Kisah tauhid akan kehendak-Nya

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

 

 

 

Saya punya beberapa pertanyaan.

1. Dalam kisah2 islam byk wanita yg sanggup hidup sendiri tanpa suami & mengurus anak2 sendiri.

Bahkan ada pula yg menolak dilamar krn khawatir anak2nya terlantar jk ia menikah lg.

Lantas kenapa seorang wanita membutuhkan perlindungan/suami?

Kisahnya siapa ? dari mana referensinya? Dan kata siapa seorang wanita membutuhkan perlindungan/suami?

“Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur, jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

Allah SWT menjaga ajaran Islam dari berbagai aspeknya, baik dari sudut sumbernya, cara memahami sumber secara shahih, maupun pemahaman yang shahih terhadap sumber-sumber tersebut melalui para ulama yang disebut dalam al-Quran sebagaiAdz-dzikir, yang perlu dirujuk oleh orang-orang awam.

“Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya.”

Keistimewaan ini bertolak dari suatu hal yang mendasar, yaitu tradisi sanad atau isnad (penyandaran sanad) atau sandaran dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sesuai dengan maksud hadits Nabi shalallahu alaihi wasssalam yang menyebutkan “Ulama adalah pewaris para nabi…”, sudah tentulah ilmu nabawi itu diterima oleh para ulama secara “pewarisan”. Dalam konsep “pewarisan” dalam tradisi pembelajaran ilmu agama inilah, terwujud konsep atau tradisi “sanad” atau sandaran.

 

Abu Ali Al-Jiyani berkata, “Allah SWT mengkhususkan umat ini dengan tiga hal yang tidak pernah diberikan kepada umat sebelumnya: sanad, ansab (nasab-nasab), dan i’rab (penguraian kata dari segi kedudukannya).”

Abu Hatim Ar-Razi berkata, “Tidak ada satu umat pun, sejak Allah menciptakan Adam, para ahli amanah, yang menjaga berita-berita para rasul, kecuali pada umat ini.”

Imam Ibnu Sirin berkata, “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu (ilmu agama tersebut).”

Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Al-Auza’I bahwasanya ia berkata, “Tidaklah hilang ilmu (agama) melainkan dengan hilangnya sanad-sanad (ilmu agama tersebut).”

Oleh karena itulah, dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Imam Muslim meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Al Mubarak, yang berkata, “Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya (dalam urusan agama, tanpa ilmu mendalam tentangnya).”

Maka jelaslah, tradisi menyusun sanad-sanad keilmuan serta ijazah keilmuan, baik secara umum maupun khusus, baik ijazah riwayah maupun dirayah atau kedua-duanya, ijazah tadris wa nasyr (izin untuk mengajar dan sebagainya), dan sebagainya, adalah untuk menjaga tradisi amalan para ulama as-shalih terdahulu dan dalam masa yang sama menjelaskan latar belakang keilmuan mereka. Bahkan, tradisi tersebut adalah tradisi amalan para ulama mu’tabar yang tidak dapat diperselisihkan lagi, karena ia terpelihara dari masa ke masa.

Ukuran kelayakan keilmuan yang sebenarnya dalam neraca pembelajaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang murni bukanlah pada ukuran akademis modern, yang merupakan acuan dan ukuran tradisi Barat, tetapi ukuran sebenarnya adalah pada sandaran keilmuan seseorang yang mengajar ilmu agama, baik sanad ilmiy, ijazah tadris, maupun yang lainnya, yang menjadi asal rujukan.

Banyak sekali berita dan perkataan yang datang dari imam (tokoh-tokoh ulama) mengenai pentingnya sanad dan anjuran menjaganya. Bahkan mereka menjadikannya sebagai ibadah dan bagian dari agama.

 

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Isnad merupakan bagian dari agama ini. Andai kata bukan karena isnad, pastilah orang akan berkata semau-maunya. Bila dikatakan kepadanya ‘Siapa yang menceritakan kepadamu?’, ia diam (yakni diam kebingungan), tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sebab ia tidak memiliki sanad yang dengannya ia dapat mengenali keshahihan atau kelemahan suatu hadits.”

 

Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata seorang mukmin. Bila ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia akan berperang?”

 

Syu’bah berkata, “Setiap hadits yang tidak terdapat di dalamnya kalimat haddatsana (telah mengatakan kepada kami) dan akhbarana (telah mengabarkan kepada kami), ia seperti seorang laki-laki di tanah lapang bersama seekor keledai yang tidak memiliki tali kekang.”

 

Tokoh terkemuka, Al-Imam Auza’i, berkata,”Tidaklah hilang ilmu melainkan karena hilangnya sanad.” 

 

Sedangkan di antara ulama masa belakangan yang sangat banyak mengumpulkan sanad adalah Syaikh Yasin Al-Fadani, yang digelari “Musnid Ad-Dunya” karena begitu banyak sanadnya. Sebagian ulama mengumpamakan hadits tanpa sanad itu sebagai sebuah rumah yang tanpa atap dan tiang. Ini terlihat dari untaian syair berikut:

 

Jika ilmu kehilangan sanad musnid, ia seperti rumah yang tidak beratap dan berpasak

Dalam syair diatas, yang dimaksud musnid adalah orang yang memberikan sanad.

 

Imam Asy-Syafi’i pernah berkata kepada Abu Ali bin Miqlas, “Kamu ingin menghafal hadits (semata-mata) lalu serta merta menjadi seorang faqih? Tidak sama sekali. Sangat tidak realistis.” Demikian dalam Manaqib Imam Asy-Syafi’i yang disusun oleh Imam Al-Baihaqi.

 

Imam Al-Baihaqi menjelaskan ihwal perkataan ini bawasanya manfaat menghafal hadits-hadits adalah pada mempelajari maknanya yang dikenali sebagai at-tafaqquh. Kesibukan dalam menghafal hadits namun tidak mendalami pemahaman tentang hadits yang dihafal itu tidak membuat seseorang itu menjadi faqih sama sekali.

Karena itu, Imam Ahmad juga berkata,”Mengetahui makna hadits dan menjadi faqih dalam hadits lebih aku sukai daripada menghafalnya (tanpa memahaminya).”

Imam Al-A’masy berkata, “hadits yang disebutkan oleh para fuqaha (dengan pemahamannya) lebih baik daripada hadits yang disebut oleh para syaikh (tanpa pemahaman).” (Tadrib Ar-Rawi, oleh As-Suyuthi).

Ada ungkapan dan nasihat bagus agar kita tidak menjadikan sebuah kitab sebagai satu-satunya guru sekaligus sebagai peringat bagi orang yang belajar tanpa guru.

“من كان شيخه كتابه فخطؤه أكثر من صوابه”.

“Barangsiapa  gurunya adalah sebuah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya”.

 

Imam Syafi’I rahimahullah memberikan nasihatnya kepada penuntut ilmu bahwa ilmu bisa didapat dengan cara bersahabat dan dekat guru. Artinya dalam menuntut ilmu senantiasa kita tidak lepas dari bimbingan guru, ustadz, syaikh, ahli ilmu yang memiliki kapasitas keilmuan yang tidak diragukan untuk  mengajarkan ilmu agama kepada kita. Sehingga ketika ada pelajaran yang kurang bahkan tidak kita fahami maka kita bisa bertanya langsung dengan mereka.

 

Jadi, kalau kita belajar hanya dari internet maka sanad kita akan terputus. Kan tidak mungkin saat ada orang bertanya nanti “Siapa gurumu? ” lalu anda menjawab “guru saya adalah ustadz atau syaikh internet”. Namun kalau kita bisa memanfaatkannya dengan baik dan benar maka internet bisa kita jadikan sebagai salah satu sarana menambah ilmu dan sarana dalam menyebarkan dakwah, pengajaran dan informasi yang baik.  Allahu a’lam bishshawab

 

 

2. Mengapa perlu punya mimpi atau harapan (optimis) apabila hidup dlm kesederhanaan itu lbh baik?

Dan mengapa orang2 yg memilih hidup dlm kesederhanaan dipandang sebelah mata? (Cthnya dianggap kurang ikhtiar dsb) pdhl boleh jd ia memang lbh memilih utk berhati2 drpd bergelimang harta

3. Apakah jk seseorang dikenal baik oleh byk orang, punya byk teman dsb, lebih baik drpd yg tdk byk dikenal atau memiliki byk teman? Apakah itu sebuah jaminan bhw org tsb mmg baik?

4. Anak adalah titipan Allah, jk kita dititipkan olehNya berarti Allah 'percaya' kpd kita. Jk ada yg tdk memiliki anak, sdgkn boleh jadi ia hamba yg baik. Apakah Allah tdk percaya kpdnya atau kepada pasangan tersebut?

