Al-Imam Ahmad Ar-Rifa'i

Bersama Sang Kekasih

Rasulullah Saw, bersabda: ”Seseorang bersama orang yang dicintai.” (Hr. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits mulia ini ada disiplin cinta dari para pecinta Allah SWT, dan pecinta Rasulullah SAW, yang didalamnya tersembunyi missi bagi kaum yang yaqin kepada Allah SWT, dan petunjuk bagi orang yang taqwa, serta cahaya bagi orang-orang ma’rifat.

Siapa yang merenungkan rahasia “kesertaan” bersama Allah swt, berarti paling fasih mengungkapkan hadits ini, melainkan senantiasa karena cintanya kepada Allah SWT, dan mencintai orang yang dicintai Allah SWT, dan mencintai Allah SWT.

Begitu juga kaum arifin – semoga ridho Allah SWT, mencurah pada mereka – , dan siapakah arifin itu? Mereka adalah kaum yang bercahaya hatinya, yang senantiasa memiliki kebeningan batin, dan tonggak dalam qalbunya.

Sesungguhnya Allah SWT, menyebutkan secara tegas dalam kitabNya, bagi para hamba-hambaNya: Perintah dan laranganNya, janji dan ancamanNya, kabar gembira dan dan kabar peringatan, qodho’ dan qodarNya, hukum dan aturanNya, kehendakNya pada makhlukNya, dan sejumlah contoh-contoh dariNya, penyebutan panji-panji dan  nikmatNya, kelembutan dibalik ciptaanNya, keparipurnaan kuasaNya dan keagungan Rububiyah-Nya, lalu Allah SWT, berfirman:

“Sesungguhnya dalam hal itu semua adanya peringatan bagi orang yang mempunyai qalbu.”

Allah SWT, mempersaksikan ayat ini kepada semua hambaNya, apalagi bagi mereka yang memiliki qalbunya akan meraih Allah SWT, memuliakannya, sekaligus menjelaskan bahwa mereka memiliki derajat yang lebih dibanding yang lain.

Sebagian para mufassir (ahli tafsir) berkata, mengenai tafsir ayat tersebut:

“Bagi mereka yang memiliki qalbu.” Yakni qalbu yang sangat percaya terhadap apa yang telah disebutkan oleh Allah SWT, dalam kitabNya, baik dalam soal janji maupun ancaman dan lain sebagainya.

Artinya bagi mereka yang berakal sehat.” Lalu dengan akal sehatnya ia bisa mencegah diri dari kesesatan, maksiat dan penyimpangan dalam berbagai kondisi dan situasi.

“Bagi yang memiliki rasa hati, yang dengan rasa hati itu ia lari dari kemusyrikan dan keragu-raguan.”

“Bagi yang  yang memilki rasa yaqin, dimana seluruh tipudaya gugur karenanya, hingga sampai pada Dia Raja Yang Maha Ampun,” kata seorang mufasir lain.

“Bagi orang yang memiliki rahasia batin,  sehingga sifat ubudiyahnya tersirnakan oleh sifat RububiyahNya, ketika musyahadah (maqam penyaksian) pada Allah SWT,”.

“Bagi orang yang memilki rahasia batin yang istiqomah bersama Allah SWT, tanpa sedikit pun berpaling dari-Nya untuk selain-Nya..”

“Bagi yang punya qalbu yang tersendiri karena penunggalan Yang Maha Tunggal.”

Sebenarnya Allah SWT, merias hati kaum arifin dengan ma’rifat-Nya, dalam rangka memberikan kemuliaan dan anugerah. Sedangkan bagi kaum penempuh, dihiasi dengan memandang Kebesaran dan Kharisma-Nya, sebagai bentuk rahmat dan kebajikan-Nya.

Allah SWT, menghijab hati orang yang alpa dengan kebodohan dan kelalaian, sebagai bencana dan penghinaan. Allah SWT, mencetak qalbu orang kafir dengan penjauhan dan pengingkaran, sebagai penolakan dan penghalangan.

Qalbu Makhluk

Qalbu makhluk itu ada tiga:

1. Qalbu yang terbang di seputar dunia dengan syahwat-syahwatnya.

2. Qalbu yang terbang di akhirat dengan anuegrah kemuliaan.

3. Qalbu yang terbang di Sidrotil Muntaha dengan kemesraan dan munajat.

Berarti ada qalbu yang bergantung pada dunia, ada qalbu yang bergangtung pada akhirat dan ada qalbu yang bergantung kepada Allah SWT.

Qalbu yang terbakar

Qalbu yang tenggelam

Qalbu yang terhanguskan.

Ada qalbu yang menunggu anugerah.

Ada qalbu yang menunggu RidhoNya,

Ada qalbu yang menunggu bertemu denganNya.

Ada qalbu yang terlapangkan.

Ada qal;bu yang terlukai.

Ada qalbu yang terlempar.

Qalbun Munib adalah qalbu Nabi Adam as.

Qalbun Salim adalah qalbu Nabi Ibrahim as.

Qalbun Munir adalah qalbu Nabi Muhammad saw.

Sayyidi Syaikh Ahmad Rifa'i 

Sang Wali Quthub

يقول الإمام عز الدين الفاروقي في كتابه "إرشاد المسلمين": أخبرني أبي الحافظ محي الدين أبو إسحق عن أبيه الشيخ عمر الفاروقي أنه قال: كنت مع وشيخنا السيد أحمد الكبير الرفاعي الحسيني عام حجه الأول وذلك سنة خمس وخمسين وخمسمائة، وقد دخل المدينة يوم دخوله القوافل إليها قوافل الزوار من الشام والعراق واليمن والمغرب والحجاز وبلاد العجم وقد زادوا على تسعين ألفا، فلما أشرف على المدينة المنورة ترجل عن مطيته ومشى حافيا إلى أن وصل الحرم الشريف المحمدي ولا زال حتى وقف تجاه الحجرة العطرة النبوية فقال : السلام عليك يا جدي، فقال رسول الله له: "وعليك السلام يا ولدي"، سمع كلامه الشريف كل من في الحرم النبوي، فتواجد لهذه المنحة العظيمة والنعمة الكبرى وحنَّ وأنَّ وبكى وجثا على ركبتيه مرتعدا ثم قام وقال:

في حالة البعد روحي كنت أرسلها تقبل الأرض عني وهي نائبتي

وهذه دولة الأشباح قد حضرت فامدد يمينك كي تحظى بها شفتي

فمدَّ له رسول الله صلى الله عليه وسلم يده الشريفة النورانية من قبره الأزهر الكريم فقبلها والناس ينظرون، وقد كان في الحرم الشريف الألوف حين خروج اليد الطاهرة المحمدية

Syaikh Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir, seorang ulama yang tenar dengan kedalaman ilmunya, zuhud dan ketakwaanya, adalah salah satu auliya’ ‘arif billah, yang diberi anugerah oleh Allah dengan karamah yang banyak yang masyhur dan ditulis oleh banyak ulama dalam kitab-kitab mereka.

Diantara karamahnya yang termashur dari beberapa karamah yang diberikan oleh Allah adalah beliau mencium tangan kakeknya yang tidak lain adalah Sayyidina Muhammad Saw. Dan kisah ini telah diceritakan dari generasi ke generasi hingga layaknya mencapai derajat mutawatir.

Kisah ini telah disebutkan dan ditetapkan banyak ulama, diantaranya adalah al-Hafidz as-Suyuthi, al-Muhaddits al-Munawi, Imam asy-Sya’rani dan para ulama besar lainya. Telah berkata al-Imam Izuddin al-Faruqi dalam kitab Irsyad al-Muslimin:

“Ayahku al-Hafidz Muhyiddin Abu Ishaq bercerita dari ayahnya Syaikh Umar al-Faruqi bahwa belaiau berkata: “Saya bersama guruku Sayyid Ahmad al-Kabir ar-Rifa’i al-Husaini Ra. saat hajinya yang pertama yaitu tahun 555 H. Beliau masuk ke Kota Madinah di saat rombongan dari Syam, Iraq, Yaman, Maghrib, Hijaz dan negeri non Arab yang lain jumlahnya lebih dari 90 ribu jamaah. Dan ketika beliau mulai mendekati kota Madinah ia pun turun dari kendaraan dan memilih berjalan kaki tanpa alas. Hingga sampai pada makam yang penuh semerbak wangi kenabian, maka ia pun mengucapkan salam: “Assalamu’alaika wahai kakek.”

Lantas terdengar suara dari makam Rasulullah yang mulia: “Wa’alaikumussalam wahai putraku.”

Beliau pun merasa mendapat anugerah dan nikmat yang agung. Akhirnya beliau terduduk seraya gemetar bersuara merintih pelan sambil menangis lalu berdiri sambil berkata:

تقبل الأرض عني وهي نائبتي

في حالة البعد روحي كنت أرسلها

“Saat aku jauh, aku hanya mengirimkam ruhaniyahku ke sini mengecup bumi tempat Engkau dimakamkan sebagai ganti aku sowan menghadapmu.”

فامدد يمينك كي تحظى بها شفتي

وهذه دولة الأشباح قد حضرت

“Dan kini ragaku telah hadir di hadapanmu, maka sudilah Engkau ulurkan tangan kananmu agar bibirku mendapat bagian untuk mengecup tanganmu.”

Lantas Rasulullah Saw. mengulurkan tangan nuraniyah (yang bercahaya)nya nan mulia dari dalam kubur. Lantas beliau Syaikh Ahmad ar-Rifa’i mencium tangan Baginda Rasul Saw. yang mulia dan disaksikan banyak orang.

Diantara para pembesar ulama di zaman itu yang hadir adalah Syaikh Hayat al-Harani, Syaikh ‘Adi bin Musafir, Syaikh Aqil al-Manji, Syaikh Ahmad az-Zahir al-Anshori dan banyak lagi kaum muslimin lainnya. Mereka semua mendapatkan berkah dan kemuliaan dengan melihat tangan Rasulullah Saw. berkat Syaikh Ahmad ar-Rifa’i.

