Al - Habib Abdullah bin Alwi Al - Haddad Shohibur Rotib

Beliau adalah Syeikh Al-Islam, atau mahaguru, penganjur dan pemimpin utama dalam jejak dakwah dan pendidikan, dari keturunan Sayyid, yang mulia, Abdullah bin Alwi Al-Haddad Al-Alawi Al-Husaini Al-Hadrami As-Syafa'i, Imam Ahli zamannya, yang sering berdakwah kepada jalan Allah, berjuang untuk mengembangkan agama yang suci dengan lisan dan penanya yang menjadi tumpuan dan rujukan banyak orang dalam ilmu pengetahuan. 

Nasab al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad

Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Al Faqih Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Sayyidina Al-Imam Kholi Qosam bin Sayyidina Alwi bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Shohib As-Shouma’ah bin Sayyidina Al-Imam Alwi Shohib Saml bin Sayyidina Al-Imam Ubaidillah Shohibul Aradh bin Sayyidina Al-Imam Muhajir Ahmad bin Sayyidina Al-Imam Isa Ar-Rumi bin Sayyidina Al- Imam Muhammad An-Naqib bin Sayyidina Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Sayyidina Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Sayyidina Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Sayyidina Al-Husein. Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in.

Beliau dilahirkan pada malam Senin 5 Shafar 1044 H / 1624 M di Subair, di pinggiran kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Pada tahun kelahirannya, terjadi beberapa peristiwa, yaitu Wafat Habib Husein bin Syekh Abu Bakar bin Salim dan Sayyid Yusuf bin Al-Fasi ( murid Syekh Abu Bakar bin Salim ) dan terbunuhnya Sayyid Ba Jabhaban.

Kedua Orang Tua Beliau

Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna. 

Ayah beliau, al-Habib Alwy bin Muhammad al-Haddad berkata: “Sebelum aku menikah, aku berkunjung kerumah al-’Arif Billah al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Habsyi di Kota Syi’ib untuk meminta do’a. Lalu al-Habib Ahmad menjawabku: “Awlaaduka Awlaadunaa Fiihim Albarakah”

Artinya: “Putera-puteramu termasuk juga putera-putera kami, pada mereka terdapat berkah.” 

Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-Wilayah ( Kewalian ). 

Masa kecil Beliau 

Semenjak kecil, al-Habib Abdullah al-Haddad telah termotivasi untuk menimba ilmu dan gemar beribadah. Tentang masa kecilnya, al-Habib Abdullah berkata: “Jika aku kembali dari tempat belajarku pada waktu Dhuha, maka aku mendatangi sejumlah masjid untuk melakukan shalat sunnah seratus rakaat setiap harinya.”

Kemudian untuk mengetahui betapa besar kemauan beliau untuk beribadah di masa kecilnya, al-Habib Abdullah menuturkannya sebagai berikut: “Di masa kecilku, aku sangat gemar dan bersungguh-sungguh dalam ibadah dan mujahadah, sampai nenekku seorang wanita shalihah yang bernama asy-Syarifah Salma binti al-Habib Umar bin Ahmad al-Manfar Ba’alawi berkata: ‘Wahai anak kasihanilah dirimu.’ Ia mengucapkan kalimat itu, karena merasa kasihan kepadaku ketika melihat kesungguhanku dalam ibadah dan bermujahadah.”

Seorang sahabat dekat al-Habib Abdullah al-Haddad berkata: “Ketika aku berkunjung kerumah al-Habib Abdullah bin Ahmad Bilfagih, maka ia bercerita kepada kami: ‘Sesungguhnya kami dan al-Habib Abdullah al-Haddad tumbuh bersama, namun Allah SWT memberinya kelebihan lebih dari kami. Yang sedemikian itu, kami lihat hidup al-Habib Abdullah sejak masa kecilnya telah mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu ketika ia membaca Surat Yasiin, maka ia sangat terpengaruh dan menangis sejadi-jadinya, sehingga ia tidak dapat menyelesaikan bacaan surat yang mulia itu, maka dari kejadian itu dapat kami maklumi bahwa al-Habib Abdullah telah diberi kelebihan tersendiri sejak di masa kecilnya.”

