Peran Thariqah Demi Terciptanya Perdamaian Dunia
Ternyata pada hari tersebut terdapat kegiatan rutinan Muslimat Thariqiyah –Lajnah baru di bawah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah- Idarah Syu’biyah Kota dan Kabupaten Pekalongan yang bekerjasama dengan Pengurus Cabang Muslimat NU Kota dan Kabupaten Pekalongan.
Kegiatan yang didominasi oleh kaum hawa ini dihadiri ribuan jama’ah muslimat dari berbagai wilayah Pekalongan. Sehingga Masjid Istiqamah yang menjadi lokasi kegiatan tidak sanggup menampung jama’ah yang membludak. Oleh karena itu, panitia memanfaatkan trotoar jalan sebagai tempat untuk jama’ah, dan itu lah yang menyebabkan arus lalu lintas tidak berjalan lancar. Walaupun begitu, tidak mengurangi animo jama’ah untuk mengikuti kegiatan tersebut, bahkan sekalipun hanya duduk beralaskan koran dan berkali-kali diperingatkan oleh Banser, Polisi, dan TNI agar tidak terlalu mepet di jalan.
Dalam kegiatan tersebut, ada satu tamu dan penceramah yang sangat dinanti-nantikan kehadiran dan taushiyahnya, beliau adalah Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Rais ‘Am Idarah ‘Aliyah (Pengurus Pusat) Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (JATMAN). Sontak saja, ketika beliau hadir pada pukul 14.30 WIB, jama’ah menjadi semakin antusias, bahkan tak sedikit dari mereka yang berusaha merangsek ke depan agar bisa lebih dekat dengan beliau.
Dalam ceramahnya, Maulana Habib menekankan tiga tema sentral, yaitu pendidikan di balik rukun islam, pentingnya berthariqah dan keharusan menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maulana Habib memulai ceramahnya dengan menjelaskan kompleksitas pendidikan dalam dunia islam, dalam pendidikan formal ada TK, SD, SMP, SMA, sampai Perguruan tinggi, dan pendidikan-pendidikan lain yang sejenisnya. Selain dalam bidang formal, islam juga mendidik umat dalam pendidikan yang non formal, seperti dalam puasa Ramadlan.
Maulana Habib menambahkan bahwa untuk membersihkan nafsu ada tugasnya yaitu puasa Ramadlan, bagaimana dalam puasa Ramadlan itu nafsu dilatih, dididik agar bersih, contohnya ketika kita puasa, kita sekalipun lapar, haus, ingin marah, dan lain sebagainya, kita harus menahannya, karena kita sedang menjalankan ibadah puasa, karena nafsu kita sedang dididik agar bisa diredam. Sehingga, para auliya itu kalau ditinggalkan Ramadlan, beliau-beliau itu sedih, nangis. Bukan seperti kita yang senang, karena siang bisa makan, minum, merokok. Setelah Ramadlan, seharusnya kita bisa mengendalikan nafsu kita, karena kita sebulan penuh telah dilatih untuk meredam nafsu.
Selanjutnya Maulana Habib menambahkan penjelasannya, bahwa untuk membersihkan dunia itu alatnya adalah zakat, untuk membersihkan hati (qalbiyah) alatnya adalah Thariqah. Pendidikan ini terus berlaku minal mahdi ilal lahdi, di sinilah letak keistimewaan Islam.
Maulana Habib kembali menambahkan, dalam haji pun terdapat pendidikan yang bersifat ahwaaliyah dan af’aaliyah, bukan hanya bicara. Di haji, di lingkungan Ka’bah itu sudah berapa kali ada telapak kaki Anbiyaa’ dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW, belum lagi telapak para sahabat, para auliyaa’, para ‘ulama. Sehingga kaki ahli haji itu menginjak bekas-bekas telapak kaki para Nabi, sahabat, auliyaa’, dan ‘ulama. Oleh karena itu, seharusnya kaki orang yang sudah haji harusnya malu melangkahkan kakinya untuk hal-hal yang tidak baik, kakinya dieman-eman.
Mengenai haji ini, Maulana Habib kembali menjelaskan, bahwa orang yang haji, kalau sudah memakai pakaian ihram, maka mencabut sehelai rambutnya sendiri saja itu tidak boleh, kena dam, apalagi mencabut rumput-rumput yang kecil, menebang pohon, membunuh hewan-hewan, melukai sesama manusia. Sehingga sepulang dari haji, orang haji kalau benar oleh-olehnya itu dia akan menjadi penenang umat, menjadi tokoh panutan masyarakat.
Selanjutnya Maulana Habib berbicara mengenai syukur. Bagaimana manusia seringkali ditanyakan ulang oleh Allah namun seringkali manusia tidak menyadarinya. Contoh: makanan kalau sudah masuk dalam mulut, lalu turun sampai perut sampai kemudian menjadi darah, dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh, dan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh dibuang, apakah hal tersebut kita pernah bertanya, siapa yang menggerakkannya? Apakah kita mampu menggerakkannya sendiri? Menjadi komando sehingga bisa memerintah makanan yang masuk? Begitu juga dengan kaki yang kita gunakan untuk melangkah ke tempat ini, apakah kita bertanya siapa yang menggerakkan kaki sehingga kita bisa berjalan sampai sini? Apakah kita pernah bertanya, seandainya Allah tidak memerintahkan kaki untuk berjalan, apakah kaki mau kita perintah untuk jalan ke sini? Apakah kita sadar itu? Hakikat syukur itu adalah orang yang mendapat nikmat Allah dibelanjakan untuk ridlo Allah.
