I. Definisi Sahabat
Sahabat adalah orang yang bertemu Rasulullah, beriman kepadanya dan wafat di atas iman, dia dinamakan shahib karena jika dia bertemu Rasulullah dalam keadaan beriman kepadanya maka dia telah berikrar mengikutinya. Ini salah satu keistimewaan persahabatan dengan Rasulullah. Adapun selain Rasulullah maka seseorang belum dianggap sahabat sebelum dia sebelum dia bergaul dengannya dalam waktu yang panjang yang karenanya dia berhak disebut sahabat.
Secara bahasa, kata ash-shahabah (الصحابة) adalah bentuk plural (jamak) dari kata shahib (صاحب) atau shahabiy (صحابي) yang berarti teman sejawat.
II. Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Terhadap Sahabat
Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah keselamatan hati mereka dan lidah mereka terhadap sahabat Rasulullah. Keselamatan hati dari kebencian, kemarahan dan iri hati dan keselamatan lidah mereka dari segala ucapan yang tidak layak dengan kedudukan mereka.
Hati Ahlus Sunnah wal Jamaah bersih dari semua itu, ia penuh dengan kecintaan, penghormatan, penghargaan kepada sahabat Nabi sesuai dengan kedudukan mereka. Ahlus Sunnah mencintai sahabat Nabi dan mengunggulkannya di atas seluruh manusia karena mencintai mereka termasuk mencintai Rasulullah dan mencintai Rasulullah termasuk mencintai Allah.
Lidah mereka bersih dari hinaan, celaan, laknat, pemberian gelar fasik, kafir dan lain-lain yang dilontarkan oleh ahli bid’ah , mereka adalah Udul ( Udul jama’ dari Adil . ( Menurut bahasa Adl yaitu : “Adalah” atau ‘Adl lawan dari Jaur yang artinya kejahatan. Rojulun ‘Adlmaksudnya : Seseorang dikatakan adil yakni seseorang itu diridhai dan diberi kesaksiannya.(Lihat Kamus Muktarus- Shihah hal. 417 cet. Darul Fikr). Menurut Istilah ahli : Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru’ah”. ( Nuzhatun Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar hal. 29 cet. Maktabat Thayibah tahun 1404H).
Jika hati mereka bersih dari semua itu berarti mereka sarat dengan pujian, doa ridha dan rahmat kepada mereka serta istighfar dan lain-lain.
Hal itu karena perkara-perkara berikut:
Pertama : Mereka adalah generasi terbaik di seluruh umat sebagaimana secara jelas dinyatakan oleh Rasulullah, “Sebaik-baik manusia adalah abadku kemudian orang-orang sesudah mereka kemudian orangorang sesudah mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua : Mereka adalah perantara antara Rasulullah dengan umat, dari merekalah umat menerima syariat.
Ketiga : Jasa penaklukan yang besar lagi luas melalui tangan mereka. Dengan wasilah mereka lah negeri-negeri dapat merasakan hidayah iman dan islam.
Keempat : Mereka menebarkan kemuliaan di kalangan umat, Kejujuran, nasihat, akhlak dan adab yang tidak ada di selainnya. Hal ini tidak diketahui oleh orang yang membaca tentang mereka dari balik tembok, bahkan hal ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang hidup dalam sejarah mereka dan mengenal keutamaan-keutamaan, jasa-jasa, pengorbanan-pengorbanan dan ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
III. Di antara Dalil-dalil yang Menetapkan Keutamaan Sahabat
Firman Allah Taala, “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaanNya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al- Hasyr: 8). Ayat ini tentang orang-orang Muhajirin.
Firman Allah Taala, “Dan orangorang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum ( kedatangan ) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9). Ayat ini tentang orang-orang Anshar.
Nabi saw bersabda, “Jangan mencela sahabatku, demi dzat yang jiwaku berada di tanganmNya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas seperti gunung Uhud maka ia tetap tidak menandingi satu mud bahkan setengahnya yang diinfakkan oleh salah seorang dari mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah berbicara kepada Khalid bin al-Walid ketika terjadi peselisihan antara dirinya dengan Abdur Rahman bin Auf tentang Bani Judzaimah, maka Nabi bersabda kepada Khalid, “Jangan mencela sahabatku.” Dan yang harus diperhatikan adalah keumuman lafazh.
