KHR Asnawi Kudus

Kudus adalah daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota Santri dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara Kudus.

Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan Kudus, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi kemudahan dalam berbagai urusan. Di antara deretan nisan di komplek makam tersebut, terdapat makam KH Raden Asnawi. Salah seorang ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati.

KH R Asnawi merupakan salah seorang panutan di Kudus dan sekitarnya. Hal itu tak lepas dari sepak terjangnya ketika masih hidup. Tidak heran, jika sampai sekarang jejak keilmuannya masih terus berkembang.

Di antaranya, lembaga pendidikan yang telah didirikan. Seperti Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin dan Madrasah Qudsiyyah.

Dikutip dari buku Kyai Tanpa Pesantren (Potret Kyai Kudus) karya Prof H Abdurrahman Mas’ud, PH D.

Kelahirannya

K.H.R.Asnawi dilahirkan di kampung Damaran kota Kudus pada tahun 1281 H (1861 M ),  beliau adalah putra dari H.Adallah Husnin dengan R.Sarbinah. Beliau termasuk keturunan Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) keturunan yang ke 14 dan keturunan ke 5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang wali keramat dari desa Kajen Margoyoso kabupaten Pati sebelah utara yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.

Pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih. Tempat tinggal Mbah Sulang begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak pembarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan.

Tempat tinggal mbah Sulangsih begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak mbarep (paling tua). Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus Kulon, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan. Tradisi semacam ini sudah dimulai semenjak nenek moyang. Kedatangan tamu untuk menengok bayi biasanya diikuti dengan tentengan (bawaan) berupa gula, teh dan kebutuhan dapur lainnya. setelah mereka pulang, tuan rumah juga membalasnya dengan hadiah berupa makanan, masyarakat menyebut dengan balen.

H. Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konfeksi. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.

H. Abdullah Husnin menginginkan kelak anaknya pandai di bidang agama dan piawai dalam berdagang. Demi keinginan mulyanya, Abdullah Husnin mulanya mengajari anaknya sendiri. Sebab di Damaran, syarat hidup sempurna dalam masyarakat beragama Islam adalah mahir membaca Alquran.

Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran Islam. Selain itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini. Kemudian semenjak usia 15 tahun, pada kisaran tahun 1876 M. orang tuanya memboyong ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana H Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang.

Keinginannya mencetak putra sholih mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu. Selain mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian melanjutkan mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara, sebelum pergi haji.

Pergantian Nama dan Mengajar Agama

Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama.

Kira-kira umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.

Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.

Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljama’ah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai. Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KHR. Asnawi).

Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui pengakuan masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak KHR. Asnawi berumur 25 tahun. Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR. Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat Shubuh.

Secara khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam.

Kegiatan tabligh KHR. Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora.

Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat Asnawiyyah.”  Selain itu karya Asnawi seperti Soal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syi’ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.

Mukim di Tanah Suci

Di Makkah, KHR. Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi al-Bantani), KHR. Asnawi pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj. Hamdanah ini, KHR. Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga tua. Yaitu KH. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).

Selama bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, KHR. Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kyai Indonesia yang pernah menjadi gurunya adalah KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten) dan Sayid Umar Shatha.

Selain itu, KHR. Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di antara yang ikut belajar padanya, antara lain adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), KH. Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH. Dahlan (Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu pati), KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KHA. Mukhit (Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR. Asnawi turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawan-kawannya yang lain.

Pada waktu bermukim ini, KHR. Asnawi pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu KHR. Asnawi bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan KHR. Asnawi dan Syeikh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwanya. (sayang, catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang keluarga KHR. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas, meskipun sudah diberitahu).

Melihat tulisan dan jawaban KHR. Asnawi terhadap tulisan Syeikh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan KHR. Asnawi. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syeikh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KHR. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada KHR. Asnawi dan diatur agar KHR. Asnawi nanti yang melayani mengeluarkan jamuan.

Sesudah shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syeikh Hamid Manan dan KHR. Asnawi sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap, bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa” (Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk KHR. Asnawi yang sedang duduk di pojok, sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan, Mufti segera berdiri dan mendekat KHR. Asnawi, seraya membuka kopiah dan diciumlah kepala KHR. Asnawi sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek kepada Syeikh Hamid Manan: “Sungguh saya telah salah sangka, setelah berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya yang kecil dan rapih”.

Madrasah, Masjid Menara dan Penjara

Saat menjenguk kampung halamannya, bersama kawan-kawannya KHR. Asnawi mendirikan Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916 M). Dan tidak berselang lama, KHR. Asnawi juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itulah, terjadi huru-hara pada tahun 1918 H. Di mana KHR. Asnawi dan kawan-kawannya terpaksa menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah Belanda yang menghina Islam.

Di tengah-tengah umat Islam bergotong royong membangun Masjid Menara siang malam, orang-orang Cina malah mengadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Para Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam pun mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawai lewat depan masjid Menara, karena banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari.

Permintaan itu tidak digubris. Pawai tetap digelar. Ironisnya, dalam rentetan pawai itu, juga menampilkan adegan yang sangat menghina umat Islam. Di mana ada dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menyebutnya Cengge. Pawai Cina yang datang dari depan masjid Manara menuju selatan, itu pun berpapasan dengan santri-santri yang sedang bergotongroyong mengambil pasir dan batu dengan grobak dorong (songkro). Kedua pihak tidak ada yang mengalah. Hingga terjadi pemukulan terhadap seorang santri oleh orang Cina.

Pemukulan terhadap salah seorang santri ditambah adanya Cengge itulah, insiden Cina-Islam di Kudus yang dikenal dengan huru hara Cina, terjadi. Ejekan dan hinaan dari orang-orang Cina terus saja terjadi. Hingga orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan. Para Ulama memandang beralasan untuk mengadakan pembelaan, namun tidak sampai pada pembunuhan.

Ironisnya, dalam insiden tersebut, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina. Dan tanpa sengaja, menyentuh lampu gas pom yang menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.

Kejadian inilah yang berbuntut penangkapan terhadap KH. Asnawi dan rekannya KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman 3 tahun.

Tidak sekali saja KHR. Asnawi di penjara. Pada zaman penjajahan Belanda, KHR. Asnawi  sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya. Pun pada masa pendudukan Jepang. KHR. Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok KHR. Asnawi dikepung oleh tentara Dai Nippon. KHR. Asnawi pun dibawa ke markas Kempetai di Pati.

Meski sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR. Asnawi tidak pernah berhenti berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan di dalam penjara sekalipun, KHR. Asnawi tetap melakukan amar ma’ruf nahi munkar. KHR. Asnawi tetap membuka pengajian di penjara. Banyak kemudian di antara para penjahat kriminal yang dipenjara bersamanya, kemudian menjadi murid KHR. Asnawi.

Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi militer Belanda ke-1, KHR. Asnawi mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan do’a surat Al-Fiil. Tidak sedikit pemuda-pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan meminta bekal ruhaniyah sebelum berangkat ke medan pertempuran melawan penjajah.

