Taqiyuddin bin Daqiq al-'Eid

Al Imam Ibnu Daqiq (625-702 H)

NAMA DAN NASABNYA

Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Abu Al Fath Muhammad bin Ali bin Wahb bin Muthi’ Al Qusyairi Al Manfaluthi Ash Sha’idi Al Maliki Asy Syafi’i. Banyak menulis kitab, dan beliau juga pensyarah Al Arbai’in An Nawawiyyah.

KELAHIRANNYA

Dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun 625 H, dekat Yanbu’, Hijaz. Beliau mendengar dari Ibnu Al Muqirah, tetapi beliau ragu mengenai cara pengambilan. Beliau menuturkan dari Ibnu Al Jumaizi, Sabth As Salafi, Al Hafizh Zakiyuddin dan sejumlah kalangan. Sementara di Damaskus, dari Ibnu Abdid Da’im dan Abu Al Baqa’ Khalid bin Yusuf.

KARTA TULISNYA

Beliau menulis Syarh Al Umdah, kitab Al Ilmam, mengerjakan Al Imam fi Al Ahkam, yang seandainya selesai tulisannya, niscaya menca-pai 15 jilid, dan mengerjakan kitab mengenai ilmu-ilmu Hadits.

Beliau salah seorang cendekiawan pada masanya, luas ilmunya, banyak kitab-kitabnya, senantiasa berjaga (untuk shalat malam), senantiasa dalam kesibukan, tenang lagi wara’. Jarang sekali mata melihat orang sepertinya.

Beliau memiliki kemampuan yang mumpuni mengenai ushul dan ma’qul, serta ahli mengenai ilat-ilat manqul. Menjabat sebagai qadhi di negeri Mesir beberapa tahun hingga meninggal dunia. Beliau, berkenaan dengan masalah bersuci dan air, sangat ragu-ragu.

Al Hafizh Quthbuddin mengatakan, “Syaikh Taqiyuddin adalah imam pada masanya dan termasuk orang yang tinggi dalam ilmu dan kezuhudan dibandingkan sejawatnya. Tahu mengenai dua madzhab, imam mengenai dua prinsip madzhab, hafizh dan seksama dalam Hadits, dan ilmu-ilmunya. Beliau dijadikan perumpamaan mengenai hal itu. Beliau simbol dalam hafalan, keseksamaan dan ketelitian, sangat besar rasa takutnya, senantiasa berdzikir, dan tidak tidur malam, kecuali sedikit. Beliau menghabiskan malamnya di antara menelaah, membaca Al Qur’an, dzikir dan tahajjud, sehingga berjaga menjadi kebiasaannya. Seluruh waktunya diisi dengan suatu yang berguna. Beliau banyak belas kasih kepada orang-orang yang sibuk lagi banyak berbuat kebajikan kepada mereka.

Masa kecil Taqiyuddin

Taqiyuddin menghabiskan masa kecilnya di Qaus (selatan Mesir) di mana ayahnya mengajar di madrasah yang dibangun oleh al-Najib bin Hibatullah tahun 607 H. Si cerdas yang kelak lebih terkenal dengan nama Ibn Daqiq al-Id ini berguru pada ayahnya sendiri yang mengajar fiqh madzhab Maliki dan Syafi'i. Ibunya juga dari Qaus, putri seorang yang terkenal yaitu Imam Taqiyuddin al-Mudhoffar bin Abdullah bin Ali bin Husein. Dengan demikian ia bernasab mulia baik dari pihak ayah maupun ibunya.

Ibnu Hajar dalam kitabnya “al-Durar al-Kaminah” mengatakan, bahwa Taqiyuddin tumbuh di Qaus dalam satu aktifitas saja yaitu diam, hati-hati dalam berucap dan berbuat, sibuk dengan ilmu, konsisiten dengan agama dan sangat menjauhi najis. Tentang hal terakhir ini ibu tirinya pernah bercerita : “Ayahnya menikahi saya ketika dia berumur 10 tahun, suatu ketika saya melihat dia sibuk mecuci lumpang (sejenis tempat air berukuran kecil) lama sekali. Karena ingin tahu saya bilang pada ayahnya: "Apa yang dilakukan si kecil itu", kemudian ayahnya bertanya pada sikecil "Muhammad, apa yang kamu lakukan?”, Dia menjawab : "Aku ingin mengisinya dengan tinta, maka dari itu aku mencucinya supaya suci dan bersih".

Taqiyuddin, kendatipun konsisten, wara', dan takwa ia juga suka bercanda, meskipun tetap menjaga ibadah dan ke-wara’-annya. al-Adfuwi dalam hal ini mencatat : "Orang-orang di Qaus bercerita padaku bahwa beliau pernah bermain catur –pada masa kecilnya- dengan saudara iparnya. Ketika datang waktu shalat Isya keduanya beranjak untuk shalat. Kemudian beliau berkata: "Kita main lagi" dan iparnya berkata: "Boleh, kalau jarum jam bisa berputar mundur". Maka beliaupun tidak bermain lagi.

