Kesungguhan Ulama Menuntut Ilmu
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
Kesungguhan Ulama Menuntut Ilmu
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,
Janganlah engkau duga bahwa kemuliaan itu
bagaikan kurma yang engkau makan.
Engkau tak akan mencapai kemuliaan
sampai engkau merasakan kesabaran.
Sekarang-sekarang ini para pelajar sedang giat-giatnya mengikuti try-out, sebagai persiapan untuk menghadapi ujian akhir semester. Begitulah, bulan demi bulan, tahun demi tahun, akan terus berjalan. Kesuksesan dan kebahagiaan akan menghampiri mereka yang mau memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan penuh kesungguhan demi meraih sebanyak-banyaknya ilmu dan pengetahuan.
Terlepas dari itu, sesungguhnya, aktivitas menuntut ilmu bukan hanya monopoli pelajar (santri) atau mahasiswa. Siapa pun, usia berapa pun, dalam posisi sebagai apa pun, menurut ajaran Islam, harus tetap berada dalam kegiatan menuntut ilmu.
Hadits yang berbunyi “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan” dan “Tuntutlah ilmu sejak buaian hingga liang lahat” sangat akrab di telinga kita. Itu arahan dan petunjuk yang jelas bahwa individu muslim setiap saat harus tetap belajar dan memposisikan diri sebagai penuntut ilmu, meskipun tidak selalu di bangku pendidikan formal. Jadi, tak ada kata “pensiun” dalam menuntut ilmu.
Paparan berikut akan mencoba menguraikan satu sisi yang sangat penting dari kegiatan menuntut ilmu, yaitu aspek ketekunan dan kesungguhan dalam mencapainya.
Memang kisah-kisah yang akan Anda nikmati ini adalah kisah-kisah yang terdapat dalam kehidupan para ulama yang menekuni ilmu-ilmu agama. Meskipun demikian, prinsip-prinsipnya dapat digunakan oleh penuntut ilmu apa saja, bukan hanya ilmu agama, asalkan itu adalah ilmu yang bermanfaat. Menuntut ilmu-ilmu non-agama pun apabila diniatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin khususnya dan umat manusia pada umumnya akan bernilai ibadah. Apalagi, harus diakui, kaum muslimin masih banyak ketinggalan dalam berbagai cabang keilmuan dibandingkan yang lainnya, padahal dunia Islam selama berabad-abad pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan di dunia.
Sebagaimana dimaklumi, semakin bertambah mulia sesuatu yang dituntut, semakin bertambah pula keletihan dan kesulitan dalam mencapainya. Apalagi untuk mendapatkan ilmu, sesuatu yang sangat mulia dalam kehidupan manusia. Kemuliaan memang tidak dapat dicapai dengan berleha-leha, melainkan dengan usaha berat. Di dalam Shahih Muslim disebutkan keterangan dari Yahya bin Abi Katsir, yang mengatakan, “Ilmu itu tak didapat dengan bersantai-santai.” Syair berikut ini juga menuturkan hal yang sama:
Janganlah engkau duga
bahwa kemuliaan itu
bagaikan kurma yang engkau makan
Engkau tak akan mencapai kemuliaan
sampai engkau merasakan kesabaran
Panutan kita, Imam Syafi’i, pernah mengatakan, “Tidak mungkin orang yang menuntut ilmu ini (ilmu agama) dengan cepat bosan dan merasa puas akan beruntung, melainkan yang beruntung adalah yang menuntutnya dengan menahan diri, merasakan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu.”
Beliau juga mengatakan, “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu kecuali yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan. Aku dahulu mencari sehelai kertas pun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”
Ketika menceritakan biografi Imam Muslim, Abu ‘Amr bin Ash-Shalah berkata, “Wafatnya beliau memiliki sebab yang langka, yakni timbul karena kepedihan memikirkan ilmu.”
Begitulah, sedemikian besar perhatian para ulama masa lalu terhadap ilmu, sehingga mereka rela menanggung kepayahan dalam memikirkannya sepanjang hayat.
