Muhammad Ali Al- Maliki

Para penuntut ilmu agama di Makkah pada akhir abad 19 hingga paruh pertama abad 20 pasti mengenal Syekh Muhammad Ali Al- Maliki. Meskipun dibelakang nama beliau terdapat nama Al-Maliki, namun beliau tidak memiliki hubungan nasab dengan Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki, ulama terkemuka Makkah yang wafat tahun 2004 yang lalu.

Walaupun demikian hubungan keilmuan tetap ada karena ayahanda Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki, yakni Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki merupakan murid dari Syekh Alwi Al Maliki.

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali bin Husain bin Ibrahaim bin Husain bin `Abid Al Makki Al Maliki. Ulama keturunan Maroko ini lahir di Makkah tahun 1287 H/1870 M. ketika beliau berusia lima tahun (tahun 1292 H/1875 M) ayahnya Syekh Husain bin Ibrahim wafat, kemudian beliau diasuh oleh kakak beliau Syekh Muhammad bin Husain, ulama mufti mazhab Maliki yang menangani pendidikan beliau dengan baik. 

Beberapa tahun kemudian kakak beliau ini wafat, kemudian beliau diasuh oleh kakaknya yang lain Syekh `Abid bin Husen yang juga mufti Mazhab maliki. Selain belajar bermacam-macam ilmu agama dan bahasa arab dari kakak beliau, ia juga belajar fiqh kepada seorang ulama terkemuka ahli fiqh dan sufi Sayyid Abi Bakar Syatha (1266-1310 H), pengarang kitab fiqh yang terkenal I`anatuth Thalibin yang menjadi pegangan wajib diseluruh pesantren di Indonesia. Selain itu beliau juga belajar kepada banyak ulama hingga beliau mendapat ijazah mengajar di Masjidil Haram.

Meski demikian beliau tidak merasa puas dengan begitu saja dengan ilmu yang beliau miliki. Ia terus belajar kepada beberapa tokoh ulama diantaranya Abdul Khaliq alahabady pengarang kitab Al Iklil yang merupakan Hasyiah dari kitab Tafsir An Nasafi. Gurunya ini memberi beliau ijazah dalam tafsiir dan fiqh Hanbali. Ia juga belajar hadis kepada Syekh Muhammad abul Khudhair bin Ibrahim ad dimyati Al madani.

Kepada Syekh Abdul Quddus An Nabulsi ia belajar Shahih Bukhary dan fiqh Hanbali dan mendapat ijazah darinya. Ijazah dalam hadis juga beliau peroleh dari Syekh Abul Hayy Al Kattany Silsilah sanad periwayatan hadis dan jaringan intelektual Syekh Ali Al Maliki telah ditulis secara lengkap oleh seorang murid beliau Syekh Muhammmad Yasin Al Fadany(wafat 1410 H/1990 M), seorang ulama pakar hadis kelahiran Makkah asal padang dalam kitab beliau yang benama Al Maslak Al jaily fi Asanid Fadhilah Asy Syakh Muhammad Ali Al Maliki. Syekh Ali Al Maliki dikenal sebagai Syaikh Masyayikh `Ashrih (guru para guru dimasanya ). Dan karena kealiman beliau yang luar biasa dalam bidang ilmu nahu beliau digelari Sibawaihi Zamanih (Sibawaih di zamannnya).

Sebelum diangkat menjadi kepala pengajar di Darul Ulum, Syaikh Ali Al-Maliki telah menjabat mufti Mazhab Maliki di Makkah menggantikan kakak beliau Syeikh `Abid Al-Maliki. Sebagai seorang ulama besar, selain mengajar belau juga mengarang beberapa kitab diantaranya:

Setelah menamatkan pelajarannya di bawah bimbingan para ulama Haramain terkemuka di masanya, Syekh al-Maliki mendermakan ilmu dan hidupnya mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, Mekah, yang didirikan oleh ulama-ulama haramain asal Melayu-Nusantara, dan menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikhul Masyayikh) sejak pertama kali madrasah tersebut berdiri pada tahun 1933 . Kepakarannya di berbagai bidang ilmu-ilmu keislaman dan tata-bahasa Arab, menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar Arab dan non-Arab —bahkan tidak sedikit yang sudah bergelar ulama— yang datang berguru kepadanya. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir seluruh ulama Hijaz dan para penuntut ilmu dari Melayu-Nusantara (yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan dan Brunei) yang menjadi muridnya.

