib) saling berlomba untuk hadir di majelisnya, aku lihat juga Khidlir sering sekali datang ke majelis. Aku bertanya kepada Khidlir, kenapa dia sering hadir, maka Khidlir menjawab:
"Siapa yang menginginkan keberuntungan, maka hendaklah ia tidak pernah berpisah dengannya (Syekh)."
Ibn Abu al-Fath al-Harawi berkata: "Suatu hari aku menghadiri majelis Syekh, beliau berceramah hingga sepuas-puasnya. Kemudian beliau berkata: "Jika Allah berkehendak mendatangkan seekor burung hijau, yang bagus rupanya dan ikut mendengar kata-kataku, pasti Dia akan melakukannya..." Belum selesai beliau berkata, tidak lama kemudian muncul burung hijau dan hinggap kopiahnya. Di hari yang lain beliau sedang berceramah, kefika suatu kali sebagian jemaah pengajian [baru] masuk ke majelis, dan beliau kemudian berkata: “seandainya Allah menghendaki untuk mengirimkan burung-burung hijau, pastilah setiap orang yang hadir akan melihatnya.”
GURU-GURU BELIAU
Syekh mendengar hadits dan meriwayatkan dari
Abu Ghalib Muhammad Ibn al-Hasan al-Baqillani,
Abu Bakar Ahmad Ibn al-Muzhaffar,
Abu ar-Rahim Ali Ibn Ahmad Ibn Bayan,
Abu Muhammad Ja’far Ibn Ahmad al-Sarraj,
Abu Saad Muhammad Ibn Abd al-Malik Ibn Hasyisy,
al-Hafizh Abu al-Ghana'im Muhammad Ibn Ali al-Tursi, yang bergelar’Abu Thalib”,
Abd al-Qadir Ibn Muhammad Ibn Abu Yusuf
Abu utsman lsma’il Ibn Millahlan Abu al-Barakat Hibat Allah ibn Muhammad,
Abu al-Husain Abd al-Haqq Ibn Abd al-Khaliq ibn yusuf,
Abu al-‘Izz Muhammad Ibn Abu Bakar.
Syekh belajar fikih dari
Al Qadli Abu sa’id al-Mubarak Ibn Ali al-Makhzumi,
‘Ali Abu al Khaththab al Kalwazani,
Abu al-Wafa Ali Ibn ‘Uqail, serta
Abu al-Hasan Ibn al Fara’.
Ilmu adab (etika spiritual) diperoleh Syekh dari
syekh Abu Zakariyya al Tabrizi,
Syekh Ahmad al-Dabbas al-Zahid dan dibimbing suluk olehnya,
juga [belajar adab] dari Syekh Yusuf Ibn Ayyub al-Zahid ketika masuk Baghdad di masa-masa akhir hayatnya,
juga dari Taj al- ‘Arifin Abu al-Wafa.
Dari beliau, anak-anaknya meriwayatkan hadir. Mereka di antaranya Abd al-Wahhab, Abd al Razzaq, dan Musa, juga para hafizh seperti Abu Sa’id al-Sam’ani, Umar Ibn Ali al-Qarasyi, Abd al-Ghani Ibn Abd al-wahid Ibn Ali Ibn Surur, syekh Muwaffiq Abd Allah ibn Ahmad Ibn Qudamah, syekh Ali Ibn ldris al-Ya’qubi, Abu Hurairah Ibn al-Wasthani, Akmal Ibn Mas’ud, Yahya Ibn sa’d Allah al-Takrimi, Ahmad Ibn Muthi’ al-Bahirani, dan masih banyak lagi. Yang terakhir mendengar dari Syekh adalah Abd al-Lathif Ibn Muhammad Ibn Ali al-Qubaithi, dan yang menerima ijazah beliau adalah al-Farj Ibn Maslamah al-Dimsyaqi.
SANJUNGAN MANUSIA KEPADA SYEKH
Al-Hafizh Abu Sa’id al-Sam’ani berkata di dalam lampiran kitab Tarikh Baghdad:
“Syekh adalah seorang yang saleh, banyak berzikir, tekun dalam laku tafakur, serta gampang melelehkan air matanya.”
Syekh Abu al-Muwaffiq Ibn Qudamah berkata:
‘Aku tidak pernah mendengar seorang pun yang keramat-keramatnya diceritakan melebihi keramat yang diceritakan tentang Syekh Abdul eadir, dan aku tidak melihat seorang pun yang dihormati oleh manusia, atas nama kepentingan agama, melebihi Syekh.”