Al-Habib Abdullah sering berziarah kubur pada Hari Jum’at sore setelah melakukan shalat Ashar di masjid al-Hujairah. Selain itu, al-Habib Abdullah al-Haddad sering berziarah kubur pada Hari Selasa sore. Setelah usianya semakin lanjut dn dan kekuatannya semaki menurun, maka al-Habib Abdullah tidak berziarah pada Hari Jum’at dan Selasa seperti biasanya, adakalanya beliau berziarah pada Hari Sabtu dan hari-hari lainnya sebelum matahari naik.

Di antara wirid al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad setiap harinya adalah kalimat “LAA ILAAHA ILLALLAH” sebanyak seribu kali. Tetapi di Bulan Ramadhan dibaca sebanyak dua ribu kali setiap harinya. Beliau menyempurnakannya sebanyak tujuh puluh ribu kali pada waktu enam hari di Bulan Syawal. Selain itu, beliau mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLAH AL-MALIKUL HAQQUL MUBIIN” sebanyak seratus kali setelah Shalat Dzuhur.

Al-Habib Abdullah berkata: “Kami biasa melakukan shalat al-Awwabin sebanyak dua puluh rakaat.”

Al-Habib Abdullah sering berpuasa sunnah, khususnya pada hari-hari yang dianjurkan, seperti Hari Senin dan Hari Kamis, hari-hari putih (Ayyamul baidh), Hari Asyura, Hari Arafah, enam hari di Bulan Syawal dan lain sebagainya sampai di masa senjanya. Beliau selalu menyembunyikan berbagai macam ibadah dan mujahadahnya, beliau tidak ingin memperlihatkannya kepada orang lain, kecuali untuk memberikan contoh kepada orang lain.

Selain di kenal sebagai ahli ibadah dan mujahadah, al-Habib Abdullah juga dikenal seorang yang istiqomah dalam ibadah dan mujahadahnya seperti yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. al-Habib Ahmad an-Naqli berkata: “al-Habib Abdullah adalah seorang yang sangat istiqamah dalam mengikuti semua jejak kakeknya, Rasulullah SAW.”

Dalam masalah ini, al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata: “Kami telah mengamalkan semua jejak Nabi Muhammad SAW dan kami tidak meninggalkan sedikitpun daripadanya, kecuali hanya memanjangkan rambut sampai di bawah ujung telinga, karena Nabi SAW memanjangkan rambutnya sampai di bawah ujung kedua telinganya.”

Tentang kesabaran al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, sejak masa kecil beliau sudah mengalami berbagai cobaan, diantaranya adalah ketika ia menderita penyakit cacar sampai kedua matanya tidak dapat melihat. Meskipun begitu, ia rajin mencari ilmu dan beribadah di masa kecilnya, hingga melakukan shalat sunnah seratus rakaat setiap paginya hingga Waktu Dzuhur tiba. Disebutkan bahwa ia selalu menyembunyikan berbagai cobaan yang dideritanya, sampai di akhir usianya. Dalam masalah ini beliau berkata kepada seorang kawan dekatnya:

“Sesungguhnya penyakit demam di tubuhku sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu dan hingga kini masih belum meninggalkan aku, meskipun demikian tidak seorangpun yang mengetahui penyakitku ini, sampai pun keluargaku sendiri.” 

Beliau berhasil menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai ilmu agama seperti buku-buku karangan Imam Al-Ghozali ketika masih kanak-kanak. 

Rupanya Allah berkenan menggantikan penglihatan lahirnya dengan penglihatan batin, sehingga kemampuan menghafal dan daya pemahamannya sangat mengagumkan. Abdullah sejak kecil gemar beribadah dan riyâdhoh. Nenek dan kedua orang tuanya seringkali tidak tega menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan riyâdhoh. Mereka menasihati agar ia berhenti menyiksa diri. Demi menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah dan riyâdhoh yang sesungguhnya amat ia gemari. Ia pun kini memiliki lebih banyak waktu untuk bermain-main dengan teman-teman sebayanya. “Subhânallôh, sungguh indah masa kanak-kanak...,” kenang beliau suatu hari. 

