Sayyid Alwy bin Abbas al Maliki al-Hasani

Siapa yang tak kenal Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki? Sebagian besar murid, lebih dari separuh bahkan mungkin 80 persen, dari tokoh besar yang wafat tiga tahun lalu ini, orang Indonesia dan bangsa Melayu lain. Popularitasnya disini bukan hanya karena itu. Puluhan karya yang lahir lewat penanya dan seringnya Ia mengunjungi Indonesia, membuat namanya semakin akrab di telinga kaum muslimin disini.

Ayah Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliki yakni Sayyid Alwy bin Abbas Al-Maliki, ini juga ulama terkemuka yang tak terlupakan jasanya. Puluhan ulama Indonesia telah merasakan manfaat ilmu, yang diberikannya. Begitu juga dengan kakeknya, Sayyid Abbas bin Abdul Azis Al-Maliki (1270-1353 H/1854-1934 M), yang sejak paruh kedua abad ke-19 hingga kurun awal abad ke-20 menjadi salah satu tumpuan ulama kita yang belajar disana.

Sayyid Alwy dilahirkan di Makkah tahun 1327 H/1909 M dan tumbuh dalam asuhan Ayahnya yang mendidiknya dengan didikan yang terbaik. Ayahnya menamainya Alwy sebagai tabarruk (mengambil keberkahan) dengan pesan yang diberikan kepadanya oleh As-Sayyid Al-‘Allamah Ahmad bin Hasan Al-Attas untuk menamakannya demikian. Pada masa kecilnya, Sayyid Alwy dimasukkan oleh Ayahnya ke madrasah pamannya, Sayyid Hasan Al-Maliki. Pamannya ini mendidiknya menghafal Al-Qur’an ketika ia berusia 10 tahun. 

Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abbas bin Muhammad al-Maliki al-Idrisi al-Hasani. Beliau adalah keturunan Idris al-Azhar bin Idris al-Akbar bin ‘Abdullah al-Kamil bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan, putera kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al-Zahra’ binti Rasulullah SAW.

Dilahirkan di rumah al-Maliki berhampiran Bab as-Salam pada tahun 1328H. menghafal al-Quran ketika berusia 10 tahun dan menjadi imam sholat tarawikh di Masjidilharam. Belajar di Madrasah al-Falah dan tamat pada tahun 1346H. Kemudian menjadi tenaga pengajar di madrasah tersebut. Mengajar di halaqahnya di Masjidilharam berdekatan dengan Bab as-Salam selama 40 tahun. Juga dilantik menjadi jurunikah di Mekah. Beliau wafat pada tanggal 25 Shafar 1391H dipangkuan pelayan (khadam) beliau, iaitu Tuan Guru Haji Mas’ud Telok Intan

Kemudian Sayyid Alwy dimasukkan ke madrasah Al-Falah yang gurunya saat itu adalah ulama terkemuka di Masjidil Haram yang menjadi teladan, baik dalam ilmu agama, sifat wara’, dan ketakwaan. Diantaranya adalah Syaikh Abdullah Hamduh, Syaikh Muhammad Al-’Arabi, Syaikh Ath-Thayyib Al-Murakisyi, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Isa Rawash, Syaikh Ahmad Nazhirin, Syaikh Yahya Aman, dan para tokoh ulama yang lain. Dari mereka ini Sayyid Alwy mengambil ilmu yang sangat penting dan bermanfaat bagi agama dan dunianya. Ia pun menjadikanmereka teladan dalam prilaku yang baik, pergaulan yang bagus, dan hati yang bersih.

Ayahnya Sayyid Abbas, terus-menerus mengikuti perkembangan pelajarannya dan selalu mendiskusikan materi yang diberikan dengan anaknya yang berbakti ini. Ia pun selalu mendengarkan saat sang anak menghafal kitab matan (kitab inti yang belum diberi syarah) yang sangat dibutuhkan oleh setiap pelajar. Sayyid Alwy belajar dengan penuh kesungguhan hingga memperoleh ijazah tingkat lanjutan dari madrasah ini pada tahun 1346 H.

