KH Ahmad ar-Rifa'i

di Jawa pun terjadi proses baru dalam pendalaman ilmu-ilmu agama Islam karena banyaknya santri yang belajar langsung ke Mekah. Maka tradisi kekiaian baru muncul, yakni dari lingkungan mereka yang memeriksa kembali pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang sudah cukup lama berjalan di pesantren untuk ditata di bawah kewibawaan fiqih dan peralatannya. Pada periode ini tampillah ulama-ulama fiqih dari Jawa lulusan Mekah, diantaranya Kiai Khalil Bangkalan Madura; Kiai Nawawi, Banten; dan Kiai Ahmad (Muhammad) Rifa’i, Kalisalak Pekalongan. Ketua ulama Jawi itu belajar di Mekah dalam kurun waktu yang sama dan konon pernah membuat kesepakatan menerjemahkan Alqur’an dan kitab-kitab fiqih dalam bahasa Jawa. Mereka berpendapat penerjemahan itu sangat penting demi mempercepat ilmu-ilmu agama Islam bagi pemeluk yang berbahasa Jawa.Dari ketiga ulama tersebut, Kiai Ahmad Rifa’i adalah yang paling produktif. Tak kurang dari 52 kitab meliputi bidang fiqh, tasauf dan ushuluddin ditulisnya dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf pegon. Dan dari kitab-kitab yabg ditulisnya itu jelas sekali kecintaan Kiai Ahmad Rifa’I terhadap fiqh. Bahkan ada catatan yang menyebut kecintaan itu sudah ada sebelum Ahmad Rifa’ naik haji ke Mekah dan bermukim selama 8 tahun di sana. Karena kecenderungannya terhadap salah satu aspek Islam ini, Ahmad Rifa’I pernah dituduh oleh Penghulu (Qadhi) Kendal. Karena tuduhan itu Ahmada Rifa’I masuk penjara dan keluar tak lama kemudian setelah terbukti tuduhan terhadap dirinya tidak benar.

Anak Tempuran

Kiai Ahmad Rifa’i lahir pada 1787 atau 1200 H, di desa Tempuran, Kendal yang waktu itu berada dalam wilayah Kabupaten Semarang. Ayahnya adalah Kiai Muhammad Marhumyang menjabat sebagai penghulu dan kakeknya adalah Kiai Abisuja’ alias Raden Sucawijaya. Karena ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i masih kecil, maka dia kemudian diasuh oleh seorang kakak iparnya, Kiai Asy’ari dari Kaliwungu.

Pada usia 30 tahun Ahmad Rifa’i berangkat menunaikan ibdah haji dan bermukim di tanah suci selama 8 tahun.dalam catatan lain pemuda asal Kendal itu kemudian meneruskan pelajaran di Mesir selama 12 tahun. Selama bermukim di Mekah Ahmad Rifa’I belajar berbagai ilmu agama kepada Syekh Abdul Aziz Al Jaisyi dan Syaikh Ahmad Utsman.

Ketika pulang kembali ke kampung halaman, Ahmad Rifa’I mendapati istrinya telah meninggal dunia. Dan seseorang menawarkan kepadanya janda Demang Kalisalak, Mertowijoyo, untuk dinikahinya. Ahmad Rifa’I menerima tawaran itu dan dia kemudian menetap bersama istrinya yang baru di Kalisalak. Menurut pengakuan Ahmad Rifa’i sendiri, dia sudah tidak menemukan lagi famili di Kendal.

Di Kalisalak pada awalnya Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pengajian buat anak-anak, namun lembaga itu kemudian berkembang menjadi majlis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu hal yang membuat pengajian Ahmad Rifa’I cepat masyhur adalah metode terjemahnya. Baik Alquran maupun kitab-kitab karya para ulama Arab lebih dulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid. Cara demikian bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuhnya secara sadar seperti tersirat dalam salah satu bait dalam kitab Abyanal Hawaij karya Kiai Ahmad Rifa’I :

