Imam Laits

Kali ini kita akan berkenalan dengan seorang alim dan imam di negeri Mesir. Beliau hidup sezaman dengan Imam Malik bin Anas, imam negeri Hijrah, Madinah. Imam Asy Syafi’i pernah berkomentar bahwa imam dari Mesir ini lebih faqih daripada Malik. Siapakah dia ?

Beliau adalah Imam Abu al-Harist al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman al-Fahmi. Al-Fahmi merupakan nisbat dari Fahm, salah satu kabilah Qais ‘Ailan yang berasal dari Ashfahan(Irak). Imam Laits lahir pada bulan Sya’ban tahun 94 H  di kampung Qalasqandah, Propinsi Qalyubiyyah, Mesir. Meski terlahir dan dibesarkan di negeri Mesir, namun keluarga beliau mengaku berasal  dari Persia, tepatnya dari penduduk Ashfahan. Walau berdarah Persia, namun lisannya fasih berbahasa ‘Arab. Pakar dalam ilmu nahwu, serta menghafal banyak dari syair-syair Arab klasik.

Tentang akidahnya, maka Al Laits adalah seorang imam Ahlus Sunnah. Berkenaan dengan Asma` wash shifat maka beliau meniti manhaj Nabi dan para Shahabat. Salah satu muridnya, Al Walid bin Muslim menuturkan : “Aku telah bertanya kepada Malik, Ats Tsaury, Al Laits dan Al Auza’y tentang ayat dan hadits tentang asma` dan shifat. Maka mereka semua mengatakan : “Biarkanlah dan pahamilah sesuai dengan makna dari nama dan sifatnya. (jangan ditakwil kepada makna lain,   atau sebaliknya ditolak mentah-mentah).”

Penduduk Mesir dahulu adalah para pencela ‘Utsman bin ‘Affan. Mereka meremehkan dan menganggap rendah khalifah yang mulia ini. Sampai kemunculan Al Laits bin Sa’ad di tengah-tengah mereka. Setelah mereka mendengar dari al Laits, hadits-hadits tentang manaqib dan fadhail ‘Utsman bin ‘Affan, maka akhirnya mereka menahan lisan dari cacian kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikan beliau.

Imam Laist merupakan seorang Tabii al-Tabiin yang Zahid dan seorang periwayat hadis yang cukup terkenal. Para Ulama sepakat akan amanah, kegigian derajat dan kedalaman ilmu beliau dalam bidang fiqh dan hadis. Pada zamannya beliau adalah ulama tinggkat tinggi di Mesir. Beliau adalah seorang ulama yang mengumpulkan empat sifat sekaligus, yaitu ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan.

Beliau adalah seorang yang terhormat, dermawan dan cerdas. Beliau merupakan orang kaya, tapai dengan kekayaannya itu beliau suka memberi bantuan. Imam Syafii ketika datang ke Mesir  dan berziarah ke makam beliau, ia berkata: “tidak ada yang lebih menyedihkanku dari kehilangan Ibnu Abi Dzi’ib dan Laits bin Sa’ad.” Hal ini karena Imam Syafii tidak bertemu dengan Imam Laits sehingga tidak sempat berguru pada beliau. Diriwayatkan dari Imam Syafii dan Ibnu Bukair bahwa Imam al-Laits bin Sa’ad lebih dalam ilmu fiqhnya dari Imam Malik, hanya saja murid-murid beliau tidak menghargainya. Oleh karena kelalaian murid-muridnya madzhab beliau hilang, terlebih lagi dengan bertambah banyaknya murid-murid Imam Malik dan Imam Syafii.

Sejak kecil beliau telah menimba ilmu, tepatnya di masa khilafah Hisyam bin ‘Abdil Malik. Saat itu di Mesir ada sejumlah ulama di antaranya ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, Al Harits bin Yazid, Ja’far bin Rabi’ah, Ibnu Hubairah dan Muhammad bin ‘Ajlan. Mereka semua mengakui akan keutamaan AL Laits, keperwiraannya, dan keislamannya di usia yang masih sangat muda.