Selama belajar, ia sangat diperhitungkan dan diperhatikan para gurunya. Mereka berupaya mewujudkan harapan orangtua Sayyid Alwy yang selalu memohon kepada Allah agar Allah menyenangkan hatinya dengan halaqah anaknya di Masjidil Haram. Ia berharap pada suatu saat dapat menghadiri halaqah anaknya. Doa ayahnya dan doa Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Attas berpengaruh pada dirinya sehingga ia selalu berusaha menambah ilmu pengetahuan dan melanjutkan pelajarannya di Masjidil Haram.

Maka Sayyid Alwy pun masuk dalam kelompok penuntut ilmu di Masjidil Haram. Ia mengambil ilmu dari guru besar saat itu, diantaranya Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Muhammad Al-‘Arabi, Syaikh Amin As-Suwaidi, Syaikh Ali bin Husain Al-Maliki, Syaikh Ahmad At-Tiji, dan lain-lain. Ia membaca kitab paling banyak ketika berguru kepada Syaikh Ali Al-Maliki.

Sayyid Abbas senantiasa memberikan dorongan atas keinginan belajar anaknya. Beliau mengatakan kepadanya “Ijazah seseorang adalah ilmunya dan manfaat yang diberikannya kepada orang lain.” Dorongan sang ayah semakin memotivasinya untuk terus menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Para gurunya memuji kesungguhan, keseriusan, dan ketekunannya.

Harapan sang ayah tak sia-sia. Allah menggembirakan hatinya ketika pada 1347 H, ia menyaksikan anaknya yang baru berusia 20 tahun telah menjadi pengajar di Madrasah Al-Falah dan diberi izin mengajar di Masjidil Haram, kedudukan yang istimewa.

Sayyid Alwy mengadakan halaqah di Babus Salam yang dipenuhi penuntut ilmu. Hal itu membuat sang ayah bersyukur kepada Allah dan selalu menghadiri pelajaran yang diberikan anaknya. Ya, Allah telah memberikan kesenangan pada Sayyid Abbas pada diri anaknya, sehingga ia selalu berada di sampingnya dan menemaninya di setiap majelisnya dan pelajaran yang diselenggarakannya, baik di Masjidil Haram, di rumahnya, maupun di majelisnya yang khusus.

Sayyid Abbas kemudian mendorong anaknya membuka pelajaran bagi masyarakat umum, agar dapat memberikan nasihat dan petunjuk kepada mereka. Sayyid Alwy memenuhi keinginan sang Ayah. Ia membuka halaqah untuk masyarakat umum dengan memberikan pelajaran yang bermanfaat bagi mereka. Halaqahnya ini dihadiri oleh lebih dari seribu orang.

Sayyid Alwy tak henti-hentinya menyebarkan ilmu di Masjidil Haram, di rumahnya, dan di tempat lain. Banyak pelajar yang dapat menyelesaikan pelajaran kepadanya, terutama orang Indonesia yang kemudian kembali ke negerinya. Di antara mereka, ada yang menjadi qadhi, ulama, dan pengajar di negeri ini. Banyak diantara mereka yang juga menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia yang terus berjuang sambil menyebarkan ilmu sampai Allah mewujudkan harapan mereka.

Kegiatan Sayyid Alwy tidak terbatas pada mendidik generasi muda dan menyebarkan ilmu di majelis. Ia juga memberikan ceramah agama setiap Jumat pagi, di Radio Arab Saudi untuk menyembuhkan penyakit masyarakat. Ia pun diangkat menjadi anggota pada sejumlah lembaga ilmiah. Dalam berbagai aktivitasnya di berbagai lembaga, pendapatnya selalu didengar dan diperhatikan orang. Ia juga dipilih menjadi salah satu anggota dalam Lembaga Tinggi untuk Perluasan Masjidil Haram.

Pendidikan Beliau

Pendidikan Madrasah

Belajar di Madrasah al-Falah dan tamat pada tahun 1346H. Kemudian menjadi tenaga pengajar di madrasah tersebut. Mengajar di halaqahnya di Masjidilharam berdekatan dengan Bab as-Salam selama 40 tahun. Juga dilantik menjadi jurunikah di Mekah.