Mula-mula Taqiyuddin belajar membaca Alquran sampai mantap, kemudian pergi menuntut ilmu-ilmu syariat dan hadits ke Damaskus dan Iskandariah setelah ia belajar fiqh dan hadits dari ayahnya, juga ulama dan fuqoha' lain di Qaus yang marak di Shaid Mesir (daerah selatan mesir) pada waktu itu. Ia belajar bahasa Arab pada Syarafuddin Muhammad bin Abil Fadl al-Mursi dan juga yang lain, dan belajar ushul fiqh pada ayahnya dan mengikuti pengajian Qodhi Syamsuddin ketika menjadi hakim di Qaus

Taqiyuddin sang kutu buku

Taqiyuddin –rahimahullah- adalah orang yang banyak membaca, hingga ada yang mengatakan tidak ada satu kitab pun di perpustakan madrasah di mana dia mengajar dan belajar, baik di Kairo maupun di Qaus kecuali ada catatan tangannya. Mengenai karyanya, Haji Khalifah mengatakan : "Seandainya kumpulan karyanya hanya apa yang dia tuangkan dalam kitab al-'Umdah, maka ini sudah menjadi bukti keutamaan dan kemantapan serta keluhuran tingkatannya dalam ilmu dan kemuliaan. Bagaimana tidak?, beliau telah men-syarah al-Ilmam yang mencakup hukum-hukum juga kaidah periwayatan dan kaidah penggunaan akal, bermacam-macam sastra, poin-poin masalah yang menjadi perbedaan di kalangan ulama', pembahasan mantiq, nuansa bayan, materi kebahasaan, kajian nahwu, epos sejarah dan isyarat-isyarat sufistik. Ibn Daqiq juga mempunyai kitab “Iqtinashus sawanih” yang mencakup hal-hal aneh dan pembahasan sesuatu yang langka. Ia juga mempunyai catatan pada mukadimah kitab Abdul Haq, juga kitab ulumul hadits yang kita kenal dengan “al-Iqtirah fi Ma'rifatil Ishtilah”. Bukan itu saja ia juga mempunyai kumpulan khutbah dan komentar-komentar.

Taqiyuddin maha guru dan hakim agung

Ketika tiba di Kairo, ia mengajar di berbagai madrasah. Pada mulanya adalah al-Madrasah al-Fadilah yang dirintis oleh al-Qodhi al-Fadhil Abdur Rahim al-Bisani, di samping makam Imam Husain r.a. Madrasah ini kemudian menjadi bagian masjid Husain setelah terjadi perluasan. Setelah itu ia mengajar di Madrasah Shalahiyah yang dibangun oleh Shalahuddin al-Ayyubi di samping makam Imam Syafi'i dan Madrasah al-Kamilah di Nahhasin. Dan di samping madrasah inilah guru besar yang wara' ini beliau tinggal. Madrasah terakhir tempat ia mengajar adalah Madrasah Shalihiyah yang dibangun oleh Shalih Najmuddin Ayyub, Sultan terakhir Daulah Ayyubiyah. Demikian padatnya kegiatan mengajar sang wali ini tidak membuatnya jenuh atau kesulitan sebab sebelum tiba di Kairo, ia sudah terbiasa mengajar di Darul Hadits di rumah peninggalan ayahnya.

Aktivitas mengajar rupanya bukan profesi satu-satunya. Pada masa Sultan Lajin ia menjadi qadhi setelah sebelumnya menolaknya sebagaimana disebutkan oleh al-Asnawi dalam “al-Tabaqat”, sampai orang-orang mengatakan : "Kalau kamu tidak mau menjadi qadhi, maka yang jadi qadhi adalah si fulan, si fulan, dua orang yang tidak pantas menjadi qadhi. Di sinilah akhirnya ia luluh dan melihat bahwa menerima jabatan qadhi pada saat ini adalah wajib. Setiap selesai masa jabatannya ia berusaha untuk mengasingkan diri tapi kemudian diminta kembali lagi. Imam Suyuthi mencatat beberapa hal tentang sang qadhi agung ini ketika masih memangku jabatannya : "Para qadhi diberi baju dari sutera namun Syekh Taqiyuddin enggan memakai baju pemberian itu dan meminta menggantinya dengan baju dari bulu. Hal itu berlangsung sampai sekarang (masa Imam Suyuthi abad 9 H). Lebih lanjut Imam Suyuthi mengatakan : "suatu ketika wali kenamaan ini datang menghadap Sultan Lajin, Sultan berdiri dan mencium tangan Syekh dan Syekh hanya mengatakan: "Aku berharap itu menjadi bagian amal baikmu di hadapan Allah SWT ”.