Di kota Tarim, Abdullah tumbuh dewasa. Bekas-bekas cacar tidak tampak lagi di wajahnya. Beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih, dan berwibawa. Tutur bahasanya menarik, sarat dengan mutiara ilmu dan nasihat berharga. Beliau sangat gemar menuntut ilmu. Kegemarannya ini membuatnya sering melakukan perjalanan untuk menemui kaum ulama.

Habib Abdullah Al-Hadad ra berkata, “Apa kalian kira aku mencapai ini dengan santai? Tidak tahukah kalian bahwa aku berkeliling ke seluruh kota-kota (di Hadramaut) untuk menjumpai kaum sholihin, menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka?” Beliau juga sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik murid-muridnya. Banyak penuntut ilmu datang untuk belajar kepadanya. Suatu hari beliau berkata, “Dahulu aku menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku.” “Andaikan penghuni zaman ini mau belajar dariku, tentu akan kutulis banyak buku mengenai makna ayat-ayat Qu’ran. Namun, di hatiku ada beberapa ilmu yang tak kutemukan orang yang mau menimbanya.” 

Habib Abdullah mengamati bahwa kemajuan zaman justru membuat orang-orang saleh menyembunyikan diri; membuat mereka lebih senang menyibukkan diri dengan Allah. “Zaman dahulu keadaannya terbalik. “Dagangan” kaum sholihin dibutuhkan masyarakat, oleh karena itu mereka menampakkan diri. Zaman ini telah rusak, masyarakat tidak membutuhkan “dagangan” mereka, karena itu mereka pun enggan menampakkan diri,” papar beliau.

Guru-guru Habib Abdullah bin alwi Al Haddad

1. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrohman Al-Aththos bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrohman bin Abdullah bin Abdurrohman Asseqaff,

2. Al-Allamah Al-Habib Aqil bin Abdurrohman bin Muhammad bin Ali bin Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin Abdurrohman Asseqaff,

3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrohman bin Syekh Maula Aidid Ba’Alawy,

4. Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad Bahasan Al-Hudaily Ba’Alawy

5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrohman Asseqaff

6. Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam Abdurrohman bin Ali bin Abu Bakar bin Syaikh Abdurrahman Asseqaff

7. Sayyid Syaikhon bin Imam Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim

8. Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim

9. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrohman bin Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus

10. Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin Ahmad Ba Alawy Al-Asqo

11. Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi

Murid-murid Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad

1. Habib Hasan bin Abdullah Al Haddad ( putra beliau )

2. Habin Ahmad bin Zein Al Habsyi

3. Habib Abdurrahman bin Abdullah BilFaqih

4. Habib Muhammad bin Zein bin Smith

5. Habib Umar bin Zein bin Smith

6. Habib Umar bin Abdullah Al Bar

7. Habib Ali bin Abdullah bin Abdurrahnan As Segaf

8. Habib Muhammad bin Umar bin Toha Ash As-Shafi As Seqaf

9. dll.

Suatu hari beliau berkata :

”Dahulu orang menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku “.

Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyad. 

Beliau berpesan :

“Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat kepada tarekat ( thariqah ) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat kepada hakikat ( haqiqah ) dengan bahasa hakikat, ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul Haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.”

Ibadah Beliau

Pada masa Bidayahnya ( permulaannya ); setiap malam beliau mengunjungi seluruh masjid di kota Tarim untuk beribadah. Telah lebih 30 tahun lamanya beliau beribadah sepanjang malam. Ketika beliau berada di Bidayahnya, Al-Faqih Abdullah bin Abu Bakar Al-Khotib, salah seorang guru Fiqih beliau, berkata :

”Aku bersaksi bahwa Sayyidi Abdullah Al Haddad berada di Maqom Sayyid ath-Thoifah Junaid.”

Salah seorang yang tinggal berdampingan dengan Masjid tempat beliau ra biasa shalat mengatakan, “Setiap malam, ketika penduduk kota ini telah lelap dalam tidurnya, aku selalu mendapati beliau berjalan ke Masjid.” 