Wajib atas saben alim-alim nuliyan

Nerjemah kitab Arab rineten

Supaya wong Njawa akeh ngerti pitutur

Saking Quran lan kitab Arab jujur

Kaduwe wong awam ngambi ilmu milahur

Dadio setengahe padha dadi kufur

Artinya :

Wajib bagi setiap manusia alim-adil (ulama)

Menerjemahkan dan menguraikan kitab-kitab berbahasa Arab

Agar orang Jawa mudah mengerti tentang

Ajaran dari Alquran serta kitab-kitab yang benar (mu’tabar)

Bagi orang-orang awam yang hendak menimba ilmu, walaupun sebagian mereka mungkin malah jadi kufur (setelah mengerti tetang yang hak, namun kemudian menolaknya).

Karena metodenya yang mengena, maka pengajian Kiai Ahmad Rifa’I cepat berkembang. Para pengikutnya bukan hanya datang dari daerah yang dekat seperti Batang dan Pekalongan, melainkan juga dari Wonosobo, Magelang dan Banyumas. Dan intensitas pengajaran fiqh yang dijalankan oleh Kiai Ahmad Rifa’I kemudian membawa ulama Kalisalak itu kepada masalah perbedaan antara tradisi yang telah mapan dengan pemikiran baru yang sedang dikembangkannya. Tradisi yang mapan dalam hal ini terwakili oleh figur-figur penghulu yang diangkat dan karenanya bekerja untuk pemerintah penajahan.

Dalam pembukaan kitab Takhyirah, Kiai Ahmad Rifa’I menyebutkan bahwa ajarannya bermazhab Syafi’I dan berpegang kepada hakekat Ahlussunah. Dalam hal tauhid Kiai Ahmad Rifa’I berpedoman kepada Imam Asy’ari dan Imam Abu Mansur Ma’turidi, sedangkan dalam tasawuf dia mengikuti Imam Junaidi Al-Baghdadi. Sementara itu, dapat diyakini para penghulu di daerah Pekalongan dan sekitarnya pun saat itu adalah ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i pula. Dengan demikian di manakah perbedaan di antara Kiai Ahmad Rifa’i dan para penghulu itu ?

Awal kehadiran Ahmad Rifa’i dalam sejarah, langsung dihadapkan pada kondisi sosial budaya dan politik yang tidak menguntungkan. Pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX sebagaimana dicatatat oleh pengamat sejarah Islam, bahwa pemeluk agama Islam berada dalam keadaan krisis keagamaan maupun social. Kemerosotan moral, akidah pada abad tersebut melanda dunia Islam. Dapat dikatakan mayoritas umat Islam dilanda kemunduran dalam berbagai bidang.

Keadaan bangsa Indonesia pada awal abad XIX dikuasai oleh bangsa kulit putih, terutama Belanda yang memecah belah umat Islam melalui para tokoh agama Islam saat itu. Keadaan tanah Jawa pada sekitar tahun 1817 masih dalam keadaan menyedihkan dimana para pemeluk agama Islam banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran wahyu, disamping hal itu banyak para bangsawan pribumi, seperti: Demang, Penghulu, Camat, Tumenggung, mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh penjajah. Mereka tidak empati terhadap penderitaan rakyat, baik dibidang ekonomi maupun politik, sebaliknya mereka berkolaborasi dengan pemerintahan penjajah Belanda yang zalim.

Waktu itu, sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa perkembangan kelompok-kelompok masyarakat yang benar-benar mengerti ajaran Islam sangat lambat. Dhofier mengutip Rafles yang berujar bahwa, hanya beberapa orang saja yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam dan perilakunya sesuai ajaran-ajaran Islam.[1] Minim pengetahuan tentang agama bukan berarti di Jawa umat Islam sedikit, berdasarkan keterangan Ricklefs, pada waktu itu Islam sebagai agama mayoritas penduduk Jawa. [2]

Kondisi masyarakat Jawa selama kelahiran KH. Ahmad Rifa’I sampai beliau pulang dari Haramain, masih tetap dalam kungkungan penjajah Belanda. Dalam keterangan di beberapa kitabnya, KH. Ahmad Rifai mengatakan bahwa pada waktu itu orang Islam sudah ada, tetapi diantara mereka banyak yang menjadi cecunguk belanda, dan sebagian ikut kepada alim yang bersifat pasik. Ulama-ulama yang berkolaborasi dengan Belanda biasanya diberi cap sebagai Alim Fasik, beberapa bait syair KH.Ahmad Rifa’i ini bisa menjadi gambaran tentang masyarakat pada waktu itu.