Tanpa ragu Abdur Rahman bin Auf dan orang-orang yang seangkatan dengannya lebih afdhal daripada Khalid bin al-Walid dari segi masuk Islam yang lebih dahulu daripada dia oleh karena itu Nabi bersabda, “Jangan mencela sahabatku.” Sabdanya ini tertuju kepada Khalid dan orang-orang sepertinya.
Apabila ada seseorang berinfak emas seperti Uhud, maka nilainya tidak menandingi satu mud atau setengahnya yang diinfakkan oleh sahabat, padahal infaknya sama, pemberinya sama dan yang diberi sama, sama-sama manusia akan tetapi manusia tidaklah sama, para sahabat itu memiliki keutamaan, kelebihan, keikhlasan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh selain mereka, keikhlasan mereka besar, ketaatan mereka kuat, maka mereka mengungguli siapa pun dari selain mereka dalam perkara infak.
Larangan dalam hadits di atas menunjukkan pengharaman. Tidak halal bagi siapa pun mencela sahabat secara umum tidak pula mencela satu dari mereka secara khusus. Jika ada yang mencela mereka secara umum maka dia kafir bahkan tidak ada keraguan pada kekufuran orang yang meragukan kekufurannya. Jika ada yang mencela secara khusus maka pendorongnya diteliti terlebih dahulu karena bisa jadi dia mencela karena alasan bentuk tubuh atau prilaku akhlak atau agama, masing-masing memiliki hukumnya.
Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata:
وَخَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّها –عَلَيْهِ السَّلاَمُ – أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ ثُمَّ عُثْمانُ بْنُ عَفّانَ ثُمَّ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طالِبٍ –رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ-, وَهُمُ الْخُلَفاءُ الرّاشِدُوْنَ الْمَهْدِيُّوْنَ.
وَالتَّرَحُّمُ عَلَى جَمِيْعِ أَصْحابِ مُحَمَّدٍ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَعَلَى آلِهِ, وَالْكَفُّ عَمّا شَجَرَ بَيْنَهُمْ.
[Terjemah]
Manusia terbaik dari umat ini sepeninggal Nabinya -alaihissalam- adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Al-Khaththab, kemudian Utsman bin ‘Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib -radhiallahu anhum-, dan mereka (berempat) ini adalah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan hidayah.
Dan (termasuk sunnah) memintakan rahmat untuk semua sahabat Muhammad -shallallahu alaihi wasallam- dan untuk seluruh keluarga beliau. Serta menahan diri dari semua perseteruan yang terjadi di antara mereka (para sahabat).
[Syarh]
Pada point ini, Ibnu Abi Hatim rahimahullah ingin menjelaskan mengenai akidah yang benar dalam menyikapi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam secara umum, dan para khalifah yang empat secara khusus. Bahwasanya secara umum, seluruh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam merupakan manusia yang paling utama di muka bumi ini sepeninggal Nabi mereka. Dan secara khusus, ahlussunnah menetapkan adanya perbedaan kedudukan dan keutamaan di antara sesama sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan yang berada pada puncaknya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali radhiallahu anhum ajma’in.
Dalil-Dalil Tentang Keutamaan Sahabat.
Ada banyak dalil dari Al-Qur`an dan as-sunnah yang shahih, yang menjelaskan tentang keutamaan sahabat secara umum. Di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” (QS. Al-Baqarah: 137)
Dan ‘kalian’ dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Allah Ta’ala telah menjadikan keimanan mereka sebagai tolak ukur dan timbangan bagi keimanan manusia selain mereka, baik yang hidup di saman mereka maupun yang akan datang sepeninggal mereka. Ini menunjukkan mereka adalah manusia yang terbaik dan yang paling sempurna keimanannya.
Allah Ta’ala berfirman:
قَالَ عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاءُ ۖ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ ۚ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
”Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka.” (QS. Al-A’raf: 156-157)
Allah Ta’ala berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)
Adapun dari as-sunnah, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abdullah bin Busr radhiallahu anhu:
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَطُوْبَى لِمَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَلِمَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي
“Keberuntungan bagi orang yang melihatku (para sahabat), keberuntungan bagi orang yang melihat orang yang melihatku (tabi’in), keberuntungan bagi orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku (atba’ut tabi’in) dan beriman kepadaku”. (HR. Al-Hakim no. 7095 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1254)
Dari Abdullah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 3378 dan Muslim no. 4601)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata -dan ini adalah marfu’ hukman-:
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hamba dan Dia mendapati hati Muhammad r adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba, maka Dia pun memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para sahabat adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Dia pun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya yang mereka itu berperang dalam agama-Nya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”. (HR. Ahmad: 7/453)
Imam Al-Qolsyany -rahimahullah- berkata, “As-salaf ash-shalih, mereka adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya, yang mendapatkan hidayah dengan hidayah Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang menjaga sunnah-sunnahnya. Allah telah memilih mereka untuk bersahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya.”