Masjid Imam Haddad

Sahabat beliau menceritakan, “Suatu hari aku berziarah bersama beliau ke makam Nabiyullôh Hud as. Malam itu seekor kalajengking menyengatku sehingga aku terjaga semalaman. Aku amati malam itu beliau tidak tidur, asyik beribadah sepanjang malam. Waktu kutanyakan hal itu, beliau menjawab bahwa telah tiga puluh tahun lamanya beliau berbuat demikian. Meskipun Habib Abdullah amat gemar beribadah, beliau tidak suka menceritakan atau memperlihatkan amalnya, kecuali bila keadaan sangat memaksa dan ia ingin agar amal salehnya itu diteladani. Beliau berkata, “Aku sengaja tidak memperlihatkan amal ibadahku, meskipun, alhamdulillâh, aku tidak khawatir terkena riya`. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Ash-Shiddîq (Nabi Yusuf as): “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena nafsu itu selalu mengajak berbuat kejahatan...”

Di masa kecilnya,  al-Habib Abdullah mengerjakan shalat sunnah seratus rakaat setiap harinya setelah pulang dari rumah gurunya di waktu Dhuha. Karena itulah tidaklah mengherankan jika Allah SWT memberinya kedudukan sebagai ‘Wali Al-Quthub’ sejak usianya masih remaja.

Disebutkan bahwa beliau mendapat kedudukan Wali al-Quthub lebih dari ‘Enam Puluh Tahun’. Beliau menerima libas atau pakaian kewalian dari al-’Arif Billah al-Habib Muhammad bin Alawi (Shahib Makkah). Beliau menerima libas tersebut tepat ketika al-Habib Muhammad bin Alawi wafat di kota Makkah pada tahun 1070 H. Pada waktu itu, usia al-Habib Abdullah 26 tahun. Kedudukan Wali al-Quthub itu beliau sandang hingga beliau wafat (1132 H). Jadi beliau menjadi Wali al-Quthub lebih dari ’60 Tahun’.

Ratib Al Haddad dan Wirdul Lathif

ketika beliau berusia 27 tahun, beberapa orang ( Syi’ah ) Zaidiyyah masuk ke Yaman. Para Ulama khawatir akidah masyarakat akan rusak karena pengaruh ajaran para pendatang syi’ah itu. Mereka lalu meminta beliau untuk merumuskan sebuah doa’ yang dapat mengokohkan akidah masyarakat dan menyelamatkan mereka dari faham-faham sesat. Beliau memenuhui permintaan mereka lalu menyusun sebuah doa’ yang akhirnya dikenal dengan nama Ratb Al Haddad. Disamping itu beliau juga merumuskan bacaan dzikir yang dinamainya Wirid al-Lathif. Ketika berusia 28 tahun, ayah beliau meninggal dunia dan tak lama kemudian ibunya menyusul.

Tempat Tasbih Imam Haddad

Keluhuran Budi Beliau

Dalam kehidupannya, beliau juga mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya, Beliau berkata :

Kebanyakan orang, jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan sabar; mereka sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah SWT. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa bahwa gangguan-gangguan itu sebenarnya juga qodho dan qodar Allah SWT, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah SWT hendak menguji dan menyucikan jiwa mereka.

Rasulullah bersabda : 

“Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah SWT mencintai suatu kaum, ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoannya; barang siapa tidak ridho, Allah SWT akan murka kepadanya.” ( HR Thabrani dan Ibnu Majah )

Habib Abdullah juga menjadikan Ratib Al-Atthas karya gurunya, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas sebagai rujukan. Ketika seseorang datang minta ijazah atau izin mengamalkan Ratib Al-Haddad; beliau berkata :

“Bacalah Ratib Guruku, kemudian baru Ratibku”

Ini merupakan cermin bagaimana seorang murid menghormati gurunya, meski karyanyalah yang lebih populer. 

Kegemarannya berdakwah menyebabkan ia banyak bergaul dan melakukan perjalanan. “Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapa pun dari mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun Sahara. Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat dariku.” 

Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyâd. Beliau berkata, “Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat kepada tarekat (thorîqoh) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat kepada hakikat (haqîqoh) dengan bahasa hakikat; ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.” 