Ora tentu kafir iku sabab nyembah berhala

Tinemu Kafir munafik ibadah riya katula

Luwih ala kafir munafik tinimbang nyembah berhala

Kafir munafik neng dasare neraka tanda luwih ala

Mukmin kasab nandur jejagung

Iku luwih becik tinimbang ngawula tumenggung.

Kang partela ngenani dosa luwih agung

Parek-parek kufur wong cilaka digunggung “

(Belum tentu kafir itu sebab menyembah berhala

Kafir munafik itu yang beribadah dengan riya

Lebih jelek kafir munafik daripada kafirnya orang yang menyembah berhala

Kafir munafik didasar neraka itu tanda lebih hina

Mukmin yang bekerja menanam jagung

Itu lebih baik dari pada orang yang mengabdi kepada tumenggung

Yang jelas-jelas telah berdosa besar

Dekat-dekat kekufuran, orang celaka (tumenggung) dielukan.

Dalam kesempatan lain, KH. Ahmad Rifa’i menggambarkan sikap penjilat para alim fasiq, Haji, Penghulu, Demang, Tumenggung, sebagai cecunguk-cecunguk raja kafir Belanda.

” Ghalib Alim lan haji pasik pada tulung

Marang Raja Kafir asih podo junjung.

Ikulah wong alim munafiq imane suwung

Dumeh diangkat derajat dadi Tumenggung”

Sudah jadi kenyataan umum, Alim, Haji Fasik saling menolong

Kepada Raja Kafir. Mereka saling mengasihi dan saling menjunjung

Itulah orang alim munafik imannya kosong

Karena sebab diangkat derajatnya menjadi Tumenggung

Kondisi masyarakat pada waktu itu diliputi oleh kehidupan feodalisme yang berlebihan, dimana para penguasa, bangsawan dihormati secara berlebihan oleh masyarakat awam. Dalam praktek keseharian masyarakat sering melakukanseba (berjalan membungkuk melebihi posisi rukuk dalam shalat) apabila bertemu dengan para birokrat itu. Praktek Seba bagi KH. Ahmad Rifa’i merupakan perbuatan hina, nista, serta bisa dikategorikan sebagai praktek maksiat yang berdosa besar.

Sumerep badan hina seba ngelangsur

Manfaate ilmu lan amal dimaha lebur

Tinemu priyayi laku gawe gede kadosan

Ratu, bupati, lurah, tumenggung, kebayan

Maring raja kafir pada asih anutan

Haji, abid, pada tulung maksiat

Nuli dadi qodli khotib ibadah

Maring alim adil laku bener syariat

Sebab khawatir yen ora nemu derajat

Ikulah lakune wong munafiq imane suwung

Anut maksiat wong dadi Tumenggung

Satu peristiwa yang sulit dilupakan KH. Ahmad Rifa’i pada tahun 1835, ketika beliau diajak oleh kakak iparnya KH. Asy’ari menghadiri resepsi perkawinan di pendopo Kabupaten Kendal, para tamu yang menghadiri acara resepsi terlebih dahulu berseba di hadapan Bupati dan priyayi.

Perbuatan seba tersebut dianggap oleh KH. Ahmad Rifa’i sebagai munkar dan berbahaya bagi para santri, karena merendahkan martabat manusia dan menyerupai ibadah.[3] Melihat kenyataan tersebut, maka KH. Ahmad Rifa’i mengeluarkan beberapa fatwa-fatwa yang ditujukan kepada para penghulu, Camat, Demang, Lurah, yang mengabdikan dirinya kepada pemerintah Belanda sebagai perbuatan dzalim, lebih-lebih Belanda datang ke Indonesia untuk menjajah.

