Memuliakan Ilmu dan Guru

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

 

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

 

Ketahuilah sesungguhnya pelajar/murid tidak akan dapat meraih ilmu dan memanfaatkan ilmunya kecuali dengan memuliyakan ilmu dan ulama-Nya serta menghormati dan memuliyakan gurunya. Dikatakan tidak akan berhasil orang yang ingin mencapai sesuatu kecuali dengan menghargai, dan orang tidak akan terpuruk dalam kegagalan kecuali dengan meninggalkan rasa hormat dan memuliyakannya.

 

Di antara cara menghormati ilmu ialah memuliakan sang guru. Sayyidina Ali berkata “aku adalah budak (hamba sahaya) bagi orang yang mengajariku, walaupun hanya satu huruf saja. Kalau ia hendak menjualku, terserah. Jika ia hendak memerdekakanku, jika mau ia pun bisa memperbudakkanku.

 

Ada sebuah syair yang berujar,

Menurut pendapatku bahwa hak yang paling mulia adalah hak guru,

Dan hak itu wajib dijaga bagi setiap muslim.

Sungguh ia berhak mendapatkan kemuliaan,

Barang siapa yang mengajari satu huruf,

 tak akan cukup membayarnya dengan seribu uang dirham.

 

Sejatinya (pada hakekatnya) orang yang telah mengajarkan satu huruf kepada engkau yang engkau butuhkan dalam urusan agamamu, maka ia adalah ayahmu dalam kehidupan agamamu.

 

Guru kami Syekh al-Imam Sadiduddin as-Syairazi berkata, “Guru-guru kami mengatakan, barang siapa yang menginginkan anaknya menjadi orang alim, hendaknya ia memelihara, memuliakan dan memberikan sesuatu kepada ahli agama. Jika anaknya tidak menjadi orang alim, maka cucunya yang akan menjadi orang alim.”

 

Di antara cara memuliyakan guru adalah tidak berjalan kencang di depannya; tidak duduk di tempat mulianya; tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya; tidak banyak bicara di hadapan guru; tidak menannyakan sesuatu ketika sang guru dalam keadaan bosan dan suntuk; menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu rumah atau kamarnya, tapi harus menunggu sampai beliau keluar.

 

Walhasil, seorang murid harus berusaha mendapatkan keridhaan dari guru, menjauhi amarahnya, menjalankan perintahnya yang tidak bertentangan dengan perintah agama. Sebab kita tidak boleh patuh kepada makhluk untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Sang Pencipta (Allah).

 

Termasuk cara menghormati guru adalah menghormati anak-anaknya dan orang yang mempunyai hubungan kerabat dengannya.

 

Guru kami, Syekh Islam Burhanuddin, penulis kitab al-Hidayah, bercerita bahwa salah seorang ulama besar dari Negara Buhara sedang duduk dalam satu majelis pengajian, sesekali ia berdiri dan duduk lagi hingga berulang-ulang kali. Ketika ditanyakan tentang perbuatannya tersebut, ia menjawab dengan lugas, “Sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak di halaman rumah, setiap kali aku melihatnya aku berdiri sebagai wujud penghormatan pada guruku”.

 

Al-Qadhi Fakhruddin al-Arsabandi, seorang pemimpin para Imam di Marwa yang sangat dihormati oleh Sultan dengan berkata; “Aku telah mendapatkan kedudukan ini sebab berkah hormat pada guruku, yaitu Abi Yazid ad-Dabbasi. Aku senantiasa khidmah dan melayani beliau, memasak makanan untuk beliau, dan aku sendiri tidak ikut mencicipi makanannya sama sekali”.

 

Syekh al-Imam al-Ajall Syamsul aimmah al-Khulwati terpaksa keluar dan meninggalkan negara Bukhara dan pindah ke satu daerah, sebab ada satu peristiwa yang menimpanya, seluruh muridnya mengunjungi beliau, kecuali Syekh al-Imam al-Qadhi Abu Bakar az-Zarnuji. Pada saat mereka bertemu, Imam al-Khalwani bertanya, “Mengapa kamu tidak mengunjungiku?” Syekh Abu Bakar menjawab; “Aku sedang sibuk melayani ibuku”. Kemudian al-Khulwati berkata; “Engkau akan mendapatkan karunia umur panjang. Akan tetapi engkau tidak akan mendapatkan anugerah nikmatnya belajar”. Akhirnya perkataan al-Khalwati menjadi kenyataan dan terbukti kebenarannya; Syekh Abu Bakar lebih banyak merasakan asyik tinggal di daerahnya sendiri dan tidak tertarik untuk melalang buana dalam mencari ilmu.

