Amaliah Sunnah yang Dituduh Syirik dan Bid‘ah
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
Amaliah Sunnah yang Dituduh Syirik dan Bid‘ah
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,
Imam Qadhi Iyadh berkata, “Di antara perkara yang tergolong mengagungkan Rasulullah SAW adalah mengagungkan semua sebab beliau SAW dan mengagungkan tempat-tempat yang pernah dilihat, disinggahi, ataupun dipegang oleh Nabi SAW.”
Kitab At-Tahdzir min al-Ightirar bima Ja’a fi Kitab al-Hiwar(Peringatan untuk Berhati-hati dan tidak tertipu terhadap Apa yang Terdapat di Dalam Kitab Al-Hiwar) yang ditulis oleh Syaikh Abdul Hayyi Al-Umrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad ini merupakan kitab bantahan ilmiah terhadap kitab Hiwar ma‘a al-Maliki fi Radd Munkaratih wa Dhalalatih (Dialog bersama Al-Maliki terhadap segala Kemunkaran dan Kesesatannya), yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Mani‘, salah satu ulama Salafi Wahabi.
Dalam kitab Hiwar-nya, Syaikh Ibnu Mani‘ menuding dan menyebut Abuya Sayyid Al-Maliki sebagai gembong penebar kesesatan dan kemusyrikan di tengah-tengah umat Islam. Namun, yang sangat dan patut disayangkan, setiap bantahannya terhadap kitab Ad-Dakhair Al-Muhammadiyah, karya Abuya Al-Maliki, tidaklah berisikan dalil-dalil ilmiah. Melainkan dari awal hingga akhirnya dipenuhi dengan cercaan dan hinaan, bahkan tuduhan-tuduhan sesat, kafir, dan syirik terhadap Abuya Al-Maliki, yang tidak patut dilakukan oleh seorang ulama sepertinya, bahkan oleh seorang yang paling awam pun dari kaum muslimin.
Di antara amaliah sunnah yang disebut bid‘ah dan syirik oleh Syaikh Ibnu Mani‘ dalam kitab Hiwar-nya adalah bertabaruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah SAW, termasuk para awliya’ shalihin di dalamnya.
Sebagai bantahan terhadap tuduhan tak mendasar dari Syaikh Ibnu‘ Mani‘ ini, penulis kitab menguraikan dengan sangat gamblang dalil-dalil shahih dari hadits Rasulullah SAW ataupun atsar para sahabat dan tabi‘in, mengenai disunnahkannya amaliah tersebut. Di antaranya penulis berkata, “Dalil yang kelima, sesungguhnya para sahabat mereka bertabaruk dengan Nabi SAW, baik di masa hidup beliau SAW maupun setelah beliau SAW wafat, dengan apa-apa yang pernah beliau sentuh atau kenakan. Dalam hadits yang shahih telah diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar RA bahwa ia mengeluarkan sebuah jubah dan berkata, ‘Jubah ini telah dikenakan oleh Rasulullah SAW dan kami membasuhnya untuk orang-orang yang sakit untuk mereka, mengharapkan kesembuhan dengannya’.”
Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari Asma binti Abu Bakar RA bahwa ia mengeluarkan jubah Rasulullah SAW yang memiliki kerah tak terlihat yang direnda dengan sutra. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dan ia menambahkan dalam riwayatnya, Asma RA berkata, “Jubah ini berada di tangan Aisyah RA hingga Rasulullah SAW wafat. Jubah ini telah dikenakan oleh Rasulullah SAW dan kami membasuhnya untuk orang-orang yang sakit untuk mereka, memohon kesembuhan dengannya.” Dalam al-Adab al-Mufrad, Imam Bukhari menambahkan, “Rasulullah SAW mengenakannya pada saat melakukan kunjungan dan shalat Jum`at.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Ketika Abdullah bin Ubai menemui ajalnya, putranya datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, ‘Berikanlah pakaian Tuan kepada saya agar saya mengkafani jenazahnya dengan pakaian itu.’ Kemudian Nabi SAW pun memberikan pakaiannya.” (HR Al-Bukhari-Muslim).
Bahkan, coba lihat Subul as-Salam fi Syarh Bulugh al-Maram, juz 2, halaman 157, dari Kitab Al-Janaiz, Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengeluarkan jenazah Abdullah bin Ubay setelah dikuburkan dan beliau meniupkan ludah suci beliau kepada jasad Abdullah bin Ubay.