Kritik tersebut ditujukan kepada bangsa Indonesia yang mengikuti jejak Belanda, dengan meninggalkan bangsanya yang dijajah dan dihinakan. Menurut KH. Ahmad Rifa’i, para Demang, Lurah, Camat, yang mengikuti jejak Belanda disebut sebagai orang munafik.

Kritik-kritik yang dilancarkan KH. Ahmad Rifa’i terhadap para pejabat tersebut dianggap sebagai mengganggu ketentraman masyarakat Kendal, khususnya dan masyarakat sekitar pada umumnya, sehingga pada tahun 1847 pemerintah Belanda distrik Kendal mengambil kebijaksanaan menempatkan KH. KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak Kabupaten Batang.[4] 

Kelahiran

Ahmad Rifa’i dilahirkan di desa Tempuran Kabupaten Kendal Jawa Tengah pada tanggal 9 Muharram 1200 H, bertepatan dengan tahun 1786 M. Ayahnya bernama RKH. Muhammad bin RKH. Abi Suja’ alias Raden Soetjowidjojo, yang menjadi dalil agama di Kabupaten tersebut. Ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i pada usia 6 tahun. Saudara dekatnya yang paling besar ialah Syaikh al-’Asyari (Suami Ny. Rojiah binti Muhammad) Ulama pendiri/ pemimpin Pondok Pesantren Kaliwungu, mengasuh dan membesarkan denganpendidikan keagamaan yang benar selama 20 tahun.

Pada tahun 1230 H./1816., ketika usianya mencapai 30 tahun, Ahmad Rifa’i pergi ke Mekah untuk menunaikan kewajiban ibadah haji. Sudah menjadi tradisi pada waktu itu, orang-orang dari Jawa yang melakukan haji ke Mekah-Madinah, mereka tidak langsung pulang, tetapi lebih dulu mendalami ilmu agama disana. Sebagaimana diutarakan Azumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Abad XVIII,bahwa pada pada abad 18, dua tanahharam (Makkah-Madinah) dijadikan sentra jaringan ulama sedunia, hal ini berlanjut sampai abad ke XIX. Orang-orang dari Indonesia, disana tidak hanya puas dalam mencari ilmu, tetapi beberapa diantaranya dipercaya menjadi guru besar, sebagaimana Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Makhfudz At-Tarmisi. Kitabkarangan mereka juga masyhur di lembaga pendidikan Ahlussunah di beberapa pelosok dunia.

Selama kurun 8 tahun mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh Ahmad Usman dan Syaikh al-Faqih Muhammad Ibnu Abdul Aziz al-Jaisyi, kemudian melanjutkan belajar ke Mesir selama 12 tahun. Di Cairo beliau mendalami kitab-kitab Madzhab Syafii, dengan petunjuk dan arahan dari beberapa guru besar, yang telah menelurkan karya, diantaranya: Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al-Misry.

Sejarah tentang Ahmad Rifa’i belajar di Mesir menjadi kontroversi dalam kajian sejarah Rifaiyah. Apakah Ahmad Rifai sempat belajar di Mesir atau dia hanya mengenyam pendidikan di Haramain (Makkah-Madinah). Sumber sejarah yang masyhur dipakai pedoman penulisan sejarah masyarakat Rifaiyah adalah karya KH. Ahmad Rifa’i, juga keterangan darimurid generasi pertama sampai turun kepada generasi ke empat. Berita tentang KH. Ahmad Rifa’i biasanya dituturkan secara lisan (tutur tinular).