Larangan Berdasi dan Prinsip Perjuangan

Dalam memperjuangkan Islam, KHR. Asnawi memiliki pendirian yang teguh. Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak, sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan kaum kafir. Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bagi KHR. Asnawi, segala hal yang dilaksanakan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Bahkan tidak segan-segan KHR. Asnawi memfatwakan hukum agama dengan sangat tegas, anti-kolonialisme, seperti mengharamkan segala macam bentuk tasyabbuh (menyerupai) perilaku para penjajah dan antek-anteknya.

Salah satu diantara fatwanya yang keras ini adalah larangan untuk memakai berdasi dan menghidupkan radio, termasuk menyerupai gaya jalan orang-orang kafir (Belanda dan China). Fatwa larangan berdasinya ini sangat terkenal, hingga suatu ketika KH Saifuddin Zuhri melepaskan dasi dan sepatunya ketika mengunjungi KHR. Asnawi. KH Saifuddin Zuhri kala itu sedang menjabat Menteri Agama, namun demi menghormati KHR. Asnawi, ia bertamu hanya dengan memakai sandal tanpa dasi.

Kemauan keras KHR. Asnawi agar Islam tetap eksis tanpa campur tangan penjajah kafir sudah menjadi pertaruhan jiwa dan raganya. KHR. Asnawi memadukan pola keulamaan dan gerakan taushiyah dengan pesan melaksanakan jihad atas pemberontakan bangsa kafir.

Pada kisaran tahun 1927 M. KHR. Asnawi membangun pondok pesantren di Desa Bendan Kerjasan Kudus, di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan dukungan dari para dermawan dan umat Islam. Pada tahun ini pula, Charles Olke Van Der Plas (1891-1977), seorang pegawai sipil di Hindia Belanda, pernah datang ke rumah KHR. Asnawi untuk meminta kesediaannya memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas KHR. Asnawi menolak penawaran tersebut.

Dalam pandangan KHR. Asnawi, jika dirinya diangkat sebagai penghulu, maka tidak akan lagi dapat bebas melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat. Beda halnya jika tetap menjadi orang partikelir, ia dapat berdakwah tanpa harus menanggung rasa segan (ewuh pakewuh).

Pada tahun 1924 M. KHR. Asnawi ditemui oleh KH Abdul Wahab Chasbullah Jombang untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan akidah Ahlussunah wal Jamaah dan menyetujui gagasan tamu yang pernah belajar kepadanya ini. Selanjutnya, bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M. KHR. Asnawi turut membidani lahirnya jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).

Semasa hidupnya, KHR. Asnawi KH. Raden Asnawi telah berjasa besar bagi Islam dan bangsa Indonesia melalui keterlibatannya dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Selain itu, KHR. Asnawi juga menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan, seperti Semaun, H Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto.

Sewaktu kembali ke Kudus pada tahun 1916 M beliau dikawinkan dengan adik khatib Khair di Kudus bernama Subandiyah tetapi tidak dianugerahi anak hingga wafat.

Sejak mudanya beliau memang senang berjuang dimulai dari kegiatannya mengajarkan ilmu agama islam, kemudian beliau memegang amanat sebagai seorang komisaris sarikat islam di Mekah Arab Saudi.

Sesudah kembali ke kudus dari Mekah pada tahun 1916 M beliau bergabung dengan kawan-kawannya dalam gerakan sarikat islam.

Karena sosoknya itulah, masyarakat setempat menyebutnya Kiai Haji Raden Asnawi (KH R Asnawi). Selama hidup, KH R Asnawi memiliki pendirian teguh. Prinsip hidupnya keras dan watak perjuangannya terkenal galak. Hal ini tak lepas dari era saat itu. Yakni eranya penjajah. Bahkan tidak segan-segan KH R Asnawi menyatakan, produk kolonial diharamkan. Entah itu gaya berjalannya, berdasi atau menghidupkan radio.

Kehidupan beliau dihabiskan untuk menegakkan Islam. Beberapa daerah menjadi lokasi dakwahnya. Di antaranya, Kudus, Jepara, Demak, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, Blora dan lainnya. KH R Asnawi juga aktif mengikuti pertemuan ulama nasional mulai 1926-1956.

SUATU hari, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari merasa musykil ketika membaca sehelai surat yang disodorkan oleh puteranya, H. A. Wahid Hasyim. Kepada puteranya yang saat itu detemani oleh Saifuddin, pemimpin Ansor Banyumas, beliau memperlihatkan bagian-bagian isi surat yang dirasa amat berat. Kepada teman puteranya itu beliau menunjukkan surat berbahasa Arab tersebut dan mengatakan: “Aku merasa susah sekali, karena guru saya ini marah kepada saya. Masalahnya, karena saya mengizinkan terompet dan genderang yang dipakai anak-anak kita, Pemuda Ansor, padahal guru saya ini mengharamkan….”

Demikian sekelumit cerita yang dicatat KH. Saifuddin Zuhri dalam otobiografinya, Berangkat dari Pesantren. Saat itu buat pertama kalinya dia bertemu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari di kediamannya, Pesantren Tebuireng. Dalam Perjalannya menghadiri Muktamar NU ke-15 di Surabaya ia diminta oleh HA. Wahid Hasyim untuk mampir ke sana. Adapun orang yang dikatakan oleh Hadratussyekh sebagai gurunya yang mengirim surat tersebut tak lain adalah KH.R. Asnawi, salah seorang ulama sepuh, pendiri NU dari Kudus.

Meskipun tidak pernah menjadi muridnya langsung, Hadratussyekh menganggap KH.R. Asnawi sebagai gurunya. Yang segera tampak dari kisah tadi, bahwa watak dan sikap KH. R. Asnawi begitu tegas dan konsisten dalam melihat persoalan. Sesuai dengan teks yang termaktub dalam kitab fiqh, maka begitu pula pendapatnya yang harus diamalkan ― termasuk mengenai terompet dan genderang.

Mustasyar PBNU KH Sya’roni Ahmadi mengatakan, pendiri NU KHR Asnawi adalah sosok alim yang memiliki banyak kelebihan ilmu. Di masa hayatnya, Mbah KHR Asnawi mengajarkan berbagai ilmu agama serta mengarang kitab dan karya syi’iran.<>

“Beliau itu alim, istilah zaman sekarang ya sosok serba bisa ilmunya atau biasa disebut raden mas Ngabehi,” tuturnya dalam acara tahlil umum rangkaian peringatan Haul ke 57 KHR Asnawi di Komplek makam Masjid Menara Kudus.

KH Sya’roni menceritakan, Mbah Asnawi merupakan santri KH Nawawi Banten yang rajin mengajarkan ilmu agama. Bahkan, Mbah Asnawi mengaji ilmu tafsir Al-Qur’an dalam bulan puasa mampu mengkhatamkan dalam waktu 16 hari.