Apakah yg dititipkan anak (yg lbh byk) olehNya lbh baik drpd yg tidak (atau lbh sdkt) memiliki anak?

 

2-3-4 dasarnya apa bisa mengambil kesimpulan demikian ???

 

Yang berhak menilai seseorang dan yang mengetahui seseorang hanyalah Allah Semata.

 

Hikmah Mempelajari Ilmu Tauhid

Apabila tauhid sudah masuk dan meresap kedalam jiwa seseorang, maka akan tumbuhlah dalam jiwanya perasaan puas dan rela atas pemberian dan ketentuan Allah swt., sehingga jiwa orang tersebut selalu tenang dan tenteram.

Di samping itu, orang yang bertauhid akan memiliki harga diri dan mau menghargai orang lain. Sebab dia paham, bahwa semua manusia itu sama derajatnya, berasal dari satu keturunan, yang membedakan di antara mereka hanyalah ketakwaan mereka kepada Allah swt.

Selain itu orang yang bertauhid memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama manusia. Dia memandang semua manusia adalah saudara, tidak mau bertindak zalim terhadap sesama makhluk Allah, apalagi terhadap sesama manusia.

 

Tentu orang yang iman dan tauhidnya kokoh, dia tidak akan mau menyatakan saya rasanya ingin mati dsb, to many complain atas kehendak serta takdir-Nya pada dirinya; karena jika ia masih diberi umur untuk hidup di dunia ini maka itu adalah kehendak-Nya, begitu pula sebaliknya jika Allah menghendaki ia meninggalkan dunia ini itulah kehendak-Nya. Apapun ia menjadi seorang hamba-Nya yang senantiasa penuh dengan jiwanya perasaan puas dan rela atas pemberian dan ketentuan Allah swt., sehingga jiwa orang tersebut selalu tenang dan tenteram.

 

Dari 1 s/d 4 kuncinya sudah berungkali disampaikan pijakan/landasan dasarnya adalah ;

 

Allah berfirman :

( Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan ) Huud : 15-16

 

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya segala pekerjaan itu ( diterima atau tidaknya di sisi Allah )hanyalah tergantung niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya, maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang akan dia menikah dengannya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan. HR. Muttafaq 'alaih.

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan perkaranya di hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka dia didatangkan, dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah diberikan kepadanya di dunia, lalu ia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka orang itu menjawab : aku berperang di jalan-Mu sampai mati syahid, maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan bahwa kamu adalah seorang pemberani, dan yang sedemikian itu telah diucapkan ( kamu telak dipuji-puji dst sebagai imbalan apa yang telah kamu niatkan.pent. ) maka diperintahkan supaya dia diseret di atas mukanya sampai dilemparkan di api neraka, dan seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan menghapal al-Qur'an, lalu dia didatangkan dan diperkenalkan kepadanya segala nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya di dunia, maka diapun mengenalinya, maka dikatakan kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan membaca al-Qur'an untuk-Mu. Maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar dengan tujuan agar engkau dibilang seorang alim, dan engkau membaca/menghapal al-Qur'an supaya dibilang engkau seorang penghapal/pembaca al-Qur'an yang baik, dan semua itu sudah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian yang kamu harapkan sebagai imbalan niatmu ) lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya keluasan rizki dan diberikan kepadanya segala macam harta, lalu dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah diberikan kepadanya dan dia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya : apa yang kamu kerjakan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : tidak ada suatu jalan yang Engkau suka harta yang telah Engkau berikan agar dibelanjakan padanya kecuali aku telah membelanjakan harta itu di jalan tersebut karena Engkau, maka Allah berkata : Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan itu agar dibilang bahwa kamu adalah seorang dermawan dan yang sedemikian itu telah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian tersebut di dunia sebagai imbalan dari niatmu itu ), lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka. HR.Muslim

 

Berkata sayyid Abdullah al-Haddad: saudaraku, hendaklah engkau memperbaiki niat dan ke-ikhlasannya serta merenungkan sejenak sebelum memulai aktifitas, karena niat adalah pondasi bagi amal perbuatan sedangkan amal perbuatan akan mengikuti bagaimana niat seseorang antara baik dan buruk, sah dan fasid (rusak)nya amal. Telah bersabda Rasulullah SAW.

 

قال صلى الله عليه وسلم "إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

“sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan”

 

Oleh karenanya seyogyanya tidaklah seorang berkata, berbuat dan ber-‘azam kecuali semata-mata diniatkan untuk mendekatkan diri pada Allah, mengharapkan pahala yang telah Allah sediakan pada setiap perbuatan yang dikerjakan sebagai anugerah.

 

Yang mengetahui niatnya seseorang hanyalah Allah dan Rasul-Nya juga orang-orang mukmin yang diberitakan oleh Allah SWT ;

 

105. dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS at-Taubah 105)

 

Bisa jadi orang hidup sederhana tapi hatinya tidak ridho atas Qadha dan Qadar-Nya, keterpaksaan di dalam menjalani kesederhanaan, bisa jadi kesederhanaanya tanpa niat mengikuti jejak Baginda Nabi SAW, jejak para Salafuna shalihin, maka tentu tidaklah sempurna ia di dalam menjalani kesederhanaannya. Atau malah kesederhanaannya menjadikan dirinya ingin dilihat oleh orang lain bahwa dirinya ber-sahaja dan sederhana, yang mana berujung kepada keinginan di puji dan dianggap orang yang baik dsb. Maka “Kesederhanaan” yang semu di sisi-Nya jadinya.

 

Lalu bagaimana dengan yang bergelimpangan harta ? apakah “salah” dari perspektif Pandangan-Nya, bagaimana dengan kekayaan Nabi Sulaiman.as, Imam asy-Syadzili, Habib Abu Bakar al-Adani dll..

 

Perhatikan baik-baik kisah berikut ;

 

Dalam Islam, harta kejayaan bisa menjadi sesuatu yang terpuji bila digunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan dunia dan agama, sehingga dalam Alquran, Allah sering menyebut harta dengan khair (kebaikan) dengan catatan banyak atau sedikitnya rezeki tidak ditentukan ketakwaan seseorang tetapi memang sudah ditentukan dalam catatan amal sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Rezeki telah dibagi dan dialokasikan sesuai bagian yang telah ditentukan. Ketakwaan seseorang tidak berarti menambah rezekinya dan kefasikan seseorang tidak pula berarti mengurangi rezekinya".

 

Seorang sufi ternama, Said bin Musayyab pernah berkata tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengumpulkan harta dari barang halal. Bahkan Sufyan as-Tsauri dengan tegas mengatakan, "harta di zaman sekarang adalah senjata ampuh bagi orang mukmin". Rasulullah SAW sendiri mengakui betapa pentingnya harta kekayaan sebagai penopang hidup manusia modern baik urusan dunia maupun agamanya sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh At-Tabrani : "Apabila akhir zaman datang maka penopang agama dan dunia seseorang adalah dirham dan dinar". Dari penjelasan di atas, jelaslah menanamkan pola hidup miskin di zaman modern sebagaimana yang diajarkan para sufi terdahulu merupakan konsep yang kurang bijak dan sudah kurang relevan dengan era globalisasi sekarang.

 

Terbukti kini banyak para kiai, ulama dan mursyid tarekat yang nota bene pewaris para nabi mempunyai rumah mewah, kendaraan yang sangat mahal dan harta yang berlimpah. Sebuah pemandangan yang kontras dan jauh berbeda dengan gaya hidup panutannya, Rasulullah SAW.

 

Beliau menggoreskan sejarah hidupnya dengan hidup miskin tetapi tidak berarti menyuruh atau menganjurkan hidup miskin, sebab kenyataannya di jaman Rasulullah SAW banyak sahabat beliau yang kaya raya, bahkan beliau mengawinkan dua putrinya kepada sahabat yang paling kaya raya, konglomerat di saat itu, Sayidina Ustman bin Affan.ra

 

Ketika beliau ditawari hidup kaya oleh Allah, beliau menjawab dengan dua alasan, pertama, beliau malu kepada para nabi dan rasul terdahulu karena mereka merasakan kepedihan luar biasa dalam menyampaikan Risalah Allah, tidak hanya lapar dan miskin tetapi juga cacian, siksaan dan cobaan yang datang silih berganti, toh mereka tetap sabar dan tabah.