Setelah menimba ilmu dari ulama negerinya, Al Laits pun mengadakan rihlah, merantau ke Iraq dan daratan Hijaz untuk memperdalam ilmu. Guru beliau dari kalangan Tabi’in sangat banyak. Al Mizzy menyebutkan sekitar 80 guru. Dari mereka, 50 sekian di antaranya adalah tabi’in seperti : ‘Atho` bin Abi Rabah, Nafi’, Ibnu Abi Mulaikah, Az Zuhry, Hisyam bin ‘Urwah, dan Qatadah.

Murid beliau, disebutkan oleh Al Mizzy mencapai 70 orang. Sebagian besar dari muridnya kelak menjadi guru-guru Imam Ahmad, seperti Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahab.

Sebagian lagi menjadi guru Imam Al Bukhary seperti Yahya bin Bukair. Yang lain menjadi guru Imam Muslim seperti Yahya bin Yahya At Tamimy. Bahkan ada murid beliau yang kelak menjadi guru para Imam Ash-habus Sunan yang empat, seperti Qutaibah bin Sa’id.

Ada satu hal yang menarik, bahwa di antara murid beliau ternyata adalah juga gurunya, seperti Muhammad bin ‘Ajlan. Dan di lain sisi, Al Laits juga meriwayatkan sejumlah hadits dari murid-muridnya yang lebih muda. Wallahu a’lam, ini menunjukkan luasnya ilmu beliau dan ketawadhuan para ulama, satu sama lain.

Di antara yang menunjukkan luasnya ilmu beliau, di setiap harinya beliau mengadakan empat kali majelis ilmu. Majelis pertama untuk penguasa dan para pendampingnya. Kedua untuk para ahli hadits. Ketiga untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Majelis keempat terkait dengan berbagai hajat hidup manusia.

Salah satu putra beliau berkata, “Wahai ayah aku mendengar darimu, sejumlah hadits yang tidak aku dapati dalam kitab-kitabmu.”

Wallahu a’lam, maksud putra beliau barangkali ingin meluruskan ayahnya yang dikiranya keliru menyampaikan hadits-hadits, sebab tidak ada dalam satu pun dari buku-bukunya.

maka Al Laits menjawab, “Wahai putraku! Apakah semua ilmu yang tersimpan di dada ini harus kutulis dalam lembar-lembaran kitab? Andai saja aku tuangkan semua apa yang tersimpan dalam dada, kendaraan-kendaran ini tak kuasa membawanya.”

Beliau juga acapkali menyampaikan dari hafalannya kepada ghuroba` (orang-orang dari luar Mesir) hadits-hadits yang jarang atau bahkan belum pernah didengar oleh para pencari hadits dari penduduk Mesir sekalipun.

Yang juga menunjukkan semangat beliau dalam menuntut ilmu adalah sejumlah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang tinggi. Maksudnya antara beliau dengan Nabi hanya ada 2 orang perawi, seorang tabi’i dan seorang dari kalangan shahabat. Di antara sanad yang tinggi tersebut adalah :

Al Laits juga terkenal sebagai seorang kaya raya yang memiliki jiwa derma yang mengagumkan. Beliau mengembangkan hartanya dalam perdagangan sebesar 20.000 dinar. 1 dinar di zaman dahulu seukuran emas seberat 4,25 gram. Jika dikonversi ke dalam rupiah tentu mencapai angka milyaran rupiah. Namun tentu bukan itu yang kita kagumi. Tapi yang haru kita teladani adalah pengakuan beliau : “aku belum pernah sekalipun terkena kewajiban zakat.” Berarti tidak sampai setahun, harta beliau telah diinfaqkan di jalan Alloh.

Beliau berikan kepada Ibnu Lahi’ah ketika kitab-kitabnya terbakar 1000 dinar. Juga kepada Malik, dan Manshur bin ‘Ammar, masing-masing 1000 dinar.