“Beliau ini selalu mengajar ngaji kitab kecil seperti Fathul Qorib. Kalau sore kitab bidayah dan Hikam, Subuh hadits Bukhori. Termasuk saat mengaji dengan ibu-ibu selalu melantunkan syi’iran dengan suara bagus,” imbuhnya.

KH Sya’roni menambahkan, pendiri NU yang wafat 24 Jumadil Akhir 57 tahun silam itu  mempunyai peninggalan berupa madrasah Qudsiyah dan pesantren Raudlatut Tholibin Bendan yang masih bisa dirasakan manfaatnya hingga sekarang. Sementara Sholawat Asnawiyah sampai kini masih diamalkan para santri di Kudus dan sekitarnya.

“Kanjeng Nabi bersabda, gambarannya orang mukmin itu seperti tawon (lebah), tidak mau makan kecuali yang baik-baik dan tidak meninggalkan sesuatu kecuali yang baik. Ini sama halnya Mbah Asnawi dengan bukti madrasah Qudsiyah dan pesantren,” tandas pengasuh pengajian rutin Masjid menara Kudus ini.

Saat mendirikan NU pertama kali, tutur KH Sya’roni, Mbah Asnawi menjabat sebagai mustasyar PBNU sedangkan KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar. “Beliau ini orang alim yang besar, semoga kita memperoleh keberkahan dari Mbah Asnawi. Menjadi murid yang baik, sholeh dan penuh mabruk,” katanya seraya mengakhiri dengan do’a.

 

Karya dan peninggalannya 

Mbah Asnawi juga melahirkan banyak karya: Fashalatan, Mu'taqad Seket, Fiqhun Nisa' dan Syi'ir-Syi'ran Nasehat. Yang paling khas dikenal dari karya Mbah Asnawi adalah shalawat Asnawiyyah. Karya-karya itulah yang sampai sekarang dilestarikan oleh murid-muridnya. 

Dalam hal karya tulis, Mbah Asnawi memiliki karakter seperti gurunya KH Muhammad Sholih bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat). Dua tokoh ini meninggalkan karya-karya yang menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Pegon al-Marikiyyah. Dalam hal ketegasan menolak penjajah, pengaruh Mbah Sholeh Darat dalam pribadi Mbah Asnawi sangat kuat. Terbukti Mbah Asnawi sangat menolak dasi, celana dan pakaian yang menyerupai Belanda.

Sikap itu juga dimiliki oleh Mbah Sholeh Darat yang ditulis dalam Kitab Majmu'atus Syari'ah halaman 25: "Sopo wonge nganggo penganggone liyani ahli Islam kaya klambi jas, topi utowo dasi, moko dadi murtad rusak Islame senadyan atine ora demen" (barang siapa yang memakai pakaian yang bukan milik Islam seperti jas, topi dan dasi, maka ia menjadi murtad dan Islamnya rusak. Walaupun hatinya tidak suka).

Dari profil singkat itu dapat diketahui, bahwa rasa kebangsaan yang dimiliki oleh Mbah Asnawi memang didasarkan ajaran-ajaran gurunya, termasuk meniru Rasulullah dalam memperjuangkan agama Islam. KHR Asnawi paham betul bahwa Indonesia saat itu sangat membutuhkan kekuatan Islam dengan model damai. Shalawat Asnawiyyah yang diciptakan itu menandakan bahwa pribadi Mbah Asnawi adalah pribadi ulama yang sangat kuat cinta bangsanya.

Isi dari shalawat ini adalah sebagai berikut:

يَا رَبِّ صَلِّ عَلَى الرَّسُوْ *  لِ مُـحَمَّدٍ سِرِّ العُلَا

وَالأَنْبِيَا وَالـمُرْسَلِيْــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ      * نَ الغُرِّ خَتْمًا أَوَّلَا

يَا رَبِّ نَوِّرْ قَلْبَنَـــــــــــــــــــــــــــــــــا  * بِنُوْرِ قُرْأَنٍ جَلَا

وَافْتَحْ لَــنَــــــــــــــــــا بِدَرْسِ أَوْ  * قِرَاءَةٍ تُرَتـَّـــــــــــــــــــــــلَا

وَارْزُقْ بِفَهْمِ الأَنْبِيَـــــــــــــــا   * لَنَا وَأَيَّ مَنْ تَلَا

ثَبِّتْ بِهِ إِيْـــمَانَـــنـَـــــــــــــــــــــــا  * دُنْيَا وَأُخْرَى كَامِلَا

أمان أمان أمان أمان   * بِانْدُنْسِيَا رَايَا أَمَانْ

أمين أمين أمين أمين   * يَا رَبِّ رَبَّ العَالـَمِيْن

أمين أمين أمين أمين   * وَيَا مُـجِيْبَ السَّائِلِيْن

Shalawat Asnawiyyah diterjemahkan oleh Ustadz Nur Amin (guru Qudsiyyah) sebagai berikut:

Wahai tuhanku berilah * sholawat kepada rasul

Baginda Nabi Muhammad * yang punya rahasia unggul

Dan para nabi dan rasul * awal akhir mulya betul

Wahai tuhanku berilah * sinar pada hati kami

Dengan cahaya Al-Qur'an * yang agung serta nan suci

Dan bukalah kami sebab * baca Qur'an yang teliti

Dan berilah rizqi dengan * kefahaman para nabi

Untuk kami orang-orang * yang membaca dan mengaji

Iman tetap sebab Nabi * dunia akhirat terpuji

Aman  aman  aman aman * aman aman aman aman

Aman  aman aman aman * aman aman aman aman

Aman  aman aman aman * Indonesia raya aman

Amin amin amin amin * Amin amin amin amin

Amin amin amin amin * ya perumat alam semesta

Amin amin amin amin * ya pengkabul para peminta

 

Dari sebelas bait shalawat Asnawiyyah ini meman terkandung makna yang sangat luar biasa. Ruh yang paling inti adalah pujian kepada Rasulullah Saw. Sebab esensi dari shalawat adalah sanjungan kepada Nabi Muhammad Saw yang memiliki rahasia kehidupan. Doa untuk penyinar hati juga disanjungkan dengan tuntunan Al-Qur'an. Rasa cinta kepada Al-Qur'an juga diaktualisasikan dengan mahirnya dalam membaca dan mengaji secara tartil. Dan itulah rizki yang sangat dinanti. Penguatan keimanan dan keselamatan dunia sangat dinanti. Doa yang dipanjatkan setelah itu adalah keamanan bagi bangsa Indonesia. Kalimat qabul disandarkan pada Allah Swt.