 

Ketika beliau ditanya tentang kebiasaan seseorang yang berpakaian dan memakai perhiasan bagus beliau menjawab: Inna Allah jamilun yuhibbul jamal (Allah adalah Tuhan Yang Maha Indah dan menyukai keindahan). Jadi beliau juga memberi justifikasi kepada umatnya untuk hidup mewah, asal tetap taat dan tidak lalai terhadap kewajiban Allah. Adapun kepada umatnya yang hidup miskin, beliau menghibur dan meyakinkan bahwa Allah akan memberi anugerah yang besar melebihi orang kaya kepada orang miskin di akhirat kelak asal sabar dan menerima.

 

Yang menarik, ada penjelasan dari seorang sufi besar Imam as-Syadzili yang selalu menganjurkan hidup "ngota" dan parlente, beliau menyarankan pada para sahabatnya, "Makanlah makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang paling enak, berpakaianlah dengan pakaian yang paling mahal sebab bila seseorang telah melakukan itu semua dan berkata "Alhamdulillah", maka semua anggota badannya menjawab dan mengakui dengan bersyukur. Sebaliknya bila seseorang makan hanya gandum dengan garam, berpakaian lusuh, tidur di lantai, minum air tawar kemudian ia berkata, "Alhamdulillah", maka seluruh anggota badannya malah marah, bosan dan mencela pada orang yang mengatakan itu, sebab anggota badan tersebut merasa tidak diberi hak yang selayaknya, tidak sesuai antara pernyataan syukur dan kenyataannya. Seandainya ia bisa melihat langsung, tentunya ia akan melihat kebosanan dan kemarahannya. Tentunya ia memilih dosa karena membohongi anggota badannya, kalau begitu lebih baik orang yang menikmati kesenangan dunia dengan penuh keyakinan kepada Allah sebab pada hakikatnya orang yang menikmati kesenangan dunia adalah melakukan sesuatu yang diperbolehkan Allah dan barang siapa menimbulkan kebosanan dan kemarahan pada anggota badannya pada hakikatnya melakukan sesuatu yang diharamkan Allah".

 

Dari penjelasannya, beliau memberikan pembenaran dan pembelaan yang kuat bahwa seorang sufi boleh hidup mewah di dunia dengan catatan memakai pakaian yang mahal dengan niat menampakkan nikmat Allah bukan untuk memuaskan nafsunya. Juga makan dan minum yang lezat dengan niat agar seluruh anggota badannya dapat bersyukur dengan anugerah yang telah diberikannya.

 

Bahkan beliau tidak menghendaki seorang sufi yang miskin, kelemproh, lusuh, kumal, dekil dan kucel. Ini dibuktikan dalam sejarah, beliau selalu memakai pakaian yang mewah dan mahal, berkendaraan yang bagus dan berbagai fasilitas yang serba lux, sangat berbeda dengan gaya hidup para sufi pada umumnya. Toh beliau tetap mempunyai reputasi dan nama yang harum sebagai sufi dan Wali agung, dijadikan panutan dan dikagumi hingga sekarang. Sebab kenyataannya beliau menggunakan fasilitas kemewahan dunia semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah dan untuk kepentingan umum umat Islam pada zamannya, sebuah ibadah sosial yang dianjurkan dalam Islam.

 

Imam as-Syadzili mengilustrasikan gaya hidup mewahnya dengan sebuah kisah. Pada suatu hari ada seeorang yang hendak bertemu Imam Abu Hasan Ali al-Syadzili di rumahnya. Karena belum tahu rumahnya, ia bertanya kepada orang lain, orang itu segera pergi ke tempat yang ditunjukkan, begitu sampai ke alamatnya, ia tidak jadi masuk ke rumah itu, karena ia mendapatkan sebuah bangunan rumah bagai istana raja yang sangat indah dan megah. Ia tidak percaya kalau itu rumah tempat tinggal imam yang dicarinya. Dalam hatinya ia yakin bahwa seorang wali tidak akan hidup semewah itu. Seorang wali adalah orang yang hidup sederhana dan pasti mengamalkan zuhud, yaitu sikap menjauhi dunia. Melihat kenyataan itu, ia segera pulang, tetapi di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang pengendara kereta kuda yang mewah mempersilakan naik bersamanya. Dengan penuh rasa waswas akhirnya ia menerima tawaran orang tersebut. Dalam pembicaraan di atas kereta, diketahuilah bahwa pengendara kereta itu tidak lain Imam Abu Hasan as-Syadzili sendiri.

 

Ketika ia tahu siapa yang ditumpanginya, ia pun tidak berani menyembunyikan niatnya semula dan mengatakan bahwa sebenarnya ia baru saja pergi ke rumah beliau. Namun niat itu digagalkan karena tidak percaya bahwa rumah itu adalah rumah Sang Imam. Mendengar penuturan tersebut, Imam Abu Hasan kemudian memberikan sebuah gelas yang berisi minuman anggur pilihan. Ia sangat kagum karena selama hidupnya belum pernah melihat dan meminum anggur semacam itu. Rasa kagum itu membuatnya merasa takut kalau anggur itu tumpah atau gelasnya terlepas dari genggamannya. Apalagi kereta yang ia tumpangi sedang lari kencang mengelilingi kota. Seluruh perhatiannya tertuju pada gelas dan anggur sehingga ia tidak bisa menikmati indahnya perjalanan dan megahnya pemandangan kota sekelilingnya.

 

Setelah selesai mengelilingi kota yang indah, kereta beliau berhenti di halaman rumahnya tanpa disadari orang tersebut, ia terus saja memperhatikan anggurnya. Ia baru sadar setelah Sang Imam bertanya kepadanya: "Bagaimana perjalanan tadi, apakah kamu bisa menikmati keindahan kota ini?" Ia tidak bisa menjawab karena selama perjalanan memang tidak melihat apa-apa selain anggur yang ada di tangannya. Sebelum orang itu menjawab, Imam Syadzili melanjutkan kata-katanya, "Nah, antara kamu, keindahan kota dan anggur di tanganmu itu ibarat aku sendiri dengan hartaku dan Allah dalam batinku. Karena perhatianku hanya tertuju kepada Allah, aku tidak pernah peduli apakah kota ini indah atau tidak." Orang itu memahami apa yang dilihat dan didengarnya. Ia gembira karena mendapatkan pelajaran zuhud dari Sang Imam.

 

Pengertian zuhud sendiri dalam Alquran dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 23: "Supaya kau tidak berputus asa terhadap sesuatu yang telah hilang di hadapanmu dan tidak terlalu gembira terhadap karunia yang datang padamu"

 

Bagaimana ? bisakah kita menilai atau men-judge sesuatu, itu hak mutlak milik dan hak prerogratif  Allah SWT, kita tidak mengetahui isi hati dan niat seseorang serta tidak punya hak menilai seseorang…

 

Salah satu kisah Al-Quran yang sangat mengagumkan dan dipenuhi dengan misteri adalah, kisah seseorang hamba yang Allah s.w.t memberinya rahmat dari sisi-Nya dan mengajarinya ilmu-Nya. Kisah tersebut terdapat di dalam Qur’an surah al-Kahfi di mana ayat-ayatnya dimulai dengan cerita Nabi Musa, yaitu:

 

"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan-jalan sampai bertahun-tahun." (QS. al-Kahfi: 60)

 

Kalimat yang samar menunjukkan bahawa Musa telah bertekad untuk meneruskan perjalanan selama waktu yang cukup lama kecuali jika beliau mampu mencapai majma' al-Bahrain (pertemuan dua buah lautan). Di sana terdapat suatu perjanjian penting yang dinanti-nanti oleh Nabiyullah Musa.as  ketika beliau sampai di majma' al-Bahrain. Anda dapat merenungkan betapa tempat itu sangat misteri dan samar. Para musafir telah merasakan keletihan dalam waktu yang lama untuk mengetahui hakikat tempat ini. Ada yang mengatakan bahawa tempat itu adalah laut Persia dan Romawi. Ada yang mengatakan lagi bahawa itu adalah laut Jordania atau Kulzum. Ada yang mengatakan juga bahawa itu berada di Thanjah. Ada yang berpendapat, itu terletak di Afrika. Ada lagi yang mengatakan bahawa itu adalah laut Andalus. Tetapi mereka tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat dari tempat-tempat itu.