Qutaibah bin Sa’id menuturkan bahwa Al Laits dalam setiap hari selalu bersedekah kepada 300 fakir miskin. Suatu ketika ada seorang wanita miskin meminta kepadanya madu sekedarnya untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Lalu Al Laits memberinya 120 rithel madu. Lebih kurang 56 kg.

Bila mengadakan perjalanan jauh maka beliau pergi bersama rombongan 3 buah kapal. Satu kapal diperankan sebagai dapur umum. satu kapal khusus untuk beliau dan keluarganya. Sedangkan satu kapal lagi adalah untuk para tamu beliau.

Bila cuaca dingin, maka beliau menghidangkan makanan berupa harisah (bubur dari daging cincang) yang dicampur dengan madu dan minyak samin dari lemak sapi. Bila cuaca panas, maka beliau menghidangkan makanan berupa sawis (bubur dari tepung gandum) dan biji lauz dicampur dengan gula. Dan tidaklah beliau makan siang atau makan malam kecuali bersama para tamu.

Suatu ketika beliau pergi haji. Ketika singgah di madinah, Imam Malik menghidangkan makanan berupa beberapa lembar roti basah dari gandum. Setelah itu beliau kembalikan wadahnya dengan menyisipkan 100 dinar untuk Imam Malik.

Harta yang banyak dan kecintaanya berinfaq di jalan Alloh menunjukkan kezuhudan beliau terhadap dunia. beliau yakin, bahwa apa yang diinfaqkan di jalan Alloh, itulah yang kekal. Itulah yang akan dilipat gandakan pahalanya oleh Alloh.

ما عندكم ينفد وما عند الله باق ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون

Namun, kezuhudan tidaklah bermakna lusuh, dekil, dan tidak memperhatikan kerapian. Qutaibah bin Sa’id mengatakan bahwa Al Laits senantiasa pergi ke masjid Jami’ dengan menggunakan kendaraan yang bagus.  Saat ia hendak keluar, keluarganya selalu merapikan pakaiannya, kendaraannya, dan cincin yang di jarinya.  Apa yang dikenakan oleh beliau bila diukur dengan uang adalah senilai 18 hingga 20 dirham.

Imam Laits adalah seorang  hamba yang mendapatkan anugerah kekayaan melimpah dari Allah, bahkan pendapatan beliau pertahun adalah 100.000 dinar. Walau demikian, limpahan harta itu tidak membuatnya silau akan dunia bahkan beliau sering menginfakkan dan mensedekahkan harta beliau. Kendatipun tergolong bisnisman yang sukses, Imam al-Laits sangat antusias dengan majlis-majlis ilmu. Beliau selalu mendatangi majlis-majlis ilmu itu  dimanapun berada.

Beliau banyak belajar dari ulama-ulama Mesir, Madinah dan Syam dan kala itu beliau masih muda, walau demikian para ulama telah mengetahui keutamaan dan kewara’an Imam fiqh ini. Sebagai bukti akan keutamaannya beliau adalah guru Imam Bukhori dan Muslim. Hadis-hadis riwayat Imam al-Laits banyak terdapat pada Kutub al-Sittah. Dalam barisan para perawi hadis beliau adalah orang yang terpecaya dan adil.

 Madzhab yang didirikan oleh Imam Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94-175H), ulama besar dari golongan tabi’ut tabi’in itu juga telah lenyap ditelan perputaran zaman. Hanya petikan fatwanya yang masih bisa dijumpai dalam karya-karya para ahli fiqih madzhab lain yang hidup pada generasi sesudahnya.

Sangat disayangkan, karena pada masa hidupnya Imam Al-Laits dikenal sebagai salah satu mujtahid besar di bidang fiqih yang pemikirannya sangat cemerlang. Ibnu Hajar Al-Asqalani, faqih dan muhaddits kenamaan yang hidup pada generasi sesudahnya, memberikan penghormatan dan pengakuan atas keilmuan Imam Al-Laits.