Dalam kehidupannya, beliau juga sering mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya. “Kebanyakan orang jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan sabar; sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa, bahwa gangguan-ganguan itu sebenarnya juga merupakan qodho dan qodar Allah, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah hendak menguji dan menyucikan jiwa mereka. 

Nabi saw bersabda, “Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoan-Nya; barang siapa tidak ridho, Allah akan murka kepadanya.” 

Habib Abdullah mengetahui bahwa ada beberapa orang yang memakan hidangannya, tetapi juga memakinya. “Perbuatan mereka tidak mempengaruhi sikapku. Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudo’akan.” Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. 

Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. Beliau berkata :

”Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci dan iri pada seseorang!”

Dalam mengarungi bahtera kehidupan, beliau lebih suka berpegang pada hadits Rasulullah SAW :

”Orang beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.” ( HR Ibnu Majah dan Ahmad )

Beliau menulis dalam sya’irnya :

Bila Allah SWT mengujimu, bersabarlah

karena itu haknya atas dirimu.

Dan bila ia memberimu nikmat, bersyukurlah.

Siapapun mengenal dunia, pasti akan yakin

bahwa dunia tak syak lagi

adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan. 

Habib Abdullah tidak menyukai kemasyhuran atau kemegahan, beliau juga tidak suka dipuji. 

“Banyak orang membuat syair-syair untuk memujiku. Sesungguhnya aku hendak mencegah mereka, tetapi aku khawatir tidak ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi, kubiarkan mereka berbuat sekehendaknya. Dalam hal ini aku lebih suka meneladani Nabi saw, karena beliau pun tidak melarang ketika sahabatnya membacakan syair-syair pujian kepadanya.” 

Suatu hari beliau berkata kepada orang yang melantunkan qoshidah pujian untuk beliau, “Aku tidak keberatan dengan semua pujian ini. Yang ada padaku telah kucurahkan ke dalam samudra Muhammad Saw. Sebab, beliau adalah manusia yang paling utama, dan beliaulah manusia yang berhak menerima semua pujian. Jadi, jika sepeninggal beliau ada manusia yang layak dipuji, maka sesungguhnya pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia adalah sumber segala keburukan dan kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan celaan terhadap keburukan akan terpulang kepadanya, sebab setanlah penyebab pertama terjadinya keburukan dan kehinaan.” 

Beliau tidak pernah bergantung pada mahluk dan selalu mencukupkan diri hanya kepada Allah SWT. Beliau berkata :

“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia Allah SWT. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya.”

“Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, karena aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja,”

Beliau sangat menyayangi kaum faqir miskin, 

“Andaikan aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum faqir miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh kaum Mukminin yang lemah.” “Dengan sesuap makanan tertolaklah bencana.”

Mihrab Masjid al-Imam al-Haddad

Karya-karya Beliau

1. An Nashoihud Diniyyah wal Washoyal Imaniyyah

2. Ad Da’watut Tammah wat Tadzkiratul ‘Ammah

3. Risalatul Mu’awanah wal Muzhoharah wal Muazaroh

4. Al Fushul ‘Ilmiyyah

5. Sabilul Iddikar

6. Risalatul Mudzakaroh

7. Risalatu Adabi sulukil Murid

8. Kitabul Hikam

9. An Nafaisul ‘Uluwiyah

10. Ithafus Sail Bijawabil Masail

11. Tatsbitul Fuad

12. Risalah Shalawat ; diantaranya Shalawat Thibbil Qulub ( Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wadawa-iha, wa’afiyati abdani wa syifa-iha, wanuril abshari wadliya-iha, wa’ala alihi washahbihi wasalim.)

13. Ad-Durul Mandzum (kumpulan puisi )

14. Diwan Al-Haddad (kumpulan puisi )

Karya-karya beliau sarat dengan inti sari ilmu syari’at, adab islami dan tarekat, penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa yang memikat. Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Berisi ajaran tasawuf murni. Beliau berkata :

“Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan yang mudah, supaya dekat dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan kata-kata yang ringan, supaya segera dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh kaum khusus maupun awam.”