Tokoh-tokoh Rifaiyah mendukung keterangan bahwa KH. Ahmad Rifa’i mengenyam pendidikan di Mesir selama 12 tahun. Sejarah ini disandarkan kepada kutipan angka tahun 1255 H, akhir dari penulisan kitab Syarikhul Iman, kitab yang pertama kali ditulis oleh KH. Ahmad Rifa’i sepulang menuntut ilmu dari Timur Tengah. Kalau dihitung dari kelahiran KH. Ahmad Rifa’i yang jatuh pada 1200 H, makaSyarikhul Iman selesai ditulis, ketika KH. Ahmad Rifa’i memasuki usia 55 tahun. Kalau dihubungkan dengan keberangkatan KH. Ahmad Rifa’i ke Mekkah pada tahun 1230 H, maka sangat wajar apabila KH. Ahmad Rifai menghabiskan waktu selama 20 tahun untuk menuntut ilmu di Timur Tengah. Adapun keterangan selama 12 tahun, KH. Ahmad Rifai menghabiskan waktu di Mesir, bersandar pada catatan makalah tanya jawab yang disusun oleh K. Ahmad Nasihun, didalamnya menerangkan bahwa KH. Ahmad Rifai menghabiskan waktu 12 tahun untuk mencari ilmu di Mesir. Dalam makalahnya, K. Ahmad Nasihun mengaku keterangan tersebut merujuk kepada sumber tertulis K. Machful Karangsambo Sapuran Wonosobo.[5]

Setelah 20 tahun belajar di Timur Tengah, kemudian KH. Ahmad Rifai pulang ke Indonesia bersama Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Ketika dalam perjalanan pulang ke Hindia Belanda, ketiganya di Kapal memusyawarahkan apa yang akan diperbuat ketika mereka sudah memasuki Hindia Belanda. Musyawarah di tengah lautan itu menghasilkan mufakat, mereka merencanakan untuk menyebarkan dan memurnikan ajaran Islam dengan langkah-langkah: pertama, kewajiban menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kedua,menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab ke dalam bahasa setempat untuk mencapai kesuksesan dakwah Islamiyah,Ketiga, mendirikan pondok pesantren.

Rentetan cerita pulangnya tiga pendekar dari Timur Tengah tersebut juga masih diperdebatkan, walau cerita itu sudah masyhur di kalangan Rifaiyah, yang biasanya bersumber dari cerita turun temurun yang dituturkan dalam pengajian-pengajian, tetapi keabsahan sumber tertulis tidak ditemukan. Sumber lisan yang pertama kali mengatakan riwayat tersebut, sampai sekarang juga belum terdeteksi, sehingga bagaimanapun kita harus memakai rasionalitas pelacakan sejarah berdasakan angka tahun riwayat tiga pendekar tadi.

Penulis akan mencoba meruntut dari angka tahun kelahiran mereka. Kemudian penulis akan mensejajarkan apakah mereka dalam satu kurun atau tidak. Kita berangkat dari kelahiran Ahmad Rifa’I yang jatuh pada tahun 1200 H/1786 M. kemudian pada tahun 1230 H/ 1816 H. Ahmad Rifa’I pergi haji sekaligus mukim di Makkah untuk memperdalam ilmu. Sedangkan Nawawi Al-Bantani pada tahun 1230 H baru saja lahir ke dunia di tanah Tanara Serang Banten.[6]

Ketika Ahmad Rifa’I pergi ke tanah Haram, Syeikh Nawawi baru saja melihat sinar matahari yang pertama kali di dunia. Diriwayatkan dalam sumber yang juga tidak menemukan rujukan tertulis mengatakan bahwa keberangkatan Nawawi ke Mekkah pada usia 15 tahun. Sedangkan sumber tertulis hanya mengatakan bahwa Nawawi pada waktu itu dalam usia remaja.[7]

Seandainya benar keberangkatan Nawawi pada usia 15 tahun, maka ketika Nawawi sampai di Mekkah, Ahmad Rifa’i telah berusia 45 tahun, pada usia tersebut Ahmad Rifa’I telah menghabiskan waktu 15 tahun di Mekkah kemudian ke Mesir. Seandainya benar bahwa Ahmad Rifa’I pulang bersama Syaikh Nawawi al-Bantani dan KH. Kholil, maka dapat dibayangkan bahwa KH. Ahmad Rifa’I ketemu dengan kedua ulama pentolan itu di tanah suci Makkah atau Madinah, bukan Mesir, mengingat waktu itu Syaikh Nawawi baru saja berangkat ke Makkah.

