Al-’Allamah Al-Faqih  Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith

Al-’Allamah Al-Faqih  Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Sumaith, menjelaskan dalam kitabnya AJWIBATUL GHALIYAH :

Apakah para nabi hidup dalam kubur mereka?

Para nabi, demikian pula orang-orang yang mati syahid, hidup dalam kubur mereka dengan kehidupan alam barzakh. Mereka mengetahui apa yang dikehendaki Allah untuk mereka ketahui, yang terkait dengan keadaan-keadaan alam ini, Al-Qur’an yang mulia menegaskan adanya kehidupan orang-orang yang mati syahid di alam barzakh mereka.

Allah SWT berfirmah, “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” – QS Al- Baqarah (2): 154.

Tidak diragukan bahwa kehidupan para nabi AS dan orang-orang pilihan yang mewarisi mereka lebih utuh dan lebih sempuma daripada kehidupan orang- orang yang mati syahid, karena mereka memiliki tingkatari yang lebih tinggi diban- ding orang-orang yang mati syahid.

Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” – QS An-Nisa’ (4): 69.

 

Apakah adanya kehidupan mereka juga dinyatakan dengan jelas dalam as-sunnah?

Ya, dalam hadjs-hadis sahih dinyata­kan bahwa mereka tetap dalam kondisi hidup dan bahwasanya bumi tidak memakan jasad mereka. Dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Pada malam saat aku mengalamjsra’, aku menemui Musa yang sedang berdiri di atas kubur- nya di bukit pasir merah.” – Disampaikan oleh Muslim (2385).

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara hari-hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Maka, perbanyaklah shalawat kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian di­sampaikan kepadaku.”

Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat kami disampaikan kepadamu sedang engkau sudah menjadi tulang belulang?” Maksudnya, sudah usang.

Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi bumi memakan ja­sad para nabi.” – Disampaikan oleh Abu Daud (1047), An-Nasa’i (1374), Ibnu Majah (1085), Ad-Darimi (1572), dan Ahmad (4: 8) dari hadits Aus bin Aus RA. Isnadnya shahih menurut Al-Allamah Arnauth dalam penjelasannya terhadap Al-Musnad.

Disebutkan pula dalam riwayat bah­wa mereka pun bershalawat dan amal kebajikan mereka tetap berlaku seperti kehidupan mereka. Di antaranya adalah sabda Nabi SAW, “Para nabi hidup di kubur mereka, mereka shalat.” Disampaikan oleh Abu Ya’la dalam kitabnya, Al-Musnad (6:147), dari hadits Anas bin Malik RA. Pentahqiqnya mengatakan, “Isnadnya shahih.”

Ulama mengatakan, ini tidak bertentangan dengan ketentuan yang menyatakan bahwa akhirat bukan negeri taklif (pembebanan) kewajiban tidak pula amal. Namun demikian amal dapat terjadi tanpa ada pembebanan, tapi hanya untuk dinikmati.

Sebagaimana kehidupan para nabi AS yang telah dipaparkan di atas juga tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW, “Tidaklah ada seorang yang memberi salam kepadaku melainkan Allah merigembalikan ruhku kepadaku hingga aku dapat menjawab salamnya.” – Disam- paikan oleh Abu Daud (2041), Ahmad (2: 527), dan Baihaqi dalam Asy-Syu’ab (2: 215) dari hadits Abu Hurairah RA.

Makna pengembalian di sini adalah pengembalian makna ruh dari segi bah­wa Rasulullaji SAW merasakan adanya salam dari seorang di antara umat beliau yang memberi salam kepada beliau. Hadits ini mengungkapkan sebagian (dengan lingkup kalimat ruh), namun yang dimaksud adalah keseluruhan (diri Rasulullah SAW secara utuh). Dalam hadits ini terdapat kata yang dinisbahkan tapi tidak disebutkan, yaitu maksudnya: Allah mengembalikan makna ruh atau hal-hal yang berkaitan dengannya, se­perti bicara. Allah lebih mengetahui.

Di antara ulama ada yang mengata­kan, konsekuensi dari pengembalian ini menjadikan ruh Nabi SAW senantiasa berada dalam tubuh beliau yang mulia, karena di antara makhluk yang ada tidak lepas dari adanya orang yang bershalawat di antara umat beliau.

Dari Aisyah RA, ia mengatakan, “Aku masuk rumahku yang di dalamnya Rasulullah SAW dan bapakku (Abu Bakar RA) dimakamkan. Aku pun meletakkan (menanggalkan) pakaianku. Aku menga­takan, sesungguhnya dia adalah suamiku dan bapakku.

