Ziarah ke Makam Rasulullah SAW

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

 

Ziarah ke Makam Rasulullah SAW

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

Banyak jama’ah yang menjadi sadar bahwa diri mereka kotor, berdosa, dan rendah, bahkan merasa tidak patut berhadapan dengan manusia suci, ma’shum, dan mulia itu. Mereka menangis dan sekaligus bertaubat....

Assalamu’alaika, ya Habiballah…. Begitu ucapan jama’ah di luar makam Nabi Muham­mad SAW di Masjid Nabawi. Suara me­reka ada yang serak, bergetar, bahkan banyak yang terisak atau menangis se­dih. Salam itu menandakan kerinduan me­reka kepada seorang insan yang mulia dan dimuliakan Allah, malaikat, dan manusia yang beriman.

Ada seorang jama’ah dari Pakistan menggendong anaknya yang sakit gang­guan syaraf berdoa kepada Allah de­ngan wasilah kepada Rasulullah SAW. Orang itu menangis tersedu-sedu hen­dak mendekat ke dinding makam, tetapi dicegah askar Arab Saudi.

Hampir semua jama’ah yang telah ber­diri di depan makam Rasulullah, yaitu di dekat Babul Baqi, menangis, tak kua­sa menahan haru, teringat akan per­juangan Rasulullah SAW dalam menye­bar­kan agama Islam di Makkah dan Ma­dinah dengan pengorbanan jiwa dan raga­nya. Banyak jama’ah yang menjadi sadar bahwa diri mereka kotor, berdosa, dan rendah, bahkan merasa tidak patut berhadapan dengan manusia suci, ma’shum, dan mulia itu. Mereka mena­ngis dan sekaligus bertaubat karena di masa lalu telah melakukan hal-hal yang dilarang Nabi, dan lupa atau lalai me­laksanakan kewajiban yang telah di­perintahkan oleh Rasulullah SAW.

Itulah perasaan yang terhimpun pada diri hampir semua jama’ah umrah atau haji yang berziarah ke Makam Rasulul­lah. Namun berbareng dengan itu, mere­ka sekaligus melihat secercah harapan bahwa mereka akan melangkah ke masa depan yang lebih baik.

Di makam itu, yang sebenarnya, ku­buran Rasulullah, bersama Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar, tertutup dinding batu bata berbentuk segi lima kerucut tanpa pintu. Bangunan ini dibuat di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang diameter panjangnya delapan me­ter dan lebarnya enam meter, sedang ting­gi dinding enam meter. Penutupan itu untuk mencegah para peziarah men­dekati makam  Rasulullah, yang bentuk­nya hanya gundukan tanah. Dan kenapa berbentuk lima, itu untuk membedakan­nya dengan bentuk segi empat, seperti Ka’bah di Makkah. Dinding batu itu di­tutup kiswah yang berwarna hijau.

Syaikh Al-Barzanji, yang menyaksi­kan langsung makam Rasulullah pada penghujung abad ke-13 H/19 M, berkata, “Pada tahun 1296 H (1878 M), Syaikh Mas­jid Nabawi dengan didampingi para ulama naik ke bagian atas Masjid Na­bawi, dan saya adalah salah seorang dari me­reka dalam rangka melihat se­suatu yang terjatuh ke dalam kamar ma­kam Rasulul­lah. Inilah kesempatan mulia bagi saya melihat langsung makam Ra­sulullah SAW dari atas melalui ruang ter­buka, yak­ni jendela atas.”

Di dalam arena makam itu ada tiga ku­buran, yaitu kuburan Rasulullah, ke­mu­dian agak ke utara kuburan Abu Ba­kar, yang letak kepalanya sejajar dengan perut Rasulullah, dan kuburan Umar, yang letak kepalanya sejajar dengan pe­rut Abu Bakar.

Bentuk kerucut segi lima tadi menga­rah ke utara, jadi ke arah bekas rumah Sayyidah Fathimah, dan kalau ke utara lagi Mihrab Tahajud. Saya sendiri se­nang duduk di tempat itu karena arahnya dekat dengan letak hotel yang saya tem­pati.