 

Seandainya tempat itu harus disebutkan nescaya Allah s.w.t akan rnenyebutkannya. Namun Al-Quran al-Karim sengaja menyembunyikan tempat itu, sebagaimana Al-Quran tidak menyebutkan kapan itu terjadi. Begitu juga, Al-Quran tidak menyebutkan nama-nama orang-orang yang terdapat dalam kisah itu kerana adanya hikmah yang tinggi yang kita tidak mengetahuinya. Kisah tersebut berhubungan dengan suatu ilmu yang tidak kita miliki, kerana biasanya ilmu yang kita kuasai berkaitan dengan sebab-sebab tertentu. Dan tidak juga ia berkaitan dengan ilmu para nabi kerana biasanya ilmu para nabi berdasarkan wahyu. Kita sekarang berhadapan dengan suatu ilmu dari suatu hakikat yang samar; ilmu yang berkaitan dengan takdir yang sangat tinggi; ilmu yang dipenuhi dengan rangkaian tabir yang tebal.

 

Di samping itu, tempat pertemuan dan waktunya antara hamba yang mulia ini dan Nabiyullah Musa.as  juga tidak kita ketahui. Demikianlah kisah itu terjadi tanpa memberitahumu kapan terjadi dan di tempat mana. Al-Quran sengaja menyembunyikan hal itu, bahkan Al-Quran sengaja menyembunyikan pahlawan dari kisah ini. Allah s.w.t mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya:

 

"Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi: 65)

 

Al-Quran al-Karim tidak menyebutkan siapa nama hamba yang dimaksud, yaitu seorang hamba yang dicari oleh Nabiyullah Musa.as  agar ia dapat belajar darinya. Nabi Nabiyullah Musa.as  adalah seseorang yang diajak berbicara langsung oleh Allah s.w.t dan ia salah seorang ulul azmi dari para rasul. Beliau adalah pemilik mukjizat tongkat dan tangan yang bercahaya dan seorang Nabi yang Taurat diturunkan kepadanya tanpa melalui perantara. Namun dalam kisah ini, beliau menjadi seorang pencari ilmu yang sederhana yang harus belajar kepada gurunya dan menahan penderitaan di tengah-tengah belajarnya itu. Lalu, siapakah gurunya atau pengajarnya? Pengajarnya adalah seorang hamba yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Quran meskipun dalam hadis yang suci disebutkan bahwa ia adalah Nabiyullah Khidir as.

 

Nabiyullah Musa.as  berjalan bersama hamba yang menerima ilmunya dari Allah s.w.t tanpa sebab-sebab penerimaan ilmu yang biasa kita ketahui. Mula-mula Khidir.as menolak ditemani oleh Nabiyullah Musa.as . Khidir.as memberitahu Nabiyullah Musa.as  bahwa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Akhirnya, Khidir.as bersedia ditemani oleh Nabiyullah Musa.as  tapi dengan syarat, hendaklah ia tidak bertanya tentang apa yang dilakukan Khidir.as hingga Nabi Khidir.as  sendiri yang menceritakan kepadanya. Khidir.as merupakan simbol ketenangan dan diam; ia tidak berbicara dan gerak- gerinya menimbulkan kegelisahan dan kebingungan dalam diri Nabiyullah Musa.as . Sebagian tindakan yang dilakukan oleh Khidir.as jelas-jelas dianggap sebagai kejahatan di mata Nabiyullah Musa.as ; sebagian tindakan Khidir yang lain dianggap Nabiyullah Musa.as  sebagai hal yang tidak memiliki arti apa pun; dan tindakan yang lain justru membuat Nabiyullah Musa.as  bingung dan membuatnya menentang. Meskipun Nabiyullah Musa.as  memiliki ilmu yang tinggi dan kedudukan yang luar biasa, namun beliau mendapati dirinya dalam keadaan kebingungan melihat perilaku hamba yang mendapatkan karunia ilmunya dari sisi Allah s.w.t.

 

Ilmu Nabiyullah Musa.as  yang berlandaskan syariat menjadi bingung ketika menghadapi ilmu hamba ini, Nabiyullah Khidir.as yang berlandaskan hakikat. Syariat merupakan bahagian dari hakikat. Terkadang hakikat menjadi hal yang sangat samar sehingga para nabi pun sulit memahaminya. Awan tebal yang menyelimuti kisah ini dalam Al-Quran telah menurunkan hujan lebat yang darinya mazhab- mazhab sufi di dalam Islam menjadi segar dan tumbuh. Bahkan terdapat keyakinan yang menyatakan adanya hamba-hamba Allah s.w.t yang bukan termasuk nabi dan syuhada namun para nabi dan para syuhada "cemburu" dengan ilmu mereka. Keyakinan demikian ini timbul kerana pengaruh kisah ini.

 

Nabiyullah Musa.as  as ketika berbicara di tengah-tengah Bani Israil. Ia mengajak mereka untuk menyembah Allah s.w.t dan menceritakan kepada mereka tentang kebenaran. Pembicaraan Nabi Musa sangat komprehensif dan tepat. Setelah beliau menyampaikan pembicaraannya, salah seorang Bani Israil bertanya: "Apakah ada di muka bumi seseorang yang lebih alim darimu wahai Nabi Allah?" Dengan nada emosi, Nabiyullah Musa.as  menjawab: "Tidak ada."

 

Allah s.w.t tidak setuju dengan jawapan Nabiyullah Musa.as . Lalu Allah s.w.t mengutus Jibril untuk bertanya kepadanya: "Wahai Nabiyullah Musa.as , tidakkah engkau mengetahui di mana Allah s.w.t meletakkan ilmu-Nya?" Nabiyullah Musa.as  menyadari bahwa ia terburu-buru mengambil suatu keputusan. Jibril kembali berkata kepadanya: "Sesungguhnya Allah s.w.t mempunyai seorang hamba yang berada di majma' al-Bahrain yang ia lebih alim daripada kamu." Jiwa Nabi Nabiyullah Musa.as  yang mulia rindu untuk menambah ilmu, lalu timbullah keinginan dalam dirinya untuk pergi dan menemui hamba yang alim ini. Nabiyullah Musa.as  bertanya bagaimana ia dapat menemui orang alim itu. Kemudian ia mendapatkan perintah untuk pergi dan membawa ikan di keranjang. Ketika ikan itu hidup dan melompat ke lautan maka di tempat itulah Nabiyullah Musa.as  akan menemui hamba yang alim.

 

Akhirnya, Nabiyullah Musa.as  pergi guna mencari ilmu dan beliau ditemani oleh seorang pembantunya yang masih muda. Pemuda itu membawa ikan di keranjang. Kemudian mereka berdua pergi untuk mencari hamba yang alim dan soleh. Tempat yang mereka cari adalah tempat yang sangat samar dan masalah ini berkaitan dengan hidupnya ikan di keranjang dan kemudian ikan itu akan melompat ke laut. Namun Nabiyullah Musa.as  berkeinginan kuat untuk menemukan hamba yang alim ini walaupun beliau harus berjalan sangat jauh dan menempuh waktu yang lama.

 

Nabiyullah Musa.as  berkata kepada pembantunya: "Aku tidak memberimu tugas apa pun kecuali engkau memberitahuku di mana ikan itu akan berpisah denganmu." Pemuda atau pembantunya berkata: "Sungguh engkau hanya memberi aku tugas yang tidak terlalu berat." Kedua orang itu sampai di suatu batu di sisi laut. Nabiyullah Musa.as  tidak kuat lagi menahan rasa kantuk sedangkan pembantunya masih bergadang. Angin bergerak ke tepi lautan sehingga ikan itu bergerak dan hidup lalu melompat ke laut. Melompatnya ikan itu ke laut sebagai tanda yang diberitahukan Allah s.w.t kepada Nabiyullah Musa.as  tentang tempat pertemuannya dengan seseorang yang bijaksana yang mana Nabiyullah Musa.as  datang untuk belajar kepadanya. Nabiyullah Musa.as  bangkit dari tidurnya dan tidak mengetahui bahawa ikan yang dibawanya telah melompat ke laut sedangkan pembantunya lupa untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu Nabiyullah Musa.as  bersama pemuda itu melanjutkan perjalanan dan mereka lupa terhadap ikan yang dibawanya. Kemudian Nabiyullah Musa.as  ingat pada makanannya dan ia telah merasakan keletihan. Ia berkata kepada pembantunya: "Cuba bawalah kepada kami makanan siang kami, sungguh kami telah merasakan keletihan akibat dari perjalanan ini."