 

Barang siapa yang telah menyakiti dan menyinggung perasaan dan hati gurunya, maka ia tidak akan mendapatkan berkah ilmu dan tidak dapat memanfaatkan ilmunya kecuali hanya sedikit dan terbatas.

 

Diujarkan dalam sebuah bait-bait syair:

Sesungguhnya guru dan dokter tidak berguna nasehatnya

Apabila tidak dihormati dan dihargai.

Bersabarlah dalam penderitaan penyakitmu bila engkau menentang saran dokter,

Dan bersabarlah engkau dengan kebodohanmu jika engkau menentang guru.

 

Ada sebuah cerita, dikisahkan bahwa Khilafah Harun ar-Rasyid mengirikan putranya kepada al-Asyma’i, dengan tujuan agar diajari ilmu dan etika (akhlak) yang terpuji (al-karimah). Pada satu hari, Khalifah melihat al-Asmu’i berwudhu membasuh kakinya, sedangkan putra sang Khalifah menuangkan air pada kakinya. Kemudian sang Khalifah pun kaget dan menegur al-Asma’i, dengan berkata, “Aku mengirimkan putraku agar engkau mengajarkan ilmu dan etika, mengapa engkau tidak menyuruhnya menuangkan air dengan satu tangan dan membasuh kakimu dengan tangan yang lain?”

 

Di antara cara menghormati ilmu adalah dengan memuliakan kitab. Seorang santri (pelajar) sebaiknya tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci dari hadats. Dikisahkan dari Syekh al-Imam Syamsul Aimmah al-Khalwani, dengan berakta; “Sesungguhnya aku dapat memperoleh ilmu sebab aku memuliakannya. Aku tidak pernah mengambil kertas belajarku kecuali dalam kondisi suci (ber-wudhu).”

 

Syekh Imam Syamsul Aimmah as-Sarkhasi pada satu malam pernah merasakan perutnya kesakitan, akan tetapi ia tetap terung mengulang-ngulangi belajarnya. Ia berwudhu sampai tujuh belas kali pada malam itu, sebab ia tidak mau belajar kecuali dalam keadaan suci. Hal ini disebabkan ilmu adalah cahaya (nur) dan wudhu juga adalah nur (cahaya). Dengan demikian, cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudhu.

 

Salah satu cara memuliakan kitab adalah tidak menyelonjorkan kaki ke arah kitab; meletakkan kitab tafsir (Qur’an) di bawah kitab-kitab yang lain dan tidak meletakkan sesuatu di atas kitab.

 

Guru kami, Syekh Islam Burhanuddin menuturkan cerita dari seorang guru; seorang ahli fikih meletakkan tempat tinta di atas kitab, dan beliau menegurnya dengan bahasa Persia: “Burnayani” (Tidak akan bermanfaat ilmumu). Guru kami al-Qadhi al-Ajall Fakhrul Islam yang terkenal dengan sebutan Qadhikhan berkata; “Jika meletakkan sesuatu di atas kitab tersebut tidak bermaksud meremehkan atau melecehkan kitab tersebut maka tidak apa-apa. Akan tetapi sebaiknya hal itu dihindari.”

 

Termasuk juga memuliakan ilmu adalah menulis pada kitab dengan baik, jelas dan tidak kabur. Tidak membuat catatan-catatan pinggir yang mengaburkan isi kitab, kecuali dalam kondisi terpaksa. Imam Abu Hanifah pernah suatu waktu melihat salah satu muridnya yang tulisannya kabur atau tidak rapi, semrawut dan tidak jelas. Lalu Imam Abu Hanifah berkata, “jangan membuat tulisan yang tidak jelas, sebab jika engkau sudah usia senja maka engkau akan menyesal, dan jika engkau sudah meninggal maka engkau akan dimaki.

 

Maksudnya jika engkau sudah tua dan pandangan matamu sudah semakin melemah, maka engkau pasti akan menyesali perbuatanmu, sebab tidak bisa membacanya lagi. Ada sebuah cerita dari Imam Muhammad Majduddin as-Sarhasi berkata, “aku sungguh menyesal, karena menulis tidak jelas, mencatata terlalu ringkas, dan tidak membandingkan (mengkomparasikan) kitabku dengan kitab yang lainnya.