Memberikan salam dan berdoa di de­pan makam Rasulullah merupakan adab sopan santun kepada para peziarah yang datang ke Masjid Nabawi. Jadi ja­ngan sampai shalat, membaca doa, dan melakukan ibadah lainnya di Masjid Na­bawi tetapi menunda-nunda untuk ber­ziarah ke Makam Rasulullah.

 

Terus Diperluas

Di Masjid Nabawi, ada bangunan yang disebut “Mihrab Nabawi”. Yaitu ba­ngunan mihrab yang masih dalam area Raudhah. Sebetulnya tidak ada mihrab di dalam Masjid Nabawi selama periode pemerintahan Nabi SAW dan empat kha­lifah. Pada tahun 91 H/719 M, Umar bin Abdul Aziz pertama kali melakukan shalat di sini di dalam sebuah bentuk mihrab. Jika kita berdiri di dalam mihrab ini dan melakukan shalat, tempat sujud kita akan terletak di tempat kaki Nabi SAW berpijak. Dinding tebal mihrab ini me­nutupi tempat sujud Nabi SAW yang sebenarnya.

Kemudian ada Mihrab Utsmani, yaitu mihrab yang dibangun Khalifah Utsman radhiyallahu’anhu, mengimami shalat di tempat ini. Tempatnya lebih selatan dari makam Nabi SAW. Sekarang, imam Masjid Nabawi juga mengimami shalat di sini. Umar bin Abdul Aziz selanjutnya membangun sebuah mihrab di sini. Be­berapa jama’ah, karena hati-hati, tidak mau duduk menjadi makmum di bela­kang imam yang shalat di Mihrab Uts­mani, karena takut kuwalat, sebab mem­belakangi makam Nabi.

Ketika paham madzhab sangat ken­tal, di Masjid Nabawi pernah ada mihrab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Me­reka mengimami shalat dalam waktu yang berbeda beberapa menit, sehingga pengikut masing-masing madzhab bisa ber­kumpul. Namun sekarang mihrab-mih­rab itu dihilangkan dan hanya satu yang digunakan, yaitu Mihrab Utsmani.

Kemudian ada tempat ahlus suffah. Suffah berarti tempat berteduh. Sahabat Nabi yang miskin dan tidak memiliki ru­mah bertempat tinggal di suffah. Di sini mereka mendapat pendidikan tentang Islam dan mengamalkan Islam dengan ber­bagai cara. Jika kita berjalan dari tiang Aisyah berlawanan dengan arah kiblat, yaitu ke utara, Suffah berada sete­lah tiang kelima. Namun setelah Nabi SAW memperluas masjid pada tahun ke­tujuh Hijriyah, Suffah dipindahkan sekitar sepuluh meter ke arah utara.

Dulu di zaman Nabi, ada Sumur (Bir) Ha’. Jika kita memasuki masjid dari bagi­an paling kiri dari Babul Fahd, sumur ini ber­lokasi sekitar 15 meter ke dalam Mas­jid Nabawi dan ditandai dengan tiga ling­karan. Nabi SAW kadang mendatangi su­mur ini dan meminum airnya. Sumur dan taman yang mengelilinginya dimiliki oleh Abu Thalhah. Ketika ia mendengar ayat 92 surat Ali Imran, yang artinya, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada ke­bajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai….”, Abu Thalhah segera meng­infakkan taman ini karena meng­harap ridha Allah SWT. Inilah ketinggian iman para sahabat ketika bereaksi ter­hadap ayat Al-Qur’an dan secara spon­tan langsung mengerjakan perintah Allah dengan sungguh-sungguh dan se­penuh hati.

Mungkin para jama’ah bertanya, di mana rumah para sahabat? Salah satu­nya yang terkenal adalah bekas rumah Abu Bakar. Jika kita berjalan dari mimbar melalui Babul Shiddiq, rumah ini terletak di sebelah tiang kelima yang sejajar de­ngan Babul Shiddiq.

Suatu hari Rasulullah bersabda, “Se­mua pintu rumah-rumah yang terbuka langsung ke dalam masjid harus ditutup kecuali pintu rumah Abu Bakar.” Menurut beberapa ulama, ini menunjukkan per­lam­bang bahwa Abu Bakar akan men­jadi khalifah yang pertama.