Maulana Habib kemudian melanjutkan dengan pembahasan mengenai thariqah. Beliau menjelaskan bahwa thariqah adalah pembangunan individu untuk membangun pribadi yang merasa aku ini masih sebagai makhluk atau tidak. Kalau kita sadar sebagai kawulo, maka terus tingkatkan terus kekawulonannya, di sinilah fungsi thariqah.
Selain itu, banyak orang yang mengerti Allah tapi tidak mengenal Allah, ibaratnya orang yang mengerti Jakarta, tapi tidak mengenal Jakarta, orang itu naik Kereta Api ke Jakarta, turun di Gambir, lalu dia tanya, Jakarta itu mana? Oleh karena itu, dengan thariqah itu manusia diajak untuk mengerti dan mengenal Allah serta agar dikenal oleh Allah.
Adapun hukum berthariqah, Maulana Habib melanjutkan, ada dua. Hukum yang pertama adalah sunnah jika fungsi thariqah hanya untuk wiridan, contoh, saya ini tidak punya amalan wirid apa-apa, biar saya punya amalan wirid saya ke guru Mursyid untuk ijazah thariqah, ini ijazah, bukan baiat! Hukum yang kedua adalah wajib, apa kita bisa selalu ingat kepada Allah? Kalau bisa, maka tidak wajib berthariqah, tapi kalau tidak bisa, maka wajib masuk thariqah, karena thariqah itu untuk menghilangkan ghaflah (lupa atau lalai) kepada Allah.
Beliau menambahkan, bahwa ghaflah itu letaknya di hati, dari ghaflah itu bisa menimbulkan penyakit-penyakit hati seperti sombong, suu-uzh zhan, iri, dengki, dan lain sebagainya. Kalau menurut Syaikh Ibnu Taimiyyah, hati itu seperti besi. Besi itu sekalipun anti karat kalau tidak dibersihkan lama-lama juga akan berkarat. Mending kalau besi yang berkarat, kalau hati yang berkarat itu lebih berbahaya lagi. Nah thariqah itu untuk membersihkan karat-karat yang mengotori hati. Tubuh saja setiap hari dimandikan, dibersihkan, ada yang sehari dua kali, tiga kali. Tidak hanya dengan air, dengan sabun juga biar tambah bersih dan wangi, ditambah parfum juga biar tambah wangi, kalau tubuh tidak dimandikan, dibersihkan, bagaimana baunya, orang lain yang di sekitar kita akan terganggu karena baunya. Kalau tubuh saja harus seperti itu, apalagi hati kita, lebih besar efeknya. Bagaimana busuknya hati kita kalau tidak rutin kita bersihkan? Bukan hanya diri kita yang terganggu, tapi juga orang lain. Di sinilah mengapa kita harus berthariqah.
Maulana Habib kembali menjelaskan, orang itu ketika sakaratul maut ap yang diucapkan tergantung kebiasaannya sehari-hari. Kalau orang terbiasa mengucapkan hewan kaki empat, ketika terpeleset yang keluar kata-kata hewan kaki empat, maka ketika sakaratul maut yang terucap nantinya hewan kaki empat, na’uzhu billah min dzaalik. Begitu juga sebaliknya, ketika orang itu terbiasa mengucapkan kalimah thayyibah, dia biasa ngucap Alhamdulillah, jatuh pun ngucapnya Alhamdulillah, dia biasa ngucap Subhanallah, juga begitu, dia biasa ngucap Laa ilaaha illaa Allah, juga begitu, maka ketika sakaratul maut pun yang diucapkan kalimah thayyibah itu.
Dalam kesempatan tersebut Maulana Habib juga mewanti-wanti kepada jama’ah agar tidak menyeret-nyeret atau mebawa-bawa thariqah ke politik. Selain itu, beliau juga mengajak kepada jama’ah untuk semakin memperkuat ilmu thariqah agar semakin taqarrub ilaa Allah (dekat kepada Allah) dengan cara membersihkan hati masing-masing dengan thariqah masing-masing, baik itu Al-Qadiriyyah, At-Tijaniyyah, Asy-Syadziliyyah, An-Naqsyabandiyyah, Al-‘Alawiyyah, dan thariqah-thariqah mu’tabar lainnya. Beliau menambahkan, sanad-sanad thariqah yang mu’tabar dan terwadahi dalam JATMAN itu terjamin muttashil (bersambung) sampai kepada Rasulullah SAW.
Selain itu, beliau juga meminta kepada jama’ah agar jama’ah sadar sebagai warga Negara Indonesia dengan cara mendukung pemerintah, tidak menggembosi pemerintah. Kita pandang pemerintah secara utuh, jangan melihat oknum, begitu juga kita memandang kiai, harus memandangnya secara utuh, bukan oknum. Beliau menambahkan, masalah oknum jangan diobok-obok, jangan merendahkan pemerintah, jangan merendahkan kiai.
Akhirnya, Maulana Habib menutup ceramahnya dengan informasi bahwa akan diadakan pertemua ‘ulama thariqah Internasional, dan Indonesia menjadi tuan rumah, beliau selaku Rais ‘Aam Thariqah Indonesia dan Internasional memohon dukungan dan doa kepada para jama’ah demi kesuksesan acara tersebut, dan mengajak jama’ah untuk bangga karena Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah. Menurut beliau, pertemuan tersebut merupakan salah satu perjuangan kaum ahli thariqah untuk ikut serta mendamaikan dunia. Beliau juga meminta agar jama’ah menambah syi’ar Laa ilaaha illaa Allah agar hati bening, karena kalau thariqah benar-benar diamalkan maka dunia damai karena orang hatinya bening dan selalu takut pada Allah SWT. Wallahu a’lam