Muhammad Shahib Mirbath

[Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali’ Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi - Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

Yang pertama kali dijuluki 'shahib marbat' adalah al-Imam Waliyullah Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Soal gelar 'Shahib Mirbat' , karena beliau bermukim di suatu tempat yang disebut Mirbat di Dhafar setelah pindah dari Tarim. Sedangkan kata shahib yang sinonimnya kata 'maula' berarti seseorang yang bermukim atau berkuasa di suatu tempat. Waliyullah asy-syaikh al-Imam Muhammad Shahib Marbat dilahirkan di kota Tarim.

Beliau adalah Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidhi bin Ja’far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW.

Beliau terkenal dengan julukan Shohib Mirbath, yang artinya penghuni daerah Mirbath. Mirbath adalah julukan bagi kota Dhafar lama, suatu daerah berpantai.

Di Mirbath, Oman Selatan, ada beliau adalah seorang ulama besar yang terkenal dermawan, suka menyantuni fakir miskin, dan rumahnya terbuka bagi siapa saja. Ia menghabiskan sebagian besar umurnya di Mirbath, di kawasan Dhofar, Kesultanan Oman Selatan (yang kini bernama Salalah), setelah hijrah dari kota kelahirannya, Tarim, Hadramaut.

Setelah menetap di Mirbath, pengaruh ulama ini cukup besar, sehingga mendapat gelar Shahib Mirbath.

Beliau adalah seorang imam yang agung, unggulan di jamannya. Beliau banyak menguasai berbagai macam ilmu dan gemar mengamalkannya. Beliau seorang yang hidup dalam keadaan zuhud dan wara’. Hidupnya penuh dengan ibadah dan berbuat kebajikan. Seseorang yang melihat kehidupan beliau, pasti terkagum akan keindahan akhlak dan kemuliaan sifat-sifatnya.

Selain itu beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Kedalamannya di dalam menguasai ilmu menjadikan beliau sebagai seorang guru yang agung. Dengan kemuliaan dan kebaikan kehidupannya, muncullah di dalam diri beliau berbagai macam karomah.

Beliau aslinya berasal dari Hadramaut, kemudian memutuskan tinggal di Mirbath. Banyak para ulama yang berhasil dalam didikan beliau dan akhirnya menjadi ulama-ulama besar. Diantaranya adalah 4 putra beliau sendiri, yaitu Alwi, Abdullah, Ahmad dan Ali (ayah dari Ah-Fagih Al-Muqaddam). Selain itu ada juga beberapa ulama lainnya seperti Asy-Syeikh Muhammad bin Ali (yang disemayamkan di kota Sihr), Asy-Syeikh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-Dhafariyyin, Asy-Syeikh Salim bin Fadhl, Asy-Syeikh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib.

Sejak kecil, ia dididik oleh ayahandanya, Ali Khali’ Qasam, dengan pendidikan agama, termasuk memperdalam dan menghafal Al-Quran. Menjelang dewasa ia merantau ke berbagai tempat untuk menimba ilmu dan mencari pengalaman. Setelah merasa cukup, belakangan ia mengabdikan ilmunya – seperti syariat, tasawuf, dan bahasa Arab – di Hadramaut, sebelum tiba saatnya hijrah ke Mirbath. Di Hadramaut maupun Oman, namanya termasyhur, bahkan dikenal sebagai wali, terutama lantaran akhlaknya yang mulia, perilakunya yang istikamah, lapang dada, dengan wawasan keagamaan yang luas. Selain sebagai mubalig, ia juga dikenal dermawan, suka membantu orang yang membutuhkan, dan berkorban harta bagi kepentingan umum. Rumahnya di Mirbath senantiasa terbuka bagi para tamu dari segala lapisan, mulai dari ulama, politikus, sampai orang biasa, dari perbagai penjuru. Ia memang sangat dekat dengan masyarakat.

Bukan hanya itu, ia juga suka menyantuni keluarga yang tidak mampu. Tak kurang dari 120 kepala keluarga menerima santunannya setiap bulan secara rutin. Ia juga suka membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Setiap tamu yang datang ke rumahnya selalu ia jamu dengan penuh penghormatan.

Ia juga seorang pengusaha besar. Bisnisnya meliputi bidang pertanian, peternakan ayam, dan berbagai usaha yang berhubungan dengan hajat orang banyak. Tanahnya di Bait Jubair cukup luas dan subur. Hasil ladang pertaniannya luar biasa banyak. Salah satu ladangnya di Bait Jubair dalam satu musim pernah menghasilkan sekitar 40 kuintal gandum.