Pada tahun 1230/1816 M, ketika usianya mencapai 30 tahun, Ahmad Rifa’i pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, dan selama 8 tahun mendalami ilmu-ilmu keislaman di bawah guru Syaikh Usman dan Syaikh Al-Faqih Muhammad Ibn Abd Al Aziz al Jaisyi, kemudian melanjutkan belajarnya ke Mesir selama 12 tahun di Kairo, dia belajar kitab-kitab fiqh mazhab Syafi’i, demikian dilakukan dengan petunjuk dan arahan guru-guru agung dan dua diantara guru-gurunya adalah Syaikh Ibrahim al Bajuri dan Syaikh Abdurrahman al Misry.

Mata rantai keguruan beliau dalam Ilmu- ilmu Syar’i sudah banyak dikemukakan, terutama oleh Al- Mukarrom K.H.Syadhirin Amin, namun sanad keguruan beliau dalam Thoriqot belum banyak diketahui orang.

Syaikh Ahmad Rifa’i berguru ilmu Fiqh kepada Syaikh Ibrahim Al-Bajuri Al-Misri yang bersambung kepada Abdillah bin Hijazy Asy-Syarqawy dari Syamsyil Khafni dari Ahmad Al-Khalifi Dari Ahmad Al-Basybisyi dari Sulthan Al-Muzahiy dari Isa ibni Al-Halaby dari Syihabuddin Ar-Romly dariIbni Hajar Aal-Haitami dari Zakaria Al-Ansyari dari Ahmad bin Hajar Al-‘Asyqalani dari Abdirrahim Al-‘Iraqy dari Alauddin bin Al-‘Atthar dari Muhyiddin An-Nawawy dari Al-Ardabily dari Muhammad bin Muhammad Shahibisy Syamilisy Shaghir dari Abdirrahim ibn Abdil Ghaffar Al-Qozwainy dari Abdil Karim Ar-Rofi’i dari Abil Fadlal bin Yahya dari Hujjatul islam Al-Ghozali dari Abdil Mulk bin Abdillah Al-Juwainy dari Abdillah bin Yusuf Al-Juwainy dari Abi Bakr Al-Qoffal Al Marwazy dari Abi Yazid Al Marwazy dari Abi Ishaq Al Marwazy dari Abil ‘Abbas Ahmad bin Syuraij dariIbnul Qosim ‘sman bin Sa’id A-Anmathy dari Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al Muzany dari Imam Al Mujtahid Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dariMuslim bin Khalid Az-Zinji dari Abdil Mulk bin Juraij dari Atha’ bin Abi Rabbah dari Abdillah bin Abbas As-Shahaby dari Rasulullah saw dari junjungan kita Malaikat Jibril as. Dari Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Suci dari segala apa yang menyekutukan. 

Syaikh Ahmad Rifa’i juga berguru ilmu fiqh kepada Ahmad ‘Usman dari Muhammad Syanwan bin Aly As-Syafi’i dari Isa bin Ahmad Al Barawy dari Ahmad Al ‘Izzi Al Faray bin Salim bin Abdillah Al Bashary dari Muhammad bin ‘Alaul Babili dari Ahmad Bin Muhammad Al Ghanamy dari Syihabuddin Ar-Romly. Semoga Allah memberikan ridla kepada mereka semua, Amin.

Adapun dalam bidang Thariqat Tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i menganut paham Imam Abu Qasim Junaidi al-Baghdadi (Lihat: “Thoriqot Gede” halaman230). Menurut keterangan Syaikh Ahmad Bajuri, Syaikh Ahmad Rifa’i adalah ulama pengikut thariqat al-Mu’tabarah al-Qadiriyah yang didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani yang mata rantainya sbb:

Sumber : An-Na’atul Khoiriyah Fi Afkari Syekh A. Rifa’i oleh DR. Mukhlishin Sa’id

Pulang Ke Indonesia

Menurut riwayat, setelah 20 Tahun belajar di Timur Tengah, kemudian Ahmad Rifa’i pulang ke Indonesia bersama syeikh Nawawi Banten dan syaikh Muhammad Kholil Bangkalan Madura. Dan pada waktu ingin kembali ke Indonesia ketiganya duduk berkeliling memusyawarahkan untuk menyatakan menyebarkan ilmu yang di perolehnya dalam bentuk tulisan, maka mereka bersepakat untuk mengamalkan kewajiban menyampaikan diantara ketiga ulama tersebut yaitu:

Mereka sepakat bahwa setiap individu wajib mengembangkan ajaran, pendidikan dan keaagamaan Islam. Maka Muhammad Kholil Bangkalan bertanggung jawab untuk menyusun kitab-kitab tentang Tauhid, syaikh Nawawi Banten bertanggung jawab menyusun kitab-kitab mengenai Tasawuf dan Syeikh ahmad Rifa’i di beri tanggung jawab untuk menyusun kitab-kitab Fiqih. Kedua ulama dari ketiganya memutuskan untuk hidup di tanah airnya, adapun Syaikh Nawawi Banten pada kesempatan lain pergi ke Mekah dan hidup disana sampai wafatnya dan di kuburkan di Ma’la. Syaikh Ahmad Rifa’i kemudian memilih tinggal di Desa Kaliwungu Kendal, agar bisa memusatkan perhatiannya merealisasikan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengarang kitab-kitab Tarajumah(terjemahan/ saduran dari bahasa Arab ke bahasa Jawi). Di samping kesibukannya dalam urusan pengajaran dan mengarang kitab, Ahmad Rifa’i bekerja keras menanamkan keislaman dan patriotisme non cooperative kepada pemerintah colonial khususnya kepada murid-muridnya dan kepada masyarakat pada umumnya. Pada waktu itu pemerintah kolonial dan antek-anteknya baru saja menyelesaikan perang Diponegoro (1825- 1830) yang ber- larut larut itu dan menguras keuangan kompeni. Maka kemudian mereka mulai mengeruk kembali kekayaan tanah Jawa dan menjarah penduduk dan tanah airnya untuk menambal kerugiannya itu dan membawanya ke negeri kincir angin Belanda.

Perlawanan Terhadap Colonial Belanda

Ahmad Rifa’i memandang, bahwa mereka itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas kesengsaraan yang telah menimpa umat islam pada waktu itu. Gerakan Ahmad Rifa’i telah menyebabkan harus berhadapan dengan pemerintah kolonial. Karena takut, pemerintah Belanda memanggil Ahmad Rifa’i dan memasukkannya ke penjara Kendal dekat Semarang tanpa alasan yang masuk akal, gara- gara dia menolak “SEBO” terhadap pembesar negeri. Sebo adalah berjalan sambil jongkok tatkala menghadap seorang pembesar/ Belanda.

Setelah keluar dari penjara Ahmad Rifa’i pindah ke desa Kalisalak (Kalisasak). Di desa tersebut dia menikahi janda Demang Kalisalak yang solehah bernama Sujinah, setelah istri pertamanya, Ummil Umrah meninggal dunia. Kalisalak adalah desa terpencil yang terletak di kecamatan Limpung kecamatan Batang, Jawa Tengah. Di desa tersebut pertama kali Ahmad RIfa’i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya semakin terkenal di kalangan orang banyak dankemudian berdatanganlah  para murid dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan,Wonosobo, dan daerah lainnya.

Kaderisasi

Untuk memperkuat dan melestarikan pengajarannya selama-lamanya, Ahmad Rifa’i RA  mempersiapkan murid-muridnya dengan cara- cara khusus seperti pengkaderan untuk masa depan tentang pemikiran dan pergerakannya. Mereka itu orang-orang yang dibelakang hari akan mengembangkan kitab-kitab terjemah/ saduran dari kitab- kitab berbahasa Arab yang telah dikarang oleh Ahmad Rifa’i tersebut dan mereka di kenal sebagai para Penerus Generasi Awal. Di antara mereka adalah Abdul Hamid bin Giwa alias kiai Hadits (Wonosobo), Abu Hasan (Wonosobo), Abdul Hadi (Wonosobo), Abu Ilham (Batang), Ilhan bin Abu Ilham (Batang), Maufura bin Nawawi (Batang), Idris bin Abu Ilham (Indramayu), Abdul Manaf dan Abdul Qahar (Kendal), Iman Tsani (Kebumen),Muharar (Purworejo), Muhsin (Kendal), Muhammad Thuba bin Rodam (Kendal), serta,Abu Salim (Pekalongan) dan sejumlah murid lainnya yang masih banyak.