Sayyidi Syaikh al-Imam Ahmad Al-Rifa'i.qs, tokoh sufi di mana Tarikat Rifa'iyyah dibangsakan, yang lahir dengan nama Ahmad bin Shalih, diketahui memiliki sejumlah nama seperti Ahmad bin Abi'l Hasan Al-Rifa'i, Ahmad bin Ali Abul Abbas, Syaikh Ahmad kabir Rifa'i, atau nama lengkapnya Sidi Ahmad bin Yahya bin Huzain bin Rifa'ah. Ia dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 Hijriah/ September 1106 Masehi tetapi ada juga yang menyatakan kelahirannya pada bulan Rajab tahun 512 H/ Oktober-November 1118 Masehi. Sebagian sumber menyebut Syaikh Ahmad Rifa'i lahir di Marokko, tetapi sumber yang kuat menyatakan ia lahir di Qaryah Hassan, dekat Basrah di Irak. Menurut satu cerita, nama Rifa'i berkaitan dengan nama Suku Rifa'i yang tinggal di Makkah sejak tahun 217 H tetapi pindah ke Sevilla di Spanyol. Pada masa kakek Syaikh Ahmad Rifa'i pada tahun 450 H, datanglah keluarga Rifa'i ke Basrah. Oleh karena datang dari barat, maka kakek Syaikh Ahmad Rifa'i memakai nama Al-Maghribi. Sebagian meriwayatkan, ayah dari Syaikh Ahmad Rifa'i yang pindah dari Maghrib ke Irak, tinggal di kota  Ummu ‘Ubaidah di Batha'ih.

 Menurut riwayat, ketika berusia 7 tahun ayahanda Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat di Baghdad. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, yang tinggal di Basrah. Asy-Sya'rani dalam kitab Lawaqihul Anwar menuturkan bahwa Syaikh Mansyur Al-Batha'ih adalah seorang syaikh thariqah. Dalam sejarah hidup Syaikh Ahmad,  ia pertama kali belajar Ilmu Fiqih Mazhab Syafi'i dengan mempelajari Kitab Al-Tanbih dari Syaikh Abul Fadl Al-Wasithi, akan tetapi belakangan ia  lebih cenderung kepada ilmu tasawuf. Kecenderungan kepada tasawuf itu kemungkinan disebabkan oleh lingkungan keluarganya yang menganut gerakan sufisme dan bahkan paman yang mengasuhnya adalah guru besar (syaikh)  tarikat. Bahkan di bawah bimbingan sang paman, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, Syaikh Ahmad Rifa'i memasuki dunia tasawuf secara mendalam sampai ia menggantikan kedudukan sang paman sebagai syaikh.

   Syaikh Sholah ‘Azham, penulis masalah-masalah tasawuf asal Mesir, menuturkan kisah pemilihan syaikh yang patut menggantikan kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih yang sudah tua dan sakit-sakitan. Syaikh Mansyur Al-Batha'ih ingin memilih khalifah penggantinya.  Para murid dan pengikut yang berjumlah ribuan memohon kepada Syaikh Mansyur Al-Batha'ih agar secepatnya memilih putera Syaikh Mansyur Al-Batha'ih sendiri yang bernama Ahmad untuk menggantikan kedudukan syaikh. Namun Syaikh Mansyur Al-Batha'ih malah memilih Ahmad bin Shalih, keponakannya yang sejak kecil telah diasuhnya. Para murid dan pengikut sangat kecewa dengan pilihan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Mereka diam-diam menghadap isteri Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, memohon agar bersedia membujuk suaminya untuk membatalkan pilihannya pada Ahmad bin Shalih dan memilih Ahmad bin Mansyur sebagai pengganti.

   Faham dengan keinginan murid-murid dan pengikutnya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih berencana mengadakan sayembara model sufi. Satu hari dipanggilnya sepuluh orang murid senior, termasuk puteranya, Ahmad bin Mansyur, dan keponakannya, Ahmad bin Shalih. Masing-masing mereka diberi seekor burung merpati dan sebilah pisau disertai perintah untuk berlomba menyembelih burung tersebut, dengan syarat dilakukan di tempat tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Lalu para peserta sayembara itu berhamburan ke berbagai arah untuk menjalankan tugas masing-masing.

 Dalam waktu tidak lama, berdatanganlah para murid senior membawa burung-burung merpati yang telah tersembelih. Setelah itu, puteranya, Ahmad bin Mansyur datang pula dengan burung merpati yang telah tersembelih. Hanya Ahmad bin Shalih yang datang paling akhir dengan burung merpati masih hidup dan belum disembelih.

 Di hadapan murid-murid senior dan puteranya, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih bertanya kepada Ahmad bin Shalih,"Wahai Ahmad, kenapa engkau datang terlambat? Dan kenapa pula burungmu belum  kau sembelih?"

  Dengan takzim Ahmad bin Shalih menjawab,"Maafkanlah saya paman, saya tidak dapat melaksanakan perintahmu. Sebab saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri. Saya tidak menemukan tempat seperti yang paman maksudkan. Saya tidak menemukan tempat yang bebas dari pengawasan. Setiap tempat yang saya datangi senantiasa saya rasakan Allah selalu hadir dan mengawasinya."

   Mendengar jawaban Ahmad bin Shalih, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih dan para murid serta puteranya terpukau. Sebab yang disampaikan Ahmad bin Shalih itu menunjukkan betapa tinggi tingkat muraqabah Ahmad bin Shalih. Untuk itu, Syaikh Mansyur Al-Batha'ih menetapkan pilihan dengan berkata,"Turiiduna li mahbubikum, wa Allahu yuuridu li mahbubih" (kalian menghendaki orang yang kalian sukai, tetapi Allah lebih menghendaki orang yang Dia sukai). 

Demikianlah, Ahmad bin Shalih Al-Rifa'i terpilih secara mutlak sebagai pengganti Syaikh Mansyur Al-Batha'ih. Sekali pun mengganti kedudukan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, namun ajaran yang dikembangkan Syaikh Ahmad Rifa'i tidak sama persis dengan yang diajarkan Syaikh Mansyur Al-Batha'ih, karena Syaikh Ahmad Rifa'i juga memperoleh ijazah dari guru sufi yang lain, yaitu Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi.

  Ketika  Syaikh Ahmad Rifa'i bertemu dengan seorang wali bernama Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi, ia diberinya pelajaran berupa sindiran: "Orang yang berpaling dia tiada sampai. Orang yang ragu-ragu tidak mendapat kemenangan. Barangsiapa tidak mengetahui waktunya kurang, maka semua waktunya telah kurang." Sindiran itu sangat berkesan bagi  Syaikh Ahmad Al Rifa'i. Setahun lamanya Syaikh Ahmad Rifa'i mengulang-ulang perkataan ini.

  Setelah setahun Al-Rifa'i datang kembali menemui Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi dan meminta wasiat lagi. Syaikh Abdul Malik Al-Kharnubi kemudian berkata, "Sangatlah keji kejahilan bagi orang-orang yang mempunyai Akal. Sangatlah keji penyakit pada sisi semua dokter. Sangatlah keji sekalian kekasih yang meninggalkan Wushul."  Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i kembali mengulang-ulang perkataan itu selama setahun dan ia  banyak mendapat manfaat dari perkataan itu karena perkataan itu diresapi, dihayati dan diamalkan.

Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut, ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi’i. Pada usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah sembilan sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.

    Syaikh Ahmad Rifa'i dikenal sebagai rujukan  ilmu thariqah di jamannya, karena ia dianggap memiliki ilmu haqiqat yang tinggi dan sebagai wali quthub yang agung dan masyhur sesudah jaman Sayidi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Ke mana pun ia pergi, para pengikutnya selalu mengikutinya. Itu sebanya, para pengikutnya dikenal dengan sebutan "Al-Thoifah Al-Rifa'iyah".

 

Dijuluki dengan Muhiyyudin dan Sayyid al-‘arifin (penghulu para ‘arif). Berasal dari Maghribi dan terlahir di Bathaih yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.

     

 Kualitas, kemasyhuran dan tingkatan spiritualnya sulit untuk dilukiaskan dengan kata-kata. Beliau adalah salah seorang dari empat orang yang dianugerahi kemampuan menyembuhkan lepra, kebutaan, menghidupkan orang mati, dengan izin Allah.Beliau termasuk salah satu orang termasyhur di dunia. Muridnya berasal dari berbagai makhluk dan berbagai negara. Banyaknya tidak terhitung. Tidak ada satu negara muslimpun yang tidak memiliki zawiyahnya.

Beliau adalah orang yang sering bermujahadah, beliau juga termasuk salah satu orang yang menguasai berbagai kondisi spiritual dan rahasia-rahasianya. Kepada beliaulah kepakaran ilmu ini dinisbathkan. Beliau terangkan berbagai kondisi spiritual dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan dalam posisi mereka. Berbagai pernyataan berkualitas tinggi dalam tasawuf dinisbathkan kepada beliau.

 Beliau termasuk orang tawadhu’ dan melepaskan dirinya dari dunia, tidak pernah menyimpan apapun. Ketika ada yang bertanya kepadanya tentang pernyataannya, “Sendiri lebih baik dari pada teman jelek”. Beliau menjawab, “di Zaman sekarang ini orang saleh lebih baik dari pada teman duduk. Karena memandangnya adalah obat dan tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali tauhid”.

Berkenaan dengan pemutusan hubungan kepada selain Allah lari dari segala sesuatu kepada Allah dan meninggalkan apapun selain Allah, beliau menyitir sebuah sya’ir:

Bagaimana kalian bisa bergembira, sedangkan hidup adalah kesedihan

Bagaimana kalian bisa ridha, sedangkan Al-Anaam (sang pencipta murka).

Wahai yang menjadikan antara aku dan kehidupan

Dan menjadikan antara aku dan alam kehancuran

Jika Engkau meneriakkan cinta, maka semua menjadi hancur

Dan semua yang ada di atas tanah menjadi debu.

Syaikh Syamsudin Abu Mudzafar Yusuf  Sabt ibn Jauzi dalam kitab tarikh karangannya menyatakan salah seorang syaikh kami berkisah, “Pada suatu malam di pertengahan bulan sya’ban, aku mendatangi Syaikh Ahmad Rifa’i dan mendapati sekitar 100 ribu orang sedang berkumpul. ‘Ini adalah kumpulan yang sangat besar kataku kepadanya. Beliau balik berkata, ‘Engkau akan mendapat kerugian sebaimana yang didapat  Hamman jika terbetik dalam hatimu bahwa akulah pemimpin kumpulan ini’”.

Pernah suatu ketika, di sebuah desa bernama Ummu Ubaidah, para pejabat, pembesar ulama, masyayikh dan masyarakat umum berlebur mengikuti pengajian Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Pengajian yang saat itu diikuti sekitar 100.000 orang. semua berbondong-bondong mendengarkan nasihat dan mauizahnya. Setelah pengajian, pembesar ulama Irak dan ulama lainnya mendatangi ar-Rifa’i guna menanyakan tentang problema agama. Aneka ragam pertanyaan tentang Tafsir, Hadis, Fiqih, Usul Fiqih dan lainnya segera dilontarkan kepadanya. Pertanyaan itu mencapai 200 soal seputar problema aktual masyarakat. Semua itu dijawab oleh ar-Rifa’i tanpa merubah tempat duduknya. Lalu ada hadirin yang berdiri seraya berkata, “Apakah kalian sudah cukup dengan ini?, demi Allah SWT, seandainya kalian bertanya pada ar-Rifa’i segala bidang ilmu, maka dengan izin Allah SWT ar-Rifa’i menjawab semua pertanyaan itu tanpa paksaan.” Lalu ar-Rifa’i tersenyum dan berkata, “Ajaklah mereka, untuk bertanya padaku sebelum aku tiada dari dunia ini. Karena sesungguhnya dunia sirna, sedangkan Allah SWT berada dimana-mana.”

Syahdan, di ruangan masjid terdengar suara menggemuruh, suara tangis menghiasi suasan majlis. Pengajian itu dibanjiri dengan tetesan air mata dari para jamaah, semua menagis mendengarkan perkataa ar-Rifa’i. Bahkan, 5 orang sampai meninggal. Lebih jauh, sebanyak 80.000 jamaah langsung memeluk Islam, sementara 40.000 jamaah menyatakan bertaubat.

Syaikh Abu Farj AbduRrahman bin Ali Ar-Rifa’i keponakan dari saudara perempuannya berkisah, “pada suatu hari aku duduk di tempat yang membuatku dapat mendengar perkataan dan melihat beliau dengan jelas. Saat itu beliau duduk seorang diri, tidak didampingi oleh siapapun. Tiba-tiba seseorang turun dari langit dan duduk di hadapannya. Beliau berkata, ‘ Selamat datang utusan dari timur.’

            ‘Dua puluh hari sudah aku tidak makan dan minum. Aku ingin engkau memberi makan keinginanku’, ujar orang tersebut.

            ‘Apa keinginanmu ?’ tanya beliau.

            Orang itu memandang ke lima ekor angsa yang sedang terbang dan berkata, ‘ Aku ingin salah satu dari angsa tesebut, panggang. Dua potong roti dan secangkir besar air dingin’.

            ‘Akan aku berikan semua yang engkau minta’. Jawab sang Syaikh. Kemudian beliau memandang ke arah angsa-angsa tersebut sambil berkata, ‘penuhi permintaan orang ini’. Tak lama kemudain salah seekor dari mereka turun dalam keadaan terpanggang. Setelah itu Syaikh mengulurakn tangannya mengambil dua buah batu yang ada di sampingnya yang kemudian berubah menjadi dua potong roti hangat. Kemudian beliau mengulurkan tangannya ke udara dan saat turun tangan tersebut  telah menggenggam cawan besar merah berisi air. Orang tersebut makan dan minum lalu kembali terbang kearah datangnya tadi.

            Seiring dengan perginya orang tersebut, Syaikh bangkit dan memungut tulang-tulang angsa tadi, meletakkannya di tangan kiri dan mengusapnya dengan tangan kanannya seraya berkata, “hai tulang belulang yang berserakan, dengan perintah Allah terbanglah engkau. BismiallahiRrahmaanirrahiim." Dengan izin Allah SWT, maka seketika itu pula angsa tersebut terbang ke udara menghilang dari pandangan kami. “

Syaikh Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti berkata dalam kitabnya At-tanwir bab  imkan rukyatin Nabiyyi SAW (Dimungkinkannya melihat RasuluLlah SAW), “Syaikh Ahmad Rifa’i berdiri di depan makam RasuluLlah SAW kemudian beliau bersya’ir

Ketika jauh, rohku yang kukirim sebagai wakilku untuk menciumi tanah kuburmu.

 Sekarang yang diwakilkan telah hadir, sekarang ulurkanlah tangan kananmu agar beruntung kedua bibirku.

 Seketika itu pula keluarlah tangan Rasulullah SAW dari kuburnya.

Diriwayatkan salah seorang sahabatnya sering melihat beliau duduk di kursi As-Shidq dalam mimpimya, namun ia tidak pernah mengabarkan hal tersebut kepada beliau. Dan sang syaikh diriwayatkan memiliki seorang isteri yang berlidah tajam dan berperangai kasar.

"Suatu hari orang tadi menghadap beliau dan mendapati isteri tersebut sedang memukulkan penyulut lampu ke punggungnya hingga hitam bajunya tanpa sedikitpun dilawan oleh sang syaikh. Sahabat tersebut keluar dan menemui para sahabat yang lain kemudian berkata, “Wahai saudara-saudara, sang syaikh mendapat perlakuan demikian dan demikian….. namun kalian dam saja.”. Salah seorang berkata, “Maharnya limaratus dinar dan beliau adalah orang yang miskin”. Sahabat tadi berlalu dan mengumpulkan 500 dinar kemudian pergi menghadap sang Syaikh dan meletakkan uang tersebut di hadapannya.

"Apa ini  ?“ tanya sang syaikh kepada sahabatnya tersebut.

“Ini mahar perempuan yang telah berbuat ini dan itu kepada engkau” jawabnya.

“Tahukah engkau” ujar sang syaikh, “Jika bukan karena kesabaranku atas pukulan dan mulutnya, engkau tidak akan melihatku duduk di kursi Ash-Shidq. “

Syaikh Syamsudin Sabth Ibn Jauzi dalam kitab tarikh berkata, “Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Abu Abas bin Rifa’i adalah syaikh orang-orang Batha'ih, beliau tinggal di Umm Ubaidah dan dianugerahi berbagai karamah dan maqam. Diantara para sahabatnya ada yang menunggangi hewan buas dan bermain dengan ular. Ada pula yang memanjat dan melemparkan dirinyan dari pohon kurma tertinggi tanpa cedera sedikitpun. Mereka semua berkumpul satu kali dalam semusim.”

Ketua para Qadhi Mujiruddin AbruRrahman Al-Amiri Al-‘Alimi Al-Hanbali Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Mu’tabar fi abna min ‘abar meriwayatkan, “ Beliau adalah Abu Abbas Ahmad bin Abi Al-Hasan Ali bin Abi Abas Ahmad yang dikenal dengan sebutan bin Rifa’i beliau bermadzhab Syafi’i , berasal dari barat dan tinggal di Umm Ubaidah sebuah desa di Bathaih. Sebuah syair darinya :

Bila gelap tiba, bergolak kalbuku mengingat-Mu

Tangisku bak cicitan burung merpati.

AL-Alamah Syamsudin bin Nashirudin Ad-Dimasyqi berkata, “Kami belum pernah mendengar bahwa guru kami Syaikh Abu Abas Ahmad bin Rifa’i merupakan keturunan salah seorang dari para Imam sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa imam, atau nasab yang shalih dari Ali bin Abi Thalib atau kepada keturunan beiau yang mulia. Yang sampai kepada kami, yang dihafal oleh para Hufadz  dan yang kami anggap kuat, beliau adalah Abu Abas Ahmad bin Syaikh Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Rafa’af Al-Maghribi. Berasal dari Iraq dan kata Rifa’i dinisbathkan kepada kakek buyutnya.

Adalah ayahnya syaikh Abi Al-Hasan Ali yang datang dari Maghrib dan menetap di Bathaih. Beliau mengawini saudara perempuan Syaikh Manshur ahli zuhud ,dan dari perkawinan tersebut lahirlah Syaikh Ahmad Rifa’i. Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam kandungan dan beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 500 H. Beliau diasuh oleh paman dari ibunya sejak saat itu.

Beliau belajar kepada pamannya, kepada Abi Al Hasan Ali Al-Qaari Az-Zahid dan lainnya. Kemudian beliau menjadi pemimpin kaum ‘aarif dan salah seorang wali terbesar dalam sejarah. Beliau wafat 17 tahun setelah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilli, pada bulan Jumadil Ula 587 H”.

Sedangkan Ketua Qadhi Jamaluddin Abu Mahasin Yusuf At-Tadafi mengatakan, “Beliau adalah Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Yahya bin Hazim bin Ali bin Tsabit bin Ali bin Al-Husain Al-Asghar bin Al-Mahdi bin Muhammad bin Qasim bin Musa bin AbdurRahim bin Saleh bin Yahya bin Muhammad bin Ibrahim bin Musa bin Kadzim bin Ja’far As’Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i

     Ajaran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa'i banyak diriwayatkan oleh ‘Abdul Wahhab Al-Sya'rani dalam buku At-Thabaqat al-Kubra. Ajaran zuhud, misal, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i adalah landasan keadaan yang diridlai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan. Langkah pertama salik menuju Allah adalah mengarahkan diri sepenuhnya kepada Allah.  Siapa yang belum menguasai landasan kezuhudan, maka langkah-langkah selanjutnya akan sulit menemukan yang benar. Sedang ma'rifat, menurut Syaikh Ahmad Rifa'i, adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yaqin sehingga tersingkaplah hakikat realitas-realitas yang benar-benar meyakinkan. Dalam riwayat lain, dikisahkan Syaikh Ahmad Rifa'i berkata,"Cinta mengantar pada rindu dendam, sementara ma'rifat mengantar pada kefanaan - ketiadaan diri."