Salah satu keistimewaannya ialah suka bepergian ke berbagai tempat. Hampir semua tempat telah ia kunjungi. Setiap kali ia berkunjung ke sebuah desa selalu disambut beramai-ramai oleh penduduk setempat. Ia memang sangat terkenal dan berpengaruh di kalangan rakyat kecil.

Pada awal abad kelima Hijriah ia pindah dari Tarim ke Mirbath, dan selanjutnya bermukim di sana sampai akhir hayatnya. Sejak ia tinggal di Mirbath, banyak orang yang mengunjunginya. Bukan sekadar bersilaturahmi, tapi juga menimba ilmu agama. Maka dengan senang hati ia berdakwah dan mengajar.

Kesibukannya menerima tamu dan mengajar tak mengurangi aktivitasnya beriktikaf, yang sering ia lakukan di berbagai masjid, terutama di Masjid Jami’ Mirbath. Masjid ini memang sengaja ia bangun khusus untuk masyarakat sekitar Mirbath. Di sana pula, ia mengajar dan berdakwah, selain beriktikaf.

Penduduk Mirbath sangat menghormatinya, terutama karena pribadinya yang penuh dengan keteladanan dan berwibawa. Tutur katanya lembut dan menarik, akhlaknya mulia dan sangat memesona. Selain bertakwa, hidupnya juga warak dan zuhud.

Sebagaimana disebut oleh penulis buku al-Masyra' al-Rawy, Sayyid al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali adalah Syaikh Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa dalam bidang ilmu agama Islam) dan 'Ilmul-'Ulama al-A'lam (Sumber Ilmunya kaum ulama kenamaan). Selanjutnya penulis buku tersebut mengatakan: " Seorang ulama ahli syariat dan thariqat dan guru besar terkemuka bagi kaum penghayat ilmu hakikat, ahli fiqih dan mufti negeri Yaman, seorang penasihat berbagai cabang ilmu dan pengetahuan agama di negeri itu …". Dapat disimpulkan, kehadiran Shahib Mirbath di Mirbath banyak memberi manfaat bagi penduduk sekitarnya.

Al-Imam Muhammad Shahib Mirbath dikaruniai empat orang anak lelaki: Abdullah, Ahmad, Alwi, dan Ali. Dari merekalah di kemudian hari berkembang cikal bakal keluarga besar Ba’alawi.

Dari beliaulah, muncullah generasi-generasi yang membawa bendera dakwah seantero negeri. Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad melukiskan beliau dalam suatu bait syairnya,

“Penghuni Mirbath, seorang imam, pusat bermuaranya keturunannya, para ahli dakwah”

Siapa lagi kalau bukan dari keturunan anak-anak beliau, yaitu Ali (ayah dari Al-Fagih Al-Muqaddam) dan Alwi (Ammul Fagih). Dari putra-putra beliau itulah, bertebaran insan-insan pembawa hidayah kepada jalan yang benar. Merekalah guru dari semua guru yang menyampaikan syariah ke seluruh negeri. Merekalah insan-insan pembawa kebenaran dari generasi ke generasi, dan bermuarakan dari Shohibur Risalah Nabi Muhammad SAW.

Dikaruniai 4 orang anak laki-laki. Masing-masing bernama Abdullah, Ahmad, Alwi dan Ali. Abdullah dan Ahmad tidak menurunkan keturunan beliau. Sedangkan Alwi dan Ali yang menurunkan keturunan beliau (akan dijelaskan lebih lanjut).

Menyusul kemudian dua orang putera Sayyid Muhammad bin Ali yang pertama ialah Ali, ayah al-Ustadz al-A'dham al-Faqih al-Muqaddam dan yang kedua ialah Alwi, yang terkenal dengan sebutan 'Ammul al-Faqih al-Muqaddam. Dua orang itulah yang menjadi pangkal keturunan semua Sayyid kaum Alawiyin.

Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang pertama adalah Al-Imam Alwi. Beliau sering dijuluki dengan ‘Ammul Faqih (paman dari Al-Faqih Al-Muqaddam). Beliau adalah seorang imam yang berilmu dan beramal, dermawan dan pemurah. Beliau mewarisi sifat-sifat kebaikan dari ayahnya. Beliau berjalan di jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya. Al-Imam Alwi Ammul Faqih, adalah sumber pertalian darah beberapa habib, seperti Al-Hadad, Aidid, ibn Smith serta merupakan datuknya para Wali Songo yang ada di Jawa, Indonesia.

Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau mengambil ilmu langsung dari ayahnya. Selain itu, beliau juga mengambil ilmu dari Asy-Syeikh Salim Bafadhal, As-Sayyid Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Ali bin Ibrahim Al-Khatib, dan lain-lain. Dari tangan beliau juga, telah berhasil keluar ulama-ulama besar dalam didikannya, seperti diantaranya putra-putra beliau sendiri yaitu Ahmad, Abdullah, Abdurrahman, dan Abdul Malik. Selain itu, Al-Faqih Al-Muqaddam juga termasuk hasil didikan beliau yang berhasil.