 

Pembantunya mulai ingat tentang apa yang terjadi. Ia pun mengingat bagaimana ikan itu melompat ke lautan. Ia segera menceritakan hal itu kepada Nabi Nabiyullah Musa.as . Ia meminta maaf kepada Nabi Nabiyullah Musa.as  kerana lupa menceritakan hal itu. Setan telah melupakannya. Keanehan apa pun yang menyertai peristiwa itu, yang jelas ikan itu memang benar-benar berjalan dan bergerak di lautan dengan suatu cara yang mengagumkan. Nabi Nabiyullah Musa.as  merasa gembira melihat ikan itu hidup kembali di lautan dan ia berkata: "Demikianlah yang kita inginkan." Melompatnya ikan itu ke lautan adalah sebagai tanda bahwa di tempat itulah mereka akan bertemu dengan seseorang lelaki yang alim. Nabi Nabiyullah Musa.as  dan pembantunya kembali dan menyelusuri tempat yang dilaluinya sampai ke tempat yang di situ ikan yang dibawanya bergerak dan menuju ke lautan.

 

Perhatikanlah permulaan kisah: bagaimana Anda berhadapan dengan suatu kesamaran dan tabir yang tebal di mana ketika Anda menjumpai suatu tabir di depan Anda terpampang maka sebelum tabir itu tersingkap Anda harus berhadapan dengan tabir-tabir yang lain. Akhirnya, Nabiyullah Musa.as  sampai di tempat di mana ikan itu melompat. Mereka berdua sampai di batu di mana keduanya tidur di dekat situ, lalu ikan yang mereka bawa keluar menuju laut. Di sanalah mereka mendapatkan seorang lelaki. Kami tidak mengetahui namanya, dan bagaimana bentuknya, dan bagaimana bajunya; kami pun tidak mengetahui usianya. Yang kita ketahui hanyalah gambaran dalam yang dijelaskan oleh Al-Quran: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahrnat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. "

 

Inilah aspek yang penting dalam kisah itu. Kisah itu terfokus pada sesuatu yang ada di dalam jiwa, bukan tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik atau lahiriah. Allah s.w.t berfirman yang tafsirnya:

 

"Maka tatkala mereka berjalan sampai ke pertemuan dua buah laut itu, maka mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa  kepada muridnya: 'Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita merasa letih kerana perjalanan kita ini.' Muridnya menjawab: 'Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.' Musa.as  berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. " (QS. al-Kahfi: 61-65)

 

Di dalam kitab hadist shahih Bukhari mengatakan bahwa Nabiyullah Musa.as  dan pembantunya menemukan Khidir di atas sejadah hijau di tengah-tengah lautan. Ketika Nabiyullah Musa.as  melihatnya, ia menyampaikan salam kepadanya. Khidir berkata: "Apakah di bumimu ada salam? Siapa kamu?" Nabiyullah Musa.as  menjawab: "Aku adalah Musa." Khidir berkata: "Bukankah engkau Musa dari Bani Israil. Bagimu salam wahai Nabi dari Bani Israil." Nabiyullah Musa.as  berkata: "Dari mana kamu mengenal saya?" Khidir menjawab: "Sesungguhnya yang mengenalkan kamu kepadaku adalah juga yang memberitahu aku siapa kamu. Lalu, apa yang engkau inginkan wahai Musa?" Nabiyullah Musa.as  berkata dengan penuh kelembutan dan kesopanan: "Apakah aku dapat mengikutimu agar engkau dapat mengajariku sesuatu yang engkau telah memperoleh kurnia dari-Nya." Khidir berkata: "Tidakkah cukup di tanganmu Taurat dan bukankah engkau telah mendapatkan wahyu. Sungguh wahai Musa, jika engkau ingin mengikutiku engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku."

 

Kita ingin memperhatikan sejenak perbedaan antara pertanyaan Nabiyullah Musa.as  yang penuh dengan kesopanan dan kelembutan dan jawapan Khidir yang tegas di mana ia memberitahu Nabiyullah Musa.as  bahwa ilmunya tidak harus diketahui oleh Nabiyullah Musa.as , sebagaimana ilmu Nabiyullah Musa.as  tidak diketahui oleh Khidir. Para ahli tafsir mengemukakan bahwa Khidir berkata kepada Nabiyullah Musa.as : "Ilmuku tidak akan engkau ketahui dan engkau tidak akan mampu sabar untuk menanggung derita dalam memperoleh ilmu itu. Aspek-aspek lahiriah yang engkau kuasai tidak dapat menjadi landasan dan ukuran untuk menilai ilmuku. Barangkali engkau akan melihat dalam tindakan- tindakanku yang tidak engkau pahami sebab-sebabnya. Oleh kerana itu, wahai Musa, engkau tidak akan mampu bersabar ketika ingin mendapatkan ilmuku." Nabiyullah Musa.as  mendapatkan suatu pernyataan yang tegas dari Khidir namun beliau kembali mengharapnya untuk mengizinkannya menyertainya untuk belajar darinya. Nabiyullah Musa.as  berkata kepadanya bahwa insya-Allah ia akan mendapatinya sebagai orang yang sabar dan tidak akan menentang sedikit pun.

 

Perhatikanlah bagaimana Nabiyullah Musa.as , seorang Nabi yang berdialog dengan Allah s.w.t, merendah di hadapan hamba ini dan ia menegaskan bahwa ia tidak akan menentang perintahnya. Hamba Allah s.w.t yang namanya tidak disebutkan dalam Al-Quran menyatakan bahwa di sana terdapat syarat yang harus dipenuhi Nabiyullah Musa.as,  jika ia bersikeras ingin menyertainya dan belajar darinya. Nabiyullah Musa.as  bertanya tentang syarat ini, lalu hamba yang soleh ini menentukan agar Nabiyullah Musa.as  tidak bertanya sesuatu pun sehingga pada saatnya nanti ia akan mengetahuinya atau hamba yang soleh itu akan memberitahunya. Nabiyullah Musa.as  sepakat atas syarat tersebut dan kemudian mereka pun pergi. Perhatikanlah tafsir firman Allah s.w.t dalam surah al-Kahfi:

 

"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu ?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?' Musa berkata: 'Insya-Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'" (QS. al-Kahfi: 66-70)

 

Nabiyullah Musa.as  pergi bersama Khidir. Mereka berjalan di tepi laut. Kemudian terdapat perahu yang berlayar lalu mereka berbicara dengan orang-orang yang ada di sana agar mau mengangkut mereka. Para pemilik perahu mengenal Khidir. Lalu mereka pun membawanya berserta Nabiyullah Musa.as , tanpa meminta upah sedikit pun kepadanya. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Khidir. Namun Nabiyullah Musa.as  dibuat terkejut ketika perahu itu berlabuh dan ditinggalkan oleh para pemiliknya, Khidir melubangi perahu itu. Ia mencabut papan demi papan dari perahu itu, lalu ia melemparkannya ke laut sehingga papan-papan itu dibawa ombak ke tempat yang jauh.

 

Nabiyullah Musa.as  menyertai Khidir dan melihat tindakannya dan kemudian ia berfikir. Nabiyullah Musa.as  berkata kepada dirinya sendiri: "Apa yang aku lakukan di sini, mengapa aku berada di tempat ini dan menemani laki-laki ini? Mengapa aku tidak tinggal bersama Bani Israil dan membacakan Kitab Allah s.w.t sehingga mereka taat kepadaku? Sungguh Para pemilik perahu ini telah mengangkut kami tanpa meminta upah. Mereka pun memuliakan kami tetapi guruku justru merosak perahu itu dan melubanginya." Tindakan Khidir di mata Nabiyullah Musa.as  adalah tindakan yang tercela. Kemudian bangkitlah emosi Nabiyullah Musa.as  sebagai bentuk kecemburuannya kepada kebenaran. Ia terdorong untuk bertanya kepada gurunya dan ia lupa tentang syarat yang telah diajukannya, agar ia tidak bertanya apa pun yang terjadi. Nabiyullah Musa.as  berkata: "Apakah engkau melubanginya agar para penumpangnya tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang tercela." Mendengar pertanyaan lugas Nabiyullah Musa.as , hamba Allah s.w.t itu menoleh kepadanya dan menunjukkan bahawa usaha Nabiyullah Musa.as  untuk belajar darinya menjadi sia-sia kerana Nabiyullah Musa.as  tidak mampu lagi bersabar. Nabiyullah Musa.as  meminta maaf kepada Khidir kerana ia lupa dan mengharap kepadanya agar tidak menghukumnya.