Syeikh Ali Al Maliki dikenal sangat tegas dalam hal prinsip aqidah. Hal ini terlihat Dari upaya beliau untuk menjaga aqidah umat islam dari aliran-aliran sesat dengan mengarang kitab-kitab aqidah diantaranya kitab untuk menolak paham Ahmadiyah . Syekh Ali AL Maliki juga pernah melakukan perjalanan ke Indonesia pada tahun 1343 H/1924 M dan tahun 1345 H/1926 M. perjalan singkat beliau ini diceritakan secara singkat oleh Syeikh Umar Abdul Jabar dalam kitabnya Siyar wa Tarajim Ba`hi Ulamaina fi Qam ar rabi` Asyar lil Hijjarh pada halaman 294-295. disela-sela uraiannya tentang riwayat hidup beliau.

Pada kunjungan beliau keIndonesia tahun 1345 H/1926 M beliau sempat singgah di Malaysia dan berjumpa dengan Sulthan Iskandar Syah bin Sultan Idris, Sultan sangat menghormati dan memuliyakan beliau. Dalam kesempatan itu, Shultan memperlihatkan Majalah Asy Subban al Muslimin yang terbit di Kairo. Di majalah tersebut terdapat artikel yang membolehkan kaum muslimin mengenakan pakaian barat dan membolehkan nikah wanita muslimah dengan kaum kafir. Maka syekh segera menyusun risalah yang memperingatkan kaum muslimin agar tidak berpakaian ala barat serta menegaskan keharaman nikah antara wanita muslimah dengan kafir.

Syeikh Umar Abdul Jabbar dalam kitabnya Siyar wa tarajim menyebutkan bahwa ia berjumpa dengan Syekh Ali Al- Maliki di Banjarmasin dan kemudian menemani beliau dalam mengunjungi murid murid beliau yang tersebar di berbagai daerah seperti Martapura, Kandangan, alabio,barabai, dan Amuntai. Di setiap daerah yang beliau kunjungi diadakan acara yang dipenuhi oleh para penuntut ilmu. Kemudia beliau melanjutkan perjalanan ke Solo, Surabaya, Jakarta, dan kota-kota lain di Indonesia.

Setelah perjalanan beliau yang terakhir ini, Syeikh Ali Al Maliki diangkat menjadi kepala Dewan Pengajar Madrasah Darul Ulum, Makkah, sejak Madrasah tersebut didirikan pada tahun 1353 H/1934 M oleh Sayyid muhsin bin Ali Al Musawa. Ulama terkemuka kelahiran Palembang, Sumatra selatan. Uniknya sayyid muhsin juga ikut pula belajar kepada di Madrasah yang didirikannya tersebut. Kualitas ilmu Syeikh Ali Al Maliki yang menonjol dalam bidang ilmu keislaman dan bahasa arab menjadi daya tarik bagi para pelajar baik dari kalangan Arab maupun non arab termasuk dari negeri-negeri Nusantara seperti Indonesia, Malaisya, Singapuara, Thailand dan Brunei.

Diantara ulama-ulama Hijaz yang menjadi muridnya adalah Sayyid Syekh Hasan Masysyath(wafat 1399 H), Sayyid Alwi bin Abbas Am Maliki (wafat 1391 H), Sayyid Muhammad Amin Kutby (wafat 1404 H). adapun murid murid beliau dari nusantara antara lain Sayyid Muhsin Al Musawa (wafat 1354 H), Syeikh Yasin Al Fadany (wafat 1990 M), KH. Muhammad Syarwany Abdan (Guru Bangil) dari Martarapura (wafat 1898 M), tuan Guru K.H M.Zainuddin Abdul Majid Pancor NTB, pendiri Nahdhatul Wathan (wafat 1997), KH. Ahmad Junainy Jakarta(wafat 1997 M), KH.Nur Ali, Bekasi (wafat 1992 M), KH.Hasbiyallah, Klender Jakarta timur, dan Syeikh Masyayikh Al `Allamah Syeikh Muda Waly Al Khalidy, Aceh (wafat 1961 M). Syeikh Ali Al Maliki wafat pada 28 Sya`ban tahun 1368 H(24 Juni 1949 M),  “Enam Pendekar-Kiyai Betawi” (Guru Mansur, Guru Majid, Guru Romli, Guru Marzuki, dan Guru Mughni).