Itulah hebatnya shalawat Asnawiyyah yang jika dibedah memiliki lima dimensi yang tidak bisa dipisahkan: Pertama, dimensi ketuhanan. Bahwa semua orang yang hidup selalu bergantung pada kekuasaan Allah. Kedua, dimensi kenabian. Bahwa Rasulullah Saw adalah figur idola yang sangat dinantikan syafa'atnya. Ketiga, dimensi Qur'ani. Untuk memahami Islam yang perlu dipegang adalah Al-Qur'an dengan membaca isinya (paham bahasa Arab dan tafsir) dan ahli tarlil (paham tajwid dan ilmu Al-Qur'an). Keempat, dimensi teologi. Penegasan keimanan dalam agama Islam itu menjadi sangat penting sebagai bekal selamat di akhirat. Dan kelima, dimensi kebangsaan. Mbah Asnawi memberi pesan bahwa empat dimensi yang terkandung dalam isi shalawat itu tidak akan mudah diwujudkan jika negara dalam kondisi tidak aman. Maka doa untuk Indonesia aman, damai, gemah ripah loh jinawe itu yang dimaksudkan dari isi shalawat ini.

Jadi sangat mulia sekali isi shalawat ini. Dan perlu ditegaskan bahwa karya Mbah Asnawi yang berisi tentang nilai kebangsaan tidak hanya berupa shalawat Asnawiyyah ini. Hampir semua sya'ir-sya'ir yang dikaryakan selalu menyinggung tentang pentingnya cinta agama dan cinta bangsa Indonesia. Maka tepat jika, KH Musthofa Bisri menyebut bahwa KHR Asnawi adalah orang alim yang sangat Indonesia, bukan kearab-araban walaupun lama di Arab. Maka sudah saatnya kita mempopulerkan shalawat Asnawiyyah sebagai shalawat kebangsaan. Wallahu a'lam.

Tugas yang diamalkan ialah melasanakan tabligh dan nasehat keagamaan terutama dalam bidang tauhid dan fiqih, di samping itu  beliau ikut aktif dalam usaha pendirian Madrasah Qudsiyyah dan perluasan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa HURU-HARA KUDUS. Dimana beliau dengan kawan-kawan yang lain terpaksa harus mengahadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina agama islam.

Karena  adanya penghinaan dan pemukulan terhadap orang-orang islam di Kudus, orang-orang islam terpaksa mengadakan perlawanan dengan membakar rumah-rumah dan merampas barang-barang milik orang cina.

Dengan dalih mengadakan kerusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka parsa ulama’ ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. K.H.R. Asnawi pun ikut ditangkap dan dipenjara selama 3 tahun.

Di penjara beliau sempat menerjemahkan kitab Aljurumiyah ke dalam bahasa jawa. Tapi sayang terjemahan beliau tidak dicetak dan diedarkan. Di dalam penjara beliau juga mendapat perlakuan istimewa dari kepala penjara yaitu setiap makan beliau diberi roti dan juga susu. Ini berjalan sampai beliau keluar.

Sesudah keluar dari penjara K.H.R. Asnawi mendirikan sebuah pesantren di atas tanah wakaf dari K.H Abdullah Faqih, di tempat inilah  beliau melakukan tablibgh dan mengajar ilmu agama.

Pada tahun 1924 beliau ditemui oleh K.H Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah adanya benteng pertahanan aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Akhirnya beliau menyutujui gagasan K.H Abdul Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para ulama’ yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M mendirikan jama’ah Nahdlatul Ulama’, sehingga akhir hayatnya beliau ditaati dan didukung oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’.

Menurut penuturan cucu KHR Asnawi, KH Minan Zuhri Asnawi (almarhum), kakeknya sering diburu penjajah, baik pada masa pendudukan Belanda maupun Jepang. Pidato-pidato KHR Asnawi di hadapan masyarakat, khususnya umat Islam, dianggap provokatif dan membahayakan pemerintahan kolonial. Kiai yang juga menciptakan syaif Sholawat Asnawiyah tersebut, merupakan sosok yang sangat berpengaruh pada saat itu.

Keteguhannya dalam memperjuangkan kemerdekaan, dilakukan KHR Asnawi melalui pengajaran kepada masyarakat. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Kenepan, tak jauh dari kompklek Menara Kudus, untuk mengajarkan ilmunya. Madrasah tersebut dipercaya sebagian masyrakat Kudus, sebagai sekolah pertama yang berdiri di Kota Kretek. Madrasah Kenepan tersebut, kini telah berubah menjadi Madrasah Qudsiyyah.

Perjuangan memerdekakan bangsanya, tak hanya dilakukan melalui pendidikan dengan mengajarkan ilmu kepada masyarakat. Namun, KHR Asnawi juga aktif dalam dunia pergerakan. Beliau merupakan salah satu pendiri organisasi massa terbesar di Indonesia saat ini, yakni Nahdhatul Ulama (NU). Bersama sejumlah kiai di Jawa, termasuk KH Hasyim As’ari dan KH Wahab Hasbullah, KHR Asnawi mendirikan NU sebagai alat perjuangan melawan penjajah melalui perkumpulan.

Beberapa karomah yang dimilikinya adalah, membuat gentar penjajah Belanda. KH R Asnawi sempat ditahan oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai penggerak kerusuhan. Ketika di penjara itulah KH R Asnawi banyak menmhabiskan waktu untuk mengajar ilmu agama dan membaca shalawat kepada para penghuni penjara.

Konon, petugas penjara tidak sanggup menjaga KH R Asnawi karena setiap saat membaca shalawat. Ruangannya dibanjiri rakyat yang ingin belajar agama. Hingga para penjaga penjara menyerah dan akhirnya KH R Asnawi dibebaskan.

Karomah lain yang dimiliki KH R Asnawi adalah sanggup membuat musuh-musuhnya lari ketakutan dari jarak jauh. Hal itu dibuktikan ketika KH R Asnawi hendak ditangkap oleh penjajah untuk ketiga kalinya. Para penjajah kabur karena takut sebelum menangkap KH R Asnawi. Karena sering masuk penjara namun selalu berakhir bebas.

Jelang wafatnya, KH R Asnawi seolah mengetahui kalau dirinya akan pergi selama-lamanya. Pada Muktamar NU XII di Jakarta, KH R Asnawi mengikuti kegiatan. Beliau menginap di rumah H Zen Muhammad, adik kandung KH Mustain di Jalan H Agus Salim Jakarta. Muktamar digelar 12-18 Desember 1959.

Saat KH Mustain menjemput KH R Asnawi untuk datang ke lokasi muktamar. KH Mustain mendengar kalimat yang tak biasa. “Hai Mustain, inilah yang merupakan terakhir kehadiranku dalam Muktamar NU, mengingat keadaanku dan kekuatan badanku.”

Tercenganglah KH Mustain. “Kalau kyai tidak dapat hadir dalam muktamar, maka sangat kami harapkan doanya.” 

Benar saja, pada pukul 02.30 WIB Sabtu (26/12/1959) itu, KH R Asnawi bangun dari tidurnya untuk mengambil air wudu. Istrinya, Hamdanah menemaninya. Setelah itu, KH R Asnawi kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tak berdaya. Kalimat Syahadat adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya. Sekitar pukul 03.00 WIB, KH R Asnawi pulang ke Rahmatullah.