“Ilmu para tabi’in yang berasal dari Mesir telah habis diserap oleh Al-Laits, di samping ia juga telah menguasai pemikiran fiqih kaum tabiin dari berbagai kota pada zamannya,” kata Ibnu Hajar, sebagaimana dinukil dalam Ensiklopedi Hukum Islam. “Al-Laits menguasai pemikiran fiqih ulama Irak (ahlur ra’yu) yang dipelopori oleh Abu Hanifah, ia juga menguasai pemikiran ulama fiqih Madinah (ahlul hadits) yang dipimpin oleh Imam Malik.

Dalam literatur lain Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa Imam Malik sendiri banyak menanyakan berbagai persoalan kepada Al-Laits bin Sa’ad. “Tokoh yang digambarkan oleh Imam Malik dengan ungkapan ‘seorang ilmuwan yang ikhlas telah memberitahukan kepada saya’ dalam berbagai fatwanya adalah Al-Laits,” tambah Ibnu Hajar.

Bahkan terkait hubungan keilmuan Imam Al-Laits dengan Imam Malik yang unik itu, Imam Syafi’i menyatakan, “Al-Laits lebih ahli dalam bidang fiqih dari pada Imam Malik, hanya saja pengikutnya tidak banyak dan tidak berusaha mengembangkan pemikirannya. Dibanding Imam Malik, Al-Laits justru lebih banyak mendasarkan fiqihnya pada hadits nabi dan perbuatan para sahabat.”

Pendapat mengenai keahlian Imam Al-Laits dalam fiqih yang melebihi Imam Malik juga disampaikan Syaikh Yahya bin Baqir, ahli fiqih klasik. Sementara Muhammad Baltaji memberikan komentar yang agak berbeda, “Sebenarnya Al-Laits dan Imam Malik mempunyai keunggulan masing-masing, tetapi Imam Malik mempunyai lebih banyak pengikut yang menyebarkan madzhabnya.”

Dekat Dengan Penguasa

Kedekatan hubungan Al-Laits dan Imam Malik, baik secara personal maupun keilmuan juga membuat metode dan pemikiran kedua tokoh tersebut sering disandingkan oleh kalangan ahli fiqih modern.

Ada banyak analisis yang mencoba mengungkap penyebab lenyapnya madzhab Al-Laitsi selain ketiadaan dukungan penguasa. Abdullah Syahathahm ahli fiqih kontemporer dari Mesir, berpendapat, “Ada banyak faktor besar yang menyebabkab pemikiran Al-Laits bin Sa’ad tidak sampai secara utuh kepada generasi sesudahnya.”

Faktor-faktor itu, menurut Abdullah, antara lain: Al-Laits semula bermadzhab Maliki, namun belakangan ia berdiri sendiri. Padahal di masa itu mayoritas ulama Mesir adalah pengikut Imam Maliki, sehingga sikap Al-Laits tersebut kurang mendapat simpati. Apa lagi Imam Laits saat itu dianggap terlalu dekat dengan penguasa Abbasiyyah, sehingga banyak ulama yang enggan mendekatinya.

Faktor lainnya adalah tak ada satu pun murid Al-Laits yang berusaha membukukan fatwa-fatwa gurunya, sehingga pemikiran Al-Laits pun tidak terdokumentasi. Tak heran ketika tiba di Mesir pada akhir abad kedua hijriah, belasan tahun setelah Al-Laits bin Sa’ad wafat, Imam Syafi’i sendiri merasa kesulitan menemukan literatur madzhab Al-Laitsi. Ditambah lagi saat itu di Mesir tengah terjadi perselisihan pendapat antara pengikut Imam Laits dan Imam Malik.

Sekalipun tidak meninggalkan satu karya tulis pun pemikiran Al-Laits sebenarnya masih bisa dilacak hingga saat ini. Karena banyak ulama fiqih dari generasi sesudahnya yang mencantumkan pendapatnya dalam kitab-kitab mereka. Di antara kitab yang memuat petikan pemikiran Al-Laits adalah Al-Mughni (kitab fiqih madzhab Hanbali yang disusun oleh Ibnu Qudamah), Al-Muhalla (kitab fiqih madzhab Azh-Zhahiri yang dikarang oleh Ibvnu Hazm) dan Bidayatul Mujtahid (kitab fiqih madzhab Maliki karya Ibnu Rusyd).