Kepakaran dan Aktivitasnya

Sebelum menjabat sebagai pimpinan para syekh (Syaikul Masyayikh) madrasah Darul Ulum sejak pertama kali didirikan pada tahun 1933, Syekh al-Maliki telah menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah menggantikan saudara tua yang juga gurunya, Syekh Abid al-Maliki, tahun 1921. Kendatipun inisiasi resminya dengan mazhab Maliki, Syekh Muhammad Ali al-Maliki juga dikenal sebagai pakar dalam fikih Syafi’i, hasil gemblengan Syekh Umar Syatta ad-Dimyati, saudara dari Usman Syatta al-Bakri ad-Dimyati, seorang pakar fikih Syafi’i dan pengarang kitab fikih I‘anah ath-Thalibîn yang menjadi rujukan pesantren-pesantren di Indonesia.

Keluasan ilmu fikih lintas mazhab Ahlussunnah (terutama mazhab yang empat) membuatnya terhindar dari fanatisme sempit mazhab-fikih yang tercermin dalam salah satu karyanya Inthishâr al-I‘tishâm bi Mu‘tamad Kulli Madzhab min Madzâhib al-A’immah al-A‘lâm (“Pembelaan Objektif atas Pendapat-pendapat Otoritatif Seluruh Mazhab Imam-Imam Besar”). Karya-karyanya yang lain di yang menunjukkan kepakarannya di bidang fikih dan ushul fikih sebenarnya cukup banyak, antara lain: At-Taqrîrât ‘ala Syarh al-Muhallâ, Tahdzib al-Furûq lil-Qarâfi, al-Hawâsyî as-Saniyyah ‘ala Qawânîn Ibn Jizziy al-Mâlikî (ketiganya dalam bidang ushul fikih mazhab Maliki), dan Hawâsyi ‘ala al-Asybâh wan-Nazhâ’ir lis-Suyûthî (dalam bidang ushul fikih mazhab Syafi’i).

Kendatipun keluasan ilmu fikihnya yang menyebabkan keluwesan dalam menyikapi berbagai perbedaan fikih-furu‘iyyah inter-Ahlussunnah waljamaah, Syekh al-Maliki dikenal tegas dalam hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip akidah-ushuliyyah. Untuk menjaga akidah Ahlussunah wal-jamaah dari berbagai upaya penyimpangan di bidang akidah, ia misalnya telah menulis secara khusus bantahan atas aliran Ahmadiyah dengan judul Al-Qawâthi‘ al-Burhaniyyah fi Bayân Ifki Ghulâm Ahmad wa Atbâ‘ihi al-Qâdiyâniyyah (“Bukti-bukti Meyakinkan tentang Kebohongan Mirza Ghulam Ahmad dan Para Pengikut Aliran Qâdiyâniyyah”).

Tulisannya mengenai penyimpangan akidah Ahmadiyah yang berpusat di Qadiyan dan Lahore —suatu aliran yang muncul dan berkembang jauh di luar Semenanjung Arabia di mana al-Maliki hidup— menyiratkan bahwa Syekh al-Maliki bukanlah tipe intelektual “menara gading” yang masa bodo terhadap persoalan-persoalan keumatan, baik dalam skala nasional, regional dan internasional. Kepeduliannya terhadap perkembangan umat Islam dalam skala internasional, misalnya, tampak jelas ketika ia bersama murid seniornya, Muhammad al-Amin al-Kutbi, termasuk di antara ulama yang disowani dan dimintakan pendapat oleh Abul Hasan an-Nadawi, seorang tokoh intelektual Muslim asal India yang memiliki reputasi internasional, ketika an-Nadawi berkunjung ke Mekah pada tahun 1947. Kepedulian al-Maliki terhadap kondisi umat dan dunia Muslim boleh jadi telah muncul sebagai hasil dari kunjungan yang pernah dilakukannya ke berbagai negara Asia —termasuk Indonesia dan wilayah Melayu-Nusantara— pada tahun 1343 dan tahun 1345 H. Petunjuk lain tentang kepedulian al-Maliki atas pelbagai permasalahan umat dapat dibaca dari ulasan-ulasan yang dituangkannya dalam satu karya yang berjudul Fatâwâ an-Nawâzil al-‘Ashriyyah (Fatwa-fatwa tentang Pelbagai Masalah Kontemporer).