 

Sebaiknya bentuk kitab adalah persegi empat simetris. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa kitab yang berbentuk persegi empat simetris tersebut lebih mudah untuk dibawah, diletakkan dan dipelajari.

 

Sebaiknya menulis tidak menggunakan tinta merah dalam menulis kitab, sebab menulis dengan tinta merah adalah kebiasaan para filosof, bukan kebiasaan ulama salaf. Bahkan guru kami tidak suka menggunakan kendaraan yang berwarna merah.

 

Temasuk memuliakan ilmu adalah dengan menghormati teman dan orang yang memberikan pelajaran ilmu pengetahuan. Pertalian dan ketergantungan (fanatisme) adalah sikap yang tercela, kecuali dalam persoalan menuntut ilmu. Bahkan sebaiknya menjalin ikatan dan pertalian dengan guru dan teman-teman belajar dengan ikatan keakraban yang tulus.

 

Hendaknya para penuntut ilmu mendengarkan ilmu dan hikmah dengan sikap respek dan penuh hormat, meskipun sudah mendengarkan satu masalah dan kalimat tersebut beribu-ribu kali. Dikatakan bahwa barang siapa yang tidak menghormati atau memperhatikan satu masalah setelah mendengarnya seribu kali, sebagaimana penghormatannya pada saat pertama kali mendengarkannya, maka dia bukan termasuk pakar/ahli/pecinta ilmu pengetahuan.

Seorang santri (pelajar) hendaknya tidak memilih sendiri dibidang ilmu yang akan digeluti dan diperdalamkan, akan tetapi harus menyerahkan kepada guru untuk memilihnya, karena guru sudah berpengalaman dalam menekuni ilmu, dan sudah barang tentu ia lebih tahu apa yang sebaiknya dipilih dan sesuai dengan bakat dan karakternya.

 

Syekh Imam al-Ajall al-Ustadz Syaikul Islam Burhanul Haq Waddin berkata, para pelajar (santri) pada zaman dahulu menyerahkan urusan belajar pada guru mereka, dan akhirnya ternyata mereka berhasil meraih tujuan dan cita-cita mulianya. Berbeda dengan zaman sekarang para santri (murid) selalu memilihnya sendiri, akibatnya mereka tidak berhasil meraih ilmu yang dicita-citakan, yaitu untuk mendapat ilmu dan fikih.

 

Diceritakan bahwa Muhammad bin Ismail al-Bukhari memulai belajar dari persoalan shalat pada Muhammad bin al-Hasan. Kemudian gurunya tersebut berkata, pergilah dan belajarlah ilmu hadits. Gurunya berkata demikian, karena gurunya tahu kecenderungan dan tabiat Imam Bukhari. Dan ia pun menuntut ilmu hadits, akhirnya ia menjadi pelopor seluruh Imam ahli hadits.

 

Seorang pelajar hendaknya tidak duduk terlalu dekat gurunya pada saat belajar, kecuali dalam keadaan terpaksa. Sebaiknya mengambil jarak antara ia dan guru kira-kira sepanjang busur panah. Hal ini semata-mata untuk menghormati guru.

 

Seorang santri (pelajar) hendaknya menghindari akhlak yang tercela, sebab akhlak yang tercela itu bagaikan anjing yang samar. Rasulullah berkata bahwa Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar dan anjingnya. Sedangkan seorang pelajar tersebut dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dengan melalui perantara malaikat. Mengenai akhlak yang tercela tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab yang menjelaskan dan menguraikan persoalan akhlak. Sebab kitab ini (baca, Ta’lim al-Muta’allim) tidak memuat penjelasan persoalan akhlak secara komprehensif. Jadi seorang pelajar harus menjauhi akhlak yang tecela, khususnya sifat sombong.

 

Dikatakan dalam sebuah syair;

Ilmu adalah musuh bagi orang yang sombong nan congkak, tinggi hati

Sebagaimana air yang tidak suka dengan tempat yang tinggi

Keangungan hanya dapat diraih hanya dengan kesungguhan, bukan dengan kekayaan,

Adakah keangungan dapat diraih dengan kekayaan, tanpa kesungguhan?

Banyak sekali budak yang menduduki derajat orang merdeka

Dan banyak sekali orang merdeka yang menduduki derajat budak.