Al-Laits juga banyak meninggalkan jejak pemikiran dalam ilmu ushul fiqih. Tentang ijma’, misalnya, Imam Al-Laits berpendapat bahwa ijma’ (konsensus) yang bisa diikuti hanyalah ijma’ para sahabat, baik yang bersifat ijma’ sharih (jelas atau terang-terangan dalam sebuah musyawarah) maupun ijma’ sukuti (diamnya para sahabat atas fatwa yang diucapkan shahabat lain).

Misalnya fatwa Khalifah Utsman bin Affan yang tak disangkal oleh sahabat lain bahwa seseorang yang memiliki harta yang telah mencapai nishab zakat, namun juga mempunyai hutang sebesar harta itu maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat.

Imam Laits juga tidak setuju menjadikan amaliah penduduk Madinah waktu itu sebagai salah satu dasar hukum, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik. Alasannya, bagaimana mungkin mereka bisa dijadikan dasar jika antar tabiin Madinah saja banyak terjadi perbedaan pendapat yang tajam.

Di luar ijma’, pendapat perorangan sahabat, menurut Al-Laits juga bisa dijadikan dasar hukum. Dan jika di antara mereka terdapat perbedaan pendapat, maka diambil pendapat yang paling mendekati Al-Quran dan sunnah nabi SAW.

Fidyah Perempuan Hamil

Misalnya mengenai diyat (hukuman) bagi perempuan yang melukai anggota tubuh orang lain. Umar bin Khaththab, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa diatnya sama dengan laki-laki, sementara Ali bin Abi Thalib berpendapat diatnya hanya separuh diat kaum laki-laki. Dalam hal ini Al-Laits sependapat dengan pendapat Imam Ali yang menurutnya lebih dekat kepada nash Al-Quran yang dengan mengiyaskannya kepada bagian waris perempuan yang hanya separuh bagian laki-laki.

Meski begitu sebenarnya ada juga pendapat fiqhi Al-Laits yang didasarkan kepada ra’yu (logika belaka), walaupun sangat sedikit. Diantaranya dalam hal perbedaan kewajiban qadha dan fidyah puasa Ramadhan antara perempuan hamil dan perempuan menyusui.

Wanita menyusui, menurut Imam Laits, apabila khawatir terhadap kesehatan anaknya, ia boleh berbuka puasa dan wajib mengqadha di luar Ramadhan dan juga wajib membayar fidyah. Sementara perempuan hamil, apabila ia mengkhawatirkan kesehatan janinnya, maka ia boleh berbuka dan hanya wajib mengqadha, tanpa perlu membayar fidyah.

Alasannya, perempuan menyusui masih bisa menempuh jalan lain untuk tetap puasa tanpa mengkhawatirkan kesehatan putranya, seperti dengan menyusukannya kepada perempuan lain. Sedangkan perempuan hamil tidak mempunyai pilihan lain sama sekali. Meski berdasarkan ra’yu, namun pendapat-pendpat Imam Laits tersebut sangat kuat karena didasari oleh prinsip kemaslahatan.

Masih banyak lagi pemikiran cemerlang di bidang fiqih yang dilahirkan dari ijtihad Al-Mam Abul Harits Al-Laits bin Sa’ad Al-Fahmi. Gelar Al-Fahmi di belakang namanya adalah nisbat kepada Fahm, salah satu kabilah dari Qais ‘Ailan yang berasal dari Ashfahan, Persia.

Imam Malik dan Imam Laits

Imam Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman al-Fahmi Abul Harits al-Mishri adalah seorang ahli fiqih dan imam wilayah Mesir pada masa Imam Malik bin Anas, seorang alim di Madinah. Imam Laits adalah seorang yang banyak ilmu, pemurah, dan dermawan.

Abu Shalih menceritakan, “Kami mendatangi rumah Malik bin Anas di Madinah, tetapi dia enggan untuk menerima kami (mereka bermaksud menemui Malik di waktu tertentu, tetapi Malik tidak bersedia menerima mereka).”