Al-Syanthufi mengutip dari Syekh al-’lmad Muhammad ibn Ibrahim al- Muaddi, bahwa dia mendengar syekh al-Muwaffiq mengatakan:
“Syekh Abdul Qadir adalah satu di antara manusia yang telah mencapai tingkat tinggi kepemimpinannya baik dalam hal ilmu, amal, hal, serta kewibawaan. Bagi seorang pencari ilmu apa pun, beliau adalah seorang guru yang mencukupi segalanya. Dalam diri beliau berkumpul segala macam pengetahuan, dan beliau adalah seorang yang sabar dalam memberikan bimbingan [kepada muridnya]. Beliau tetap berkelanjutan (kontinu, istiqamah) dalam beramal. Allah telah mengumpulkan di dalam diri beliau sifat-sifat yang indah, serta keadaan ruhaniah (ahwat) yang agung. Sepeninggal beliau, aku tidak pernah melihat seorang pun yang sebanding dengan beliau.”
Abu Hurairah mengabari kami, bahwa al-Hafizh syarns al-Din al-Dzahabi berkata:
“Kami tidak hanya sekali diberi ijazah periwayatan dari ayahnya, katanya, aku mendengar al-Hafizh Syaraf al-Din al-yunif, katanya, aku mendengar Syekh ‘lzz al-Din Ibn Abd al-Salam berkata: “Tidak pernah dinukil kepada kami riwayat tentang keramat-keramat secara mutawatir, kecuali keramat-keramat tentang Syekh Abdul Qadir.” Ada yang berkomentar: “Orang yang mengatakan tentang kebenaran Syekh Abdul Qadir ini memiliki adab yang buruk, tidak lebih dari itu, dan tidak meragukan lagi bahwa dia ‘Jahannami’ (penduduk Jahannam).” Syekh ‘Izz al-Din tidak memberikan sedikit jawaban pun atas komentar ini, karena keyakinan yang dia miliki. Dia hanya berkata: “pandangan (mazhab)yang melazimkan dirinya sendiri (menyalahkan yang lain), tidak layak disebut sebagai pandangan.”
Al-Hafizh Muhibb al-Din Ibn al-Najjar, dalam lampiran Tarikh Baghdad mengatakan:
“Abdul Qadir Ibn Shalih Ibn ‘Jangi Dost’ (persia: sang petarung, -pent.l al-Zahid adalah salah satu imam Islam yang selalu mengamalkan pengetahuannya, serta mempunyai keramat-keramat yang nyata…”, dan seterusnya, sampai pada perakatan: “… kemudian beliau juga selalu istiqamah, tekun dalam laku khalwat, riyadhah, mengembara, mujahadah yang berat, melawan kecenderungan diri, selalu dalam keadaan terjaga (tidak tidur) sampai akhirnya Allah memunculkan beliau kepada seluruh makhluk, serta menganugerahkan penerimaan yang besar baik dari umat awam maupun khusus. Allah juga memperlihatkan kearifan-kearifan hatinya melalui lisan beliau. Kewalian beliau pun tampak, juga tanda-tanda kedekatan beliau kepada Allah SWT. Cukup sedemikian saja tentang beliau.”
Abu al-Muzhaffar Yunif Sabath Ibn al-Jauzi, dalam kitab tarikhnya, Mir’at mengarahkan mereka pada kasyaf (ketersingkapan ruhani). Jika Syekh berdiri, maka mereka {jemaah} pun berdiri demi menghormat pada beliau. Jika Syekh berkata kepada mereka, “Diamlah kalian semua!” maka tidak terdengar desis atau suara apa pun kecuali nafas mereka sendiri. Ada sebuah riwayat mengisahkan, bahwa ada seorang jemaah majelis yang meletakkan/menempelkan tangannya [secara acak ke sembarang arah/tempat], dan ia seperti menyentuh tubuh seseorang yang tidak kasat mata, dan kadang-kadang para jemaah mendengar suara gemuruh yang hebat dari udara yang mendarat ke areal majelis.”