Begitu Umar dimakamkan bersama mereka, demi Allah, tidaklah aku masuk melainkan aku dalam keadaan berpakaian yang tertutup rapat lantaran malu kepada Umar.” – Disampaikan oleh Imam Ahmad (6: 202) dan Hakim (3:63,4: 8).

Ini menunjukkan bahwa Sayyidatuna Aisyah RA tidak ragu bahwa Sayyidina Umar melihatnya. Maka dari itu, dia menjaga diri dengan menutup rapat auratnya jika hendak menemuinya setelah dima­kamkan di rumahnya.

 

“Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”

Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.

Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

أَنَّ مُوْسَى u قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ».

“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.

“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : « كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ (٧/٤٦). وَفِيْ رِوَايَةٍ « فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ الْقُبُوْرَ فَلْيَزُرْ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُنَا اْلآَخِرَةَ».

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’, [1]).

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:

وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.

“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

Umat sepakat, ziarah kubur merupa­kan ritus yang dianjurkan untuk menda­patkan penyadaran dan pelajaran. Ziarah kubur tetap merupakan ketentuan yang dianjurkan di berbagai wilayah dan negeri.

 

Apa hukum ziarah kubur?

Ziarah kubur bagi laki-laki adalah sun­nah yang dianjurkan. Ziarah kubur pernah dilarang di masa permulaan Islam, tapi kemudian larangan ini di­hapus berdasarkan sabda Rasulullah SAW dan perbuatan beliau.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) hendaknya kalian berziarah kubur.” – Disampaikan oleh Muslim (977) dan lainnya.

Pada satu riwayat terdapat tambah­an redaksi, “Sesungguhnya ziarah kubur memperlembut hati, membuat air mata bercucuran, dan mengingatkan pada akhirat.” – Tambahan ini disampaikan oleh Ahmad (3: 237), Abu Ya’la (6: 371), Al-Hakim (2: 532), dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4: 77) dan Asy-Syu’ab (7: 15).

Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW keluar menuju Pemakaman Baqi’. Di sana beliau mengucapkan, “Keselamat­an bagimu di persemayaman kaum mukminin. Sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ Al-Gharqad.” – Disampaikan oleh Muslim (974).

Para ulama, semoga Allah merah­mati mereka, mengatakan, ziarah kubur merupakan kebiasaan Nabi SAW, dan sahabat-sahabat beliau pun melakukan ziarah kubur saat beliau masih hidup. Nabi SAW juga mengajari mereka tata cara ziarah kubur.

Umat sepakat, ziarah kubur merupa­kan ritus yang dianjurkan untuk menda­patkan penyadaran dan pelajaran. Ziarah kubur tetap merupakan ketentuan yang dianjurkan di berbagai wilayah dan negeri.

 

Apa hukum ziarah kubur bagi kaum wanita?

Ulama menyatakan, ziarah kubur bagi kaum wanita hukumnya makruh, karena dikhawatirkan akan mengalami trauma, lantaran kaum wanita sering merasa sedih dan kurang tabah dalam menghadapi berbagai musibah.

Namun ada pengecualian pada ku­bur para nabi, orang shalih, dan ulama. Kaum wanita dianjurkan berziarah di kubur mereka untuk bertabarruk.

Meskipun demikian, di antara ulama ada yang memberi keringanan bagi kaum wanita untuk berziarah kubur se­cara mut­lak. Ini berdasarkan hadits yang menya­takan bahwa Rasulullah SAW melihat se­orang wanita di pemakaman sambil me­nangis di atas kubur anaknya. Beliau ber­sabda kepada wanita itu, “Bertaqwalah kepada Allah dan bersa­barlah.” – Disam­paikan oleh Al-Bukhari (1194) dan Muslim (926) dari hadits Anas RA.

Beliau me­nyu­ruhnya bersabar dan tidak memung­kiri keberadaannya di pemakaman. Ini juga dapat dikaitkan dengan makna ha­dits “Dulu aku me­larang kalian ber­ziarah kubur, maka (se­karang) hendak­nya kalian ber­zia­rah ku­bur,” dengan ketentuan: makna­nya ber­laku umum bagi kaum pria mau­pun kaum wanita.