 

Kemudian mereka berdua berjalan melewati suatu kebun yang dijadikan tempat bermain oleh anak-anak kecil. Ketika anak-anak kecil itu sudah letih bermain, salah seorang mereka tampak bersandar di suatu pohon dan rasa kantuk telah menguasainya. Tiba-tiba, Nabiyullah Musa.as  dibuat terkejut ketika melihat hamba Allah s.w.t ini membunuh anak kecil itu. Nabiyullah Musa.as  dengan lantang bertanya kepadanya tentang kejahatan yang baru saja dilakukannya, yaitu membunuh anak laki-laki yang tidak berdosa. Hamba Allah s.w.t itu kembali mengingatkan Nabiyullah Musa.as  bahawa ia tidak akan mampu bersabar bersamanya. Nabiyullah Musa.as  meminta maaf kepadanya kerana lagi-lagi ia lupa. Nabiyullah Musa.as  berjanji tidak akan bertanya lagi. Nabiyullah Musa.as  berkata ini adalah kesempatan terakhirku untuk menemanimu. Mereka pun pergi dan meneruskan perjalanan. Mereka memasuki suatu desa yang sangat bakhil. Nabiyullah Musa.as  tidak mengetahui mengapa mereka berdua pergi ke desa itu dan mengapa tinggal dan bermalam di sana. Makanan yang mereka bawa habis, lalu mereka meminta makanan kepada penduduk desa itu, tetapi penduduk itu tidak mau memberi dan tidak mau menjamu mereka.

 

Kemudian datanglah waktu petang. Kedua orang itu ingin beristirahat di sebelah dinding yang hampir roboh. Nabiyullah Musa.as  dibuat terkejut ketika melihat hamba itu berusaha membangun dinding yang nyaris roboh itu. Bahkan ia menghabiskan waktu malam untuk memperbaiki dinding itu dan membangunnya seperti baru. Nabiyullah Musa.as  sangat heran melihat tindakan gurunya. Bagi Nabiyullah Musa.as , desa yang bakhil itu seharusnya tidak layak untuk mendapatkan pekerjaan yang gratis ini. Nabiyullah Musa.as  berkata: "Seandainya engkau mau, engkau bisa mendapat upah atas pembangunan tembok itu." Mendengar perkataan Nabiyullah Musa.as  itu, hamba Allah s.w.t itu berkata kepadanya: "Ini adalah batas perpisahan antara dirimu dan diriku." Hamba Allah s.w.t itu mengingatkan Nabiyullah Musa.as  tentang pertanyaan yang seharusnya tidak dilontarkan dan ia mengingatkannya bahwa pertanyaan yang ketiga adalah akhir dari pertemuan.

 

Kemudian hamba Allah s.w.t itu menceritakan kepada Nabiyullah Musa.as  dan membongkar kesamaran dan kebingungan yang dihadapi Nabiyullah Musa.as . Setiap tindakan hamba yang soleh itu—yang membuat Nabiyullah Musa.as  bingung—bukanlah hasil dari rekayasanya atau dari inisiatif sendiri, ia hanya sekadar menjadi jembatan yang digerakkan oleh kehendak Yang Maha Tingi di mana kehendak yang tinggi ini menyiratkan suatu hikmah yang tersembunyi. Tindakan-tindakan yang secara lahiriah tampak keras namun pada hakikatnya justru menyembunyikan rahmat dan kasih sayang-Nya. Demikianlah bahwa aspek lahiriah bertentangan dengan aspek batiniah, walau pun tidak semuanya. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Nabiyullah Musa.as . Meskipun Nabiyullah Musa.as  memiliki ilmu yang sangat luas tetapi ilmunya tidak sebanding dengan hamba ini. Ilmu Nabiyullah Musa.as  laksana setitis air dibandingkan dengan ilmu hamba itu, sedangkan hamba Allah s.w.t itu hanya memperoleh ilmu dari Allah s.w.t sedikit, sebesar air yang terdapat pada paruh burung yang mengambil dari lautan. Tafsir dari firman Allah SWT:

 

"Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidir melubanginya. Musa berkata: 'Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.' Dia (Khidir) berkata: 'Bukankah aku telah berkata: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.' Musa berkata: 'Janganlah kamu menghukum aku kerana kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.' Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: 'Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih itu, bukan kerana dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.' Khidir berkata: 'Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahawa sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku?' Musa berkata: 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku.' Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau kamu mau, nescaya kamu mengambil upah untuk itu.' Khidir berkata: 'Inilah perpisahan antara aku dengan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merosakkan bahtera itu, kerana di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin dan kami khawatir bahawa dia akan mendorong orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam dari kasih sayangnya (kepada ibu dan bapaknya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya seseorang yang soleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.'" (QS. al-Kahfi: 71-82)

 

Hamba soleh itu menyingkapkan dua hal pada Nabiyullah Musa.as : ia memberitahunya bahwa ilmunya, yakni ilmu Nabiyullah Musa.as  sangat terbatas, kemudian ia memberitahunya bahwa banyak dari musibah yang terjadi di bumi justru di balik itu terdapat hikmah dan rahmat yang besar. Pemilik perahu itu akan menganggap bahwa usaha melubangi perahu mereka merupakan suatu bencana bagi mereka tetapi sebenarnya di balik itu terdapat kenikmatan, yaitu kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali setelah terjadinya peperangan di mana raja akan memerintahkan untuk merampas perahu- perahu yang ada. Lalu raja itu akan membiarkan perahu-perahu yang rosak. Dengan demikian, sumber rezeki keluarga-keluarga mereka akan tetap terjaga dan mereka tidak akan mati kelaparan. Demikian juga orang tua anak kecil yang terbunuh itu akan menganggap bahwa terbunuhnya anak kecil itu sebagai musibah, namun kematiannya justru membawa rahmat yang besar bagi mereka kerana Allah s.w.t akan memberi mereka—sebagai ganti darinya—anak yang baik yang dapat menjaga mereka dan melindungi mereka pada saat mereka menginjak masa tua dan mereka tidak akan menampakkan kelaliman dan kekufuran seperti halnya anak yang terbunuh. Demikianlah bahwa nikmat terkadang membawa sesuatu bencana dan sebaliknya, suatu bencana terkadang membawa nikmat. Banyak hal yang lahirnya baik ternyata justru di balik itu terdapat keburukan.

 

Mula-mula Nabiyullah Musa.as  menentang dan mempersoalkan tindakan hamba Allah s.w.t tersebut, kemudian ia menjadi mengerti ketika hamba Allah s.w.t itu menyingkapkan kepadanya maksud dari tindakannya dan rahmat Allah s.w.t yang besar yang tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

 

Selanjutnya, Nabiyullah Musa.as  kembali menemui pembantunya dan menemaninya untuk kembali ke Bani Israil. Sekarang, Nabiyullah Musa.as  mendapatkan keyakinan yang luar biasa. Nabiyullah Musa.as  telah belajar dari mereka dua hal: yaitu ia tidak merasa bangga dengan ilmunya dalam syariat kerana di sana terdapat ilmu hakikat, dan ia tidak mempersoalkan musibah-musibah yang dialami oleh manusia kerana di balik itu terdapat rahmat Allah s.w.t yang tersembunyi yang berupa kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Itulah pelajaran yang diperoleh Nabi Nabiyullah Musa.as  as dari hamba ini. Nabiyullah Musa.as  mengetahui bahwa ia berhadapan dengan lautan ilmu yang baru di mana ia bukanlah lautan syariat yang diminum oleh para nabi. Kita berhadapan dengan lautan hakikat, di hadapan ilmu takdir yang tertinggi; ilmu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal kita sebagai manusia biasa atau dapat kita cerna dengan logik biasa. Ini bukanlah ilmu eksperimental yang kita ketahui atau yang biasa terjadi di atas bumi, dan ia pun bukan ilmu para nabi yang Allah s.w.t wahyukan kepada mereka, Kecuali kepada hamba pilihan-Nya.

 

Sebahagian ulama berpendapat bahwa hamba soleh ini adalah seorang nabi. Untuk mendukung penyataannya ulama- ulama tersebut menyampaikan beberapa argumentasi melalui ayat Al- Quran yang menunjukkan kenabiannya.

 

Pertama, firman-Nya:

 

"Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."

 

Kedua, perkataan Nabiyullah Musa.as  kepadanya:

 

"Musa berkata kepadanya: 'Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?' Dia menjawab: 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu ?' Musa berkata: 'lnsya-Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.' Dia berkata: 'Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu,'" (QS. al-Kahfi: 66-70)

 

Seandainya ia seorang wali dan bukan seorang nabi maka Nabiyullah Musa.as  tidak akan berdialog atau berbicara dengannya dengan cara yang demikian dan ia tidak akan menjawab kepada Nabiyullah Musa.as  dengan jawapan yang demikian. Bila ia bukan seorang nabi maka berarti ia tidak maksum sehingga Nabiyullah Musa.as  tidak harus memperoleh ilmu dari seseorang wali yang tidak maksum.