Seluruh tulisannya sarat dengan ajaran islam ( tauhid, syari’at, akhlaq, tarekat ) semuanya tersaji bercirikan tasawuf. Dalam Ad-Durrul Mandzum, misalnya beliau menulis :

“Dalam bait-bait yang aku tulis ini, terdapat berbagai ilmu yang tidak yang tidak ada dalam kitab lainnya. Maka barang siapa membacanya secara rutin, lalu berpegang teguh kepadanya, cukup sudah baginya.”

Ada keyakinan di kalangan sebagian kaum muslimin, membaca karya Habib Abdullah bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu keselamatan, bukan hanya bagi pembacanya, melainkan juga masyarakat sekitarnya.

Selain itu terdapat ucapan dan ajaran-ajarannya yang sempat dicatat murid-muridnya dan pengikutnya antara lain: Al-Maktubat (kumpulan surat menyurat), Ghayat al-Qashoad Wa al-Murad oleh Sayid Muhammad bin Zain bin Samith, dan Tasbit al-Fuad oleh Syekh Ahmad bin Abdul Karim al-Hasawi. 

Diakui para sufi bahwa ada ketinggian dan keindahan spiritualitas yang tinggi pada kesufian Al-Haddad. Bahwa dari karya-karyanya tersebut betapa sejuk dan indahnya bertasawwuf. Betapa tidak, tasawuf bagi al-Haddad adalah ibadah, zuhud, akhlak, dan zikir, suatu jalan membina dan memperkuat kemandirian menuju kepada Allah swt. Saperti dalam Al-Iddikar, Al-Haddad menjelaskan kehidupan manusia sejak dalam rahim, di dunia, di alam mahsyar, sampai pada kehidupan yang abadi, disertai dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang tersusun rapi dengan uraian yang mengesankan. Dalam kitabnya Risalah al-Mu’awanah, al-Haddad menegaskan pesannya kepada umat Islam untuk berpegang pada al-Quran dan hadis, termasuk di dalamnya kehidupan tasawwuf yang tidak boleh lepas dari al-Quran dan hadis, serta menghindari bid’ah mazmumah (sesuatu yang menyimpang dari al-Quran dan hadis). Oleh sebab itu al-Haddad melihat tasawuf tersebut adalah untuk melaksanakan semua perintah Allah swt dan menjauhi semua larangan-Nya, sambil membersihkan diri dan menjernihkan jiwa hingga merasa cukup dengan Allah dan tidak membutuhkan dunia yang lain.

Sedangkan di dalam Al-Maktubat, ia berpesan; seorang sufi harus menyaring dan menjernihkan segala perbuatan, ucapan, dan semua niat serta perilaku dari berbagai kotoran berupa riya (pamer), dan segala sesuatu yang tidak disukai Allah swt. Selain itu manusia harus menghadap Allah secara terus-menerus secara lahir maupun batin dengan mengerjakan semua ketaatan hanya kepada Allah dan berpaling dari segala sesuatu selain Allah Yang Maha Esa. 

Dalam Al-Fushul al-Ilmiyah, al-Haddad menguraikan intinya adalah memurnikan tauhid (akidah) dari sumber-sumber syirik, kemudian menumbuhkan akhlak terpuji seperti zuhud, ikhlas, dan bersih hati terhadap kaum muslimin serta menghilangkan segala sifat buruk seperti cinta dunia, riya, dan angkuh. Kemudian melaksanakan amal saleh yang nyata dan menjauhi perbuatan buruk. Mencari nafkah dengan baik melalui jalan wara’ (menjaughkan diri dari segala sesuatu yang haram, dosa dan maksiat) dan qanaah (mensyukuri terhadap apa yang telah diusahakannya). 

Bagi kalangan ahli hikmah, jumlah dalam bacaan memiliki makna tersembunyi (asrar). Jumlah juga mengandung misteri (sirr). Dan tentunya mengamalkan Ratib Alhaddad tidak perlu ragu asal tidak menyimpang dari al-Quran dan hadis. Apalagi, di era sekarang ini di tengah masyarakat dan ummat menghadapi kegelisahan, kebingungan, bahkan frustrasi karena dunia modern tidak mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan, maka dengan mengamalkan Ratib ini diharapkan mampu memberikan kesejukan jiwa sekaligus jalan dan jawaban terhadap masalah-masalah duniawi yang makin rumit tersebut.