Aku berkata, “Dia tidak seperti sahabat kita.”

Imam Malik mendengar hal itu. Akhirnya, dia izinkan mereka masuk. Kemudian dia bertanya, “Siapa sahabat kalian yang kalian maksud?”

“Laits bin Sa’ad.”

Imam Malik rahimahullah berkata, “Kalian serupakan aku dengan seorang yang pernah kami minta sedikit ushfur (sejenis tumbuhan-tumbuhan rumput yang tumbuh di Mesir) untuk mewarnai pakaian anak-anak kami dan pakaian tetangga-tetangga kami. Lalu dia kirimkan ushfur yang bisa digunakan untuk mewarnai pakaian kami, pakaian anak-anak kami, dan pakaian tetangga-tetangga kami, dan bahkan kami juga bisa menjual sisanya seharga seribu dinar.”  

Imam Malik ingin menjelaskan kepada mereka bagaimana dermawan dan pemurahnya Imam Laits bin Sa’ad rahimahullah. Imam Malik pernah mengirim surat kepadanya untuk meminta sedikit ushfur yang terkenal di kalangan penjual rempah-rempah untuk mewarnai pakaian, ternyata Imam Laits mengirimkannya dalam jumlah yang banyak yang cukup untuk Imam Malik dan tetangganya, bahkan Imam Malik bisa menjual sisanya dengan harga seribu dirham. Begitulah Imam Laits bin Sa’ad rahimahullah.

Hartawan Yang Dermawan

Yahya bin Bukair, murid Imam al-Laits, meriwayatkan dari Ibnu Wahab, ia berkata, “Suatu hari saya datang kepada Imam Malik, kemudian beliau bertanya kepada saya tentang Imam Al-Laits, ‘Bagaimana kabarnya?’ Saya menjawab, ‘Keadaannya baik’.

Kemudian Imam Malik bertanya lagi, ‘Bagaimana kejujurannya?’

Saya menjawab, ‘Ia adalah orang yang jujur’.

Lalu Imam Malik berkata, ‘Jika demikian, semoga Allah memberinya kenikmatan dengan telinga dan matanya’.”

Imam al-Laits dan Imam Malik memang hidup dalam satu masa. Kedua ahli hadits dan fiqih itu sering saling berkirim surat yang membicarakan seputar hadits, fiqih dan fatwa.

Imam al-Laits juga dikenal sebagai dermawan yang banyak memberi bantuan kepada orang lain. Imam Syafi’i, ketika datang ke Mesir dan berziarah ke kubur beliau, berkata, “Tidak ada yang lebih menyedihkanku dari kehilangan Ibnu Abi Dzi’b dan Laits bin Sa’ad”. Imam Syafi’i sedih karena tidak sempat bertemu Imam Al-Laits dan berguru kepadanya.

Imam Syafi’i juga pernah berdiri di sisi kubur Imam Al-Laits seraya berkata, “Demi Allah wahai Imam, engkau telah mengumpulkan empat sifat yang tidak dimiliki ulama lainnya: ilmu, amal, zuhud dan kedermawanan”.

Kebetulan Imam Al-Laits memang mendapatkan anugerah kekayaan melimpah dari Allah SWT. Dalam sebuah riwayat diceritakan, pendapatannya pertahun tak kurang dari 100.000 dinar.

Hebatnya, Imam al-Laits tidak pernah berkewajiban mengeluarkan zakat. Tentang hal ini Muhammad bin Abdul Hakam menceritakan, “Setiap tahun Imam Al-Laits mendapatkan penghasilan lebih dari 80.000 dinar, akan tetapi beliau tidak pernah berkewajiban membayar zakat. Sebab sebelum mencapai satu tahun (haul) pemasukan yang ia peroleh itu telah habis ia infaqkan dan sedekahkan.” Subhanallah!!