Beliau adalah seorang yang mempunyai budi pekerti luhur, sehingga sangat dicintai oleh masyarakatnya. Beliau dapat diterima baik di kalangan awam maupun khusus. Selain itu, dari ketinggian maqam beliau di sisi Allah, beliau banyak dikaruniai karomah.

Beliau wafat di kota Tarim, pada hari Senin, bulan Dzulqaidah, tahun 613 H. Jazad beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal.

Putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang kedua adalah Al-Imam Ahmad. Beliau mempunyai seorang putri bernama Zainab, yang dijuluki Ummul Fuqara’, istri Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad ibnu Shahib Mirbath.

Kemudian putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang ketiga adalah Al-Imam Ali. Beliau adalah ayah dari Al-Faqih Al-Muqaddam.

Beliau adalah seorang imam yang penuh dengan kezuhudan. Beliau adalah seorang yang alim dan menjalani kehidupannya sebagai seorang sufi. Beliau banyak dikaruniai asrar dan ahwal, sehingga muncul pada diri beliau karomah-karomah. Selain itu beliau juga adalah seorang yang pemurah dan dermawan.

Beliau dilahirkan di kota Tarim dan dibesarkan disana. Beliau mengambil ilmu dari ayahnya dan dari beberapa ulama di jamannya. Kehidupan beliau penuh dengan akhlak yang luhur. Sifat tawadhu selalu menghiasi diri beliau. Beliau wafat pada sekitar tahun 593-599 H.

Dari merekalah kemudian keturunan Bani Alawiyin berkembang menjadi lebih kurang 75 leluhur (al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath Ba’Alawy), di samping leluhur Alawiyin lainnya dari keturunan Al-Imam Alwi Ammil Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath, yang akhirnya beranak-pinak menjadi lebih kurang 16 leluhur.

Adapun Ba’alawi adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan Alawi bin Ubaidullah bin Ahmad bin Isa Al-Muhajir. Cucu Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang bernama Alawi adalah orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu anak-cucu Alawi mendapat gelar Ba’alawi, yang bermakna “Keturunan Alawi”. Panggilan Ba’alawi juga bertujuan memisahkan kelompok keluarga ini dari cabang-cabang keluarga lain yang berketurunan dari Rasulullah SAW. Ba‘alawi juga dikenal dengan panggilan Sayid.

Adapun putra Al-Imam Muhammad Shohib Mirbath yang keempat adalah Al-Imam Abdullah. Menurut sumber-sumber sejarah, antara lain dalam kitab Al-Madkhal karya Sayid Alwi ibnu Thahir Alhadad, mempunyai keturunan yang kemudian menjadi pelopor dakwah di Asia Tenggara. Muhammad bin Ali Al-Qal’iy pernah memberikan suatu ijazah kepada beliau. Demikian juga Al-Faqih Ibnu Faris pernah menyebutkan nama beliau di kitabnya Jami’ At-Turmudzi.

Sayyidina al-Imam Muhammad Shahib Mirbath telah berhasil mendidik kader-kader ulama sehingga menjadi ulama-ulama besar. Selain keempat putranya sendiri, ada beberapa ulama lain hasil didikannya, seperti Syekh Muhammad bin Ali (yang dimakamkan di kota Sihr), Syekh Al-Imam Ali bin Abdullah Adh-Dhafariyin, Syekh Salim bin Fadhl, Syekh Ali bin Ahmad Bamarwan, Al-Qadhi Ahmad bin Muhammad Ba'isa, Syekh Ali bin Muhammad Al-Khatib.

Sayyidi Syekh al-Imam Muhammad Shahib Mirbath diperkirakan wafat di Mirbath, Oman pada tahun 556 Hijriah (1161 M) dan dimakamkan di desa yang dicintainya, Mirbath. Sampai sekarang makam beliau banyak diziarahi orang-orang yang ingin mengambil barakah dan terkabulnya doa.

Di Indonesia, banyak para kyai pesantren yang dianggap merupakan keturunan Syekh Shahib Mirbath melalui jalur keturunan para Walisongo. Sedangkan para keturunannya dari kaum Alawiyin yang memakai gelar Syarif, Sayyid, Syekh, Sidi, Habib, Wan, dan lain-lain banyak pula yang menjadi pemuka agama Islam terkenal dan raja-raja di berbagai kerajaan Islam di Nusantara.

Radhiyallohu anhu wa ardhah…

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih]