Maulid itu sunatullah

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Maulid itu sunatullah

Mawlana Syekh Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs dalam

Encyclopedia of Islamic Doctrine Vol.3

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

Suatu masyarakat hanyalah sebesar tokoh terbesarnya, laki-laki ataupun perempuan.  Lantas, bagaimanakah kebesaran suatu masyarakat, bila kebesarannya itu diwariskan dari seorang manusia sempurna yang tak ada tandingannya, yang penciptaannya mendahului yang lainnya.  Kepribadiannya tidak sekadar heroik, tidak sekadar hebat—melainkan sangat mengagumkan—sebagaim ana yang tertangkap oleh pikiran manusia yang terbatas, tetapi yang dipujikan oleh Sang Penciptanya sendiri. Allah swt memuji Nabi kita saw dalam sejumlah ayat Alquran yang tak terhitung banyaknya, dan bersumpah dengan akhlaknya yang begitu sempurna.  Ia berfirman, “Dan sungguh kamu berakhlak sangat mulia” (68: 4).  Nabi saw. sangat terhibur tatkala ia disebutkan dalam Alquran, surah al-Isrâ’, dengan sebutan ‘abd (hamba), “Mahasuci Zat yang memberangkatkan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil  Haram ke Masjidil Aqsa yang Kami berkati sekelilingnya.” (17: 1)

 

Orang mungkin bertanya, “Bagaimana mungkin maulid menjadi bagian dari sunah?”  Cobalah ingat kembali hari kebebasan Bani Israil, tanggal 10 Muharam. Pada hari itu Nabi Musa as. menyelamatkan umatnya dari perbudakan Firaun, yang kemudian mati tenggelam.  Umat Yahudi di Madinah melihat hari itu sebagai suatu hari istimewa yang layak mereka puasai, sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan Nabi Musa as.

 

Ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah, beliau menemukan umat Yahudi berpuasa pada hari itu. Setelah mencari tahu alasannya, Nabi saw kemudian memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari tersebut dan bersabda, “Kita lebih berhak atas Musa as daripada mereka.”  Oleh karena itu, hari kemerdekaan Bani Israil menjadi hari peribadatan bagi muslimin.

 

Sebagai pengikut Muhammad saw., tidak layakkah kita mengatakan, “Kita lebih berhak dalam memperingati Muhammad saw. daripada umat lain dalam memperingati nabi-nabi mereka?” Oleh karena itu, marilah kita memuji Allah swt pada hari tersebut dan bergembira atas karunia-Nya, sebagaimana Ia perintahkan, “Karena karunia dari Allah dan rahmat-Nya, maka hendaklah mereka bergembira” (10: 58).  Perintah ini datang karena kegembiraan membuat hati merasa bersyukur atas karunia Allah swt.  Karunia manakah yang diberikan oleh Allah swt kepada umat manusia yang lebih besar daripada Nabi saw. itu sendiri, karena Ia berfirman, “Tidaklah Aku utus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (21: 107). Oleh karena itu, marilah kita mengenang kelahiran Nabi saw yang sangat kita cintai ini dengan penuh kecintaan, kegairahan, semangat dan perasaan yang mendalam, sebagaimana Allah swt juga memperingati kelahiran Nabi Yahya as. tanpa berhenti dalam firmannya, “Maka kedamaian pun diberikan kepadanya, pada hari ia dilahirkan, pada hari ia diwafatkan, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali nanti” (19: 15).  Demikian pula halnya dengan Nabi Isa as., “Maka kedamaian pun diberikan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku diwafatkan, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali nanti” (19: 33).  Hal yang sama difirmankan oleh Allah swt dalam Alquran untuk Ismail as., Ishaq as., dan Maryam as.  Kita juga menemukan kelahiran lain yang diperingati dalam Alquran, yaitu dalam ayat, “Dalam kesakitan, ibunya mengandungnya, dalam kesakitan pula ia melahirkannya” (46: 15). Dalam tafsirnya, Ibn ‘Abbâs memberikan keterangan bahwa ayat ini menunjuk kepada Abû Bakr al-Shiddîq ra.  Lantas, bagaimanakah halnya dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka, seorang penutup para nabi dan sayid bagi seluruh umat manusia.

 

Penyebutan atas kelahiran Nabi saw. dalam Alquran begitu halus dan menyentuh, mendekati fenomena alam malakut.  Allah swt berfirman, “Sungguh telah datang kepadamu dari Allah, Cahaya dan Alkitab yang begitu terang-benderang” (5: 15). Para penafsir Alquran bersepakat bahwa “cahaya” dalam ayat tersebut adalah Nabi Muhammad saw., dan kelahirannya merupakan titik balik dari suatu siklus baru dalam sejarah kemanusiaan, yaitu membawa risalah Islam dan Alquran yang mulia.