      Ajaran Syaikh Ahmad Rifa'i tidak lepas dari rebana sebagai pengiring dzikir dan shalawat. Menurut riwayat, suatu saat Syaikh Ahmad Rifa'i berdzikir dalam keadaan fanaa. Tubuhnya terangkat ke atas dan dalam keadaan tidak sadar ia menepuk-nepuk dadanya. Allah memerintahkan kepada malaikat untuk memberinya rebana di dadanya. Tetapi Syaikh Ahmad Rifa'i tidak ingat apa-apa akibat terlalu khusyuknya. Sejak saat itu, rebana menjadi bagian dari ajaran tarikat Ar-Rifa'iyyah.

      Untuk menuju kepada Tuhan, Al-Rifa'i mengajarkan dzikir yang diformulasi dengan irama dan intonasi suara yang lantang dengan tujuan supaya yang tidur bangun dan yang alpa menjadi ingat. Oleh karena cara berdzikir yang berirama itu, dunia Barat menyebut dzikir Tarikat Rifa'iyyah dengan sebutan Darwis Menangis, terutama karena suara-suara ganjil yang dihasilkan pada dzikir berjama'ah Tarikat Rifa'iyyah. Ada pula yang menyebut dzikir Rifa'iyyah dengan sebutan Dzikir Arra, yaitu "dzikir menggergaji" terutama yang dijalankan Tarikat Rifa'iyyah di Asia Tengah dan Turki. Sebagian penganut Tarikat Rifa'iyyah menyatakan tidak tahu pasti apakah Dzikir dengan suara lantang itu diajarkan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i sendiri atau ada pengaruh dari Tarikat Yasawiyyah yang dibangsakan kepada Syaikh Ahmad Yasawi, di mana Syaikh Ahmad Yasawi dikenal sebagai pelopor dzikir lantang karena ia seorang sastrawan sufi.

  Dalam kitab at-Thabaqat al-Kubra  diterangkan, pada saat mengajar Syaikh Ahmad Rifa'i suaranya terdengar oleh orang-orang yang tinggal jauh dari tempatnya  seolah semua bisa mendengar apa yang disampaikan  sama seperti orang yang dekat dengan tempatnya mengajar. Saat Syaikh Ahmad Rifa'i mengajar,  penduduk di sekitar  Ummi Abidah beramai-ramai keluar dari rumahnya untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Rifa'i. Konon,  orang yang  tuli pun  jika hadir mengaji, akan dibukakan pendengarannya oleh Allah sehingga bisa mendengar apa yang disampaikan  Syaikh Ahmad Rifa'i. Para guru tarikat  banyak yang hadir untuk mendengarkan wejangan   Syaikh Ahmad Al-Rifa'i. Mereka biasanya menggelar sajadah sebagai tempat duduk. Setelah Syaikh Ahmad Al-Rifa ‘i selesai memberi pelajaran, mereka pulang sambil menempelkan sajadah ke dada mereka  masing-masing. Setelah sampai di rumah,  mereka dengan lancar  bisa menjelaskan semua yang telah mereka dengar  kepada para muridnya.

Dari berbagai ajaran Al-Rifa'i yang paling menonjol dan terkenal adalah Dabus, suatu didikan yang luar biasa ganjil. Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam (1975) menganggap Tarikat Rifa'iyyah sebagai tarikat ganjil karena melatih murid-muridnya untuk tahan api, melukai diri sendiri dengan benda-benda tajam, berjalan di atas pecahan kaca, mematukkan diri dengan ular berbisa, memakan kaca, ditusuk benda-benda runcing (dabus), dengan anggapan murid-murid yang mencapai tahap fana tidak lagi memiliki rasa sakit karena sangat dzikir kepada Allah.

Asy-Sya'rani mengomentari kedudukan Al-Rifa'i dalam kedudukan tasawuf  dengan ungkapan,"Dia adalah seorang tokoh dalam tasawuf, mengenal berbagai keadaan kaum sufi, dan banyak menuingkap masalah-masalah posisi mereka. Setiap kali ia keluar, ia selalu diikuti orang banyak. Dia memiliki murid."

Keanehan dalam berbagai hal, tidak hanya dimiliki Al-Rifa'i, banyak hal aneh yang juga sering terjadi pada diri murid Syaikh Ahmad Rifa'i seperti mampu  masuk ke dalam api yang sedang menyala, menjinakkan binatang buas seperti harimau, membuat hewan buas patuh dan menuruti apa yang mereka katakana, sehingga singa pun  dapat dijadikan kendaraan oleh mereka. Di Mesir banyak cerita tentang bagaimana murid-murid Tarikat Rifa'iyyah menolong orang-orang yang dipatuk ular cobra.  Pendek kata, berbagai keajaiban ditunjukkan oleh murid-murid Tarikat Rifa'iyyah.

Tiga ajaran dasar

Setiap tarekat memiliki amalan zikir atau wirid. Zikir dan wirid ini merupakan amalan ‘pokok’ yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya. 

Dalam keseharian, mereka harus menjalankan praktik zikir atau wirid ini. Umumnya, hal itu dilaksanakan setelah shalat fardhu.

Tentu saja, wirid dan zikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal ‘lelaku’ atau gerakan zikir ini. 

Namun, satu hal yang menjadi kesamaan hampir dalam seluruh tarekat adalah zikir kalimat tahlil, yakni La Ilaha illallah (Tiada Tuhan kecuali Allah). Kalimat ini senantiasa dibaca secara berulang-ulang.

Bentuk lainnya berupa zikir vokal yang diucapkan secara teratur oleh kaum Rifa’iyah dalam zawiyah mereka. Dalam beberapa cabang Rifa’iyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu melafalkan nama-nama Allah (Asmaul Husna). Misalnya, Allah, Hu (Dia), Hayy (Yang Hidup), Haqq (Yang Nyata), Qayyum (Yang Mandiri), Rahman (Yang Pengasih), Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya.

Ciri khas Tarekat Rifa’iyah terletak pada zikirnya. Zikir kaum Rifa’iyah ini disebut ‘darwis melolong’ karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan. 

Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa’iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu pekan pada awal Muharram.

Menurut Sayyid Mahmud Abul Al-Faidl Al-Manufi, Tarekat Rifa’iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu 

Sementara itu, menurut Asy-Sya’rani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).

Dalam pandangan Syekh Ar-Rifa’i, sebagaimana diriwayatkan Asy-Sya’rani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. 

Asketisme adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. “Barangsiapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar,” kata Syekh Ar-Rifa’i, 

Mengenai makrifat, Syekh Ar-Rifa’i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.

Irhamni MA dalam tulisannya mengenai Syekh Ahmad Ar-Rifa’i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa’iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema Cinta Ilahi.

“Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelorai kecewa.

Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya. Sementara dia bisa dipercaya tanpa-Nya. Dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan, dia tidak dapat maaf sampai bebas karenanya.”

Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa’i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yakni makrifat.

Ayomi Anak Yatim dan Orang Miskin

 Ar-Rifa’i tumbuh sebagai pribadi yang disegani olah masyarakat. Baik dari kalangan atas ataupun kalangan bawah. Ini bisa dilihat dari kebiasaan beliau bermasyarakat. Selain ibadah dan zikir kepada Allah SWT, beliau tidak serta merta melupakan masyarakat sekitarnya. Terlihat  ar-Rifa’i suka berkumpul bersama anak yatim dan fakir-miskin. Setiap hari ar-Rifa’i mendidiki dan mengajar anak yatim tentang Syariat Islam. Ar-rifa’i juga sering memberi makan dan bingkisan kebutuhan sehari kepada mereka. Rasa sayang ar-Rifa’i kepada anak yatim tak ubanhnya ia menyayangi keluarganya sendiri, sehingg terkadang ar-Rifa’i merasa iba dan terharu saat melihat anak yatim menangis. Ar-Rifa’i berkata, “Ketika saya melihat anak yatim menangis, maka seluruh badanku bergoncang keras.” Dan tampa terasa deraian air mata membasahi pipi ar-Rifa’i.

Selain sangat cinta kepada anak yatim, ar-Rifa’i juga hobi bercengkrama dengan masyarakat yang kurang mampu. Hampir setiap hari beliau bersama mereka. Bahkan, beliau sering memenuhi kebutuhan mereka serta memberinya uang tanpa meminta imbalan dan banyak pertanyaan. Pada suatu hari ar-Rifa’i mengumpulkan kayu bakar. Setelah kayu bakar terkumpul ar-Rifa’i lalu membagi-bagi kayu itu kepada para orang miskin, anak nyatim, orang sakit, tokoh masyarakat dan kepada teman-temanya. Ar-Rifa’i juga sering berkumpul makan dengan mereka, bahkan beliau juga pernah mencucikan baju temanya tanpa ada rasa malu. Semua itu beliau lakukan sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ar-Rifa’i berkata, “Syafaqah (kasih sayang) kepada saudara kita termasuk media yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.”

Sebab kasih sayang ar-Rifa’i pada mereka, ar-Rifa’i mendapat gelar Abal-Aytâ dan Abal-Miskîn (ayah anak yatim dan orang miskin). Berkat kemuliaan akhlak dan kasih sayingnya, banyak masyarakat yang memeluk ajaran Islam. Selain kepada anak yatim dan golongan miskin, kasih saying ar-Rifa’i juga kentara kepada para ulama, tokoh masyarakat, tetangga, guru, orang buta, orang sakit dan orang pincang.