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Qasim bin Ma’mun memiliki mangkuk peninggalan Nabi SAW dan ia menjadikan mangkuk itu untuk tempat air yang diberikan kepada orang-orang sakit untuk mengharapkan kesembuhan (isytisyfa’) dengannya.
Dalam riwayat-riwayat yang shahih disebutkan bahwa, apabila Nabi SAW berwudhu, para sahabat berebut untuk mendapatkan sisa air wudhu beliau sampai-sampai mereka seolah hampir saling bunuh untuk mendapatkannya dan Nabi SAW membenarkan mereka untuk melakukan itu semua. Bahkan, dalam riwayat Al-Bukhari, Nabi SAW pun membenarkan perbuatan Thalhah yang membagi-bagikan rambut beliau kepada para sahabat ketika mencukur rambut beliau agar para sahabat bertabaruk dengan rambut itu.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Utsman bin Abdillah bin Mauhib, ia berkata, “Aku menemui Ummu Salmah, maka kemudian ia mengeluarkan sehelai rambut Rasulullah SAW yang tersemir.” Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan pula bahwa helaian-helaian rambut Nabi SAW itu disimpan oleh Ummu Salmah pada sebuah tempat yang terbuat dari perak. Apabila seseorang terkena sakit `ain (sakit karena pandangan mata seseorang) atau yang lainnya, Ummu Salmah mengirimkan rambut itu kemudian rambut itu dicelupkan ke dalam air dan diminumkan kepada si penderita. Dan setelah minum air itu si penderita pun sembuh dari sakitnya.
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Khalid bin Walid RA menaruh sebagian helai rambut suci Rasulullah SAW di topi miliknya.
Riwayat-riwayat semacam ini sangatlah banyak dan bertebaran di dalam kitab-kitab hadits yang shahih. Semuanya memberikan penegasan dan penjelasan bahwa para sahabat mereka bertabaruk, mengambil dan mengalap berkah, dan ber-isytisyfa’, mengharap kesembuhan, dengan peninggalan-peninggakan Nabi SAW, baik semasa hidup beliau maupun sesudah beliau wafat.
Imam Al-Mawwaq berkata dalam kitabnya, Sunan al-Muhtadi, halaman 84, “Imam Malik RA sangat suka melakukan nafilah di mushalla Rasulullah SAW (tempat yang Rasulullah SAW shalat padanya).” Imam Ibnu Rusyd mengatakan, Imam Malik RA menyukai itu untuk bertabaruk dengan tempat shalat Nabi SAW. Sayyidina Utsman pernah berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, shalatlah engkau di rumahku untuk aku jadikan sebagai mushallaku (tempat shalatku).” Berkaitan dengan ini, Imam Ibnu Rusyd berkata, “Apabila rumah yang Rasulullah SAW pernah shalat padanya satu kali lebih baik dari sekalian rumah lainnya, tentu lebih utama lagi pada tempat Rasulullah SAW menjadikannya sebagai tempat shalat yang rutin.”
Abu Umar RA memberikan penjelasan tentang hadits Sayyidina Utsman tersebut, ia berkata, “Pada hadits ini terdapat dalil terhadap disyari’atkannya bertabaruk dengan tempat-tempat yang pernah diinjak oleh kaki suci Nabi SAW dan melakukan ibadah padanya.” Ia pun berkata, “Dan padanya terdapat pula dalil tentang kebenaran ketulusan dan kemurnian iman mereka, para sahabat itu.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Salim RA sangat bersungguh-sungguh untuk mendatangi tempat-tempat di jalanan di tempat ia pernah melihat Rasulullah SAW shalat padanya.
Dalam riwayat Al-Bukhari RA dari Ibnu ‘Ubaid, ia berkata, “Aku bersama Salmah Bin Akwa‘, kemudian ia shalat di sisi tiang penyangga mushaf. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Muslim, aku melihatmu bersungguh-sungguh untuk selalu melakukan shalat di sisi tiang ini.’
Ia pun kemudian menjawab, ‘Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW sungguh-sungguh melakukan yang demikian itu’.”
Imam Qadhi Iyadh berkata, “Di antara perkara yang tergolong mengagungkan Rasulullah SAW adalah mengagungkan semua sebab beliau SAW dan mengagungkan tempat-tempat yang pernah dilihat, disinggahi, ataupun dipegang oleh Nabi SAW.”
Bila demikian halnya, siapakah penebar bid’ah itu yang sesungguhnya?
Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,
Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!