Al-Hafizh Muhammad al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, Tarikh al-Islam, tentang sosok Abdul Qadir lengkap dengan detail garis nasabnya, hingga dikatakan olehnya,
“… beliau seorang Jili (penduduk Jailan), bermazhab Hanbali, empu pelbagai keramat dan maqam spiritual, serta pembesar kaum Hanabilah {penganut mazhab Hanbali)… dan seterusnya…,” hingga pada perkataan, “…tidak ada yang sebanding dengan beliau, tidak pernah berkata-kata dengan suara keras, serta bersungguh-sungguh baik dalam ilmu maupun amal.”
Al-Hafizh Zain al-Din Ibn Rajab, dalam lampiran kitab Thabaqat, berkata:
“Syekh Abdul Qadir adalah penghulu kaum Hanbali, syekh di zaman-nya, serta pemimpin (sultan) para masyayikh, penghulu ahli tarekat di zamannya. Beliau adalah empu pelbagai maqam spiritual… dan seterusnya,” hingga sampai pada perkataan, ’.. beliau memperoleh penerimaan yang sempurna dari umat, dan umat meyakini kesalehannya serta keberagamaannya. Mereka beroleh banyak manfaat dari ceramah dan dakwah beliau. Kaum Ahlus Sunnah mendapat pertolongan dengan kehadirannya. Ahwal dan keramat-keramat beliau termasyhur di mana mana, dan di zamannya beliau sangat dihormati oleh para syekh, ulama, dan ahli zuhud pada waktu itu. Di majelisnya, banyak rnanusia dari pelbagai latar belakang yang bertaubat melalui tangannya.”
Ahmad Ibn Muthi’ al-Bajrami bercerita:
“Aku mendatangi Syekh Abdul Qadir suatu kali, beliau menolakku dan berkata: “Duduk saja di situ.” Merasa tidak disambut, aku pun berniat pergi, namun tiba-tiba seperti ada seseorang yang menyusulku dari sisi beliau. Maka aku pun kembali. Beliau berkata: “Maaf, tadi ketika kamu datang, tiba-tiba aku merasa bosan. Maka aku tertidur, dan aku bermimpi Nabi Saw. menemuiku dan berkata kepadaku: “Engkau adalah pengajar [amal] kebaikan, maka janganlah pernah bosan. Beliau (Nabi Saw.) mengulang kata-kata itu tiga kali.” Kemudian beliau membacakan pelajaran-pelajaran yang aku inginkan.”
Al Dzahabi, dalam Tarikh al-Islam, berkata: Abu Bakar Ibn Thurkhan memberi kabar kepada kami, bahwa Syekh al-Muwaffiq mengabari mereka:
“Kami mengalami kehidupan bersama beliau, yakni Syekh Abdul Qadir-ketika masa-masa akhir hayat beriau. Kami tinggal di madrasah demi menjaga beriau. Tidak jarang beriau mengutus puteranya, Yahya, [hanya] demi memberi penerangan kepada kami dengan lampu-lampu’ Terkadang beriau mengirimkan makanan kepada kami langsung dari rumah beriau. Beliau selalu salat fardhu bersama kami, berjamaah, dan beliau menjadi imamnya. Pada pagi hari, beliau menyimak aku membacakan pelajaran-pelajaran yang kuhapalkan dari beliau. Beliau juga menyimak bacaan ar-Hafizh Abd ar-Ghani atas kitab al Hidayah. Tak ada seorang pun yang membaca pelajaran atau hafalan di hadapan beliau waktu itu kecuali kami [berdua]. Kami tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari, kemudian beliau wafat, dan kami mensalati beliau di madrasahnya. Aku tak pernah mendengar seorang pun yang keramat-keramatnya begitu banyak diceritakan kecuali beliau. Aku juga tak pernah menjumpai seorang pun yang sedemikian dimuliakan oleh manusia, atas nama agama, melebihi beliau. Sanad kisah ini sampai kepada Syekh al-Mufawwiq secara mautsuq (kuat).”
Al-Syanthufi berkisah bahwa dia pernah mendengar Syekh an-’lmad dan Abu Bakar Muhammad Ibn Iburahinr, yakni anak saudaraku al-Hafizh Abd al-Ghani, katanya: “Syekh mulai membuka majelis pengajian pada tahun 521″ Hijriah, dan memulai berfatwa, mengajar [rnurid-murid] serta pengajian umum di madrasah ketika mengin.iak tahun 528 Hijriah. Beliau setelah itu menyampaikan wasiat-wasiat spiritual, menerirna kunjungan-kunjungan [dari para syekh, raja-raja, dan sejenisnya], serta menyampaikan hadis dengan peIbuagai riwayat, menulis kitab-kitab tentang dasar-dasar agama (ushul al-din). Beliau juga sering menyampa!kan pengetahuan-pengetahuan yang lazim di kalangan ahli hakikat.”