Sanad Keilmuan

Antara guru guru beliau adalah :

Selain itu beliau juga meriwayatkan ilmu, ijazah dan sanad daripada ulama keluarga Ba’Alawi (ahlul bait yang bernasabkan kepada ‘Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad bin ‘Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Hussin al-Sibth putera kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al-Zahra’ binti Rasulullah SAW, antaranya:

Beliau juga meriwayatkan ilmu, sanad dan ijazah daripada para ulama terkenal di zamannya, seperti:

Penerus Beliau

Murid

Banyak sekali murid beliau termasuk juga murid-murid di nusantara, beberapa tokoh besar murid beliau antara lain:

Keturunan

Selepas kewafatan Sayyid Alawi, anaknya, Sayyid Muhammad telah menggantikan tempat beliau dalam meneruskan usaha dakwah & warisan ulama, di mana akhirnya anaknya ini menjadi ulama terkenal dan dikasihi murid-muridnya serta umat di pelusuk dunia.

Jasa dan Karya Beliau

Kitab Karangan Beliau

Kitab karangan beliau:

Putra beliau Sayyid Muhmmad bin ‘Alawi telah mengumpulkan sanad-sanad beliau dalam kitab al-‘Uqud al-Lu’luiyyah bi Asanid al-‘Alawiyyah; dan fatwa-fatwa beliau di dalam kitab Majmu al-Fatawa wa al-Rasail.

Dakwah Radio

Disamping aktif dalam berdawah baik di Masjidil Haram atau di kota kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif, Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki adalah seorang alim ulama yang pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah salat Jumat dengan judul “Hadist al-Jumah”

Qadhi

Juga menjadi seorang Qadhi yang selalu di panggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan. Selama menjalankan tugas da’wah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaiki selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas. Mereka berdua selalu mendampinginya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah.

Kisah Teladan Beliau

Pujian ulama kepadanya: Kata Imam al-Akbar Dr. ‘Abdul Halim Mahmud, Syaikhul al-Azhar: “……Sesungguhnya Allah telah menyinari wajahnya di atas kesungguhannya yang kuat terhadap sunnah Rasulullah SAW dalam memikul, memberi kefahaman, pengajaran, pentarbiyahan dan sebagainya jalan menuju Allah….”

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz juga pernah memuji Sayyid ‘Alawi sebagaimana diceritakan oleh Syaikh Ahmad al-Haribi (Pemantau Majlis Pengajian di Masjidil Haram): “…. Pada suatu hari Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baz berhenti di dalam majlis pengajian Sayyid ‘Alawi al-Maliki dan mendengar pengajaran Sayiid ‘alawi beberapa ketika. Apabila dia berpaling, Syaikh Ahmad al-Haribi bertanya pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Bin Baz tentang pengajaran Sayyid ‘Alawi al-Maliki dan dia berkata: MasyaAllah! MasyaAllah. (menunjukkan ta’jub terhadap ilmu Sayyid ‘Alawi dan pengi’tirafan keatas ketinggian ilmunya)

Syaikh Muhmmad Said al-Yamani pernah berkata kepada ayahnya Sayyid ‘Abbas al-Maliki: "Sesungguhnya anakmu ‘Alawi akan menjadi perhiasan Masjidil haram." 

Syaikh Umar Khayyath berkata: Ketika kami berada di dewan rumah Syaikh ‘Ali ibn Hussin al-Maliki di dalam satu majlis, Sayyid ‘Alawi datang, lalau Sayyid ‘Ali al-Maliki berkata: Sesungguhnya anaku ini, ‘Alawi, merupakan orang yang mendapat anugerah dan ilham, di dalam percakapannya penuh dengan keindahan dan keelokkan, dia juga merupakan orang yang dikasihi ramai, semua orang suka mendengar pengajarannya dan aku adalah orang yang pertama suka mendengar kalamnya.

Setelah kewafatan beliau pada malam Rabu 25 Shafar 1391, tempat beliau diganti oleh anaknya iaitu Sayyid Muhammad, yang kemudiannya muncul sebagai ulama Mekah yang harum namanya diseluruh pelusuk dunia.Selepas kewafatan Sayyid Alawi, anaknya, Sayyid Muhammad telah menggantikan tempat beliau dalam meneruskan usaha dakwah & warisan ulama, di mana akhirnya anaknya ini menjadi ulama terkenal dan dikasihi murid-muridnya serta umat di pelusuk dunia

 

Hanya Selemparan Batu

Sebagaimana Ayahnya, Sayyid Alwy juga selalu mendapat kepercayaan untuk menikahkan orang. Dalam 30 tahun, ia telah menikahkan delapan belas ribu pasangan. Jumlah ini luar biasa banyak. Ada banyak kisah menarik menyangkut aktivitasnya. Diantaranya kisah berikut ini. Suatu ketika datang kepadanya beberapa orang Badui yang memintanya untuk menyelenggarakan akad nikah di tempat mereka. Sayyid Alwy pun berangkat mengikuti mereka sampai di daerah Misfalah.

