KH Abdullah asy-Syafi'ie

Ulama Besar dan Tokoh Betawi yang Sangat Dihormati

Kiai “produk Betawi” yang sangat disegani dan menjadi panutan dalam berdakwah ini lebih memilih mengaji ketimbang belajar menjadi pedagang.

Orang Betawi, terutama tetangganya di Kampung Balimatraman, tempat dia dilahirkan, memanggilnya Dulloh. Abdullah dilahirkan pada 16 Sya’ban 1329 bertepatan dengan 10 Agustus 1910 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya, H. Syafi’ie bin H. Sairan Ibunya Nona binti Asy’ari,dan kedua adiknya perempuan, Siti Rogayah dan Siti Aminah.

Ia sekolah formal hanya sampai kelas dua sekolah dasar. Mungkin itu merupakan sikap pemberontakannya terhadap orangtuanya yang ingin dia menjadi pedagang, sementara dia sendiri bercita-cita menjadi guru mengaji.

Tidak mengheranka bila Dulloh kemudian lebih sering menyambangi guru mengaji yang banyak terdapat di seantero betawi. Setelah berjalan beberapa tahun, dia lebih banyak  mengaji pada Guru Ahmad Marzuki (Cipinang), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur), dan Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad (Bogor).

Bahkan, untuk menghormati salah satu gurunya itu, Habib Alwi Al-Haddad, ia sengaja menamakan anak sulungnya, kebetulan perempuan, Alawiyah, yang kemudian dikenal sebagai Tuty Alawiyah yang pernah menjadi menteri pada era Presiden BJ. Habibie.

Dengan Habib Ali Kwitang, dia bahkan diberi semangat untuk meneruskan menggarap dakwah di seputar Betawi. Ini menunjukkan betapa piawai Abdullah dalam berdakwah, sehingga sang guru secara khusus memberinya amanat seperti itu. Dan amanat itu dia tunaikan dengan sangat sempurna, sehingga ketika wafat, dia meninggalkan ribuan murid. Takhanya itu, dia juga mewariskan 33 lembaga pendidikan Islam, mulai dari TK sampai Universitas, serta 19 lembaga dakwah. Tinggalannya yang lain adalah 11 lembaga sosial yang tersebar di Balimatraman, Jatiwaringin, Cilangkap, Bukit Duri, Payangan dan Kelapa Dua, semuanya di Jakarta. Santrinya mencapai 7000 orang, 1200 anak di antaranya santri yang mondok.

Kepada Habib Kwitang, Abdullah belajar tentang dakwah dan khutbah, sementara kepada Habib Bungur, ia belajar tasawuf, kepada Habib Alwi Al-Haddad, ia belajar nahwu dan sharaf, dan kepada Guru Marzuki, ia belajar Al-Qur’an.

Pada umur 17 tahun tepatnya pada 1927, dia mulai mengamalkan ilmunya dengan membuka pengajian kecil-kecilan di rumahnya. Untuk itu, dia mengubah kandang sapi milik bapaknya. Sapi dijual, kandang dibersihkan, dan jadilah mushalla, tempat pengajian yang awalnya hanya diikuti oleh lima orang tetangganya yang umurnya lebih tua darinya dan dengan tingkat ekonomi yang lemah. Untuk praktik shalat, dia membagikankain sarung kepada mereka. Pada gilirannya, mushalla itu meningkat menjadi madrasah sesuai dengan meningkatnya jumlah murid. Madrasah yang dia beri nama Al-Islamiyah ini merupakan cikal bakal Pesantren As-Syafi’iyyah yang dikenal hingga kini.

Pada 1933, ketika berusia 23 tahun, dia mulai merintis pendirian masjid jami’ di tanah kelahirannya, Balimatraman. Tentu saja ini dimulai dari pembebasan tanah seluas 2000 meter persegi yang dibeli dari tetangga kiri-kanan sampai dengan pendirian masjid berukuran 40x40 m2. Tidak mengherankan bila pembangunan mesjid, yang kemudian dia beri nama Masjid Al-Barkah itu berjalan lambat, meski sebenarnya ada orang yang menyediakan dana besar. Masalahnya, dengan membangun mesjid itu, Abdullah juga ingin memberikan kesempatan kepada orang kecil yang ingin membantunya mewujudkan masjid tersebut. Dari mereka inilah, Abdullah mendapatkan bantuan mulai dari segenggam paku, segerobak pasir, segenggam semen , sebatang kayu, dan sebagainya, yang berupa material bahan bangunan.