Syekh Juradah berkata: “Suatu hari aku sedang berada di rumah Syekh Abdul Qadir. Beliau sedang duduk-duduk sambil melafalkan tasbih, ketika tiba-tiba ada debu yang jatuh berguguran dari atap rumah sampai tiga kali. Ketika debu itu menjatuhi beliau untuk yang keempat kalinya, beliau mengangkat kepala, dan melihat di atap rumah ada seekor tikus. Beliau berkata: “Melayanglah kepalamu!” Maka tubuh sang tiku” ;’rlrrlr menjadi bangkai di salah satu sudut rumah’ sedangkan kepalanya terpisah, juga jatuh di salah satu sudut rumah’ Syekh menghentikan bacaan tasbih sambir menangis. Maka aku bertanya: “wahai tuanku, apa yang membuat engkau menangis?” Beliau menjawab: ‘Aku khawatir’ ketika hatiku merasa tersakiti oleh seorang Muslim’ maka jangan-jangan azab akan menimpanya sebagaimana dialami oleh tikus ini.”
Syekh Umar Ibn Mas’ud berkata: “Syekh suatu kali sedang berwudlu di madrasahnya, ketika tiba-tiba seekor burung kencing di bajunya’ syekh kemudian mengangkat kepalanya’ yang membuat sang burung pergi terbang. Tetapi kemudian burung itu tiba-tiba jatuh mati’ Setelah Syekh menyempurnakan wudlunya’ beliau membersihkan baju yang dikencingi burung tadi. Baju itu dilepaskan dan kemudian diserahkan kepadaku’ Beliau meminta agar baju itu dijual’ dan uangnya nanti disedekahkan saja’ Beliau berkata: “Nanti harganya begini begini’”
Muhammad ibn Abu ar-Fath berkata: “suatu hari aku menghadiri majelis pengajian syekh AbdulQadir. Beriau berceramah hingga akhirnya benar-benar larut dalam ucapan-ucapan beriau. sampai kemudian beriau berkata: “Jika Allah menghendaki untuk mengutus burung hijau ke sini untuk ikut mendengar ceramahku, pastirah Dia akan merakukannya sekarang.” Belum rampung beriau berkata-kata, tiba-tiba datang seekor burung hijau yang bagus rupanya; burung itu masuk ke rengan bajunya dan tidak keluar lagi.” Kata syekh Muhammad ragi: “Di hari yang lain beliau sedang berceramah, ketika sejenak kemudian orang-orang berdesakan masuk ke dalam majelis. Beriau raru berkata: “seandainya Allah menghendaki untuk mengirim burung-burung hijau ke sini untuk ikut mendengarkan ceramahku [pasti Dia akan melakukannya sekarang].” Belum sempat kata-katanya selesai, tiba-tiba majelis sudah dipenuhi oreh burung-burung hijau.”
Abdal-Rahman Ibn al-Najm al-Hanbali berkata: “Pamanku, Abu al-Hasan Ibn Naja al-wa’izh pernah bercerita bahwa suatu hariia berkumpul bersama syekh Abdul Qadir. waktu itu bertepatan dengan hari raya, kata paman,maka aku mendahului ke tempat salat (lapangan). Tidak lama kemudian, Syekh datang bersama jemaah yang banyak sekali. Satu demi satu orang-orang menciumi tangan syekh. Beliau kemudian salat sunnah dua rekaat. Aku berkata sendiri: “Apa-apaan ini? Sunnah Nabi tidak pernah mengajarkan salat sunnah sebelum salat id.” setelah salam, syekh berpaling kepadaku dan berkata: “[Nabi tidak melakukannya] karena suatu sebab.”