IV. Ahlus Sunnah Mengakui dan Menerima Keutamaan dan Kedudukan Sahabat
Keutamaan adalah apa yang dengannya seseorang mengungguli orang lain dan ia dianggap sebagai kebanggaan baginya. Kedudukan adalah derajat, para sahabat memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Keutamaan dan kedudukan yang ada bagi sahabat Nabi diterima oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sebagai contoh Ahlus Sunnah menerima banyaknya shalat atau sedekah atau puasa atau haji atau jihad atau keutamaan-keutamaan lain dari mereka. Ahlus Sunnah menerima – contohnya – keutamaan Abu Bakar yang hadir kepada Nabi dengan seluruh hartanya pada saat Nabi mendorong sahabat bersedekah. Ini adalah keutamaan.
Ahlus Sunnah menerima keterangan yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah bahwa Abu Bakarlah seorang yang menemani Rasulullah dalam hijrah di gua. Mereka menerima sabda Nabi tentang Abu Bakar, “Sesungguhnya orang yang paling banyak jasanya terhadapku dalam harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Begitu pula keterangan-keterangan tentang keutamaan Umar, Usman dan Ali dan sahabat-sahabat yang lain. Semua itu diterima oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Begitu pula dengan derajat, Ahlus Sunnah wal Jamaah menerima keterangan tentang derajat mereka. Derajat tertinggi umat ini diraih oleh khulafa’ rasyidin, yang tertinggi dari mereka adalah Abu Bakar kemudian Umar kemudian Usman kemudian Ali.
V. Antara Sahabat Sebelum dan Sesudah al-Fath
Ahlus Sunnah mengunggulkan sahabat yang berinfak dan berperang sebelum Fath, yakni perjanjian damai Hudaibiyah atas sahabat yang berinfak dan berperang sesudahnya.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allahlah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan. Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.” (Al-Hadid: 10).
Orang-orang yang berinfak dan berperang sebelum perdamaian Hudaibiyah lebih afdhal daripada orang-orang yang berinfak dan berperang setelahnya. Perdamaian Hudaibiyah terjadi pada bulan Dzulqa’dah tahun enam hijriyah. Orang-orang yang masuk Islam berinfak dan berperang sebelum itu adalah lebih baik daripada orang-orang yang berinfak dan berperang sesudahnya.
VI. Keutamaan Sahabat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110).
Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah ke Madinah.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang benar adalah ayat ini umum mencakup seluruh umat di setiap zaman. Dan sebaik-baik mereka adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus bersama mereka (yaitu para sahabat), kemudian yang setelah mereka, kemudian yang setelah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 2:83)
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan sebuah kalimat yang sangat indah, ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba, maka Dia mendapati hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-sebaik hati para hamba-Nya, lalu Allah memilih dan mengutusnya untuk menyampaikan syariat-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba setelah hati Muhammad, maka Dia mendapati hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka para penolong nabi-Nya, memerangi musuh untuk membela agama-Nya. Apa yang baik menurut kaum muslimin (para sahabat) adalah baik menurut Allah, dan apa yang menurut kaum muslimin (para sahabat) jelek maka hal itu menurut Allah adalah jelek.” (Majmu’uz Zawaid lil Haitsumi, 1:177).
Ibnu Umar mengatakan, “Siapa saja yang ingin meneladani (seseorang), maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal dunia, merekalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka sebaik-baik umat ini, paling dalam ilmunya dan paling sedikit bebannya –karena setiap ada masalah mereka bisa langsung bertanya kepada nabi-, mereka adalah suatu kaum yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih untuk menemani nabi-Nya dan membawa syari’at-Nya, maka teladanilah akhlak-akhlak mereka dan jalan hidup mereka. Karena mereka para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (Hilyatul Auliya, 1:205-206).
VII. PERINTAH MENELADANI PARA SAHABAT
Banyak sekali dalil-dalil dari Alquran maupun sunah yang memerintahkan kita untuk meneladani para sahabat, di antaranya:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).