Selain fikih dan akidah, bidang keilmuan lain yang digeluti Syekh al-Maliki adalah disiplin ilmu-ilmu hadits (dirayah dan riwayah). Kepakaran di bidang yang satu ini sangat tampak ketika ia, bersama Syekh Umar Hamdan (w. 1368 H) —rekannya yang juga salah seorang guru KH. Noer Ali— menjadi salah seorang mata rantai terpenting periwayatan hadits (isnad) Musnid ad-Dunya, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani. Oleh karenanya, Syekh al-Maliki termasuk salah satu mata rantai sanad para pakar hadits Mekah yang terpenting, sebagaimana tercatat dalam karya al-Fadani “An-Nafhah al-Miskiyyah fil-Asânîd al-Makkiyyah” (“Hembusan Aroma Misik tentang Isnad-isnad Mekah”). Bahkan periwayatan melalui jalur Syekh al-Maliki dicatat tersendiri oleh al-Fadani dalam karyanya al-Maslak al-Jaliyy fi Asânîd Fadhilah as-Syaikh Muhammad Ali al-Maliki (“Jalan Terang tentang Sanad-sanad Yang Mulia Syekh Muhammad Ali al-Maliki”).

Kecuali itu, tentu saja kita tidak dapat mengabaikan kepakaran Syekh Ali al-Maliki dalam bidang gramatika dan sastera Arab (nahwu, sharaf, balaghah, arudh, qawafî) yang turut membentuk kepakaran KH. Noer Ali dalam bidang ini. Gelar “Sibawaih pada masanya” (Sibawaihi zamânihî) yang disandang al-Maliki adalah sebentuk pengakuan para ulama atas kepakarannya di bidang ini. Dua jilid bukunya tentang gramatika bahasa Arab dengan judul “Tadrîb ath-Thullâb fi Qawâ‘id al-I‘râb”, masih membuat decak kagum para pengkajinya.

Harmonisasi Syariat dan Tasawuf

Bidang keilmuan lain yang digeluti oleh Syekh Al-Maliki —juga hampir seluruh ulama-ulama Haramain pada masanya— adalah disiplin tasawuf. Sebagaimana dimaklumi, melalui adikaryanya Ihyâ’ ‘Ulumid-Dîn, Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) telah mampu secara memuaskan mengkombinasikan aspek eksoterik (syari’ah) dan esoterik (tasawuf) dalam Islam; sehingga harmonisasi antara syari’ah dan haqiqah, fikih dan tasawuf menjadi mainstream atau —dalam istilah Azra: great tradition— corak keagamaan dan keilmuan di hampir seluruh dunia Islam setelah kemunculan tokoh yang digelari “Hujjatul Islam” (Bukti Kebenaran Islam) ini.

Bahkan Dr. Tawfiq at-Thawîl dalam kajiannya mengenai tasawuf di masa Imperium Khilafah Usmaniyah yang runtuh pada tahun 1924, menulis, bahwa sampai akhir masa imperium Ottoman yang berpusat di Turki yang cakupan wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh dunia Islam (termasuk Hijaz), harmonisasi antara disiplin fikih dan tasawuf menjadi corak utama keagamaan dan intelektual dunia Arab-Islam pada masa itu. Menurut Dr. Hasan Asy-Syâfi‘î, harmonisasi ini tampak misalnya dalam karya-karya hampir semua tokoh intelektual di dunia Islam yang hidup pada masa itu yang, karena kecenderungan praktek fikih yang dibalut dengan penghayatan sufi mereka, salah satu gelar akademik yang kerap disandang para ulama kala itu adalah “Faqih, Muhaddits, Shufî” (Pakar Fikih dan Hadits serta Pegiat Tashawwuf).