Pujian Dari Para Ulama

                Perangai seorang ulama besar memberikan dampak yang sangat baik bagi masyarakat umum. Terutama dari para ulama baik dari para Muhaddistin, para Fuqoha’. Semua mengakui atas kewalian dan ibadah yang beliau tekuni. Salah satunya adalah dari ulama fiqh yang pepoler di kalangan ulama, ia adalah Imam Ar-Râfi’i. Imam Ar-Rofi’i berkata dalam salah satu naskanya “ Bercerita padaku as-Syekh Abu Syujâ’ as-Syafi’i, beliau bercerita ‘ As-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i adalah sesosok ulama yang tenggelam dalam keilmuan, ilmu yang  di dapat menacap didadanya, muhaddist dan faqih (faham dalam masalah fiqih), mufassir yang mempunyai sanad yang lengkap’”.

Imam ad-Dzahaby r.a berkata tentang biografi Imam Ahmad ar-Rifa’i “ Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabîr adalah termasuk imâm (pemimpin), ahli ibadah, zuhud (tidak senang dengan dunia), dan Syaikhul-ârifîn (guru para ma’rifatullah).

Dan masih banyak ulama baik dari bidang hadist, fiqh dan sejarah mengakui atas kewalian dan perangai sebagai hamba yang selalu ingat pada Allah. Dan juga banyak yang tertarik untuk menceritakan biografi Imam Ahmad Ar-Rifa’i, di antaranya Imam as-Suyûty, Imam ar-Rofi’i, Imam ad-Dzahaby dalam kitab sejarahny, dan lain-lainya.

Zuhud Dan Tawadu’

                Al-Imam Al-Ghost Al-Qothbu Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i setiap hari selalu di hiasi dengan sesosok hamba yang tidak senang dunia. Beliau pasrahkan segala sesuatau pada Allah. Sifat zuhud inilah yang membuat beliau di angkat menjadi Auliyaul-llah. Beliau juga selalu merendahkan diri di hadapan manusia. Sifat kewalian yang beliau miliki tidak membuat beliau angkat kepala di hadapan para manuisa, bahkan beliau di anggat derajatnya krna sifat zuhud dan tawadu’ beliau.

Imam ar-Rifa’i perna berkata “ Selama aku menempuh suluk kepada Allah swt, aku tidak perna melihat sesuatu yang lebih deket (kepada Allah), lebih gampang, dan lebih baik dari kefaqiran dan hina “. Beliau lalu di tanya “ Bagaimana bisa itu terjadi, Wahai Sayyid ku “. Beliau menjawab “ mulyakanlah perintah Allah swt, berbelas kasihlah pada hamba Allah, dan ikutilah sunnah Rasulullah SAW“.

 Keteladanan Hidup Syaikh Ahmad Rifa'i

           Salah satu dari sekian banyak  budi pekerti yang diteladankan  Syaikh Ahmad Rifa'i  adalah  seringnya ia mengunjungi tempat orang-orang berpenyakit kusta. Ia tidak sekedar mengunjungi, tetapi  mencuci bersih pakaian orang-orang berpenyakit kusta yang sangat menjijikkan menurut pandangan umum itu. Dipeliharanya orang-orang yang sedang sakit itu dengan mengantarkan makanan untuk mereka dan ia  juga turut makan bersama-sama mereka  tanpa merasa jijik.

              Ketika Syaikh Ahmad Al Rifa'i datang dari perjalanan dan  telah dekat dengan kampungnya,  maka dipungutnya kayu bakar. Setelah  itu dibagi-bagikannya kayu bakar itu  kepada orang-orang sakit, orang buta, orang-orang tua dan orang  yang membutuhkannya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Mendatangi orang-orang yang semacam itu adalah  wajib bagi kita dan bukan sekedar sunnah. Nabi Saw bersabda : "Barang siapa yang memuliakan orang tua muslim, maka Allah akan meluluhkan orang untuk memuliakannya jika ia sudah tua".

              Setiap berada dijalan, Syaikh Ahmad Rifa'i selalu menunggu  lewatnya orang buta, di mana saat  ada orang buta lewat  lalu dipegang dan dituntun serta diantar  sampai ke tujuan. Syaikh Ahmad Rifa'i memiliki kasih sayang bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada binatang. Dikisahkan satu saat  ada seekor anjing menderita penyakit kusta. Kemana saja anjing itu pergi, ia selalu  diusir orang. Anjing itu kemudian dipelihara oleh Syaikh  Ahmad Al-Rifa'i. Anjing itu dimandikan dengan air panas, lalu diberi obat dan makanan, sampai anjing itu sembuh dari penyakit yang dideritanya. Kalau ada orang yang bertanya tentang apa yang telah  diperbuatnya  Syaikh Ahmad Rifa'i selalu berkata , "Aku selalu membiasakan pekerjaan yang baik."

            Syaikh Ahmad Rifa'i kalau kebetulan dihinggapi nyamuk akan  membiarkannya. Ia tidak mengijinkan orang lain untuk  mengusirnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Biarkanlah dia meminum darah yang dibagikan Allah kepadanya."

             Pada suatu hari ada seekor kucing sedang nyenyak tidur di atas lengan bajunya. Waktu shalat telah masuk. Syaikh Ahmad Rifa'i lalu menggunting lengan bajunya itu karena ia  tidak sampai hati mengejutkan kucing yang sedang lelap tidur itu. Seusai shalat,  lengan bajunya itu diambil dan dijahit lagi.

             Jika ada orang minta dituliskan wafak/azhimah  kepadanya, maka Syaikh Ahmad Rifa'i akan mengambil kertas lalu ditulis tanpa pena. Anehnya, sewaktu ada orang memberikan kertas yang pernah ditulisnya tanpa pena setahun sebelumnya, ia menolak untuk menulis ulang di atas kertas itu sambil menjelaskan bahwa kertas itu sudah pernah ditulisinya.

               Budi pekerti mulia  lain yang ditunjukkan Syaikh Ahmad Rifa'i ialah ia  tidak mau membalas kejahatan dengan kejahatan. Apabila ia dimaki  orang, ia hanya  menundukkan kepala dan bersujud  mencium bumi dan menangis serta meminta maaf  kepada orang yang memakinya.  Syaikh Ahmad Rifa'i pernah dikirimi surat oleh Syeikh Ibrahim al-Basity yang isi suratnya merendahkan martabatnya. Syaikh Ahmad Rifa'i berkata kepada orang yang menyampaikan surat itu, "Coba bacalah surat itu!"

        Ternyata isi surat itu  adalah  "Hai orang yang buta sebelah, hai Dajjal, hai orang yang membikin bid'ah,  dan berbagai macam caci-maki yang menyakitkan hati."  Setelah  pembawa surat itu selesai membaca surat,  maka surat itu diterimakan kepada Syaikh Ahmad Rifa'i, dan setelah membaca Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Ini semua benar, semoga Allah membalas kebaikan kepadanya." Lalu  Syaikh Ahmad Rifa'i  berkata dengan bersyair, "Maka tidaklah aku peduli kepada orang yang meragukan aku yang penting menurut Allah, aku bukanlah orang yang meragukan." Sebentar kemudian  Syaikh Ahmad Rifa'i berkata : "Tulislah sekarang jawaban balasanku yang berbunyi "Dari orang rendah kepada Tuanku Syaikh Ibrahim. Mengenai tulisan Tuan seperti yang tertera dalam surat, memang Allah telah menjadikan aku menurut apa yang dikehendaki-Nya dan aku mengharapkanmu hendaknya sudi bersedekah kepadaku dengan mendo'akan dan memaafkanku."

              Setelah surat balasan ini sampai pada Syaikh Ibrahim al-Basity dan dibaca isinya, kemudian Syaikh Ibrahim pergi. Menurut cerita,   tidak ada seorang pun yang tahu ke mana syaikh itu pergi.

Mencintai Orang Tak Berdaya

Kelembutan dan kasih sayang ar-Rifa’I memang sudah menjadi karakter. Menolong orang yang lemah dan tak berdaya sudah menjadi detak nadi hidup cicit Nabi ini. Jika suatu saat pulang dari sebuah perjalanan dan hampir tiba di kampung halaman, beliau menyiapkan tali untuk mencari kayu bakar. Hasil carian itu beliau bawa ke desa tempat tinggalnya. Lalu dibagi-bagikan kepada janda-janda, faqir miskin, orang-orang lumpuh, sakit, buta dan para masyaikh. ar-Rifa’I juga berkunjung ke rumah orang-orang lumpuh. Mencuci baju-bajunya, membawakan makanan untuknya, makan bersamanya, dan meminta doanya. Beliau berkata “Ziyaroh kepada orang seperti mereka wajib bukan sunat.”

Ketika mendengar ada orang sakit, ar-Rifa’I pasti menyambanginya meski jauh, dan beliau akan datang lagi setelah dua hari atau satu hari. ar-Rifa’I juga berdiri di jalan-jalan menunggu ada orang buta lewat. Jika orang buta itu datang, beliau menghampirinya dan menuntunnya. Beliau juga tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan. Syafaqoh dalam hati beliau begitu kuat, bahkan beliau berpandangan bahaw kasih sayang termasuk sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. “ Syafaqoh termasuk sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah.” Kata beliau suatu ketika.

Kucing Tidur

Ar-rifai sangat menyayangi hewan. Rasa kasih sayang telah menyatu dengan hatinya laksana jiwa dan raga. Syafaqah yang telah mendarah daging sungguh teraplikasikan dalam hidup beliau. Suatu ketika, ada seekor kucing tidur pulas di lengan baju ar-Rifa’i. Padahal waktu salat telah berkumandang. Tidak boleh tidak  ar-Rifa’i harus menunaikan panggilan tuhan itu. Namun ar-Rifa’i juga tidak ingin menggangu tidur hewan kesayangan Abu huroiroh itu. Maka beliau menggunting lengan bajunya agar kucing itu tidak terganggu. Seusai salat, ternyata kucing itu telah bangun dan pergi. Barulah ar-Rifa’i mengambil potongan lengan baju itu dan menjahit seperti semula.