Berita wafatnya kiai besar itu juga disiarkan di RRI pusat Jakarta melalui berita pagi pukul 06.00. Warga Kudus khususnya, dan secara umum Rakyat Indonesia merasa kehilangan sosoknya.

Syahadatain Terakhir

KHR. Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB. KHR. Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).

Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullah ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KHR. Asnawi masih masih nampak segar bugar ketika turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta.

Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudlu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai Hj. Hamdanah, kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan dua kalimat syahadat (syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya ke rahmatullah.

Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang ditelephon oleh H.M. Zainuri Noor. (Disadur dari berbagai sumber oleh Syaifullah Amin)

Ribuan umat Islam memadati rumah duka untuk ta’ziyah sebagai penghormatan akhir kepada almarhum. Keluarga, murid dan masyarakat tumplek blek di rumah duka. Isap tangis dan dengung bacaaan tahlil mengiringi kesedihan muazziyyin. Dikisahkan oleh Minan Zuhri, halaman rumah duka mulai jam 04.00 waktu itu sudah penuh dengan tamu. Jenazah diberangkatkan dari rumah jam 16.30. Sebelumnya mulai jam 14.00 hingga jam 16.00 shalat jenazah dilaksanakan secara bergantian.

Keranda (cekatil) yang diusung dari rumah setelah selesai upacara pamitan menjadi rebutan para pelayat. Layaknya keranda yang ditempati mayat hanya digendong empat orang saja. Namun keranda pengangkat jenazah KH. R. Asnawi tidak begitu. Keranda dengan lurup hijau bertuliskan kalimat tahlil dengan dililiti kembang nampak berjalan sendiri. Pengusung keranda juga tidak terhitung dan saling silih berganti. Semua pelayat punya hasrat untuk menghormati Kyai dengan turut serta memanggul keranda. Keadaaan seperti itu semakin menjadikan keranda sulit berjalan dengan lancar. Sesekali bergoyang ke kanan dan ke kiri serta naik turun karena gonta–ganti pemanggul. Begitu seterusnya sampai di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Setelah dilaksanakan solat jenazah, keranda yang sebelumnya juga dilewatkan dua pintu kembar tidak mungkin kembali melewati rute seperti biasa .

Umumnya, setelah selesai shalat jenazah, rute yang ditempuh adalah kembali ke arah timur dari pengimaman dan kembali menyusup dua pintu kembar dan baru menuju ke pemakaman. Namun hal ini nampak aneh. Seusai shalat, keranda langsung diturunkan lewat jendela Masjid Menara dan diterima pengusung lainnya di bawah. Hal ini untuk menghindari terjadinya rebutan keranda seperti sebelumnya. Di samping itu pula maqbaroh-nya juga berada tepat berada di sebelah barat mihrab masjid. Tempat pemakaman di belakang pengimaman ini merupakan amanat almarhum sebelum meninggal dunia.

Sampai sekarang makam KH. R. Asnawi masih banyak dikunjungi oleh para peziarah. Di atas sebidang tanah satu komplek dengan makam Sunan Kudus, KH. R. Asnawi menempati persinggahan terakhir. Batu nisan dan bangunan kijing setinggi 50 cm bercat hijau menjadi saksi sejarah. Di sebelah barat kijingan tertempel monel bertuliskan: Makam KH. R. Asnawi lengkap dengan hari dan tanggal wafat, baik hijriyyah maupun miladiyyah.

Untuk mengenang tahun wafat Kiai Asnawi, KH. Turaihan Adjhuri—tokoh falak terkenal—membuat kalimat عش غط : Hiduplah engkau (Mbah Asnawi) dan lindungilah kami. Hitungan abajadun dari kalimat tetenger itu berjumlah 1379. ‘ain = 70, syin = 300, ghin = 1000 dan tha’ = 9. Di sinilah akhir perjuangan praktisnya berakhir. Namun jasa-jasanya sampai sekarang masih dapat terasa. KH. Sya’roni Ahmadi menyebutkan bahwa penisun (baca: tutup usia) KH. R. Asnawi sudah komplit. Tiga aspek yang menjadi tumpuan hitungan manusia yang telah meninggal dunia dan masih mendapatkan pahala dalam kehidupan Asnawi telah terpenuhi. Mulai dari shadaqoh (amal jariah), ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh. Amal jariyah terlihat dengan pendirian Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin (nglestreni Pondok pada tanggal 29 Rabiul Awal 1345 H/26 September 1927 M) dan Madrasah Qudsiyyah (berdiri 1919 M). Ilmu yang manfaat dapat disaksikan dengan keberhasilannya mencetak generasi muslim yang tangguh dengan bekal ilmu-ilmu agama. Dan anak shaleh juga tampak dengan tampilnya anak-putu sebagai tokoh masyarakat menggantikan mbah Asnawi.

Banyak sekali pengaruh perjuangan KH. R. Asnawi yang masih terasa hingga sekarang. Kiprahnya di tengah-tengah masyarakat tampil dengan anggun dan memukau, untuk itulah dibutuhkan keterangan yang lebih jauh tentang siapa sejatinya beliau. Lebih jauh dari itu jasanya dalam memperteguh ajaran Islam juga tidak tanggung. Sampai-sampai dalam sebuah pertemuan dengan beberapa Kyai di Jawa Timur terdapat konsensus, Kyai dilarang untuk bekerja. Alasan ini diambil karena kondisi selain diancam kecamuk penjajahan oleh Belanda, Islam juga sudah mulai dirongrong dengan bentuk-bentuk modernitas yang membombardir tradisi. Keadaan semacam ini memaksa kepada Kyai untuk kerja ekstra membendung arus penghapusan nilai Sunniah yang selama ini dipegang teguh akibat datangnya kelompk wahabi yang sangat mengedepankan prinsip akal.

Tentang sejarah panjang kepiawaian KH. R. Asnawi dapat dibaca dalam Riwayat Hidup KH. R. Asnawi karya KH. Minan Zuhri dalam majalah El-Wijah, 1982, The Pesantren Architects and Their Socio-Religious Teaching sebuah disertasi UCLA Amerika Serikat tahun 1997 karya Dr. Abdurrahman Mas’ud, MA dan Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU buku terbitan Mizan Bandung tahun 1998 yang diedit oleh Saifullah Ma’shum.

Menyangkut genetika para kyai pemangku agama Islam tidak dapat dijauhkan dari para nenek moyang pendahulunya. Adagium Jawa mengatakan, “anak macan metu macan” (orang besar melahirkan orang besar). Lalu siapa Asnawi sebenarnya?