Diasingkan ke Ambon

Ketika pemerintah penjajah mengetahui bahwa gerakan syaikh Ahmad Rifa’i lambat laun semakin banyak pengikutnya dari daerah lain, maka pemerintah colonial segera sadar bahwa gerakan ini dapat mengarah kepada perlawanan social kepada pemerintah colonial. Oleh karena itu dengan berbagai cara mereka merekayasa dan kemudian menangkap dan mengasingkan Ahmad Rifa’i ke Ambon pada tanggal 16 Syawal 1275 Hijriah (19 Mei 1895). Tuduhannya sangat sumir, yakni “membahayakan keamanan Negara”, dalam hal ini pemerintahan colonial Hindia Belanda.

Tidak hanya itu, untuk melawan ketenaran beliau dan mematikan karakternya (Character Assasination), kemudian mereka merekayasa sebuah karya sastra berbentuk tembang Jawa sesuai budaya Jawa yang masyarakatnya suka URO- URO (menyanyikan tembang Jawa sambil berbaring menunggu padi menguning atau sambil menggambalakan kerbau) yang dengan cara itu citra buruk Syaikh Rifa’I dicoba ditebarkan ditengah masyarakat Jawa yang suka tembang itu, dan nampaknya media itu cukup berhasil menjatuhkna citra beliau diantara masyarakat kecil. Karya sastra ini kemudian terkenal dengan Judul “ Serat Cebolek” .

Maka Ahmad Rifa’i kemudian menjadi terasing dari khalayak ramai karena dibuang ditempat yang masyarakatnya tidak seagama, tetapi beliau tidak patah semangat, beliau tidak meninggalkan jihadnya mengarang kitab sebagai wahana untuk dakwah islamiyah. Kini kitab karangan beliau tidak berbahasa Jawa tapi berbahasa Melayu. Perlu diketahui seluruh karya Ar Rifa’i di Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagian besar dalam bentuk sya’ir. Menurut keterangan bahwa beliau mengarang 4 judul kitab dan 60 kebet (2 halaman bolak- balik)  “Tanbih” (peringatan) dalam bahasa melayu ketika berdakwah di Maluku yang kitab-kitabnya kemudian dikirimkan ke murid-muridnya di Jawa melalui kurir rahasia. Kemudian Ahmad Rifa’i dipindahkan ke Kampong Jawa Tondano kabupaten Minahasa, Menado dan meninggal dunia disana setelah berumur 89 tahun, dan dikuburkan bersama para pahlawan nasional lainnya seperti P. Diponegoro dan Kiyai Mojo di Bukit Tondasa Tondano, Menado. Disini beliau sempat berkeluarga lagi dan sampai kini keturunannya bertebaran di Tondano dan dikenal dengan Marga Rifa’i.

[1] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren,(Jakarta: PT. Matahari Shakti), hlm. 8. mengutip Stanford Rafles, The History of Java, vol. II, 2 Ad, (London, 1830) hlm. 2 

[2] Ricklefs, “Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa” makalah pada Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 2000, hlm. 6

[3] Wawancara dengan K. Asmuni, H. Ali, Ranu, pada 12 September 1985 dan 15 Maret 1985, di Kendal

[4] Ibid

[5] Ahmad Naseihun, “Tjatatan Sekedar Riwajat Hidup Nja Sjeh Achmad Rifa’ie Bin Muchamad” (1968), hlm. A

[6] Umar Abdul Jabbar, “Durus min Madli al-Ta’lim wa khadliruhu bi al-masjid al-haram” (1379 H) dalam Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Syech Nawawi al-Banteni Indonesia,(Jakarta: CV. Sarana Utama, 1978) hlm. 33 lihat juga Luis Ma’luf, Kamus Arab al-Munjid

[7] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Syech Nawawi al-Banteni Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1978) hlm. 33