Nyamuk Mengais Rizki

Pada suatu malam yang mencekam, hawa dinginya meresap ke sumsum tulang, tampak ar-Rifa’i selesai mengambil air wudlu’. Tiba-tiba beliau mematung tak bergerak. Tangannya lurus memanjang sekian lamanya. Ya’qub yang melihat kejadian itu, langsung menghampiri ar-Rifa’i dan menciyum tangannya. Meliahat kelakuan ya’qub, ar-Rifa’i berkata ” Ya’qub, engkau telah menggagngu makhluk Allah yang lemah ini” “gerangan, siapakah dia?” tanya Ya’qub. “nyamuk yang sedang mengambil bagian rizqinya di tanganku, ia lari karna ulahmu.” Ujar ar-Rifa’i.

Sayang Belalang

Suatu saat, ar-Rifa’I    terlihat aneh. Beliau berkomonikasi sendirian. “ Wahai mubarakah, aku tidak mengetahuimu, aku telah membuatmu jauh dari tanah airmu.”   Ucap ar-Rifa’i. setelah damati, ternyata beliau menyapa belalang yang tersangkut dibajunya. Beliau mencoba mejelaskan kepada belalang itu, bahwa beliau tidak tahu keberadaannya. Anadaikan saja beliau tahu, maka semua ini tidak akan terjadi. 

Anjing & Kutu

suatu ketika, ar-Rifa’I berjalan melewati sebuah rumah makan. Syahdan, beliau melihat ada segerombolan Anjing memakan kurama yang berada di sebuah wadah. Beliau langsung berdiri di pintu agar tidak seorang pun yang masuk dan mengganggu Ainjing-anjing. Lalu beliau berkata, “ Wahai yang diberkahi, makanlah dengan tenang, tidak usah rebutan. Jika tidak, maka kalian nanti ketahuan dan tidak akan bisa menikmati kurma itu lagi.”

Di lain waktu ar-Rifa’I mlihat seorang faqir membunuh Kutu. Beliau marah bukan kepalang. “ Jangan,- semuga Allah menyiksamu,- sudahkah sembuh marahmu?” Pekik ar-Rifa’i.

Anak Kecil

 Pada suatu hari Imam Ahmad Ar-Rifa'i  diminta bantuan oleh teman-temannya  untuk memeriksa kondisi tubuh seorang bocah yang terinjak-injak para pengunjung sebuah perhelatan malam. Saking semaraknya acara itu, para tamu bernyanyi, menari dengan riangnya, sehingga tidak terasa mereka telah menginjak-injak seorang anak kecil yang duduk di permadani. Hal itu baru diketahui pada pagi harinya setelah mereka lelah berjoget. Dan ketika diperiksa, ternyata anak itu sudah tidak bernyawa.

       Tentu saja tuan rumah kelimpungan. Maka dia meminta bantuan kepada salah seorang tamunya, yaitu Syaikh Umar. Syaikh Umar kemudian minta bantuan lagi kepada Syaikh Ahmad  Ar-Rifa'i RA., yang dikenal sangat zuhud dan menjadi panutan masyarakat. Syaikh Umar banyak belajar pada Syaikh Ahmad.

      Atas permintaannya itu, Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i kemudian shalat dua raka'at dan berdoa kepada Allah. Setelah itu ia berkata kepada anak tersebut, "Wahai anakku, waktu subuh telah tiba, bangunlah." Ajaib, anak itu bangun, seperti tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.

Mendengar Suara Ghoib.

                Imam ar-Rifa’i  termasuk pembesar ulama yang sangat mashur di zamanya. Beliau sempat terkenal sebab kejadian yang menggegerkan jamaah haji yang menyertainya. Keajaiban sebuah karomah tampak kepada para jamaah haji yaitu beliau mencium dan mendengar jawaban Rasulullah saw.

Di ceritakan, sebelum berangkat haji salah satu jamaah imam ar-Rifa’i, as-Syekh al-Jalil al-Fadhil abu hafidh umar al-Fârûmy, berada di majlis imam ar-rifa’i. Semua para ulama, masyarat di tempat dan pejabat berkumpul di majlis guna mengikuti pengajian imam ar-Rifa’i.  Saat itu  semua para jamaah saling berdiskusi tentang masalah agama dan ada juga yang bercerita  tentang keajaiban dan karomah seorang wali. Semua permasalah langsung di tanyakan pada imam ahamd ar-Rifa’i. Pada saat ar-Rifa’i di tanya tentang asrârul ghoribah (kejadian yang asing )  dan asrârul ajibah (di balik rahasia keajaiban), Imam Ahmad ar-rifa’i tiba-tiba berdiri  sambil melihat keatas, seraya berkata “ Telah nampak perkara yang benar dan telah jelas kebenaran. Aku mendengar suara sedang memanggilku ‘ Wahai Ahmad, berdirilah dan pergilah ke baitullah, dan berziarohlah kemakam datuk mu saw. Karna sesungguh di sana engkau akan mendapat pesan berupa dakwah dari Rasulullah saw’. Setelah kejadian aneh itu Imam ar-rifa’i berangkat bersama para rombongan jamaah haji.    

Mencium Tangan Rasulullah saw.

Pada tahun 555 H saat itu imam ar-Rifa’i berumur 43, beliau berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan haji. Setelah di Mekkah beliau pergi ke Madinah untuk beziarah ke makam datuknya Rasulullah SAW. Setelah sampai di Madinah, ar-Rifa’i dan para jamaahnya menuju masjid makam Rasulullah SAWdi masjid Nabawi. Saat itu nampak pada para jamaah karomah Imam ar-Rifa’i, para jamaah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Rasulullah SAWmenjawab salam dari Imam ar-Rifa’i. Ar-rifa’i berkata “Assalamualikum Wahai datuk ku..”. lalu datang dari dalam Hujroh Rasulullah suara, “ Waalaikum salam Wahai anak ku..”. ar-Rifai lalu masuk ke dalamnya dalam keadaaan gemetar dan menggigil sehingga warna kulitnya menjadi kekunig-kuningan dan ar-Rifai berlutut sambil menangis seraya berkata “ Dari kejahuan aku kirimkan ruhku untuk selalu mengingatmu sebagai perwakilanku, maka dalam kesempatan ini aku bisa melihat dengan seluruh jasad ku pada mu secara kasat mata. Maka aku mohon ulurkanlah tangan-mu agar aku bisa mencium tangan-mu “.

Sahdan, tangan Rasulullah saw keluar dari maqbarohnya, ar-Rifai’ pun langsung menciumnya, sebagai mana yang di minta oleh ar-Rifa’i. Semua jamaah haji yang ikut serta melihat dan mendengar langsung karomah Imam as-Syekh al-Mursyid al-Ghaust as-Zahid al-Arif Imamul-Akbar Sayyid Abul Abbas Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir. Kejadian ini 23 tahun sebelum imam ar-Rifa’i di panggil di pangkuan Allah.

Di Baiat Oleh Rasulullah Saw

                Pada waktu Imam Ahmad ar-Rifa’i mencium tangan Rasulullah SAW, beliau di baiat langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Rasulullah berkata pada Imam ar-rifa’i ; “ Wahai Anak ku. Pakailah selendang hitam dan naiklah ke atas mimbar lalu berkhutbahlah di depan para manusia. Baiat ini aku serahkan pada mu dan kepada keturunan mu hingga hari kiamat “. Lalu ar-Rifa’i keluar dan melaksanakan perintah dari Rasulullah SAW. Semua jamaah haji yang hadir saat itu mencapai 90.000 orang, semua menyaksikan langsung karomah dan pembaiatan imam ar-Rifa’i.

Di Lihat Oleh Sulthonul Auliya’

                Di antara jamaah yang yang melihat lansgung kejadian itu mulai dari para ulama, tokoh masyaraka, pejabat, dan masyarakat umum dari menengah ke atas hingah menengah kebawah. Di antara ulama adalah Sulthonul Auliya’ as-Syekh Abdul Qodir al-Jilani, Sayyid adiy bin musafir as-Syâmy, as-Syekh Ali bin Khomis, as-Syekh Hayat bin Qois al-Harâny.

Wali al-Ghauts al-Qutb

ar-Rifa’I tumbuh sebagai peribadi yang alim, zuhud, waro’,  seorang ahli ibadah, ahli tasawuf, dan ahli fiqih yang bermadzhab Syafi’i. “ imam ar-Rifai adalah seorang panutan, zuhud dan gurunya orang yang ma’rifat” kata imam adz-dzahabi.

Beliau termasuk salah satu wali  al-Qutb al-Ghaust. Beliau memiliki banyak pengikut dan santri. Mayoritas mereka dari kalangan orang faqir. Mereka diberi nama ar-rifa’iyah ,  Ahmadiya dan Batha’ihiyah. Jika malam nisfu sya’ban tiba, orang-orang yang  datang mengikuti majlis beliau kurang lebih 100.000 jiwa. Konon,  sanri-santri beliau memiliki kehebatan memukau. Mereka mampu menunggangi hewan liar, bermain ular bahkan mereka tidak segan-segan melompat dari pohon kurma yang begitu tinggi. Anehnya, mereka baik-baik saja dan tidak merasakan sakit sedikitpun.

Di Angkat Menjadi Pemimpin Para Wali

Sebagaimana sudah di ketahui di antara para jumhurul-ulama’ bahwa imam ar-Rifa’I termasuk dari para kekasih Allah. Bahkan beliau termasuk juga dari king of the king para kekasih Allah saat itu. Ini bisa di lihat dari salah satu mimpi yang di lihat oleh khola-nya (paman dari ibu) imam ar-Rifa’I, ia adalah Sayyid as-Syekh Mansur al-Anshori. Beliau –paman Imam ar-Rifa’i- berkata “ Saya bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, 40 hari sebelum anak dari saudara perempuan saya di lahirkan, lalu Beliau SAW berkata kepada ku ‘ Wahai Manshur!, saya membawa berita gembira kepadamu bahwa Allah memberi karunia seorang anak setelah 40 hari, dia bernama Ahmad ar-Rifa’I, dia juga sama seperti halnya aku, bila aku adalah pemimpin para anbiya’, maka keponakanmu (Imam ar-Rifa’i) adalah pemimpin para auliyaullah’ “. 