Dan dalam hadist:
Dari Abu Burdah dari bapaknya ia berkata: “Selepas kami shalat maghrib bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami katakan, ‘Bagaimana bila kita tetap duduk di masjid dan menunggu shalat isya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka kami pun tetap duduk, hingga keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat isya. Beliau mengatakan, ‘Kalian masih tetap di sini?’ Kami katakan, ‘Wahai Rasulullah kami telah melakukan shalat maghrib bersamamu lalu kami katakan, alangkah baiknya bila kami tetap duduk di sini menunggu shalat isya bersamamu.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian benar.’ Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit lalu berkata, ‘Bintang-gemintang itu adalah para penjaga langit, apabila bintang itu lenyap maka terjadilah pada langit itu apa yang telah dijanjikan, aku adalah penjaga para sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan, dan para sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan.’”(HR. Muslim 7:183).
Al-Imam An-Nawawi mengatakan, “Makna hadis di atas adalah selama bintang itu masih ada maka langit pun akan tetap ada, apabila bintang-bintang itu runtuh dan bertebaran pada hari kiamat kelak maka langit pun akan melemah dan akan terbelah dan lenyap. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku adalah penjaga para sahabatku, bila aku tiada maka akan menimpa mereka apa yang telah dijanjikan’, yaitu akan terjadi fitnah, pertempuran, perselisihan, dan pemurtadan. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Para sahabatku adalah para penjaga umatku, apabila para sahabatku telah tiada maka akan menimpa umatku apa yang telah dijanjikan’ (Syarh Shahih Muslim, 16:83).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda di dalam hadits 'Irbadh bin Sariyah,
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور
Wajiblah atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang berpetunjuk sepeninggalku,gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Hati-hatilah kalian terhadap hal-hal baru(dalam agama)(HR Tirmidzi)
Khulafaurrasyidin adalah:Abu Bakar,Umar,Usman dan Ali, radhiallahu anhum. Allah ta'ala pernah menurunkan firman Nya tentang kemuliaan Abu Bakar dalam beberapa ayat Al Quran.
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kalian bersumpah bahwa mereka(tidak)akan memberi(bantuan)kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah,dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada (An Nuur:22)
Tidak ada yang memperselisihkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Abu Bakar yang di sifati dengan keutamaan,Allah meridhoinya.
Allah berfirman lagi,
Sedang ia adalah salah seorang di antara dua orang di dalam gua (At Taubah:40)
Bahwa ayat tersebut juga tentang Abu Bakar juga tidak ada yang memperselisihkannya. Allah menjadi saksi atas persahabatannya dan Allah memberikan berita gembira dengan kedamaian. Ia juga dihiasi dengan kata Tsaniya itsnaini(satu diantara dua) sebagaimana Umar bin Khatab berkata, siapakah yang lebih mulia daripada satu di antara dua orang sedang Allah yang ketiganya.
Allah ta'ala berfirman,
Dan orang yang membawa kebenaran(Muhammad) dan membenarkannya,mereka itulah orang-orang yang bertakwa.(Az Zumar:33)
Imam Ja'far Ash Shadiq.rhm berkata, tidak ada yang memperselisihkan bahwa yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah dan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Kedudukan apalagi yang lebih mulia daripada kedudukannya? Allah telah meridhoi mereka semua.
VIII.POTRET KECINTAAN PARA SAHABAT KEPADA RASULULLAH
Seorang shahabiyah (sahabat wanita) mulia, yang bapaknya, saudaranya dan suaminya terbunuh di Perang Uhud tatkala dikabari berita duka tersebut justru ia malah bertanya bagaimana keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu dikatakan kepadanya, “Beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) baik-baik saja seperti yang engkau harapkan.” Dia menjawab, “Biarkan aku melihatnya.” Tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia mengatakan, “Sungguh semua musibah terasa ringan wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali bila hal itu menimpamu.” (Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 2:99).
Seorang sahabat mulia yang keluarganya adalah Quraisy, ia ditangkap oleh Quraisy untuk dibunuh, maka berkata Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Zaid, semoga Allah menguatkanmu, apakah engkau senang bila Muhammad menggantikan posisimu sekarang untuk dipenggal kepalanya sedang engkau duduk manis bersama keluargamu..?!! Maka spontan Zaid menjawab, “Demi Allah, sungguh tidakkah aku senang bila Muhammad sekarang tertusuk duri di tempatnya, sedang aku bersenang-senang bersama keluargaku.” Abu Sufyan pun mengatakan, “Saya tidak melihat seorang pun yang kecintaannya melebihi kecintaan sahabat-sahabat Muhammad kepada Muhammad.” (Sirah Nabawiyyah Libni Hisyam, 3:160).