Dalam hadits juga dinyatakan, Nabi SAW mengajari Aisyah RA doa saat ber­ziarah kubur. Beliau bersabda kepada­nya, “Ucapkanlah, ‘Keselamatan bagi ka­lian, wahai penghuni pemakaman kaum mukminin dan muslimin, dan se­moga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian di antara kita, dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian’.” – Disampaikan oleh Muslim (973).

Seandainya ziarah kubur tidak di­anjurkan kepada Aisyah RA, niscaya beliau tidak mengajarinya doa ziarah kubur.

Dalam Al-Mushannaf, karya Abdur­razzaq Ash-Shan’ani, dinyatakan, Fa­thimah Az-Zahra RA berziarah ke ma­kam pamannya, Hamzah, di Uhud pada setiap Jum’at. Disampaikan oleh Abdur­razzaq dalam Al-Mushannaf (6713) dari Sufyan bin Uyainah, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya RA.

 

Bagaimana kita memahami sabda Rasulullah SAW, “Allah melaknat wanita-wanita peziarah kubur.”? – Disampaikan oleh At-Tirmidzi (1056), Ibnu Majah (1576), Ahmad (2: 337) dan lainnya dari hadits Abu Hurairah RA. Disampaikan pula oleh Ibnu Majah (1575) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (4: 78) dari hadits Ibnu Abbas RA. Juga disampaikan oleh Ibnu Majah (1574) dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (4: 42) dari hadits Hassan bin Tsabit RA.

Maksud hadits tersebut, menurut ulama ahli tahqiq, jika ziarah mereka un­tuk menyebut-nyebut keutamaan mayit, menangis, dan meratapinya sebagai­mana tradisi yang mereka lakukan pada masa Jahiliyyah, ziarah kubur seperti itu dilarang, sesuai kesepakatan ulama.

Adapun jika ziarah kubur mereka tidak mengandung perkara-perkara ter­sebut, tidak dilarang, dan tidak termasuk dalam ancaman laknat dalam hadits di atas.

Sebagian ulama menafsirkan bahwa hadits tersebut disampaikan sebelum ada keringanan.

 

Apa hukum wisata untuk ziarah ke kubur Nabi SAW, serta kepada para nabi dan wali?

Menziarahi Nabi SAW termasuk ibadah yang paling agung, demikian pula dengan wisata untuk berziarah ke kubur beliau, merupakan ibadah yang dianjur­kan, sebagaimana dianjurkan pula berziarah ke kubur para nabi, wali, dan orang yang mati syahid, untuk berta­baruk dan menggapai hikmah.

Ziarah kubur ini juga mengandung berbagai kebaikan, keberkahan, dan anugerah yang sangat melimpah, se­bagaimana yang dikehendaki Allah SWT.

Dengan demikian berwisata untuk tujuan ziarah ini mengandung faidah yang sangat berharga. Maka, sudah se­layaknya ziarah ini mendapat perhatian yang semestinya dengan tetap menerapkan adab-adabnya dan tidak boleh dibiarkan adanya ziarah ke kubur mereka dengan tujuan untuk mendapatkan suatu perkara bid’ah, karena manusia dianjurkan untuk berziarah tapi mengingkari bid’ah serta menghilangkannya.

 

Apa dalil dianjurkannya wisata untuk ziarah kubur?

Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Dan sungguh, sekiranya mereka sete­lah menzhalimi diri mereka sendiri da­tang kepadamu (Muhammad), lalu me­mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” – QS An-Nisa’ (4): 64.

Dalam hadits dinyatakan, Nabi SAW hidup di kubur beliau. Dengan demikian, mendatangi kubur beliau setelah beliau wafat seperti mendatangi beliau saat beliau masih hidup.

Di antara dalil-dalilnya, sabda Nabi SAW, “Siapa yang menunaikan ibadah haji lantas berziarah ke kuburku setelah wafatku, ia bagai menziarahiku saat hidupku.” Dan sabda Nabi SAW, “Siapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak menziarahiku, sesungguhnya dia telah mengabaikanku.” – Hadits pertama di­sampaikan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (12: 406) dan Al-Awsath (3: 351), Ad-Daraquthni (2: 278), Al-Baihaqi da­lam As-Sunan Al-Kubra (5: 246) dan Asy-Syu’ab (3: 488) dari hadits Ibnu Umar RA. Hadits kedua disampaikan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin (3: 73).

 

Apa makna sabda Nabi SAW, “Tidak ditekankan bepergian kecuali ke tiga masjid”? – Disampaikan oleh Al-Bukhari (1132) dan Muslim (1397) dari hadits Abu Hurairah RA.