Setelah imam ar-Rifa’i lahir ke alam dunia, beliau menjadi sesosok bocah yang ahli ibadah. Meski umur yang masih belita, beliau sudah beribadah seperti halnya seorang dewasa. ketika beliau masih kecil beliau sudah berpuasa satu hari full. Di katakan dari saudara rodo’ (sesusuan) imam ar-Rifa’i pada bulan Ramadhon “ Sesungguhnya ahmad tidak mau meminum susu pada waktu siang hari, maka saya menyangka bahwa ada sesuatu yang tidak membuat dia suka. Tapi ketika matahari terbenam, ahmad menerima murdi’ dan mau meminum susunya “.

Di Tunjuk Oleh Rasulullah SAW.

Beliau tumbuh menjadi seorang pemimpin thoriqoh Ar-Rifa’iyah dan menjadi Wali yang zuhud (tidak cinta dunia), Arif (ma’rifatullah), alim, dan dermawan. Jamaah yang mengikuti Thoriqoh Ar-Rifaiyah semakin menjadi pesat. Satu persatu orang datang untuk mengikuti thoriqoh dan suluk imam ar-Rifa’i ,untuk sampai kepada allah, mulai dari tingkatan atas sampai ketingkatan bawah. Beliau juga menjadi rujukan para pengikutnya dalam masalah wusul dan suluk kepada Allah.

 Sebagaimana di alami oleh Imam Muhammad Mahdi ar-Rowwas yang mendapat taujihat  (petunjuk) dari Rasulullah saw dalam mimpinya. Imam Mahdi ar-Rowwas berkata dalam mimpinya “saya memimta petunjuk pada Rasulullah ‘berilah saya jalan menuju kebenaran Wahai.. Rasulullah’. Beliau menjawab ‘‘Al-Qur’anul Karim adalah jalan yang kamu cari’’. saya mengadu lagi ‘berilah saya jalan (suluk) menuju Allah, Wahai..Rasulullah’. Beliau menjawab “Berpegang teguhlah pada anakku yaitu Ahmad Ar-Rifa’i dan kamu akan sampai kepada Allah. Sedangkan dia adalah sayyidnya para auliya’ (kekasih) umat ku. Setelah auliya’ abad ketiga. Dan dia juga mempunyai derajat yang tinggi dari pada auliya’ di masanya ”.

"Maafkan Hambamu, Tuan..."

    Di kisah yang lain, ketika sedang duduk di Desa Ummu Ubaydah, tiba-tiba sang syaikh mengangkat lehernya seraya berkata, "Di atas leherku.... di atas leherku..". Orang yang mendengar hal itu bingung, "Wahai Imam, kenapa Tuan tiba-tiba berkata demikian?" Ia menjawab, "Sekarang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad berkata bahwa sesungguhnya semua leher para wali berada di telapak kakinya." Ketika diselidiki, ternyata benar apa yang dikatakannya. Saat itu Syaikh Abdul Qadir sedang mengatakan hal itu. 

   Di kisahkan lagi, pada suatu hari beberapa orang fakir mendatangi Imam Ahmad, lalu mencelanya. Mereka mengatakan, ia adalah orang yang telanjang, dajjal, orang yang menghalalkan sesuatu yang haram, yang mengganti Al-Qur'an, orang kafir, orang sinting, dan berbagai cacian yang memerahkan telinga. Mendengar celaan itu, Imam Ahmad bukannya marah, tapi malah membalas dengan membuka kafiyen (penutup kepala), lalu mencium tanah dan berkata, "Wahai Tuan-Tuanku, maafkanlah hambamu ini." Lalu ia mencium tangan dan kaki orang-orang yang menghinanya dan berkata, "Maafkan aku, sesungguhnya kasih sayang kalian sangat membuatku lega."

    Hal itu membuar orang-orang kafir terperanjat. Mereka tidak mengira sama sekali akan disambut oleh Imam Ahmad dengan sikap yang sangat hormat. Lalu mereka pun berkata, "Sama sekali kami tidak pernah melihat orang sepertimu, yang bisa menahan celaan dan hinaan kami tanpa berubah sedikitpun." "Ini semua berkat keberkahan yang kuperoleh dari kalian," kata Imam Ahmad.

Lidah Hakiki

     Imam Asy-Sya'rawi, seorang tokoh tarekat yang juga seorang wali, berkata,"Imam Ahmad Ar-Rifa'i adalah penyelamat umat dan quthb yang terkenal. Beliau salah satu imam Thariqah, imam bagi kaum arif, dan umat berada di bawah kepemimpinannya..."

Kisah menggemparkan yang pernah dialami Syaikh Ahmad Rifa'i adalah sewaktu ia melakukan ibadah Haji dan  ketika berziarah ke Makam Nabi Muhammad Saw. Saat itu terlihat  tangan menjulur dari dalam kubur Nabi Saw bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi Saw tersebut. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang  yang  berziarah ke Makam Nabi Saw tersebut. Semua orang takjub dan terheran-heran dengan peristiwa aneh itu.

Setelah menyaksikan keajaiban gurunya, salah seorang murid Syaikh Ahmad Rifa'i berkata, "Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub!". Syaikh Ahmad Rifa'i  menjawab, "Sucikan syak wasangkamu daripada Quthubiyah".  Lalu  murid itu berkata lagi, "Tuan Guru adalah Ghauts!".  Syaikh Ahmad Rifa'i menjawab lagi, "Sucikan syak wasangkamu daripada Ghautsiyah".

Menurut Al-Imam Asy-Sya'rani, jawaban-jawaban Syaikh Ahmad Rifa'i atas simpulan muridnya adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad Al-Rifa'i  sejatinya telah melampaui "Maqaamat" dan "Athwar",   karena ketinggian derajatnya , kualitas maqam-nya, dan dekatnya dengan Allah sehingga tidak diketahuinya maqam, meski terdapat beberapa maqam.    

Sedangkan Habib Ahmad bin Zen Alhabsyi, penulis Syarh Al-Ainiyah, mengatakan, Imam Ahmad Ar-Rifa'i adalah orang yang memiliki sifat keras dan sosok yang banyak memiliki rahasia. Dari dirinya tampak sifat zuhud dan ilmu yang melimpah, rendah hati, selalu mendahulukan kepentingan orang lain, dan tidak senang memamerkan diri.

   Ia adalah salah seorang yang diberi karamah oleh Allah, diantaranya berbicara dengan makhluk ghaib, dan mendapat gelar quthb. Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan pada dirinya bermacam-macam kemuliaan dan keutamaan. Ia mempunyai bahasa yang tinggi dengan menggunakan lidah hakiki serta mendapatkan puncak dari kepemimpinan di dalam ilmu tahriqah serta dapat membaca kedudukan manusia.

  Imam Ahmad Ar-Rifa'i terkenal dengan kesabaran, zuhud, wara, serta kerendahan hatinya. Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab RA menulis dalam kitabnya yang berjudul Tuhfatul Ahbab, ada tiga wali yang ditampakkan kepemimpinannya oleh Allah lantaran kerendahan hatinya, yaitu Syaikh Abdullah al-Aydrus, Syaikh Abubakar bin Salim, dan Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i.

Tiang bagi Umat 

    Dalam kitab Syarh Al-Ainiyah disebutkan, Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i lahir di Desa Ummu Ubaydah, daerah Batoeh, Irak, pada bulan Muharram tahun 500 H, lima tahun sebelum wafatnya Imam Ghazali RA. Nasabnya sampai ke Nabi Muhammad, melalui Husein bin Ali bin Abi Thalib. Ia mendapat pendidikan agama dari beberapa ulama besar pada zamannya, antara lain Imam Manshur Az-Zahid, yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Juga Imam Ali bin Al-Qori Alwasity. Dengan kesungguhannya ia kemudian berhasil menjadi ulama besar dan salah satu dari empat quthb, yang menjadi tiang bagi umat.

  Ia pun mempunyai murid-murid yang kemudian juga menjadi ulama besar, seperti Imam Ali Almulaiyji, Imam Alwalie Abdus Salam Alqaliby, dan Imam Ibrahim Al'azab. Imam Ahmad adalah seorang yang bijaksana, pemurah, penuh kasih sayang kepada siapa pun, bahkan kepada hewan sekalipun.

                    Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, “Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana yaa kanjeng syeikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab, “Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain.]

Di Panggil Sang Khaliq SWT.

                Ketika imam ar-rifa’i menginjak umur 66, beliau terserang penyakit sakit perut. Penyikt itu kian hari bertambah semakin parah. Meski penyakit yang di derita oleh beliau cukup parah tapi beliau tetap  melaksanakan ibadahnya dan bertambah keimananya tampa merasa sakit dan mengeluh. Setelah satu bulan lebih beliau di serang penyakit, penyakit beliau bertambah semakin parah. Sehingga beliau tidak bisa bangun dari tempat tidurnya.   

           

                Dan keesokan harinya, Tetap ketika matahari menampakkan sinarnya ke bumi, dan embun senantiasa menghiasi dedaunan, yaitu pada hari Kamis, bulan Jumadil Ula, tahun 578 H, suasa menjadi terharu dan di banjiri dengan tangisan belasungkawa. Semua berbondong-bondong pergi ke dalem  imam ar-rifa’i, untuk memberikan sambutan yang terakhir kepada beliau. Saat itu semua orang merasa kehilangan sesosok pemimpin umat dan pemimpin para wali itu.