Sebagaimana dimaklumi, kecenderungan kepada kehidupan spiritual yang tinggi telah ditunjukkan oleh semua sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khattab, usman bin Affan, dan tidak terkecuali Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Di kalangan pengikut Ali yang dikenal dengan Syiah bahkan juga kaum muslimin selalu mengaitkan jalur spiritual kesufian tersebut kepada Ali. Dan di masyarakat Syiah sepanjang masa kehidupan spiritual itu selalu dipelihara dan dikembangkan dengan baik sampai hari ini, demikian pula di kalangan sunni

Sebagai Mujaddid Abad ke 11 H.

Penganut Mazhab Syafi’i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah Mujaddid ( pembaharu )abad 11 H. pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Ziyad, seorang Ahli Fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh Fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli.

Seseorang pernah menggambarkan kedudukan beliau dengan ungkapan yang indah,yaitu: 

”Dalam Dunia Tasawuf Imam Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong dan Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah penjahitnya.”

Beliau ra merumuskan bacaan dzikir yang dinamainya wirid Al-Lathîf. Wirid ini telah tersebar hampir ke seluruh penjuru Dunia: Mekah, Madinah, Hijaz, Afrika, Indonesia, Malaysia, Eropa, Amerika dan lain-lain. Di Indonesia, wirid ini nyaris menjadi bacaan yang diwajibkan oleh guru-guru pesantren. Tidak sedikit dari mereka yang enggan beranjak dari tempat duduknya setelah salat Subuh, sebelum menyelesaikan wirid ini. 

Wirid ini hampir menjadi bacaan resmi umat Islam di pagi hari. Wiridnya yang lain, yang juga tak kalah masyhurnya, adalah Ratib Al-Haddad. Demikianlah Habib Abdullah Al-Haddad menghabiskan umurnya. Beliau menuntut ilmu dan mengajarkan; berdakwah dan mencontohkan.

Beberapa Ulama memberinya beberapa gelar, seperti :

• Syaikhul Islam ( Rujukan utama keislaman )

• Fardul A’lam ( Orang teralim )

• Al-Quthbul Ghauts ( Wali tertinggi yang bisa menjadi wasilah pertolongan )

• Al-Quthbud Da’wah wal-Irsyad ( Wali Tertinggi yang memimpin Dakwah )

I'tiqad Imam al-Haddad 

Imam al-Haddad dalam "Risalatul Mu`awwanah" berpesan:-

• Hendaklah engkau membentengi pegangan kepercayaanmu (yakni i'tiqadmu), memperbaikinya dan memperkukuhkannya atas jalan kumpulan yang mendapat kejayaan, yaitu kumpulan yang terkenal antara berbagai kumpulan sebagai 'Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Ahlus Sunnah wal Jama`ah adalah orang yang berpegang teguh dengan jalan Junjungan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat r.anhum. Jika engkau teliti nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah - yang berhubung dengan keimanan - dengan pemahaman yang benar, pikiran sehat yang terbit dari hati yang bersih, serta engkau pelajari perjalanan hidup para salafus sholeh daripada kalangan sahabat dan tabi`in, niscaya engkau akan mengetahui dengan yakin bahwa kebenaran itu berada bersama kumpulan yang dikenali sebagai al-Asy`ariyyah yang dinisbahkan kepada asy-Syaikh Abul Hasan al-Asy'ari rhm. yang telah menyusun segala kaedah pegangan 'aqidah ahlul haq serta menyaring segala dalilnya. Inilah 'aqidah yang dipegangi oleh para sahabat radhiallahu anhum dan orang-orang selepas mereka daripada kalangan para tabi`in yang terpilih."