Abu Thalhah radhiallahu’anhu pada waktu Perang Uhud, beliau membabi buta melemparkan panah-panah ke arah musuh hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada sedikit rasa iba kepada musuh. Maka Abu Thalhah radhiallahu’anhu, “Demi bapak dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah, jangan engkau merasa iba dengan mereka, karena panah-panah mereka telah melukai dan menusukmu, sesungguhnya leherku jadi tameng lehermu.” (HR. Bukhari, no.3600 dan Muslim, no.1811).
IX.HUKUM MENCELA SAHABAT
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُّهِينًا
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. al-Ahzab: 57).
Orang-orang yang menyakiti para sahabat berarti mereka telah menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan siapa saja yang menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti telah menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa pun yang menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dia adalah orang yang melakukan perbuatan dosa yang paling besar bahkan bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian mencela sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud maka tidaklah menyamai 1 mud mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari, no.3470 dan Muslim, no.2540).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Barang siapa mencela sahabatku, atasnya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, para malaikat dan manusia seluruhnya.” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabi, 12:142 dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadis Ash-Shahihah, no.2340).
Masih banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan kemuliaan para sahabat dan haramnya mencela apalagi mencaci para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan kewajiban kita adalah memuliakan mereka karena mereka telah memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Inilah manhaj (metode) yang ditempuh oleh ahlus sunnah wal jama’ah. Siapa saja yang menyimpang dari metode ini berarti mereka adalah orang-orang yang tersesat dari jalan yang benar.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Termasuk hujjah (argumentasi) yang jelas adalah menyebut kebaikan-kebaikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya, dan menahan lisan dari membicarakan keburukan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka. Siapa saja yang mencela para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah satu di antara mereka, mencacat dan mencela mereka, membongkar aib mereka atau salah satu dari mereka maka dia adalah mubtadi (bukanlah ahlussunnah), rafidhi (Syi’ah) yang berpemikiran menyimpang. Mencintai para sahabat adalah sunah, mendoakan kebaikan untuk mereka adalah amalan ketaatan, meneladani mereka adalah perantara (ridha-Nya), mengikuti jejak mereka adalah kemuliaan. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, tidak dibenarkan bagi seorang pun menyebut-menyebut kejelekan mereka, tidak pula mencacat atau mencela dan membicarakan aib salah satu di antara mereka.” Wallahu a’lam.
al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Ba'Alawy
Sahabat di ciptakan Allah Taala, dan Allah menjadikan para sahabat sebagai manusia pilihan (Mukhtar kuluhum). Walaupun adakalanya diantara sahabat terjadi perselisihan, setelah Rasulullah Saw. tidak ada. Untuk menunjukan para sahabat itu pilihan Allah Taala, dan mereka mempunyai kedudukan yang istimewa disisi Allah; orang-orang yang pernah bermuwajahah, bertatap muka dengan Rasulullah Saw., diberi keistimewaan. Apa diantaranya? Untuk menjawabnya saya akan mengambil analogi dari peristiwa Isra mi’raj. Keterangan ini mungkin agak musykil, sukar, mungkin karena anda jarang mendengar.
Analogi keistimewaan sahabat dalam peristiwa Mi’raj
Nabiyullah Musa as., diantara Nabi-nabi yang mendapatkan nurnya Rasulullah Saw. Kemungkinan, sedikit banyak, Nabi Musa As. mendapat ‘Nur 'min amalil ubudiah', pancaran cahaya karena kesalehan, bukan 'nur' pertama kali nabi di ciptakan oleh Allah Swt. Dasarnya apa? Ketika Rasulullah menghadap Allah Swt., pada waktu Mi’raj.
Pada waktu Mi’raj, Rasulullah Saw bertemu kepada Allah, dan langsung diberi tugas sholat lima puluh waktu. Yang minta, mengusulkan dikurangi, karena alasan umatmu tidak kuat, lima kali-lima kali, siapa? Nabiyullah Musa. Permasalahannya disini, ketika Nabiyullah Musa bertemu dengan Rasulullah Saw., setelah menerima tugas lima puluh waktu, Rasulullah Saw. baru kembali dari bertemu dengan Allah.