 

Ketiga, Khidir menunjukkan keberaniannya untuk membunuh anak kecil itu melalui wahyu dari Allah s.w.t dan perintah dari-Nya. Ini adalah dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya dan bukti kuat yang menunjukkan kemaksumannya. Sebab, seorang wali tidak boleh membunuh jiwa yang tidak berdosa dengan hanya berdasarkan kepada keyakinannya dan hatinya. Boleh jadi apa yang terlintas dalam hatinya tidak selalu maksum kerana terkadang ia membuat kesalahan. Jadi, keberanian Khidir untuk membunuh anak kecil itu sebagai bukti kenabiannya.

 

Keempat, perkataan Khidir kepada Nabiyullah Musa.as :

 

"Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemahuanku sendiri. " (QS. al-Kahfi: 82)

 

Yakni, apa yang aku lakukan bukan dari doronganku sendiri namun ia merupakan perintah dari Allah s.w.t dan wahyu dari-Nya. Demikianlah pendapat para ulama dan para ahli zuhud. Para ulama berpendapat bahwa Khidir adalah seorang Nabi, sedangkan para ahli zuhud dan para tokoh sufi berpendapat bahawa Khidir adalah seorang Nabi dan guru ruhani dari wali-wali Allah s.w.t.

 

Salah satu pernyataan Khidir yang sering dikemukakan oleh tokoh sufi adalah perkataan Wahab bin Munabeh, Khidir berkata: "Wahai Musa, manusia akan diseksa di dunia sesuai dengan kadar kecintaan mereka atau kecenderungan mereka terhadapnya (dunia)." Sedangkan Bisyir bin Harits al-Hafi berkata: "Nabiyullah Musa.as  berkata kepada Khidir: "Berilah aku nasihat." Khidir menjawab: "Mudah-mudahan Allah s.w.t memudahkan kamu untuk taat kepada-Nya."

 

 

Bagaimana ?? bisakah kita mengambil hikmah dari kisah yang diasmpaikan sendiri oleh Sang Pencipta Alam Semesta, tertuang di dalam kitab suci-Nya, disampaikan oleh hamba dan utusan-Nya, semulia-mulia makhluk-Nya Baginda Nabi Rasulullah SAW. Bisakah kita menilai dan menghukumi seseorang ?

 

Allah SWT juga telah menyatakan dalam al-Qur’an yang tafsirnya sebagai berikut;

“…..karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisaa : 19).

  “….Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu Tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)

 

Sahabat2ku semua, ketahuilah, bahwa ridhonya Allah, ada pada kesabaran dan ridhonya kita menerima segala ketentuanNya yang kurang kita sukai. Dan ketahuilah, Allah murka pada hambaNya yang tidak ridho dengan segala ujian dan ketetapanNya. Allah berfirman dalam Hadits Qudsi yang maknanya : “Barang siapa yang tidak RIDHO TERHADAP KETENTUAN-KU dan TIDAK SABAR atas musibah dari-ku, maka carilah Tuhan selain Aku." (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Di balik semua peristiwa pasti ada hikmah nya..

 

ALLAH Subhanahu Wata'ala Berfirman:

 

Dan (DIA lah) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi ALLAH telah mempersatukan hati mereka,Sesungguhnya DIA Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Anfal: 63)..

 

 

Dan perhatikanlah tafsir firman Allah ini;

QS.Ali Imran:129; “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha pengampun, maha penyayang.

QS. Al-Fath:14; “Dan hanya milik Allah kerajaan langit dan bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan akan Mengazab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha pengampun, maha penyayang.

QS.ali Imran:26; “Katakanlah, Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.

 

QS.an-Nahl:93; “Dan jika Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Tetapi kamu pasti yang akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.

 

QS.al-An’am:39; “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah tuli, bisu dan berada dalam gelap. Barang siapa dikehendaki Allah (dalam kesesatan), niscaya disesatkan-Nya. Dan barang siapa dikehendaki Allah (di jalan lurus), niscaya Dia menjadikannya berada diatas jalan yang lurus.

 

 

 

Telah menjadi ketentuan menurut ahlul iman yang kuat dan ketauhidan yang sempurna, bahwa Allah Jalla Wa’ala Maha Mampu dan Kuasa atas segala sesuatu, kekuasan-Nya subhanahu ta’ala tanpa batas, maka bagi-Nya kekuasaan penuh, dan keinginan yang sempurna, akhir semua masalah dan qada’. Kalau menginginkan sesuatu, maka akan jadi seperti yang diinginkan dan pada waktu yang diinginkan serta dengan cara yang diinginkan-Nya Subhanahu WaTa’ala.

 

Telah ada nash-nash yang pasti dari Kitab Tuhan kita dan sunnah Nabi kita sallallahu’alaihi wa sallam akan penetapan hal ini serta penjelasan yang gamblang tidak ada keraguan.

 

Kami cukupkan disini dengan menyebutkan sebagian ayat yang manunjukkan akan hal itu. diantaranya Firman-Nya Ta’ala:

 

( بديع السموات والأرض وإذا قضى أمراً فإنما يقول له كن فيكون ) البقرة /117

 

” Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia.” QS. Al-Baqarah: 117.

 

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsiri ayat ini, 1/175: ‘Hal itu Allah menjelaskan kesempurnaan kekuasaan-Nya, keagungan kerajaan-Nya. Kalau sekiranya ingin mentakdirkan suatu perkara dan menginginkan sesuatu, (cukup) dengan mengatakan kun (jadilah) hanya sekali, maka jadilah. Yakni maka akan ada sesuai dengan keinginan-Nya sebagaimana tafsir dari firman-firman-Nya sebagai berikut ;

 

‘Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.’ QS. Yasin: 82.

 

Begitu juga Firman Allah, ‘." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.” QS. Ali Imron: 47.

 

Firman-Nya Ta’ala, ‘Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.” QS. Ghofir: 68.

 

Firman lainnya, ‘Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata.’ QS. Al-Qamar: 50.

 

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya ketika menafsiri ayat ini, 4/261: “Ini adalah kabar akan pelaksanaan dari perintah-Nya dipenciptaan-Nya. Sebagaimana dikabarkan melaksanakan kekuasan-Nya kepada mereka, sehingga Allah berfirman ‘Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan.’ Yakni sesungguhnya kami memerintahkan sesuatu sekali saja, tidak membutuhkan penguatan kedua kali. Maka akan jadi apa yang Kami perintahkan itu akan terjadi dan ada hanya sekejap mata, tidak terlambat dari sekejap mata. Alangakah indahnya ungkapan sebagian ahli syair:

 

‘Ketika Allah menginginkan sesuatu, cukup hanya mengatakan ‘Jadilah’ dalam ucapan, maka akan jadi.’ Selesai.

 

tidaklah suatu urusan yang Allah lakukan, melainkan di dalamnya terdapat hikmah nan dalam. Dan ini termasuk diantara arti nama Allah Ta’ala ‘AL-Hakim (Maha Bijaksana)’. Hikmah ini terkadang Allah nampakkan dan terkadang tidak dinampakkan. Terkadang diketahui dan dibuat istimbat (pengambil hukum) bagi orang yang mendalam ilmunya tanpa (diketahui) oleh orang lain. Meskipun begitu, ketidaktahuan kita tentang hikmah ini, tidak menjadikan untuk meniadakan atau menolak hukum-hukum Allah dan mencoba dengan memaksakan dan bertanya-tanya tentang hikmah yang Allah sembunyikan ini. Allah Ta’ala berfirman:

 

( لا يُسأل عما يفعل وهم يسألون ) الأنبياء /23

 

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” QS. Al-Ambiya’: 23.

 

190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS ali Imran ; 190-191)

 

 Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini? Dengan itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan itu selain orang-orang fasik.” (QS al-Baqarah : 26)

 

 “Dan jika Allah menimpakan suatu Bencana (keburukan/kejahatan) kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki Kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan Kebaikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba Nya. Dia maha pengampun, maha penyayang.” QS.Yunus:107;

 

Apa manfaatnya kita mempermasalahkan persepektif manusia ? kedudukan, kondisi seseorang di mata orang ? Jika seluruh makhluk menyatakan dia orang baik, tetapi Allah SWT menyatakan dia bukan orang baik, hukum siapakah yang berlaku ? begitu pula sebaliknya, jika semua makhluk menyatakan dia orang yang buruk, tetapi Allah menyatakan dia baik ?