Garis Keturunan Hingga Baginda Nabi Muhammad

Nama besar yang di sandang oleh KH. R Asnawi nampaknya membawa pertanyanan yang cukup besar. Dari mana dan siapa dia sebenarnya? Keharuman nama pejuang Islam sekelas Sunan Kudus ternyata banyak menelurkan generasi-generasi yang tangguh. Kedudukannya sebagai Sunan ketika itu dimanfaatkan untuk benar-benar mengibarkan bendera Islam ditengah kondisi ortodoksi masyarakat yang terhegemoni oleh agama Hindu, sehingga rekrutmen Islam ditempuh secara gradual dan defensif .

Upaya menengok motif pengajakan masuk ke dalam Islam oleh Asnawi juga hampir sama dengan apa yang dilakukan Sayid Ja’far Shodiq. Misalnya di tengah hingar bingarnya persaingan ekonomi Cina dan Islam, Asnawi tampil dengan tegas bergelut dengan organisasi perekonomian. Yang seperti ini bertujuan agar orang Islam tidak goyah dengan ekonomi atau bisnis versi Islam. Padahal jarang sekali sosok Kyai yang mau terjun di bidang bisnis sebab khawatir dianggap gila harta. Lalu model seperti itu apakah ada keterkaitan antara Asnawi dengan Sunan Kudus?

Sebagaimana ditulis oleh Minan Zuhri bahwa Asnawi merupakan Asnawi merupakan keturunan dari Sunan Kudus yang ke-14 dan keturunan ke-5 dari KH. Ahmad Mutamakin Wali di zaman Sultan Agung Mataram dimakamkan di Kajen Margoyoso Pati. Wajar saja apabila yang dilaksanakan olehnya tidak jauh beda dari para pendahulunya. Baik dari pola pendidikan dan dimensi penegakan reputasi agama Islam.

Nama Asnawi yang dimiliki sebelumnya adalah Ahmad Syamsi dan Ilyas bisa saja tabarrukan dengan buyut-nya. Begitu pula nama Ilyas yang juga sama dengan nama wareng-nya. Sedangkan kompetensi dalam bidang agama dalam masyarakat dan juga kewibawaan yang dimilikinya menjadikan ia dipanggil Kyai. Sebutan Kyai di Jawa merupakan panggilan untuk ahli agama Islam atau pengasuh pondok pesantren.

Perannya adalah memimpin laju keagamaan ke arah pemberdayaan umat. Kalau ditinjau dari partisipasi Asnawi berhubungan dengan masyarakat, predikat Kyai yang diberikan masyarakat dipandang dari dua sisi. Pertama, Asnawi memang seorang yang ahli bidang fiqih dan benar-benar ahli dalam bidang agama. Kedua, Asnawi adalah pemangku dan pengasuh pondok pesantren sekaligus sebagai pemimpin agama. KH. R. Asnawi tidak mau menjauh dari kebutuhan umat. Bahkan ia terkenal sangat memiliki sifat marhamah. Wibawanya besar, galak, keras dalam menetukan hukum tapi humanis lebih-lebih terhadap anak-anak seusia 4-6 tahun.

Tawadlu’ dan tidak sombong memang menjadi watak KH. R. Asnawi semenjak kecil. Sehingga dalam wasiatnya pun ia mengingatkan kepada anak-anaknya untuk tidak bersifat takabbur yang menurutnya dibatasi dalam tiga hal: menojolkan nasab, menonjolkan ilmu pengetahuan, dan mengedepankan harta benda. Garis keturunan inilah yang membayang-bayangi keluarganya dan untuk selalu hati-hati dalam menjaga nasab. Bahkan sumber dari Kajen mengatakan bahwa ada larangan untuk menunjukkan silsilah kepada selain saudara yang satu nasab.

Peran KH. R. Asnawi itu tertulis seperti yang dilayangkan dalam catatan Minan Zuhri pada tanggal 20 syawal 1471 H/ 28 Februari 1997 M. ia telah berhasil menghimpun dan menata secara rapi silsilah keturunan KH. R. Asnawi sepuh (buyut KH R Asnawi) lengkap hinga anak cucu dan jalur ke atasnya hingga Sunan Kudus dan KH Ahmad Mutamakkin. Dalam lampiran itu juga disampaikan sembilan wasiat Raden Asnawi dengan bahasa Jawa diantaranya dalam bentuk syair itu adalah :

Ngelingi nasab lan silsilah # terkadang bener terkadang salah

Iku keliru ojo bok tiru # ngeduhno nasab lakune saru

wongkang mengkono bodo lan kumrung # bingung dakweruh maring delanggung

“Mengingat nasab dan silsilah terkadang bisa benar dan bisa saja salah,

salah jangan dianut, menonjolkan garis keturunan tidak seyogyanya dilakukan.

Orang tersebut tergolong bodoh dan blo'on seperti orang bingung tidak tahu jalan”.

Warning Kyai itu patut dimengerti jangan sampai keturunannya menjadi besar kepala hanya garis keturunan keluarga. Di sini lain makna filosofisnya, KH. R. Asnawi berkehendak agar anak keturunanya mengedepankan ilmu pengetahuan. Nilai kandungan edukatif ini sama seperti potongan hadits yang artinya, ilmu didapat tidak karena nasab tapi Innama al-ilmu bi al-ta’allum; ilmu akan didapatkan hanya dengan belajar.

Cinta kepada ilmu bagi KH. R. Asnawi adalah hal yang utama. Di sinilah keluarga dan santri-santrinya diingatkan kembali dengan tuturannya: “Yen bodo kenane lungo, Yen pangkat kenane minggat, lan yen ilmu kuwi bakale ketemu” (bodoh itu dapat dihilangkan, pangkat juga mudah dicopot, tapi ilmu akan ditemukan).

Silsilah yang dihimpun oleh Minan Zuhri didapatkannya dari sanak keluarga dan beberapa catatan-catatan yang dimilikinya. Garis keturunan Sunan Kudus dan KH. Ahmad Mutamakkin adalah semuanya dari bapaknya H. Abdullah Husain, Abdullah Husain adalah putera dari Raden Ayu Shofiyah. Raden Ayu Shofiyah ini adalah putri dari perkawinan K. Asnawi Sepuh yang berasal dari Kajen Margoyoso Pati dan Raden Nganten Salamah Kudus. Jadi keturunan Sunan Kudus yang dimiliki Asnawi berasal dari Mbah Buyut Putri. Sedangkan keturunan KH. Ahmad Mutamakkin adalah dari Mbah Buyut Putra. Keturunan Asnawi sepuh inilah yang akhirnya banyak melahirkan para Kyai lain di Kudus, seperti KH. Ahmad Kamal dan KH. Turaihan Adjhuri.

Untuk silsilah lengkap adalah Kyai Asnawi Sepuh bin Nyai Ageng Jirah anak dari Nyahi Ageng Alfiyah Ilyas bin Kyai Ahmad Mutamakkin bin Raden Sumahadi Negoro bin Raden Sumahadi Ningrat bin Sultan Hadiwijaya. Sedangkan silsilah Raden Salamah binti Raden Puspo Kusumo bin Raden Dipoyudo bin Raden Ngabehi Condro Taruno bin Pangeran Pendamaran II bin Pangeran Pendamaran I bin Pangeran Penjaringan bin Pangeran Gemiring bin Panembahan Palembang bin Assayyid Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) begitulah pertalian nasab yang berhasil di himpun oleh Minan Zuhri .