Pada kesempatan itu Rasulullah Saw. membawa Nur atsar nadzor ila wajhil karim, cahaya bekas melihat Allah secara langsung. Begitu ketemu dengan Nabiyullah Musa As., yang terpantul dari cahaya, barokah nadzor ila wajhil karim yang pertama kali mendapat siapa? Nabiyullah Musa. Begitu Nabiyullah Musa As mengusulkan lagi; umatmu tidak kuat, balik lagi, menghadap kepada Allah Taala. Begitu ketemu, Rasulullah Saw. membawa tambah nurnya. Yang pertama mendapat berkah lagi dari pertemuan Rasulullah Saw. dengan Allah Taala siapa? Nabi Musa As. Itu hebatnya.
Walaupun Nabiyullah Musa As. di gunung Turisina ingin melihat Allah tidak bisa, karena ketika munajat saja melihat wibawanya Allah ‘kâna shaiqan’, pingsan. Tapi mendapat ganti karena melihat Rasulullah Saw. pada waktu Mi’raj. Mendapat nur min Rasulullah, atsaran kamilah, mendapat cahaya Rasulullah Saw. secara sempurna, itu hebatnya.
Setelah Nabi Saw. turun dari langit bertemu dengan para Sahabat, setelah Nabiyullah Musa, yang kedua yang mendapat barakah 'nur nadzor ila wajhil karim' siapa? Sahabat. Ini hebatnya. Keterangan ini mungkin baru anda dengar.
Dengan dasar ini, para sahabat mendapat dua nur, nur atsar minadzor ila wajhil karim, yang kedua mendapatkan cahaya Rasulullah Saw. Saban hari, mereka duduk, ruku, sujud dan sebagainya, bersama-sama dengan Rasulullah. Walaupun antara sahabat ada kontroversi, seperti Muawiyah contohnya.
Secara pandangan Ahlu Sunah wal Jamah, apapun ijtihad Muawiyah adalah salah, tapi Ahlu Sunah tetap dalam pendirian; tidak ada hak untuk mengakfirkan kepada Muawiyah. Atau mengecap sebagai kafir. Tetap memuliakan kedudukan Muawiyah sebagai sahabat.
Wajar, karena sahabat adalah bukan maksum sebagaimana para nabi. Para sahabat hanya mendapatkan mahfudz minallah, penjagaan dari Allah Taala. Dan mahfudz dari Allah Taala itu bertingkat, tidak sekaligus semua mendapatkan mahfudz. Bertingkat, sebagaimana ubudiahnya para sahabat-sahabat itu sendiri.
Walaupun demikian, untuk menutupi kekurangan sahabat yang pada waktu itu terkadang melakukan kekhilapan. Keturunananya itu diangakat menjadi wali Quthbil Gaust, itu banyak. Diantaranya siapa? Umar bin Abdul Aziz masih ada darah dari Muawiyah.
Cucunya sendiri menjabat Quthbil Gaust; Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah. Beliau seorang Quthbil Gaust di jamannya. Luar biasa kan! Ini membuktikan kemuliaan Maqomah (kedudukan) sahabat. Makanya jangan sembarangan, dewe melu-melu nyacat sahabat, kita jangan sembarangan kita ikut-ikutan mencela sahabat.
Sahabat itu, tadi, disamping Mukhtar minallah, pilihan dan diangkat oleh Allah. Dalam pengangkatan sahabat juga disaksikan baginda Nabi. Yaitu dengan pengikraran keimanan mereka yang disaksikan oleh Nabi Saw. Kesaksian Rasulullah Saw. ini di kuatkan oleh Allah, dalam surat Fatah ayat 29: “Muhammad Rasulullah walladzina maahu assyida’u ala al Kuffar, ruhama’u bainahum, tarâhum rukkaan, sujjadan, yabtaghuna fadzla minallah waridhwana, simahum fi wujuhihim min atsari sujud”, Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. ‘Yatal’la’ nuruhum min atsari sujud’, mukanya semakin bercahaya karena sujudnya kepada Allah. Bukan karena jidat nempel terus pada tempat sujud. Allah taala memberikan atsar, atsari sujud yatala’la minnuri sujud, dari tawadhu-nya, dari tauhidnya, dari keyakinnanya, dari makrifatnya, dari sujudnya, bukan min atasril karpet, bukan bekas karpet.
Dari orang-orang yang demikian, sahabat dibagi beberapa macam, ada yang tingkatan aulia, ada yang hanya tingkatan ulama. Jadi setiap sahabat pada jaman sahabat pasti ulama, setiap ulama pasti sahabat. Tapi setelah sahabat, at Tabiin, tidak pasti ulama. Walaupun dalam tingkatnya masing-masing.