KEDALAMAN UCAPAN SYEKH
Ibn al-Najjar berkata: Abd Allah Ibn Abu al-Hasan al-Juba’i pernah menulis suatu kisah kepadaku, dan aku menukilnya dari tulisan tersebut, katanya: “Syekh Abdul Qadir suatu kali pernah berkata: “Makhluk adalah hijabmu dari dirimu, dan dirimu adalah hijabmu dari Tuhanmu. sepanjang yang jadi fokus penglihatanmu adalah makhluk, maka engkau tak akan pernah melihat siapa dirimu. Sepanjang yang jadi fokus penglihatanrn’u adalah dirimu sendiri, maka engkau tak akan pernah melihat Tuhanmu (makrifat).” Kata al-Juba’i lagi, beliau berkata: “Dunia itu kacau balau, sedangkan neraka sedemikian menakutkan’ seorang hamba tepat berada di antara keduanya. Tempatnya yang tetap kelak hanya di antara dua saja: surga atau neraka.” Kata al-Juba’i lagi: “Aku pernah mendengar Syekh pernah berkata dalam beberapa kali majelis pengajiannya: “Di hadapan kalian hanya ada makhluk dan Khalik. Jika engkau memilih Khalik, maka katakanlah sebagaimana yang dikatakan Ibrahim: “… sesungguhnya mereka semua adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam.” Syekh kemudian menghentakkan kakinya dan berkata: “Siapa yang dapat mengecapnya (pengetahuan tentang Tuhan; mengenal Tuhan, -pent.), maka ia telah mencapai makrifat.” Seseorang tampil dan bertanya: “Tuan, bagaimana seseorang terhimpit oleh lapar? Bagaimana ia dapat merasakan manisnya kecapan (dzauq)? Syekh menjawab: “Caranya, ia harus memuntahkan seluruh nafsu-syahwatnya.”
Dalam beberapa majelis pengajiannya beliau juga sering berkata: “Yang pertama muncul dalam diri Mukmin adalah bintang kearifan (najm al hikmah), kemudian bulan pengetahuan (qamar al ilm), dan akhirnya matahari makrifat (syams al ma’rifah). Dengan bintang kearifan ia akan melihat dunia, dengan bulan pengetahuan dia akan melihat akhirat, dan dengan matahari makrifat dia akan melihat Sang Maula.”
WAFAT SYEKH
Ibn al-Jauzi berkata: “Syekh wafat pada malam Sabtu, tanggal 8 Rabi’ al- Awwal tahun 561 Hijriah, dan dimakamkan pada waktu itu juga di madrasahnya. Usia beliau 90 tahun. Aku pernah mendengar bahwa menjelang wafat (ketika sakaratul maut) beliau berkata (mungkin ditujukan kepada para malaikat, -pent.l’. “Bersikaplah ramah kepadaku…!” sembari berdiri dan kemudian berkata: “Wa’alaikumussalam, [ya] aku datang kepada kalian, aku datang kepada kalian’”-(ata al-Jauzi lagi: Aku mendengar Yahya pernah bercerita bahwa Syekh ketika menjelang ajal berkata (mungkin ditujukan kepada para malaikat, -pent.l: ‘Aku syekh agung, [memangnya] apa yang telah diancamkan [Allah] kepadaku atas hal ini?”
Ibn al-Najjar, melalui sanadnya sendiri, menyatakan tentang kisah wafat syekh, hingga ke kata-kata: “… beliau wafat pada tanggar 10 Rabi al-Akhir tahun 561 Hijriah, dalam usia 90 tahun.” Kata ibn al-Najjar lagi: “Puteranya, Abd al-Wahhab bersalawat untuk beliau, demikian seluruh anak-anak beliau. semoga Allah memberikan ridha-Nya kepada mereka semua. semoga salawat selalu terlimpah atas sayyid kita, Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau, juga salam taslim demi mereka semua; salawat dan saram yang banyak, seramanya hingga hari kiamat kelak. Amien.”
.
Selesai sudah kitab Ghibthah al-Nazhir fi Tarjamah al-Syaikh Abdul Qadir (Suka Cita sang Pemandang tentang Biografi Syekh Abdul Qadir) ini, karangan sayyid kita, junjungan kita, Syekh al-Islam Qadli al-Qudlah Syihab al-Din ibn Hajar al-’Asqalani al-Syafi’i (pengikut mazhab syafi’i). semoga Allah meliputinya dengan rakhmat-Nya, menempatkannya dalam surga-Nya yang ruas, bersama-sama dengan Muhammad saw, keluarga, sahabat, beserta seluruh anak-turunnya.... aamiin.
.
Sumber: Ghibthah al-Nazhir fi Tarjamah al-Syaikh Abdul Qadir, karya Ibn Hajar al-’Asqalani al-syafi’i (w 852H), versi terjemah Hikayat Keajaiban Sultan Para Wali oleh Sabrur Rohim Soenardi, Cable Book, Klaten 2010.