Maksud hadits ini bukan sebagai pe­larangan terhadap penekanan beper­gian secara mutlak kecuali ke masjid-masjid yang dimaksud. Sebab, jika demikian, konsekuensinya tidak ditekankan pula bepergian ke Arafah, Mina, mengunjungi kedua orangtua, mencari ilmu, jihad, dan berdagang, misalnya. Makna ini tidak disampaikan oleh seorang pun.

Tapi, makna hadits tersebut adalah: tidak layak menekankan bepergian ke masjid-masjid lantaran keutamaannya, karena masjid-masjid itu semuanya sama terkait keutamaannya, kecuali tiga masjid (Masjidil Aqsha, Masjidil Haram, Masjid Nabawi), yang pahala shalat di dalamnya dilipatgandakan.

 

Memburu berkah?

“Dan untuk hal yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba-lomba.” (QS Al-Muthaffifin: 26).

 

Memburu berkah? Ya,karena mencari keberkahan itu berarti mencari ziyadah al-khayr (tambahan kebaikan) dan merupakan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sebelum mengulas hadits-hadits seputar berkah, mari kita awali dengan petikan ayat berikut ini.

 

“Dan untuk hal yang demikian itu, hendaklah orang-orang saling berlomba-lomba.” (QS Al-Muthaffifin: 26).

Yang dimaksud dengan “hal yang demikian itu” adalah sesuatu yang bertalian dengan urusan kenikmatan surga. Para mufassirin menjelaskan, hendaknya manusia berlomba-lomba demi memperoleh kenikmatan yang Allah berikan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih, baik kenik­mat­an yang dimaksud dalam ayat ini ke­nikmatan ukhrawi (kenikmatan surgawi) maupun kenikmatan saat hidup di dunia yang baik. Al-Imam An-Nawawi mema­sukkan potongan ayat ini sebagai dalil an­juran atau dorongan bagi manusia untuk mencari nikmatnya keberkahan Rasulul­lah SAW, yang merupakan bagian dari kenikmatan yang Allah berikan bagi umat Baginda Rasulullah SAW.

 

Dari Sahl bin Sa‘d RA, bahwasanya Rasulullah SAW diberi minuman, lalu beliau meminumnya.

Di sebelah kanannya ada seorang anak remaja, dan sebelah kirinya ada beberapa orang tua. Maka beliau berkata kepada si anak remaja, “Apakah boleh aku berikan minuman ini kepada orang-orang tua itu?”

Si remaja ini berkata, “Tidak, demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak mau bagianku darimu itu diberikan kepada siapa pun.”

Lalu Rasulullah SAW meletakkan minuman itu di tangan remaja tadi.” (Muttafaq ‘Alaih).

 

Syarah Hadits

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Perbuatan Zhalim bab Jika Membolehkan atau Menghalalkan dan permulaan bab Minum dan beberapa bab lainya. Sedangkan Muslim meri­wayat­kan­nya dalam kitab Minuman bab Boleh Menggilirkan Air dan Susu dan Lainnya dari Sisi Kanan Permulaannya.

Dalam asbab wurud (sebab muncul­nya) hadits tersebut, ada sebuah riwayat Al-Hafizh As-Suyuthi bahwa kisah ini ter­jadi di rumah Ummul Mu’minin Mai­munah binti Al-Harits.

Anak remaja yang disebutkan dalam hadits ini adalah Abdullah bin ‘Abbas RA, yang di masa dewasanya mendapat ju­lukan “Juru Bicara Al-Qur’an”, berkat ke­fasihan dan keluasan pengetahuan­nya tentang penafsiran Al-Qur’an. Ia juga sa­lah satu dari tiga Abdullah yang dikenal sebagai pakar-pakar keilmuan era sahabat. Dua lainnya adalah Abdul­lah bin Umar RA dan Abdullah bin Mas‘ud RA.

Sedangkan mereka yang disebut orang-orang tua, di antaranya yang hadir itu ialah Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq RA dan Khalid bin Walid RA.

Hal yang dapat dipetik dari hadits ini ialah bahwa para sahabat senantiasa berusaha untuk mendapatkan manfaat kedekatan mereka dengan Rasulullah SAW. Salah satunya ialah memburu ber­kah dengan segala bekas pakai Rasulul­lah SAW, termasuk sisa minuman beliau. Ibn Abbas RA tak mau melepas­kan ba­giannya karena merupakan bekas wadah minum Nabi SAW. Demikian pula seba­gaimana kajian hadits sebelumnya yang menyebutkan ada seorang laki-laki me­minta kain bekas pakai Rasulullah SAW untuk membungkus jasadnya (menjadi kain kafannya) kelak jika ia wafat.