Untuk menyebut di antara ulama yang memiliki gelar akademik seperti itu, kita bisa menyuguhkan beberapa nama, misalnya, Abdul Wahab asy-Sya‘rani (w 973 H) di Mesir; Abdul Ghani an-Nabulsi (w. 1143 H) di Syam; Shah Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) yang meneruskan pemikiran pendahulunya Ahmad as-Sirhindi (1034 H) di India; Ahmad ad-Dardîrî, pendiri tarekat al-Khalwati (w. 1201 H.) di Mesir; Muhammad Ali as-Sanusi (w. 1275 H), pendiri tarekat Sanusiah yang melahirkan seorang tokoh sufi-mujahid, Umar Mukhtar (1349 H) di Libia; dan —tidak ketinggalan— Nuruddin ar-Râniri (w. 1076/1666), Abdul Rauf as-Sinkili (w. 1105/1693) dan Yusuf al-Maqassari (1111/1699) di Indonesia ; serta yang lainnya.

Kecenderungan harmonisasi syariat dan tasawuf ala Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali yang, dalam jaringan intelektual ulama-ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad 17 mengkristal pada sosok Ibrahim al-Kurani dan Ahmad al-Qusysyasi (tiga murid mereka asal Indonesia adalah Ar-Raniri, Al-Sinkili dan al-Maqassari), terus bergulir di abad-abad selanjutnya. Tokoh ulama seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan , Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah yang berhasil mencetak ulama-ulama selanjutnya (seperti Muhammad Abid al-Maliki, Abu Bakar Syatta ad-Dimyati dari Arab; dan Mahfuzh at-Termasi dari Indonesia), mereka semua termasuk dalam jaringan intelektual yang mendukung harmonisasi syariat dan tasawuf. Dan corak intelektual seperti inilah yang kemudian dipraktekkan oleh Syekh Ali al-Maliki dan KH. Hasyim Asy‘ari (pendiri NU, kolega Syekh Ali al-Maliki yang bersama-sama menjadi murid Syekh Abid al-Maliki) , yang kemudian terus dilanjutkan oleh para ulama abad 19/20, termasuk “enam pendekar-ulama Betawi”, KH. Noer Alie, KH. Abdullah Syafi‘i, Tuan Guru KH. Zainuddin, dan ulama-ulama Indonesia lainnya.

Kembali kepada Syekh Ali al-Maliki. Hubungan K.H. Noer Ali dengan guru yang satu ini memang agak lebih istimewa dibandingkan dengan guru-gurunya yang lain di Haramain. Keistimewaan itu terlihat karena Guru Marzuki yang juga murid Syekh Ali al-Maliki, diduga kuat telah merekomendasikan KH. Noer Alie untuk melanjutkan pelajarannya langsung di bawah bimbingan Syekh al-Maliki yang pernah menjadi gurunya di Mekah. Kecuali itu, keistimewaan Syekh al-Maliki bagi KH. Noer Alie juga terlihat dari beberapa ijazah hizb dan wirid yang didapatkannya langsung dari Syekh Ali al-Maliki. Ijazah (sertifikasi) wirid dan hizb ini menunjukkan inisiasi Syekh Ali al-Maliki dan para ulama di masanya pada tasawuf-sunni —lawan dari tasawuf falsafi— yang berupaya mengharmonisasikan antara aspek lahiriah-eksoteris (syariat) dan zuhud-esoteris (hakikat), suatu upaya yang kemudian diikuti dengan setia oleh murid-muridnya, termasuk KH. Noer Alie dan para murid beliau yang setia.

Wallâhu A‘lam

BIBLIOGRAFI:

semoga Allah meluaskan kubur beliau dan memberikan kita barakah ilmunya.

Amin………Ya….Rabbal Allamin.

Dikutip dari Majalah Al Kisah No.24/tahun VI/17-30 November 2008 M