Ia kemudian bertanya kepada mereka dimana rumah tempat diselenggarakannya akad nikah. Mereka menjawab, “Tidak jauh, hanya selemparan batu.” Ia pun terus mengikuti mereka sampai tiba di suatu tempat. Ternyata disana telah disediakan keledai kecil yang jinak. Ia kembali bertanya kepada mereka, “Dimana rumahnya?” Mereka menjawab, “Silakan naik, hanya selemparan batu.”

Sayyid Alwy sebelumnya tak pernah naik keledai, tetapi ia berfikir bahwa menjadi kewajibannya untuk menyenangkan hati mereka. Maka dengan mengucapkan Basmalah, ia pun menaikinya dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Rombongan keluarga pengantin ini berjalan melewati rawa, bukit, dan lembah. Dalam perjalanan, beberapa kali ia bertanya kepada orang yang berada di dekatnya, tetapi jawaban mereka tetap sama, “Hanya selemparan batu...”

Setelah benar-benar merasakan lelah, sampailah rombongan pengantin ke tempat yang dituju. Tiba-tiba terdengar letusan senapan yang ditembakkan ke udara. Terdengar pula hiruk-pikuk dan suara gaduh. Terbayang oleh Sayyid Alwy ada serangan terhadap mereka.

Ia pun menoleh pada orang yang berada di sisinya. “Ada apa? Siapa yang menembak kita?” tanyanya. Lalu dijawab “Mereka jama’ah kita yang menyambut kedatangan kita dengan tembakan dan senandung mereka karena senang dengan pernikahan ini.”

Maka tenanglah hati Sayyid Alwy, lalu bersyukur kepada Allah, karena ternyata tak ada sesuatu yang membahayakan mereka.

Kemudian ia turun ke tempat yang disediakan untuk akad nikah. Setelah menikmati kopi yang disediakan, Sayyid Alwy bertanya tentang pengantin yang akan menikah, “Apakah perempuan ini gadis atau janda?”

Mereka menjawab, “Janda.” Mendengar itu Sayyid Alwy meminta surat cerainya. “Sudah hilang,”jawab mereka.

Maka ia meminta para saksi yang mengetahui perceraian itu. Mereka menjawab,”Para saksinya telah mati.”

Sayyid Alwy pun menjadi bingung dengan masalah yang dihadapinya, karena bila tidak ada kepastian, akad nikah tidak dapat berlangsung, karena tidak dibolehkan dalam agama.

Tiba-tiba seseorang berteriak, “Suami yang menceraikan masih ada.” Mendengar itu Sayyid Alwy berkata, “Kalau begitu, bawa dia kesini, supaya ia sendiri yang memastikan perceraiannya.”

Mereka kemudian berkata kepadanya, “Kami akan mengirim seseorang untuk menemui dan menjemputnya. Dalam waktu selemparan batu ia akan datang.”

Sayyid Alwy segera teringat dengan kata-kata “selemparan batu” dan jarak yang sesungguhnya. Maka Ia pun mengucapkan, “La Hawla wala quwwata illa billah, ‘dilanjutkan dengan ucapan Alhamdulillah.

Ketika malam telah larut, datanglah orang yang diutus bersama laki-laki yang telah menceraikan perempuan yang akan menikah itu. Setelah mendapatkan pengakuannya, barulah Sayyid Alwy mengadakan akad nikahnya.

Setelah selesai, makanan pun dihidangkan. Sayyid Alwy maju untuk mengambil makanan. Ketika itu mereka berteriak, “Silakan makan tuan, kami memandang Tuan sebagai tamu kami.” Belum lagi mereka bangun, Sayyid Alwy segera mencuci tangannya agar Ia dapat segera pulang dan ‘bebas’ dari mereka.

Ternyata mereka mendesaknya untuk menginap dan tidur di tempat mereka. Tetapi bagaimana mungkin Ia dapat tidur, sementara suara tembakan terus dibunyikan ke udara? Tambur pun terus dipukul. Senandung orang Badui sahut-menyahut tiada henti, sehingga benar-benar mengganggu istirahatnya. Hal itu berlangsung terus sampai terbit fajar.