Penulis menganggap perlu melengkapi silsilah yang didokumentasikan keluarga ini, kalau di sini disebutkan Sunan Kudus dan Ahmad Mutamakkin’ maka kita juga tidak dapat menafikan bahwa Sunan Kudus dan KH. Mutamakkin punya keturunan hingga Nabi Muhammad. Untuk berangkat menuju kearah situ, silsilah Sunan Kudus yang dimbil dari catatan Abu Maimun Muhammad Sa’dullah Ibnu Rusyani M. Qudsyy (1411 H) adalah terhitung 25 hingga Nabi Muhammad. Dan Silsilah Mutamakkin hingga Nabi Muhammad terhitung 27. Hasil yang didapatkan keduanya sama hanya sampai turunan ke 16 (Muhammad Shohib Mirbath) setelah itu nama-nama beda, silsilah yang sama adalah Muhammad Sohib Mirbath bin Ali Bin Mawi Bin Ubaidillah ibn Ahmad Muhajir bin Isa bin Bisri bin Muhammad Ali Nuqoib bin Ali Arodli bin Ja’far Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin ibn Assayyid Husain bin Fatimah Az Zahro binti Muhammad SAW.

Perbedaan sanak saudara yang putus pada Muhammad Sohib Mirbath pada hitungan tali persaudaraan ke bawah yang berbeda. K. Asnawi sepuh sampai pada Nabi Muhammad sambung keturunan ke-33 dan Raden Nganten Salamah lebih banyak ketimbang suaminya (turunan ke-35). Jadi KH. R. Asnawi boleh dikatakan mempunyai garis keturunan Nabi Muhammad ke–38 dari Asnawi Sepuh dan garis ke-38 dari Nganten Salamah.

Yang dimaksudkan persambungan Ja’far Shodiq hingga Muhammad Shohib Mirbath adalah Ja’far Shodiq bin Ahmad Rahmatillah bin  Ibrahim As-Samarqondhi bin Jamaluddin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Aminul Faqih. Sedangkan nasab mbah Kyai Ahmad Mutamakkin sendiri adalah Sumahadi Wijaya (Ahmad Mutamakkin) bin Sumahadi Negara Sumahadiningrat ibn Abudrrahman bin Umar bin Muhammad bin Ahmad ibn Abu Bakar Basyiban bin Muhammad Asadullah bin Hasan al-Turabi bin Ali bin Muhammad Faqih al- Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbat.

Syi’ir Nasehat Sufistik KH. R. Asnawi

Banyak hal yang belum sempat diangkat ke permukaan persoalan uswatun hasanah yang dicontohkan oleh KH. R. Asnawi. Enam puluh dua (62) butir syi’ir nasihat yang ditulisnya sungguh mempunyai arti besar bagi penataan moralitas umat Islam. Dalam bait-baitnya yang memakai bahasa Jawa dan tulisan pegon secara hermeneutik mengandung advis yang sangat bermakna bagi generasi penerusnya. Sesungguhnya hal ini didasarkan atas kepedulian seorang Kyai dalam ngemong santrinya. Sehingga disinilah nampak sifat KH. R. Asnawi yang selalu memperhatikan nasib umat Islam di dunia dan akhirat. Bait syi’ir itu diawali dengan:

فورواني تمبـاغ اران شغيران # اســماني الله كوستي فغيران

فغالم باناموغكوه حقيقــه # كـدوي الله كاغ فاريغ نعمه

Pembuka syi’ir telah memberikan petunjuk yang cukup kuat bahwa dalam mengawali sesuatu hendaknya dibuka dengan hamdalah. Sebuah ajaran sunni yang dipertahankan oleh Kiai dan mengajarkan pada seluruh umatnya agar itu semua dijalankan. Lebih dari itui sya’ir selanjutnya banyak menggunakan bahasa metamorfosis. Dalam istilah balaghoh, KH. R. Asnawi memakai majaz isti’arah untuk menghiasi syair yang dikarangnya. Pesan nasihat inilah yang dianggap sebagai pesan sufistik. Kesan tasawwuf yang diantarkanya banyak didominasi dengan advis yang sifatnya penataan akhlaqul karimah. Sehingga walaupun KH. R. Asnawi tidak terjun langsung dalam dunia tasawwuf, ia sudah nampak melakukan sufi akhlaqi.

Ditinjau dari prilaku keseharian (amaliyah) banyak hal yang sudah nampak dengan kecenderungan sisat kesufiannya. Dalam sebuah terminologi ilmu tasawwuh dikenal dengan tasawwuf amali. Dapat digariskan bahwa model tasawwuf yang dilaksanakan oleh beliau adalah dengan pola ini. Selain amaliyahnya, beliau sangat sering memberikan nasihatnya dengan gaya penyair seperi Jalaluddin Rumi dan Rabio’ah Adawiyah. Maka penulis menyebut syi’ir ini dengan langgam syi’ir sufistik.

Pesan yang menggunakan sebuah majas adalah dengan melantunkan: Contone koyo uwite mawar arum kembange ba’dane mekar, sekehe irung kepengen ngambung amunda-munda akeh wong gandrung, maring asale podo nyingkiro kuatir maring kecekrek eri. Sebuah peristilahan yang sangat mengesankan bagi orang yang menghendaki dihargai oleh orang lain. Selain berbekal dengan ilmu, seorang muslim tidak patut untuk menyombongkan dirinya sendiri, sebab itu akan mengakibatkan hal yang fatal. Sebagai seorang Kyai, ia punya kewajiban untuk mengajarkan prinsip kerendahan hati. Semua santrinya sering diingatkan dalam setiap kesempatan untuk tidak berbangga diri dan terlalu sombong.

Pada akhir btir nasihatnya itu beliau memesankan untuk tidakl menjalankan kema’shiyatan:

اغ كيني رامفوغ توتور واصيه # اخيري مكاس اجامعصيـه

Penutup washiyat beliau secara tegas menggunakan kalimat nahi (larangan) untuk tidak melakukan kema’shiyatan. Ilustrasi epilog yang dapat ditangkap dengan cermat bahwa kema’siyatan merupakan satu hal yang betul-betul diucitrakan negatif. Sehingga unsur negatifitas selayaknya dijauhi dalam kerangka norma keagamaan.

Tidak banyak yang mengetahui kalau KH Ma’mun Ahmad, pengasuh Pondok Pesantren Tasywiquth Thullab Baletengahan Kudus adalah murid kinasih Mbah Asnawi Bendan Kudus. Karena itulah, ketika ada Gebyar Hari Santri tahun lalu, foto KH Asnawi dipasang berdampingan dengan foto KH Ma’mun Ahmad dalam salah satu kendaraan yang diarak.