Sedangkan perihal kezuhudannya, Yahya bin Bukair, muridnya mengisahkan, “Aku pernah menyaksikan orang-orang faqir berdesakan di depan rumah Imam al-Laits. Lalu beliau membagi-bagikan sedekahnya kepada mereka, hingga tidak ada seorang pun yang tidak memperoleh bagian. Setelah itu bersama saya, Imam Al-Laits mengantarkan sedekah ke tujuh puluh rumah janda. Setelah sampai di rumah, beliau menyuruh salah seorang pembantunya untuk membeli minyak dan roti dengan uang satu dirham.

Ketika saya datang ke rumah beliau, saya melihat empat puluh tamu telah berada di dalam rumah beliau. Mereka dijamu dengan daging dan manisan. Setelah si pembantu tiba, aku bertanya kepadanya, ‘Untuk siapa roti dan minyak yang engkau beli itu?’

Pembantu tersebut menjawab, ‘Imam al-Laits menghidangkan daging dan manisan kepada para tamu, tetapi beliau hanya makan roti dengan minyak saja’.”

Dan bak buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, kedermawanan dan kealiman sang belakangan menurun kepada putranya, Syu’aib bin Al-Laits, ulama dan muhaddits besar Mesir sesudah Al-Laits.

Dermawan Bin Dermawan

Ibnu Abi Dunya mengisahkan, “Suatu ketika Syu’aib bin al-Laits menunaikan haji. Di sana ia banyak bersedekah. Kedermawanannya membuat banyak orang terheran-heran. Mereka lalu bertanya kepada seorang alim yang mengenalnya. Orang alim itu menjawab, “Dia adalah seorang alim, anak orang alim, seorang yang dermawan dan anak seorang dermawan.”

Setelah ayahnya wafat, Syuaib bin Laits jatuh miskin. Ia lalu pergi ke Damaskus. Di sana ia didatangi seseorang yang berkata, “Saya adalah hamba ayahmu. Harta niaga ayahmu ada padaku sebesar dua ribu dinar dan saya sekarang masih sebagai budak. Jika engkau menghendaki ambillah harta ayahmu dan merdekakan saya. Namun jika tidak maka juallah saya.”

Kendati miskin dengan ringan Syu’aib bin Laits berkata, “Engkau sekarang merdeka dan uang yang ada bersamamu adalah pemberianku untukmu.”

Mendengar kejadian itu Al-Khathabi, ulama genersai sesudahnya, berkomentar, “Aku tidak tahu siapa yang lebih mulia, apakah sang hamba yang dengan tulus mengaku tentang kepemilikan harta, atau sang tuan yang membebaskannya dan memberinya harta sebanyak itu.”

Demikianlah sepenggal kehidupan dari Al Laits. Mari kita renungkan kembali sisi-sisi dari kepribadian beliau yang luhur dan patut kita teladani. Potret nyata yang perlu kita usahakan realitanya dalam hidup ini.

Al Laits bin Sa’ad kembali ke haribaan Alloh pada malam Jumat pertengahan Sya’ban tahun 175 hijriyah. Khalid bin Sallam Ash Shadafi berkata : Aku bersama ayah menyaksikan jenazah Al Laits. Belum pernah aku saksikan jenazah yang dikerumuni oleh lautan pelayat seperti jenazah Al Laits. Aku lihat semua orang berlinangan air mata. Satu sama lain saling berta’ziyah, menyampaikan duka cita yang dalam dan mewasiatkan kesabaran atas musibah yang menimpa dengan wafatnya alim ini. Aku katakan kepada ayah,” Wahai ayah, sepertinya semua orang adalah sahabat dekat dari jenazah ini.” Ayahku mengatakan, “Wahai anakku, tidak akan didapati jenazah se’agung’ ini selama-lamanya.

Semoga Alloh menempatkan Imam Al Laits di Jannah-Nya yang mengalir sungai di bawahnya. Di sisi Allah, Raja Yang Maha Perkasa.

Imam al-Laits wafat pada tahun 175 H atau empat tahun sebelum Imam Malik wafat. Beliau dimakamkan di pemakaman Shadaf, awalnya makam Imam Laits adalah berupa gundukan tanah, kemudian setelah tahun 640 H makam tersebut diperluas dan dibangun sebuah masjid.