Abdul Qadir al-Jailany

Nama lengkapnya adalah Abu Shalih Sayyidi Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa (Zonki Dost) bin Abu Abdullah Al-Jily bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Al – Syekh Abu Muhammad Abdul Qadir Al – Jailany adalah keturunan Sayyidina Hasan.rhm, cucu Rasulullah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib; kakeknya adalah Abi Abdillah Al – Shuma’i yang berasal dari daerah Jilan, Persia ( Iran ) dan populer dengan karomah dan kemuliaannya. 

Adapun ibundanya adalah seorang ibu yang dan istimewa, yaitu Fatimah binti Abi Abdillah Al – Shuma’i; ibundanya juga memiliki karomah dan kemuliaan; keturunan Sayyidina Husein.

Jauh sebelum Syekh Abdul Qadir lahir; ayahandanya bermimpi bertemu Rasulullah saw bersama sejumlah sahabat, para Mujahidin, dan Para Wali. Dalam mimpi itu, Rasulullah saw bersabda : 

“Wahai Abu Shalih, Allah swt akan memberi amanah seorang anak laki-laki, yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian. Sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”

Abu Shalih wafat saat putranya masih teramat muda, sehingga Syekh Abdul Qadir diasuh dan dibesarkan oleh kakeknya.

Syekh Abdul Qadir lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun 471 H ( 1051 M ) di daerah al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal , at-Tamimi, pada tahun 488 H.

Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Universitas Nidzamiah, Baghdad. Sang Imam al-Ghazali.rhm ternyata lebih memilih uzlah (mengasingkan diri) dan lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. 

Di daerah itu beliau melewati masa kecilnya sampai usia 18 tahun. Kemudian pergi ke Baghdad pada tahun 488 H sampai masa akhir hayatnya. Syekh Abdul Qadir berperawakan kurus, tingginya sedang, berdada bidang dengan janggut lebat dan panjang. 

Warna kulitnya sawo matang, kedua alisnya bersambung, suaranya keras dan lantang, mudah bergaul, punya derajat mulia dan ilmu pengetahuan luas.

Binar mata Syeikh Abdul Qadir Ra terpancar dalam lingkungan yang terkenal dengan ilmu pengetahuannya serta didukung dengan berbagai karomah. Ayahandanya adalah salah seorang tokoh ulama Jilan, sedangkan ibundanya yang juga dikenal dengan karomahnya adalah putri dari Abdullah Al – suma’i, seorang ahli Makrifat, ahli ibadah dan zuhud. Maka bersemilah nuansa keilmuan, fiqih, hakikat dan makrifat didalam dirinya.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Masa kanak-kanak dan remaja.

Ibunda Syekh Abdul Qadir bercerita :

”Semenjak aku melahirkan anakku itu, ia tidak pernah menetek pada siang bulan ramadhan. Suatu kali, lantaran hari berawan, orang-orang tidak bisa melihat bulan sabit guna menentukan telah masuknya bulan Ramadhan. Lalu mereka mendatangiku dan bertanya tentang Abdul Qadir, karena mereka tahu bahwa anakku itu tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan. Aku katakan kepada mereka bahwa abdul Qadir siang itu tidak menetek. Maka mereka pun tahu bahwa hari itu adalah awal Ramadhan. Sejak itu, beliau menjadi terkenal sebagai keturunan orang-orang terhormat (mulia), yang salah satu tandanya adalah beliau tidak mau menetek kepada ibunya pada siang bulan Ramadhan.” 

Syekh Abdul Qadir bercerita :

“Ketika masih kecil, setiap hari aku di kunjungi seorang malaikat dalam bentuk seorang pemuda tampan. Dia berjalan bersamaku dari rumah kami ke sekolah dan membuat anak-anak di dalam kelas memberiku tempat di barisan pertama. Dia tinggal bersamaku sepanjang hari dan kemudian membawaku pulang ke rumah. Dalam sehari, aku belajar lebih banyak daripada pelajar-pelajar yang lain belajar dalam satu minggu. Aku tidak tahu siapa dia. Suatu hari aku bertanya kepadanya, dan dia berkata, “aku salah satu malaikat Allah swt. Dia mengirim dan memerintahkanku selama engkau belajar.” 

Dalam kesempatan lain Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita: “Setiap kali terlintas keinginan untuk bermain bersama teman-temanku, aku selalu mendengar bisikan: “Jangan bermain, tetapi datanglah kepadaku wahai hamba yang dirahmati.” Karena takut, aku berlari ke dalam pelukan ibu. Kini, meskipun aku beribadah dan berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa mendengar suara itu sejelas dulu.”