Sayyid Alwy hanya bisa menahan nafas. Ia kemudian menunaikan Shalat Subuh bersama mereka. Setelah itu makanan pagi pun dihidangkan yang berisi mentega, dan madu. Maka Ia pun makan secukupnya. Kemudian bangkit menuju ke kuda, dan menaikinya diikuti oleh mereka hingga sampai ke rumahnya. Begitulah salah satu pengalamannya menikahkan orang.

Perpustakaan Besar

Sayyid Alwy juga orang yang sangat senang membaca dan mengumpulkan kitab. Orang yang datang berkunjung ke rumahnya dapat menyaksikan perpustakaan besar berisi kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Itu semua dijadikan rujukan dalam memberikan fatwa tentang masalah yang ditanyakan kepadanya. Orang yang bertanya berdatangan dari segenap penjuru. Ia selalu menjawab dengan jawaban yang memuaskan. Orang yang bertanya akan menyaksikan keluasan dan kedalaman ilmunya.

Di sebagian besar waktu, rumahnya selalu dipenuhi penuntut ilmu dan orang yang datang untuk bertanya. Di antara muridnya yang kemudian menjadi ulama sangat terkemuka adalah Syaikh Yasin Al-Fadani. Pada musim haji, para ulama berdesakan di rumahnya. Sebagian mereka meminta ijazah dari riwayatnya. Sebagian lagi memberikan ijazah kepadanya.

Lebih dari itu, Sayyid Alwy juga orang yang menjadi tempat orang minta pertolongan untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi, menyelesaikan problem mereka, dan mempertemukan mereka. Orang datang kepadanya saat menghadapi persoalan pelik dan ia senang kepada mereka semua.

Dalam mengajar, metoda yang digunakan Sayyid Alwy sangat bagus, Ia mengajar dengan metoda pendidikan yang paling modern untuk ukuran masanya. Papan tulis telah ia gunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam pelajaran yang diberikan, terutama untuk pelajaran seperti faraidh (ilmu waris). Ia juga selalu memberikan tugas kepada muridnya.

Dalam pelajaran nahwu (tata bahasa Arab), ia minta mereka membuat contoh kalimat dan i’rabnya (uraian tentang kedudukan kata dalam kalimat, misalnya apakah sebagai pelaku, objek, keterangan waktu, dan sebagainya).

Dalam pelajaran umum yang diikuti oleh semua kalangan, Sayyid Alwy bagaikan pelita. Ia memberikan petunjuk kepada yang sesat, menerangi yang gelap, menenangkan orang yang sedang marah, dan melembutkan hati yang keras. Maka  dalam majelisnya selalu terdengar tangisan (karena menyesali dosa), tahlil, tahmid, dan ta’awudz.

Sayyid Alwy tidak hanya meninggalkan ribuan murid yang tersebar di berbagai penjuru dunia Islam. Ia pun meninggalkan karya yang sangat bermanfaat. Di antara karangannya adalah Hasyiyah Faidh Al-Khabir ‘ala Syarh Manzhumah Ushul At-Tafsir, Fath Al-Qarib Al-Mujib ‘ala Tahdzib At-Targhib wa At-Tarhib, Al-Mawa’izh Ad-Diniyyah, Al-Iqd Al-Munazhzham fi Aqsam Al-Wahy Al-Mu’azhzham, Risalah Al-Manhal Al-Lathif fi Ahkam Al-Hadits Adh-Dha’if, Nail Al- Muram Ta’liq ‘ala Umdah Al-Ahkam, Syarh Bulugh Al Maram, dan kumpulan syair.

Riwayat hidup, syair, dan pendapat Sayyid Alwy Al-Maliki telah dikumpulkan oleh anaknya, Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam kitab khusus bernama Asyhaf Dzawi Al-Himam Al-‘Aliyyah biraf’i Asanid Walidi As-Saniyyah.

Pada malam Rabu 25 shafar 1391 H/21 April 1971, tokoh besar ini wafat, meninggalkan dua putra dan empat putri. Sayyid Muhammad, Sayyid ‘Abbas, Syarifah Zain,  Syarifah Ruqayyah, Syarifah Khairiyyah, dan Syarifah Laila. Semoga Allah merahmati dan menempatkannya di sisi-Nya. Amin.