Mbah Asnawi pernah meminta ijin kepada Ibunda Kiai Ma’mun ketika hendak mengajak menghadiri undangan acara maulid Barzanji ke Tayu, Pati. “Mbah Mi, anakmu tak ajak ke Tayu,” kata Mbah Asnawi ke Nyai Suparmi (istri Kiai Ahmad), ibunda Kiai Ma’mun. Ketika itu, Kiai Ma’mun belum baligh.

Dulu, kata Kiai Dzi Taufiqillah, putra Kiai Ma’mun, Mbah Asnawi sering mengisi acara pengajian ke daerah Tayu Pati. Dari Kudus, perjalanan ke sana ditempuh dengan dokar. Tayu jadi pilihan daerah dakwah karena ketika itu masih banyak orang yang tidak paham agama, bahkan banyak tidak memeluk agama Islam.

Untuk tujuan itu, Kiai Ma’mun diajak. Selain pengajian, metode dakwah yang digunakan  adalah pembacaan Barzanji. Karena murid, Kiai Ma’mun tetap mengikuti khusyuk acara berjanjenan itu. Mbah Asnawi tetap sebagai imam Barzanji hingga selesai.

Ketika pulang usai doa ada amplop bisyaroh (honor penghormatan) yang biasanya diterima Mbah Asnawi. Namun, ketika mengajak Kiai Ma’mun, amplop berisi uang itu dimintakan Mbah Asnawi agar diberikan kepada muridnya, Kiai Ma’mun. “Kasihkan ke anak yatim ini aja,” pinta Mbah Asnawi kepada tuan rumah acara.

KH Ma’mun adalah putra KH Ahmad. Kiai Dzi Taufiqillah menuturkan, abahnya itu ditinggal wafat kakeknya Kiai Ahmad dalam usia balita. “Abah tidak pernah melihat wajah Mbah Ahmad,” terang Kiai Dzi, di Kudus, Sabtu (13/08/2016).

KH Ma’mun Ahmad adalah salah satu guru KH Hasan Askari, yang dikenal dengan Mbah Mangli, Magelang. Riwayat kedua ulama yang dikenal auliya’ itu akan bersambung dalam edisi cerita masyayikh selanjutnya

Nasionalisme Religius

Asnawi sangat dikenal dengan keteguhannya membendung arus kolonialisme Belanda. Segala apa yang dilaksanakan oleh Belanda baginya tidak boleh ditiru. Sehingga banyak sekali produk hukum fiqih pada masa penjajahan ini, KH. Asnawi selalu mengedepankan prionsip tegas anti-kolonialisme.

Kemauan keras beliau agar Islam tetap eksis tanpa campur tangan penjajah kafir ini sudah menjadi pertaruhan jkiwa dan raganya. Untuk mencapai kemerdekaan itu seluruh kekuatan Indonesia dihadapkan pada sebuah perjuangan yang sehat. Perjuangan masing-masing kekuatan memang memiliki versi yang berbeda. Kekuatan tentara akan memainkan perang sebagai pertahanan dengan peluru dan sentaja. Sementara rakyat biasa menggunakan alat tradisional semisal bambu runcing. Sedangkan untuk Kiai memadukan pola keulamaan dan gerakan taushiyah dengan pesan melaksanakan jihad atas pemberontakan bangsa kafir. Begitu pula KH. R. Asnawi, dalam memberebutkan kemerdekaan beliau berperan sebagao layaknya seorang Kyai yang membekali para santri untuk memerdekakan bangsa ini.

Hal itu nampak dengan beberapa bait syi’ir yang dikarangnya yang menunjukkan kebahagiannya setelah Indonesia merdeka. Misalnya puisi berbahasa arab yang dilagukan pada saat menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia. Waktu itu di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta, Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia membacakan teks proklamasi. Pada waktu malam sabtunya, KH. R. Asnawi bersama dengan santrinya melagukan proklamasi kemerdekaan “gaya pesantren”. Karena KH. R. Asnawi adalah seorang penggemar syai’ir, proklamasi di pesantren juga memakai bait sya’ir. Seperti dikemukakan oleh KH. Ni’am Zuhri, sampai sekarang yang masih diingat hanya dua bait ber-bahar kamil majzu’:

لحرة في اندونسيــا # بدت لـدى انـسا نيا

واهلــها منفرحو # ن فرحــا ابــديا

Bait lain yang memberikan isyarat kebahagiaan beliau adalah saat kunjungan Presiden RI pertama Ir. Soekarno ke kota Kudus. Pada waktu itu Kh. R. Asnawi turut memberikan sambutan pada waktu Kudus dipimpin oleh Bupati Raden Subarkah (1945-1946). Bait yang dikarangnya antara lain:

رئيسنا في اندونيسيا # لان قــد اتنيــا

ار سوكارنا رتبـة # اعلى با ندونيسيا رايا

ار سوكارنا راءسنا # راءس على ا ندونسيا

فكيف لا كابوفاتين # فيه سوباركا ه عليـا

ار سوكارنا(Ir. Soekarno) درهتا (Dr. Hatta)

هما سببا حرية اندونسيا فلاحلنبدا

Dari beberapa sya’ir karangan beliau ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa satu tawaran model nasionalisme religius merupakan tali perjuangan yang beliau laksanakan. Untuk itu dalam Shalawat Asnawiyyah yang dikarangnya juga tercantum do’a untuk keamanan bangsa Indonesia. Sebuah ajaran dengan memegang teguh pesan agama Islam; hubul wathon minal iman. Cinta tanah air adalah bagian dari iman. Yang patut digarisbawahi cinta kepada negara adalah dengan di abwah kepemimpinan yang ‘adil. Ketika pemimpin yang dzolim seperti Belanda tidak patut dipatuhi.

Sebagai penutup tulisan kecil ini, penulius merasakan betapa besar jasa dan perjuangan KH. R. Asnawi. Selain itu karya besarnya seperti Soal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syiir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya belum sempat di-cover dalam tulisan ini. Maka dibutuhkan waktu panjang untuk mengenal karya besarnya. Untuk itu kelengkapan informasi tulisan pendek ini perlu disambung oleh semua kalangan yang mengenal Kiai Asnawi (langsung maupun tak langsung).

Penulis yakin karena tidak pernah bersinggungan langsung dengan beliau tulisan ini hadir dari beberapa ma’khodz. Dan sekali lagi sangat penting sekali untuk membuka sejarah para pendahulu kita yang telah dikenang harum namanya oleh masyarakat. Sehingga kelak oleh generasi mendatang cerita-cerita tidak hanya berupa tutur (cerita mulut ke mulut)—dan ini rentan dengan subyektifitas dan manipulasi berita. Maka apa yang telah diungkap oleh KH. Minan Zuhri sebagai satu-satunya catatan biografi selayaknya disambung oleh para santri yang peduli terhadap sejarah tokoh. Semoga ada! Amin! Wallahu a’lam bish showab.