 

Alquran menceritakan permohonan Nabi Isa as atas nama para pengikutnya, yaitu tatkala ia mengatakan, “Ya Allah, kirimkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan kami makan. Hal itu akan menjadi perayaan bagi orang yang pertama dan yang terakhir dari kami” (5: 114).  Perayaan tersebut diadakan untuk menghormati hidangan dari langit yang penuh dengan makanan dari surga berupa tujuh tumpukan-roti dan tujuh ikan, sebagaimana disebutkan dalam tafsir-dengan- riwayat mengenai ayat tersebut.  Hanya untuk satu hidangan, perayaan diadakan. Lantas, bagaimanakah untuk kedatangan seseorang kepada umat manusia yang melayani bukan untuk memenuhi kebutuhan duniawinya, tetapi dikirim oleh Allah swt sebagai pemberi syafaat bagi seluruh umat?  Tidak layakkah bila hari ini dijadikan sebagai hari untuk mengadakan peringatan tahunan?

 

Allah swt juga menyebutkan dalam Alquran, bagaimana Dia mengumpulkan ruh para nabi sebelum mereka diciptakan secara fisik, “Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi dengan mengatakan, ‘Aku berikan kepadamu Kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, apakah kamu akan mempercayainya, dan memberikan bantuan kepadanya?’ Ia mengatakan, ‘Apakah kamu akan mengakui dan menerima perjanjian-Ku ini sebagai sesuatu yang mengikat?’ Mereka mengatakan,  ‘Kami akan mengakui.’  Ia berkata, ‘Kalau begitu, maka bersaksilah, dan Aku pun bersama kamu akan menjadi saksi.’” (3: 81).  Kalau Allah swt saja menyebutkan hari kelahirannya di hadapan ruh-ruh para nabi pada Hari Perjanjian sejak sebelum kehidupan dunia ini, tidak layakkah hari tersebut dijadikan sebagai hari peringatan sebagaimana hari tersebut diperingati dalam Alquran?  Apa yang disebutkan oleh Allah swt tentang kelahiran Nabi saw. dalam hadis, yaitu tatkala Ia berkata kepada Adam as., “Bila ia datang pada zamanmu, maka kamu harus mengikutinya.”  Bila Allah swt saja mengingatkan kita tentang peristiwa besar ini, patutkah kita mengatakan, “Lupakanlah hari itu?”

 

Memang, hanya ada dua hari raya dalam Islam, dan tiada yang lain, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.  Masyarakat tak perlu bingung membedakan antara hari raya (‘îd) dan peringatan (dzikrâ).  Kelahiran Nabi Muhammad saw. bukanlah hari raya (‘îd), tetapi di hari itu terjadi peristiwa yang mahapenting buat manusia, dengan Cahaya bersamanya, yaitu risalah Islam, yang mengusung kedua hari raya tadi.  Lantas, apakah yang dapat kita kenang kembali dari kelahiran Nabi saw.?  

 

Apa yang diketahui tentang kelahiran tersebut?  Menurut Ibn Katsîr, dalam kedua kitabnya, al-Bidâyah wa al-Nihâyah dan Dzikrâ Mawlid Rasûl Allâh, “Surga dan semua langit dihiasi, para malaikat berarak terus sambil mengepakkan sayap, istana Kisra bergoncang dan api seribu tahun berhenti menyala.”  Semua peristiwa ini terjadi pada malam tepat saat Nabi saw. dilahirkan.  Dengan demikian, ini bukanlah suatu ‘îd pada suatu hari tertentu, tetapi merupakan suatu berkah semesta dari Allah swt bagi umat manusia, yang untuk alasan itulah peringatannya perlu dilakukan.  Beliau adalah makhluk paling sempurna dan paling dihormati yang diciptakan Allah swt sebagai hambanya.  Allah swt tinggikan kedudukannya dengan menyandingkan namanya bersama nama-Nya, mengangkatnya ke langit pada malam Isra Miraj, dan menurunkan kepadanya Alquran yang mulia.  Apabila makhluk Allah swt merayakan kedatangan Nabi saw. pada hari kelahirannya, lantas bagaimana halnya dengan kita, padahal bagi kita kelahirannya merupakan suatu karunia terbesar, dan melalui dirinyalah kita mendapatkan anugerah Islam?  Bukankah sungguh tidak masuk akal apabila kita mengatakan, “Kita tidak boleh merayakan hari tersebut,” sementara seluruh isi langit dan seluruh makhluk merayakannya dengan penuh kebahagiaan?

 

Imam al-Fakhr al-Râzî mengatakan, “Keutamaan Nabi saw. merupakan suatu anugerah bagi semua umat manusia.  Allah swt telah memberi kehormatan kepada bangsa Arab dengan dirinya dan mengangkat kedudukan mereka karena jasa Nabi saw., dari bangsa Badui penggembala ternak, mereka menjadi pemimpin yang mengurusi bangsa-bangsa.  Karena Nabilah, Allah swt membawa mereka dari kejahiliahan ke tingkat kepandaian, kecerahan pikiran dan kepemimpinan.  Ia mendudukkan mereka di atas bangsa-bangsa lain, yang jauh lebih baik daripada Yahudi dan Nasrani yang selalu bangga dengan Musa as dan Isa as, serta Taurat dan Injil.  Allah swt menjadikan mereka lebih baik dari siapa pun.  Artinya, Ia menjadikan bangsa Arab dan kaum muslim untuk merasa bangga dengan nabinya melampaui siapa pun.”

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!