Apakah banyak anak berarti dia dipercaya ??, dan dia pasti baik, tidak ada nash/dalil yang menyatakan “kepastian seperti demikian itu”, semua hanyalah perspektif kita, “anak adalah titipan-Nya” itu sudah jelas, tetapi apakah yang dititipi orang yang amanah atau tidak ? wallahu’alam, coba perhatikan disekeliling kita apakah dalam kehidupan tidak banyak terjadi orang yang diberi amanah akhirnya khianat ? awalnya amanah tetapi kemudian berubah, apakah itu bisa dijadikan dasar bahwa yang dititipi sudah pasti orang yang amanah ?? Hanya Allah yang mengetahui, dan semua kembali kepada diri orang tersebut, bagaimana niatnya ? kepastian dan kebenaran hanyalah milik Allah SWT.

 

Dan Allah berfirman kepada nabi Muhammad saw di QS.Yunus:65;Dan janganlah engkau sedih oleh perkataan meraka. Sungguh, kekuasaan (akan perkataan mereka) itu seluruhnya milik Allah. Dia maha mendengar, maha mengetahui.”

 

Maha Benar ALLAH, Dengan Segala Firman NYA...

 

Coba perhatikan keterangan dari Baginda Nabi Rasulullah SAW  ini ;

 

Dari Ibnu Mubarak dan Khalid bin Ma'dan, mereka berkata kepada Mu'adz bin Jabal, "Mohon ceritakan kepada kami sebuah hadits yang telah Rasulullah ajarkan kepadamu, yang telah dihafal olehmu dan selalu diingat-ingatnya karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits terpenting?"

 

Mu'adz menjawab, "Baiklah, akan aku ceritakan..." Tiba-tiba Mu'adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian berkata, "Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullah. Ingin sekali aku bersua kembali dengan beliau...". Kemudian Mu'adz melanjutkan:

 

Suatu hari ketika aku menghadap Rasulullah Saw. yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullah menengadah ke langit dan bersabda, "Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan bagi Allah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu'adz....!

 

Labbaik, wahai penghulu para rasul....!

 

Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya, maka terputuslah hujjahmu di sisi Allah Azza wa Jalla....!

 

Wahai Mu'adz...

Sesungguhnya Allah Yang Maha Memberkati dan Mahatinggi telah menciptakan tujuh malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.

 

Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit dunia (as-samaa'I d-dunya) yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah kemudian memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya.

 

Namun tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!! Aku adalah pemilik ghibah... Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah di antara manusia -membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya untuk dapat melewati pintu langit pertama ini....!!"

 

Kemudian keesokan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih seorang hamba lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya dapat menembus ke langit kedua. Namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, "Berhenti kalian...! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu dia menginginkan penampilan duniawi belaka ('aradla d-dunya).Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit dua ini menuju langit berikutnya!" Mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.

 

Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat shadaqah, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga akhirnya dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, "Berhentilah kalian...! Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat takabur-sombong). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelis pertemuan mereka...."

 

Malaikat Hafadzah lainnya naik ke langit demi langit dengan membawa amalan seorang hamba yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, shalat, haji dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Namun malaikat penjaga pintu tersebut berkata, "Berhentilah kalian...! Dan tamparkan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya..! Aku adalah malaikat penjaga sifat 'ujub (takjub akan keadaan jiwanya sendiri-dan sifat ini letaknya di hati, bisa jadi lahiriah ia seperti orang yang tawadhu tetapi batinnya ada ujub). Rabb Pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar ridak membiarkan amalannya melewatiku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur 'ujub di dalam jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan...!"

 

 Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memiliki cahaya bagaikan sinar matahari.

 

Namun sesampainya di pintu langit kelima tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, "Saya adalah pemilik sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika mereka diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal tersebut melewatiku menunju langit berikutnya...!"

 

Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak, shaum-shaumnya (puasa-nya), haji dan umrah, hingga sampailah ke langit yang keenam. Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, 'Saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan si hamba tersebut ke wajah pemilikinya. Dia tidak memiliki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya...!'

 

Naiklah malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara' (berhati-hati dalam bermal). Amalan tersebut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit yang ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata, 'Saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sum'ah (mencintai kemasyhuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapatkan kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu langit ini menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allah ta'ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya', dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya' tersebut....!'

 

Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta'ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit tersebut beriringan menyertainya hingga terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah Subhanahu. Mereka berhenti di hadapan ar-Rabb yang Keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal sang hamba itu merupakan amal shalih yang diikhlaskannya hanya bagi Allah Ta'ala.

 

Namun tanpa disangka Allah berfirman, 'Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku. Dia menginginkan selain Aku...! dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha Mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dari amalannya tersebut. Laknatku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib, Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan di dalam kalbu-kalbu. Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi, dan tidak ada yang samar di hadapan-Ku terhadap segala yang tersamar..... Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipu-Ku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan Aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku....!!

 

Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya, 'Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan berkatalah seluruh petala langit, 'Laknat Allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu..!

 

Mendengar penuturan Rasulullah Saw. sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu'adz Rahimahullah, dengan isak tangisnya yang cukup keras...Lama baru terdiam kemudian dia berkata dengan lirihnya, "Wahai Rasulullah......Bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi...??"

 

Rasulullah bersabda, "Oleh karena itu wahai Mu'adz.....Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...".

Allah SWT menjelaskan dan berfirman ;

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣١)

Katakanlah,”Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah SAW), niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Imran:31)

 

Makna mengikuti Rasul adalah mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman yang tafsirnya : “Apa saja yang dibawa Rasul kepada kalian, terimalah; Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (Q.S Al-Hasyr:7)

 

“Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin maupun bagi perempuan mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat secara nyata” (Q.S Al-Ahzab:36).

 

Bahkan kesediaan mengikuti ketetapan dan keputusan hukum Rasulullah SAW merupakan cerminan dari keimanan. Tidak ada keimanan tanpa ketaatan pada syariat Islam (Q.S An-Nisa: 65)

 

Sehingga Rasulullah, para Sahabat Rasul, para Tabi’in, Para Ulama dan Awliya (Para Wali) adalah  jelas beliau semua termasuk golongan orang-orang mukmin, yang merupakan suri teladan dan rujukan bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan Firman-Nya di dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 115.

 

Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [an Nisaa’: 115]]

 

Seorang bijak menuturkan “Tirulah, sekalipun kalian tidak bisa seperti mereka. Karena meniru orang-orang yang mulia adalah keberuntungan.”

 

 

 

Dengan suara yang bergetar Mu'adz berkata, "Engkau adalah Rasul Allah, dan aku hanyalah seorang Mu'adz bin Jabal....Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua...??"

 

Nabi yang suci bersabda, "Baiklah wahai Mu'adz, apabila engkau merasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Alquran. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawaban jiwamu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh dengan aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan angkat derajat jiwamu dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu dapat melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus nilai kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkau pun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing Jahannam, sebagaimana firman-Nya Ta'ala, "Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya..." (QS An-Naaziyat [79]: 2) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapat tulang........

 

Mendengar penuturan Nabi sedemikian itu, Mu'adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih, "Wahai Rasulullah, Siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua....??"

 

"Wahai Mu'adz...! Sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta'ala.... Oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya.....!!"

 

 

Ingatlah selalu janji-Nya "Barangsiapa yang bertaqwa kepada-Ku, niscaya Ku beri jalan keluar dari setiap urusannya dan Kuberi rizki/pertolongan dari tempat yang tak terduga. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada-Ku, niscaya akan Kucukupi segala kebutuhannya". (QS. 65 (At-Thalaq) : 2-3)

 

Khalid bin Ma'dan kemudian berkata bahwa Mu'adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Alquran, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Alquran di dalam majelis pertemuannya.

 

Al-Ghazali Rahimahullah kemudian berkata, "Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya, sedemikian besar bahayanya, atsarnya yang sungguh menggetarkan, serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan akal dan menyempitkan dada yang kini penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb-mu, Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan berdoa, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan selalu berdoa kepada Allah Ta'ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan besar dalam hidupmu yang kalian tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat Allah Ta'ala semata.

 

Dan tidak akan bisa selamat dari tenggelamnya di lautan ini kecuali dengan hadirnya hidayah, taufiq serta inayah-Nya semata. Bangunlah kalian dari lengahnya orang-orang yang lengah. Urusan ini harus benar-benar diperhatikan oleh kalian. Lawanlah hawa nafsumu dalam tanjakan yang menakutkan ini. Mudah-mudahan kalian tidak akan celaka bersama orang-orang yang celaka. Dan mohonlah pertolongan hanya kepada Allah Ta'ala, kapan saja dan dalam kadaan bagaimanapun. Dialah yang Maha Menolong dengan sebaik-baiknya...

 

Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah...

 

 

Sementara demikian beberapa pertanyaan saya.

Terimakasih sebelumnya atas waktunya.

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!