                Al-Imam al-Ghaust al-Quthbu as-zâhid al-Arif billah Sayyid Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa’I al-Kabir. Lalu beliau di di makamkan di Qubbah kakek dari ibu, Sayyid Yahya al-Bukhori, di negaranya (Bukhâra). Setelah beliau di makamkan dan disholati, semua orang dari penjuru dunia berta’ziah ke makam beliau, untuk mengharap berkah dari beliau.

Murid-murid Imam ar-Rifa’i

                Imam ar-rifa’i tergolong ulama yang kaya dengan disiplin ilmu. Semua ilmu beliau dapat dengan jirih payah sendiri. Selain terkenal dengan kealimannya, imam ar-Rifa’i juga terkenal dengan kezuhudannya, Wara’, Rajib beribadah, dan selalu taqwa kepada allah. Dengan sifat-sifat itulah banyak ulama dan masyarakt menunjukdan memilih seorang guru sebagai muryid menuju ke jalan Allah swt dan mengetahui syariat agama islam, memilih Imam Ahmad ar-Rifa’i.

                Imam ar-Rifa’i di masanya termsuk dari salah saru dari ulama dan guru besar saat itu, banyak dari murid-murid beliau yang menjadi menjadi ulama dan menjadi wali semasa hidupnya dan setalah wafatnya. Imam ar-Rifa’i mendapat beberapa julukan di antara julukan beliau adalah Syaikhul-Tharâriq, Syaikhul-Kabîr, dan Ustadzul-Jamâ’ah. Sewaktu beliau Hidup banyak dari kalangan ulama, tokoh masyarakt, dan orang umum belajar kepada beliau mulai dari maslah fiqh, Tauhid, dan meminta ijazah Thariqoh ar-Rifa’iyah, sehingga sebab banyaknya murid imam ar-rifa’i yang ingin belajar kepada beliau, imam ar-rifa’i di juluki dengan Syaikhul-Tharâriq, Syaikhul Kabîr, Dan Ustadzul-Jamâ’ah. 

                Di antara para ulama itu adalah Al-Arif Billâh al-Ghaust Sayyid Abul Hasan asy-syadzili (pendiri thariqoh Syadziliyah), al-imam al-Hafidz abdurrahman jalauddin as-suyûtiy (salah satu ulama fiqh), Syaikh Najmuddin (salah satu guru imam ad-dasuqi), syaikh aqîl al-munbijiy, dan syaikh ali al-Khowwas. Dan masih banyak ulama dan para waliullah yang perna menimba ilmu kepada imam ahmad ar-rifa’i.

Karya-Karya Imam Ar-Rifa’i

                Sebelum beliau di panggil di pangkuan sang Kholiq swt. Beliau banyak meninggalakan karya tulisnya mulai dari Kitab, Hizib, dan beberapa Aurâd. Karangan imam ar-rifa’i yang berupa kitab mencakup beberapa tema mulai dari Fiqh, Tafsir, Tauhid, dan Thoriqoh as-sufiyah. Di antarak kitab Fiqih yang beliau karang adalah kitab “Syarhu al-Kitab at-tanbîh lisy-syîraziy”, kitab fiqh madzhab As-Syafi’i. Sedangkan kitab tafsir adalah “ ma’âniy bismillâhirrahmânirahîm” dan “tafsiru surati al-Qodr”. Sedangkan kitab Tauhid adalah “al-burhanu al-muayyid”. Dan kitab yang menerangkan tentang tahoriqoh as-sufiyah ialah “hâlatu ahli-haqiqah, at-thariqah ila-Allah “. Dan masih banyak karna beliau yang lain.

                Beliau juga menulis tentang dan hizib-hizib, di antara karya hizib beliau Hizbn Hason, Hizb Hirâsah, Hizb Satru, Hizb Tuhfa as-sanîyah.

    Tentang waktu wafatnya Syaikh Ahmad Rifa'i tidak terdapat keseragaman. Sebagian menyatakan Syaikh Ahmad Rifa'i  wafat tahun 578 H di al-Batha'ih, yang lain menyatakan  Syaikh Ahmad Rifa'i wafat di Umm Ubaidah pada 22 Jumadilawwal 578 H atau 23 September 1183 M. Namun ada pula yang menyatakan  Syaikh Ahmad Rifa'i wafat  pada hari Kamis, waktu Dhuhur, tanggal 12 Rabbiul awwal 570 H dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Ada juga riwayat Beliau wafat pada hari Kamis 12 Jumadil Ula 580 H, di Umm Ubaidah di usia 90 tahun. Kata Rifa’i dinisbathkan kepada orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Maghrib.

Nasihat Ulama Sufi Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i pada Muridnya

 يا وَلَـدِي، إِنْ مَلكْـتَ عَقْلًا ‏حَقيقيّـًا مَا مِلْـتَ إلـى الدُّنْيـا وَاٍنْ مَالَـتْ لَـكَ لأنـَّها خائِنَـةٌ كَذَّابَـةٌ تَضْحَـكُ على أهْلِهَـا، مَنْ مَـالَ عَنْها سَلِـمَ منْـها، ‏وَمَنْ مَـالَ إلَيْـها بـُلِـيَ فيـهـا. هِـيَ كَالحَيـَّةُ لَيـِّـنٌ لَـمْسُهَـا قَاتِـلٌ سُمـُّها، لَذَّاتــُهَـا سَريعَـةُ الزَّوالِ وَأيَّامُــها تَمْضـي ‏كَالخَـيَـالُ، فَاشْغِلْ نَفْسـكَ فيهـا بتَقْـوَى اللهِ وَلا تَغْـفَلْ عَنْ ذِكْـرِهِ تـعَـالَـى‏‎

Wahai anakku, seandainya engkau memiliki akal yang hakiki, maka tidak mungkin engkau akan condong berlebihan terhadap dunia, walaupun mungkin dunia condong kepadamu. Karena dunia adalah penghianat dan tukang bohong, ia selalu menertawakan orang-orang yang mencintainya. Barangsiapa yang menjauhinya maka dia akan selamat, sebaliknya barangsiapa yang condong mencintainya, maka dia akan terkena musibah karenanya. Dunia diibaratkan sebagai seekor ular yang gemulai jalannya, namun bisanya mematikan. Kenikmatannya mudah sirna, hari-harinya berlalu bagaikan khayalan. Maka sibukkan dirimu dengan bertakwa kepada Allah SWT, janganlah lalai untuk mengingat-Nya walau sesaat. 

يا وَلَــدي، إِنْ تَعَـلـَّمْتَ وَسَمِعْـتَ نَقْلاً حَسَـنًـا فاعْــمَلْ بـهِ وَلا تَـكُنْ مِنَ الَّذيــنَ يَعْلَمـونَ وَلا يَعْـمَلونَ. وَالعَـجَـبُ ‏مِمَّنْ يَعْـلَـمُ أنَّـــهُ يَـمُـوتُ كَيْـفَ يَنْـسَـى الـمَوْت، وَالعَـجَـبُ مِمَّنْ يَعْـلَمُ أنَّهُ مُفــارِق الدُّنْيـا كَيْفَ يَنْـكَبُّ عَليْها ‏وَيَقْـطَـعُ أيَّـامـَهُ بِـمَحـَبَّـتِـها‎.‎

ضَيَّعْـتُـمُ الأوْقاتَ باللَّهْـوِ وَالنِّـسْـيَـانِ وَقَـطَعْـتُـمُ الأيَّـامَ بالغَفْـلَـةِ وَالعِصْيَـانِ، مِـزاحُكُمْ مزاحَ مَنْ أَمِـِنَ النَّدامَةَ ‏وَلَهْـوُكُـمْ لَهْـوُ مَنْ لَمْ يَسْمَـعُ بيَـوْمِ القِـيَـامَـةِ، كَأنَّـكُم إلى الـقُـبُورِ لا تَنْـظُـرونَ وَبِمَـنْ سَكَنَـهَـا لا تَعْـتَـبِـرُون‎

Wahai anakku, jika engkau belajar serta mendengar ucapan yang benar, maka ikutilah. Jangan engkau seperti orang-orang yang berilmu tapi tidak mau mengamalkannya. Sungguh aneh orang yang tahu bahwa dirinya akan mati namun lupa akan kematian tersebut. Sungguh aneh orang yang tahu bahwa dirinya akan berpisah dengan dunia namun dia tetap saja mencintainya.

Kalian habiskan waktu dengan gurauan dan kelalaian, kalian isi hari-hari dengan khilaf dan maksiat. Lelucon kalian seolah seperti lelucon orang yang aman dari nelangsa, Gurauan kalian seperti gurauan orang yang tidak akan mendengar hari kiamat. Kalian seolah-olah tidak akan melihat kubur, dan tehadap orang yang menempatinya kalian seolah tidak memperdulikan.

يا وَلَـدِي، مَــا أَكَلْـتَــهُ تـُفْـنِيـهِ وَمَـا لَـبِسْـتَـهُ تـُبْـليـهِ وَالرُّجُــوعُ إلـى اللَّـــهِ حَتْـمٌ مَقْـضِـــيٌّ وَفـراقُ الأحِـبَّـةِ ‏وَعْـدٌ مَأْتِـيٌ، الدُّنْـيَـا أَوَّلُـهـا ضَعْـفٌ وَفُـتُـور وَآخِــرُهَـا مَـوْتٌ وَقُــبُــور‎

Wahai anakku, apa yang kau makan akan habis, apa yang kau pakai akan rusak, sedangkan kembali pada Allah adalah keharusan yang menuntut, dan berpisah dengan yang dicintai adalah janji yang pasti tiba. Dunia awalnya lemah dan asing, sedang akhirnya adalah mati dan kuburan.

***

Semoga Allah memberi kemanfaatan bagi kita semua dari apa yang telah dikemukakan oleh Syaikh Ahmad ar-Rifa'i al-Kabir. Dan kita semua dimudahkan dalam mengamalkan apa yang menjadi kebaikan, khususnya dalam taat dan takwa kepada Allah SWT. Amiin.