Ibn ‘Allan menjelaskan, apa yang di­lakukan sahabat Ibn Abbas bukan di­golongkan sifat rakus dan tamak. Bukan pula ia tak mengerti makna itsar (menda­hulukan orang lain ketimbang dirinya, lihat bahasan edisi sebelum ini), tapi, bagai­mana dalam memburu berkah Nabi SAW, para sahabat berlomba-lomba men­dapatkannya, bukan mendapatkan sisi fisiknya, tapi atsarnya. Kalau dikata­kan rakus dengan makanan atau air yang di­sebut hadits itu, itu bukanlah sifat sahabat. Dalam satu maqalah dikatakan, “Innal ihtimam bi amril matha‘im Sya‘nul baha‘im (Sesungguhnya terlalu mem­beri­kan perhatian terhadap urusan ma­kanan adalah ciri hewan ternak).” Wal-‘iyadzu billah.

Petikan pelajaran lain dari hadits ini ialah, ketika menjamu tamu, hendaknya menawarkan hidangan kepada orang yang paling mulia di majelis itu, kemudian menawarkannya kepada orang yang berada di sisi kanan tempat ia duduk. Demikian pula hadits ini mendorong un­tuk menunaikan hak bagi mereka yang ber­hak serta bertatakrama yang baik dalam bergaul, baik kepada orang tua maupun muda. Inilah salah satu adab yang diajarkan Rasulullah SAW.

 

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Suatu ketika, tatkala Nabi Ayub AS sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah belalang emas. Lantas Nabi Ayyub memungutnya dan menyimpan­nya di kantung bajunya.

 

Kemudian Tuhan Azza wa Jalla menyerunya, ‘Wahai Ayyub, bukankah Aku telah membuatmu kaya, melebihi dari apa yang engkau dapatkan itu?’

 

Nabi Ayyub menjawab, ‘Tentu, demi keagungan-Mu, wahai Tuhan. Tetapi aku belum merasa cukup dari keberkahan-Mu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

 

Syarah Hadits

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Para Nabi bab Firman Allah Ta’ala, “..wa ayyubu idz nada rabbahu..”, kitab Tauhid bab Mereka Mau Mengganti Kalamullah, dan kitab Mandi bab Orang yang Mandi Telanjang.

Menurut Al-‘Iraqi dalam Syarh Taq­rib, nasab Nabi Ayyub AS ialah Ayyub bin Razah bin Rum bin Al-‘Aysh bin Ishaq bin Ibrahim AS.

Ada yang mengatakan, belalang emas yang dimaksud hadits ini adalah potongan emas yang bentuknya menye­rupai belalang, jadi bukan belalang sung­guhan yang berwarna emas. Ada juga yang mengatakan, sesuai zhahirnya, yakni belalang emas.

Terlepas dari itu semua, belalang emas ini merupakan bentuk kemuliaan Allah SWT, yakni bagian dari mu’jizat-Nya bagi Nabi Ayyub AS.

Tentang kalimat “Bukankah Aku telah membuatmu kaya”, yakni bah­wasanya Allah SWT telah mengkayakan Nabi Ayyub AS dengan dua kekayaan: kekaya­an haqiqi (harta) dan maknawi (kaya hati).

Berdasarkan hadits ini, ada bebe­rapa petikan pelajaran yang dapat diambil.

Pertama, hadits ini mendorong manu­sia untuk meminta atau memohon se­suatu kepada Allah Ta’ala yang dapat menambah keberkahan dan kemuliaan, seperti mengumpulkan harta agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi ke­maslahatan dirinya dan orang lain. Con­tohnya, dengan hartanya, yang diharap­kannya bertambah terus, ia membangun sarana sosial, pendidikan, ibadah, dan sebagainya.

Kedua, dalam pandangan jumhur ulama, sebagaimana dinukil Ibn ‘Allan, dibolehkan mandi dalam keadaan telan­jang bulat, dengan syarat ia mandi sendiri dan tidak ada orang lain serta tempat pe­mandiannya tertutup rapat sehingga tidak bisa dilihat orang lain. Akan tetapi, mandi dengan menutup aurat itu lebih utama.