Jadi, sia-sialah golongan yang ingin menyesatkan golongan al-Asy`ariyyah dan al-Maturidiyyah karena dua inilah Ahlus Sunnah wal Jama`ah yang sejati. Imam al-Haddad telah menyatakan bahwa kedua-dua golongan ini, adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang selainnya Allahu a'laam. Mudah-mudahan kita selamat dari kesesatan yang bertopengkan tauhid dan sunnah.

Pendapat Ulama tentang Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat dizaman ini ( abad 12 H ). 

Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy" 

Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”

Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka'at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah ( fath ) dari allah swt sejak masa kecilnya". 

Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).

Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.

Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”

Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya". 

Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku berta'alluq kepadanya". 

Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini". 

Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”

Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”

Al-Habib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya,bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy al-Haddad ra". 

Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”

Pemakaman Zambal, di Tarim - Hadhramaut, Yaman

Wafatnya Beliau

Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H / 1712 M, beliau sakit dan tidak ikut shalat ashar berjamaah di masjid dan pengajian sore. Beliau memerintahkan orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut mendengarkan dari dalam rumah. Malam harinya, beliau sholat ‘isya berjamaah dan tarawih. Keesokan harinya beliau tidak bisa menghadiri sholat jum’at. Sejak hari itu, penyakit beliau semakin parah. Beliau sakit selama 40 hari sampai akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqaidah 1132 H / 1712 M beliau wafat di kota Tarim, disaksikan anak beliau, Hasan.

Beliau wafat dalam usia 89 tahun, meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum di dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman Zanbal, Tarim.

Meski secara fisik telah tiada, secara batin Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad tetap hadir di tengah-tengah kita, setiap kali nama dan karya-karyanya kita baca.

al-Quthub Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, mempunyai enam orang anak laki:

1. Zainal Abidin

2. Hasan, wafat di Tarim tahun 1188 H, anaknya Ahmad.

3. Salim

4. Muhammad, keturunannya di Tarim

5. Alwi, wafat di Makkah tahun 1153 H, keturunannya di Tarim

6. Husain, wafat di Tarim tahun 1136 H keturunannya di Aman, Sir, Gujarat

( Al Kisah No.18/tahun III/29 agustus-11 September 2005 dan Buku Tanya Jawab Sufistik )

Sebagian Karomah Shohibur Ratib Al-Haddad

Dikisahkan oleh Sulthonul 'Ilm, Al-'Allamah Al-Habib Salim bin Al-Quthub Abdullah bin 'Umar As-Syathiri hafizhohulloh :

Hb. Ahmad bin Zein Al-Habsyi yang merupakan murid kesayangan Shohibur Ratib Quthbul Irsyad Al-Habib Abdullah bin 'Alawi Al-Haddad Rodhiyallohu 'anhuma, pernah bertanya-tanya dalam hatinya bagamanakah al-Imamul Haddad menyusun berbagai macam kitabnya yang begitu rapih & tersusun indah.

Sebab sebelumnya, Al-Imam Al-Haddad pernah berkata kepadanya bahwa janganlah ia memasuki ruangan baca (perpustakaannya), karena di

tempat itulah beliau menyusun berbagai kitabnya.

Hingga suatu saat, ketika Beliau sedang menyusun kitab dengan pintu perpustakaan yang tidak tertutup rapat, tanpa sengaja al-Habib Ahmad bin

Zein Al-Habsyi melewati ruangan itu, dan dilihatlah Al-Imam Al-Haddad sedang duduk bersila layaknya seorang yang sedang berdzikir, namun kitab-kitab di dalam ruangan itu sedang berterbangan layaknya burung dan pena-pena serta tintanya sedang menulis apa yang sedang difikirkan oleh Shohibur Rotib dalam menyusun kitabnya.

Hal tersebut membuat gemetar tubuh al-Habib Ahmad bin Zein, sehingga ia pun jatuh pingsan karena begitu kuatnya Karomah Sang Guru.

Namun, ketika tersadar, ia melihat gurunya berada di hadapan wajahnya seraya berkata, "Janganlah kau ceritakan kejadian ini kepada orang lain selama aku masih ada..!!". 

Maka al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi, ia-pun menutup mulutnya untuk tidak menyebarkan kisah yang disaksikannya sendiri itu selama gurunya masih hidup.