Dalam sejarahnya, Masjid Nabawi terus diperluas, hingga sekarang ba­ngun­annya saja seluas 16.326 m2 dan me­nampung 28.000 jama’ah. Sedang lan­tai dasar seluas 82.000 m2, me­nam­pung 167 ribu jama’ah. Lantai atas se­luas 67.000 m2, menampung 90.000 ja­ma’ah. Halaman untuk shalat seluas 135.000 m2, menampung 250.000 ja­ma’ah. Jadi totalnya, Masjid Nabawi da­pat menampung 535.000 jama’ah.

 

Keutamaan dan Adab

Masjid Nabawi memiliki banyak ke­utamaan. Selain Raudhah, yang disebut “Taman Surga”, shalat di Masjid Nabawi mendapatkan 1.000 kali lipat keutama­an. Rasulullah bersabda, “Shalat di mas­jidku ini lebih utama (afdhal) 1.000 kali daripada shalat di tempat lain, kecuali di Masjidil Haram.” (HR Al-Bukhari).

Bagi peziarah Masjid Nabawi, agar memelihara adab ketika memasukinya, per­tama, masuk dengan kaki kanan sam­bil berdoa, dan berjalan dengan tenang. Doanya: Bismillahi washshalatu wassa­lam ‘ala Rasulullahi SAW Allahumaftah­liy abwaba rahmatika.

Kedua, tidak duduk di pintu masuk dan menghalangi jalan.

Ketiga, shalat Tahiyatul Masjid di Rau­dhah atau di tempat lain di dalam masjid.

Keempat, tidak melangkahi pundak orang.

Kelima, memberi salam kepada Ra­sulullah SAW dan dua orang sahabat­nya, yakni Abu Bakar dan Umar.

Keenam, tidak berdesakan ketika ke­luar masuk, maka pilihlah waktu yang te­pat, hindari saat-saat puncak kepadatan.

Ketujuh, tidak bersuara keras ketika shalat dan memberi salam, tetapi seder­hana saja.

Kedelapan, menghadap kiblat dan ber­doa untuk diri dan orangtua serta kaum muslimin.

Kesembilan, tidak menyentuh din­ding makam Rasulullah, apalagi men­ciumi, menempelkan dada dan perutnya, serta thawaf mengelilingi makam Nabi.

Di samping keutamaan shalat di Mas­jid Nabawi yang demikian besar, hadits Nabi yang lain juga menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah di masjid Nabawi sebagai berikut, “Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang shalat di masjidku ini empat puluh shalat yang tidak tertinggal satu shalat pun (berturut-turut), ia akan bersih (terlepas) dari siksa neraka, lepas dari adzab, dan bersih dari kemunafikan’.” (HR Ahmad).

Dari hadits ini kemudian muncul isti­lah arba’in (empat puluh) shalat di Masjid Nabawi, dan hampir seluruh jama’ah haji atau umrah dari Indonesia berusaha un­tuk mendapatkan arba’in di Masjid Na­bawi.

Hadits arba’in ini, menurut beberapa ulama, dapat dikaitkan dengan hadits serupa lainnya. “Siapa yang shalat ber­jama’ah (dengan ikhlas karena Allah SWT) selama empat puluh hari berturut-turut sejak takbiratul ihram yang per­tama, ia akan lepas dari kemunafikan.” (Hadits Hasan).

Adanya keutamaan itu diharapkan men­dorong kita semua melaksanakan shalat berjama’ah.

Para jama’ah Masjid Nabawi, selain shalat, dapat juga menikmati buka puasa Senin-Kamis secara gratis. Kemudian mengikuti pengajian dalam bahasa Arab, atau kalau ingin menghafal Al-Qur’an ada juga gurunya. Dan yang tidak di­lupakan juga fasilitas minum air Zamzam yang tersedia sepanjang hari. Fisik tera­sa nyaman, hati terasa adem.

Itulah beberapa keutamaan dari Mas­jid Nabawi, belum lagi keutamaan kota Ma­dinah dengan sejarahnya yang sangat menggugah iman. Kisahnya akan kami saji­kan pada edisi berikutnya, insya Allah.

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!