Pada dasawarsa 1940-an, ia mulai membangun madrasah ibtidaiyah dan menampung murid yang mukim (tinggal), terutama dari kalangan keluarga. Hal ini  berkesinambungan sampai tahun 1957, ketika dia membangun Aula Asy-Syafi’iyyah yang diperuntukkan bagi Madrasah Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin. Pada 1965 ia mendirikan Akademi Pendidikan Islam Asy-Syafi’iyyah sebagai cikal bakal Universitas Islam Asy-Syafi’iyyah yang dibuka sejak 1968.

Di lokasi ini pula dia kemudian membangun pesantren putra dan putri tepatnya pada 1974, dan pesantren khusus untuk anak yatim dan fakir miskin pada 1978. Pemusatan Lembaga Pendidikan Asy-syafi’iyyah di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi, bermula pada 1980. Di pesantren inilah, makam Kiai Abdullah Syafi’ie berada.

Ketika radio amatir marak di Jakarta, dia juga memanfaatkan alat komunikasi ini sebagai media dakwah sejak 1967. Setiap ba’da subuh suaranya menggema lewat radio Asy-Syafi’iyyah yang diistilahkannya sebagai “jauh di mata dekat di telinga”. Dengan radio ini, sayap Asy-Syafi’iyyah makin meluas ke seluruh pelosok Jakarta dan sekitarnya, terutama dalam menunjang kegiatan pendidikan Islam dalam lingkungan Keluarga Besar Asy-Syafi’iyyah.

Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk, dia terpilih sebagai salah satu ketua, sedangkan utuk tingkat DKI, dia menjadi ketua umum selama dua periode.

Kiprahnya di MUI merupakan bentuk keseriusannya dalam memikirkan pendidikan para ulama dengan mendirikan pesantren tinggi, yaitu Ma’had Aly Daarul Arqom Asy-Syafi’iyyah di Jatiwaringin.

Selama hidupnya, Kiai Abdullah selalu membangun umat untuk mensyi’arkan agama Islam dengan mendirikan masjid, mushola dan madrasah, serta pesantren. Ia juga menggalakkan umat untuk berani dan suka dengan amal jariyah, infaq, sodaqoh, serta berwakaf. Kaum ulama dan asatidzah diajaknya bersatu. Ia juga memberikan kesempatan pada asatidzah dan ulama muda untuk tampil di tengah masyarakat. Untuk itu dia menyelenggarakan Majelis Mudzakarah Ulama dan Asatidzah.

Dari koceknya sendiri, Kiai Abdullah tidak segan-segan menyalurkan bantuan untuk menyantuni para dhuafa dengan bantuan berupa beras, pakaian, uang dan sebagainya.

Pada selasa dini hari 3 September 1985 atau 18 Dzulhijjah 1405 pukul 00.30, KH. Syafi’ie berpulang ke Rahmatullah saat dalam perjalanan ke RS. Islam, Cempaka Putih, Jakarta Pusat dalam usia 75 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari itu juga di Pesantren Putra Asy-Syafi’iyah Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi dengan penghormatan luar biasa dari Jama’ah.

Jalan sepanjang 14 km antara Balimatraman dan Jatiwaringin menjadi lautan manusia, sehingga upacara pemakaman molor hampir 3 jam. Lima kilometer menjelang jatiwaringin, mobil jenazah dimatikan mesinnya, kemudian didorong secara bergantian oleh para pentakziah sebagai rasa penghormatan terakhir mereka kepada Ulama kebanggan masyarakat Betawi itu.

Emil Salim, Menteri Perhubungan kala itu tepat sekali menggambarkan sosok Abdullah Syafi’ie. “Gagasan Beliau laksana api yang membakar jasadnya dan beliau mampu mewujudkannya. Sebagai ekonom, saya tahu tidak mudah mengusahakan dana untuk proyeknya, yaitu pembangunan masjid Al-Barkah di Balimatraman dan Universitas Syafi’iyyah di Jatiwaringin. Tapi bagi Beliau, rizki soal mudah. Nyatanya memang demikian. Tiap kali Beliau mengungkapkan idenya, masyarakat datang berduyun-duyun, menyumbang mulai dari paku, pasir, semen, batu, bahkan mobil. Ini benar-benar luar biasa,” katanya kepada wartawan.

Bersama Ir. Sutami, menteri pekerjaan umum, pada dekade 1970-an, Ia diminta K.H. Abdullah Syafi’ie meninjau Jatiwaringin yang akan dijadikan pusat kegiatan Perguruan Asy-Syafi’iyah. Sutami menjanjikan fasilitas listrik dan air, sementara Emil Salim membantu di bidang pendidikan, sebagai dosen, rektor, kemudian tim penasehat.