Suatu hari, malam I’dul Adha, Aku pergi ke ladang kami untuk menggarap tanah. Selama aku berjalan di belakang lembu jantan, dia memalingkan kepalanya dan melihatku, seraya berkata: 

“Engkau tidak diciptakan untuk ini!”

Aku sangat ketakutan dan berlari ke rumah dan memanjat ke atap rumah petak bertingkat. Ketika mengintai keluar, aku melihat para jama’ah haji berkumpul di padang Arafah tepat di depanku.

Aku pergi ke ibuku, yang waktu itu sudah janda, dan meminta kepadanya:

“Kirimlah aku ke jalan kebenaran, berilah aku ijin untuk pergi ke Baghdad, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bersama-sama dengan orang bijak dan orang-orang yang dekat kepada Allah swt.” 

Ibuku bertanya kepadaku,

”Apa alasan untuk permintaan yang tiba-tiba tersebut?”

Aku mengatakan kepadanya apa yang terjadi pada diriku. 

Dia menangis; tetapi mengeluarkan delapan puluh batang emas, semua adalah warisan ayahku. Dia menyisakan empat puluh untuk saudara laki-lakiku. Empat puluh batang lainnya, dia jahit kebagian ketiak mantelku. Kemudian dia mengizinkan diriku untuk meninggalkan dirinya, tetapi sebelum ibuku membiarkan aku pergi, beliau meminta diriku berjanji kepadanya, bahwa aku akan berkata benar dan menjadi orang yang jujur, apapun yang terjadi. Ibu melepaskan kepergianku dengan kata-kata:”Mudah-mudahan Allah melindungi dan membimbingmu, anakku. Aku memisahkan diriku dari orang yang paling mencintaiku karena Allah swt. Aku tahu bahwa aku tidak akan dapat melihatmu sampai hari pengadilan terakhir.”

Aku bergabung dengan sebuah kafilah kecil yang sedang pergi ke Baghdad. Ketika telah meninggalkan kota Hamadan; sekelompok perampok jalanan berjumlah enam puluh orang dengan menunggang kuda menyerang kami. Mereka mengambil segala sesuatu yang setiap orang miliki. Salah seorang di antara mereka datang kepadaku dan bertanya,: 

Anak muda, harta apa yang kamu miliki?”

Aku menceritakan kepadanya, bahwa aku mamiliki empat puluh batang emas. 

Dia bertanya : ”dimana?” 

Aku mengatakan : 

“Di bawah lenganku.”

Dia tertawa dan meninggalkanku sendiri. Perampok lainnya datang dan bertanya hal yang sama, dan aku berkata hal yang sebenarnya. Mereka meninggalkanku sendirian dan melaporkan kepada pemimpin mereka. Lalu pemimpin perampok memanggilku ke tempat dimana mereka sedang membagi hasil rampasan. Dia bertanya apakah aku memiliki sesuatu barang berharga. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki empat puluh batang emas yang dijahit di mantelku dibawah ketiak. Dia mengambil mantelku, merobek bagian lengan mantel dan menemukan emas tersebut. Kemudian dengan rasa takjub, dia menanyaiku:

”Ketika uangmu telah aman, apa yang memaksamu untuk menceritakan kepada kami bahwa kamu memiliki emas dan dimana disembunyikan?” 

Aku menjawab,” Aku harus mengatakan sebenarnya dalam keadaan apapun, sebagaimana telah ku janjikan kepada ibuku.” 

Ketika pemimpin perampok mendengar hal itu, dia menitikkan air mata dan berkata:

” Aku telah mengingkari janjiku kepada siapa yang telah menciptakanku. Aku mencuri dan membunuh. Apa yang terjadi padaku?”

Dan anak buahnya memandangnya, sambil berkata,

”Engkau telah menjadi pemimpin kami selama bertahun-tahun dalam perbuatan dosa. Sekarang juga menjadi pemimpin dalam penyesalan!” 

Semua enam puluh orang memegang tanganku dan menyatakan menyesal serta mengubah jalan hidup mereka. Keenam puluh orang itu adalah orang yang pertama memegang tanganku dan mendapatkan keampunan untuk dosa-dosa mereka.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Perjumpaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan Nabi Khidhir di Baghdad

Ketika Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra tiba di Baghdad, beliau berusia 18 tahun. Ketika beliau mencapai pintu gerbang kota, Nabi Khidir.as muncul dan menghalanginya untuk memasuki pintu gerbang kota. Nabi Khidir berkata kepadanya bahwa hal itu adalah perintah Allah untuk tidak memasuki kota Baghdad selama tujuh tahun yang akan datang.