Tokoh sufi terkemuka yang sangat termasyhur, Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, juga mengalami masa-masa sulit yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Dengarlah cerita yang dituturkannya:
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran, dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad, membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untuk kumakan.
Suatu hari, karena sangat laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa kumakan. Tetapi tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika aku mendapatkannya, aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya, karena mereka lebih membutuhkan.”
Seorang tokoh ulama, Syaikh Ibrahim bin Ya‘qub, menceritakan bagaimana kondisi yang dialami Imam Ahmad bin Hanbal demikian: Imam Ahmad suatu saat shalat bersama Abdurrazzaq. Suatu hari beliau lupa dalam shalatnya. Maka Abdurrazzaq bertanya mengapa ia bisa lupa. Ia memberi tahu bahwa ia belum makan apa-apa sejak tiga hari.
Renungkanlah pula apa yang dikatakan Sa‘id Nursi Badi‘uz-Zaman, tokoh ulama Turki abad ke-19 hingga ke-20 yang sangat termasyhur, ketika menggambarkan hakikat ilmu dan proses pencapaiannya. Ia mengatakan, “Ketahuilah, ilmu itu suatu keperluan yang lambat (tak segera dibutuhkan), cita-cita yang jauh, yang tidak dapat tercapai dengan anak panah, tidak terlihat di dalam tidur, tidak diwarisi dari orangtua dan paman. Melainkan bagaikan pohon yang tidak akan baik kecuali bila ditanam dan tidak dapat ditanam kecuali di dalam jiwa, tidak dapat diairi kecuali dengan belajar, dan tidak dapat menjadi baik kecuali dengan bersandar pada batu, senantiasa tak tidur malam (untuk belajar), sedikit tidur, menyambungkan malam dengan siang. Tak akan dapat mencapainya kecuali orang yang selalu menggunakan matanya.
Apakah seorang yang menyibukkan waktu siangnya dengan mengumpulkan harta dan menyibukkan waktu malamnya berkumpul dengan wanita menyangka akan tampil sebagai seorang faqih? Tidak! Demi Allah, ia tak akan meraih itu sampai ia menuju kepada buku-buku catatannya, menemani tinta-tinta penanya, terus menuntut ilmu siang dan malam, serta menerima kepahitan-kepahitan karena sabar.”
Para ahli psikologi modern menekankan bahwa salah satu ciri orang yang berpikir positif dan selalu ingin mengembangkan dirinya adalah senantiasa berorientasi here and now (di sini dan sekarang). Artinya, ia memfokuskan langkah-langkah dan tindakannya, pikiran dan perasaannya, pada situasi dan kondisi riil yang dihadapinya di tempat ini dan saat ini.
Dalam meraih apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, ia tidak mengangan-angankan sesuatu yang tidak ada pada dirinya atau kondisi yang tidak dialaminya. Ia tidak berangan-angan, “Seandainya dulu saya begini dan begini….” Atau, “Jika saja saya tidak dalam keadaan sulit seperti ini….” Atau, “Seandainya saja saya tinggal di kota itu….” Dan seterusnya.
Apa yang dikatakan oleh para ahli psikologi di masa modern itu sesungguhnya telah ditekankan oleh para tokoh ulama kita sejak berabad-abad yang lalu. Pesan untuk tidak banyak berangan-angan dan berandai-andai bagi seorang penuntut ilmu, banyak kita temui dalam literatur-literatur para ulama. Al-Imam As-Suyuthi, misalnya, dalam pengantar kitab al-Asybah wa an-Nazhair mengatakan, “Sesungguhnya disiplin ilmu ini tak dapat dicapai dengan angan-angan, tidak pula dengan kata-kata ‘akan’, ‘mudah-mudahan’, atau ‘seandainya aku’. Ia tidak akan dicapai kecuali oleh orang yang serius dan sungguh-sungguh, mau berpisah dengan keluarganya, mengencangkan pakaiannya, mengarungi lautan, bercampur dengan debu, bolak-balik mendatangi pintu yang dituju dalam malam yang gelap… (dan seterusnya).”
Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,
Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!