 

Ada nasehat Abah, Maulana al-Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Ba’Alawy, yang Beliau sampaikan berkaitan dengan masalah ini;

Muara Thariqah itu ke Sayidina. Abu Bakar Shidiq. Kedua melalui Sayidina. Ali bin Abi Thalib. Thariqah kegunaannya supaya hubungan dengan Allah tidak hanya waktu sholat saja. Kalau tidak mengikuti Tarekat ibrat tiang yang satu sama lain tidak berhubungan. Nah antara Dzuhur-Ashar dihubungkan oleh Thariqah melalui dzikir-dzikir, sebagaimana firmannya; Ya Ayyuhalladzina Amanu Udzkurullah dzikran katsiro, wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah (senantiasa ingatlah) kepada Allah, dengan dzikir (mengingat) yang sebanyak-banyaknya. Demikian pula antar maghrib, Isya, Subuh.

 Jika sholat diandaikan telor maka Thariqah adalah untuk mengeraminya agar menetas menjadi; Inna Sholata tanha’ ‘ani al fakhsya wa al munkar, sesungguhnya sholat mencegah dari perbuatan tercela dan munkar. Selanjutnya karena ini adalah penutup dari kegiatan kita, bukan libur ya, tapi pengajiannya kita tunda sampai Ramadhan berikutnya, karena ini pengajian Ramadhanan, perlu saya sampaikan bahwa penyakit santri/murid yang paling buruk adalah menyepelekan guru, ustadz atau kiainya setelah mendapatkan guru yang lebih baik. Hasil yang didapat kemudian meski lebih mendalam dari yang disampaikan guru sebelumnya, tapi bukan untuk dibanding-bandingkan antar guru yang satu dengan yang lainnya, tetapi itu semua untuk menguatkan pemahaman dari yang disampaikan guru sebelumnya.

Kata Habib Abdullah bin Alwi Al Hadad, ‘bukanlah seorang murid ketika ditanya siapa yang paling utama menurutnya, jika si murid tidak mengatakan bahwa gurunyalah yang paling utama, maka dia sesungguhnya bukanlah seorang murid, santri atau siswa. Kalau ada yang bertanya kenapa bukan Syaikh Abdul Qadir al Jailani atau ulama-ulama terdahulu lainnya, jawabannya bukankah kita mengetahui segala kebesaran dan keistimewaan ulama Syaikh Abdul Qadir al Jailani dari guru-guru kita, kalau bukan dari guru-guru kita darimana, dari siapa??.

Kalian semua harus khidmah, kalian harus nurut dan taat pada guru-guru kalian, kalian jangan berharap ditaati murid-murid kalian kelak kalau kalian tidak bisa dan tidak berusaha untuk mentaati guru-guru kalian saat ini. Khidmah itu ibarat mendapat sebuah delima yang didalamnya terdapat berlian dan permata. Khidmah itu pengertiannya umum, tidak hanya membetulkan sandal Kiai, menyediakan minum Kiai, tetapi setiap pagi kalian berangkat ke kelas untuk belajar niat mentaati guru itu sudah mentaati gurunya. Itu sudah khidmah, sebab belajar dengan baik dan benar adalah harapan gurunya, dengan melaksanakan itu santri sudah termasuk khidmah kepada gurunya.

Jadi kita harus menghormati guru-guru kita, jadi jangan melihat kiai ikut politik, ini-itu. Kita jangan melihat itu. Lihat ke kiaiannya saja, jangan melihat yang lain.

Kemudian saya ijazahkan baca sholawat 300 kali, mau yang panjang atau yang pendek terserah yang penting jangan sholawat yang ada ismu al A’dzomnya (Sholwat seperti itu masing-masing harus diijazahkan terlebih dahulu). Seperti ya Wahid ya Ahad antusholia... dll, nah kalau yang seperti itu jangan. Kedua bacalah yaa Lathifu sebanyak 129 kali bakda Maghrib dan Subuh.

Demikian diantara yang disampaikan Beliau Mawlana al-Habib dalam pengajian penutupan pada tanggal 25 Agustus 2011, dan kutipan dari kitab Ta’lim al-Muta’allim, nasehat Syaikh Zamuji yang disyarahkan oleh Syaikh Ibrahim bin Ismail dan Hadhratush Syaikh Hasyim Asy’ari tokoh NU.

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!