Sungguh unik dan mulia pribadi Syekh Taqiyuddin ini. Di saat orang berebut jabatan qadhi ia justru menghindar dan bahkan jabatan itu sendiri yang datang memaksa di pangkuannya. Ketika orang merasa bangga mana kala dekat dengan pembesar ia justru tidak mau bergaul dengan umara' dan orang-orang elit. Ia memang orang besar yang berjiwa besar. Dalam hal ini, al-Adfuwi dalam kitabnya “al-Tholi' al-Said” mengatakan: "Suatu ketika Syekh Taqiyuddin melihat Amir Jokandar mendatanginya, beliau bereaksi sebentar kemudian diam dalam waktu yang lama. Setelah itu ia beranjak menghampiri Amir dan berkata: "Barangkali Amir ada perlu sesuatu"?. Sungguh aneh, padahal biasanya orang-orang justru meminta, mengemis, menghamba setiap ada kesempatan bertemu penguasa.

Ketika ia mengasingkan diri kemudian diminta lagi untuk menjadi Qadhi, Sultan al-Manshur Lajin menyambutnya dengan berdiri demi menghormatinya. Tapi tetap saja sang wara' ini berjalan santai tidak buru-buru menghambur membalas penghormatan sultan. Sampai-sampai orang-orang yang ada di balairung itu berkata: "Sultan berdiri", dan semuanyapun berdiri. Kemudian Syekh Taqiyuddin berkata: "Beri aku jalan". Ketika sudah tepat di hadapan sultan ia duduk di atas bantal wool supaya tidak duduk di bawah Sultan. Setelah selesai semua urusan ia turun dan mencuci bantal itu dan mandi. Satu simbol betapa jijik dan gerahnya ketika ia berada di tengah-tengah pembesar dunia.

Sang dermawan yang miskin

Dalam masalah pembelanjaan harta, waliyullah ini juga unik. Seperti cerita berikut ini. Syekh Najmuddin Aqil al-Balis bercerita, dia datang ke sebuah kapal kemudian mendatangi Syekh taqiyuddin dan bercakap-cakap. Beberapa waktu kemudian beliau mengirimkan dua ratus dirham dan memberikan jabatan pada Syekh Najm. Meskipun beliau baik dan dermawan, tapi seringkali beliau berada dalam kemiskinan dan harus menghutang. al-Adfuwi menambahi, Syekh Abu Abdillah bin Jama'ah, Qadhi Qudhat bercerita padaku, suatu ketika bendahara pemerintahan di Kairo datang pada Syekh Abu Abdillah, dia sangat suka mengumpulkan harta anak yatim, pada waktu yang lain Ibnu Daqiq al-Id datang padaku, dan mengaku mempunyai hutang pada harta anak yatim itu, aku menengahi dan berkata padanya; “Aku pelit padamu karena hutangmu itu. Ibnu Daqiq menjawab; “Tidak ada yang menyebabkan aku terlilit hutang, kecuali karena kecintaan saya pada buku”.

Karomah Ibn Daqiq al-Id

Imam Suyuthi dalam kitabnya “Khusnul muhadhoroh” mengatakan, Ibnu Daqiq mempunyai sesuatu yang bisa disebut sebagai karomah dan mukasyafah yang memang hanya dimiliki para auliya' shalihin. Syihabuddin al-Zubairi ahli hadits bercerita: "Suatu ketika aku bersama Zainuddin dan gubernur Mesir juga ada di situ. Tiba-tiba datang tukang pos, lalu menyerahkan surat pada penguasa Mesir itu. Setelah membaca sebentar ia berkata: "Cari punggawa!" Kemudian Zainuddin berkata: "Ada apa ini ?" Ada perintah supaya membaca Kitab Bukhori karena serbuan pasukan Tartar. Zainuddin berkata: "Punggawa itu tidak bisa melaksanakan ini. Biarkan aku yang melakukannya serahkan urusan ini padaku. Lalu dia mengeluarkan Kitab Bukhori sebanyaak 12 jilid. Dia menyebut beberapa orang yang masuk dalam jamaah ini, kami menentukan waktu berkumpul dan membaca Kitab Bukhori sampai khatam pada hari Jum'at. Ketika tiba hari Jum'at kami melihat Ibn Daqiq al-Id ada di masjid, lalu kami menyalaminya dan beliau berkata: "Apa yang kalian lakukan dengan Sahih Bukhori ?Keadaan sudah berubah kemarin sore dan kaum muslim telah menang". Kami bertanya: "Kami boleh mengabarkan berita ini ini dari kamu?" Beliau menjawab: "Ya, silahkan. Setelah beberapa hari, datang kabar seperti demikian halnya”.

Ibn Daqiq al-Id wafat

Ibnu Daqiq al-Id meninggal pada hari Jum'at 11 Safar 702 H di makamkam di bukit Muqattam, hari itu adalah hari yang tak terlupakan. Orang-orang bergegas ke tempat itu, tentara antri menyalatinya dan sekelompok pembesar, sastrawan di Kairo dan Qaus meratapinya.

[Disalin dari Biografi Ibnu Daqiq Al Ied dalam Tadzkirah Al Huffazh, Adz Dzahabi]