Nabi Khidir.as membawanya ke sebuah reruntuhan di gurun pasir dan berkata:”Tinggallah disini dan jangan meninggalkan tempat ini.” Syekh Abdul Qadir tinggal disana selama tiga tahun. Setiap tahun, Nabi Khidir akan muncul kepadanya dan berkata kepadanya dimana beliau harus tinggal.

Syekh Abdul Qadir Al-jailany Ra bercerita mengenai masa tiga tahun yang di alaminya : 

“Selama menetap di padang pasir di luar Bagdhad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan rupa, terus mendatangiku, menggoda, mengusik, bahkan menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang.

Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia menyerangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang dalam peperangan tanpa henti itu. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu.

Selama beberapa tahun aku hanya makan rerumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah minum. Tahun berikutnya aku hanya minum tanpa makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh.

Aku berjalan bertelanjang kaki di atas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku merasa mendakinya. Tak sedikitpun kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.

Pada akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku mendengar satu suara menyeru: “Hai Abdul Qadir kini kau dapat memasuki Baghdad.”

Akhirnya kumasuki kota Baghdad dan tinggal beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan kemaksiatan, kesesatan dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad dengan hanya membawa al-Quran.

Namun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk kembali menyendiri di padang sahara, kudengar satu suara berbisik: “Ke mana kau akan pergi? Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat.”

“Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu? Aku harus melindungi imanku!” Seruku lantang.

“Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu.” Bisikan suara itu terdengar lagi.“Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu.” Aku tak dapat melihat siapa gerangan yang berbicara itu.

Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia berkenan membuka tabir dariku sehingga mengetahui apa yang harus aku lakukan.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Awal Mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Belajar Tasawuf

Hari berikutnya, ketika aku mengembara di pinggiran kota Baghdad, di sekitar Mudzafariyah, seorang lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan memanggilku: “Hai Abdul Qadir.”

Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia berkata: “Katakan padaku apa yang kau minta kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?”

Aku diam terpaku, tak dapat kutemukan jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sangat keras sehingga debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku.

Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu untuk memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat dengan Allah. Kelak , aku mengetahui bahwa orang itu adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.

Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke padepokan tasawuf milik Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan padepokan itu mengetahui kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani melalui ilham. Syaikh Hammad memerintah agar pintu padepokan ditutup dan lampu dipadamkan.

Setibanya di depan pintu padepokan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang hebat dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya beliau berhadats besar sehingga beliau pergi untuk mandi dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali beliau tertidur dan berhadats lagi, hingga tujuh kali dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan berwudhu dengan air yang nyaris membekukan tubuh.

Keesokan paginya, pintu padepokan dibuka dan beliau pun masuk ke dalamnya. Syaikh Hammad bangkit untuk mengucapkan salam kepada beliau. Dengan penuh suka cita, Syaikh Hammad memeluk beliau dan berkata: “Anakku, abdul Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok, engkaulah pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan jalan ini.”

Syaikh Hammad menjadi guru pertama beliau dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syaikh Hammad itulah beliau bersumpah dan memasuki jalan thariqah. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:

“Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad. Namun, setiap kali aku tak dapat memahami sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia, Syaikh Hammad memberiku penjelasan. Kadangkal aku dimintanya mencari ilmu dari ulama lain, mengenai akidah, hadits, fiqih dan lain-lain. Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu bertanya: “Ke mana saja kau? Selama kepergianmu, kami mendapatkan begitu banyak makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta jiwa dan tak sedikitpun yang kami sisakan untukmu.”

Di saat yang lain ia berkata: “Demi Allah, dari mana saja kau? Adakah orang lain di sini yang lebih tahu (alim) daripada engkau?”

Murid-muridnya mengusikku dengan mengatakan: “Kau adalah ahli fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu. Mengapa kau tidak keluar saja dari sini!?”

Syaikh Hammad menegur dan menenangkan mereka: “Sungguh memalukan! Aku bersumpah, tak ada seorang pun diantara kalian yang lebih tinggi dari tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri kepadanya (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) dan kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru akan mengujinya dan mengantarkannya kepada kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani, kedudukannya seperti batu sebesar gunung.”

Syekh Abdul qadir memahami bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap muslimin dan muslimah. Lantas dengan keseriusan dan kesungguhan, berangkatlah beliau menuntut ilmu ke para tokoh Ulama yang selalu membimbingnya. Beliau memulai masa pendidikannya dengan belajar mambaca Al-qur’an kepada Abu Al-Wafa bin Aqil Al-Hambali, Abu Al-Khitab Mahfudz Al-Kalwadany Al-Hambali dan masih banyak lagi yang lainnya, sampai fasih dalam pembacaannya.

Beliau belajar hadits dari para ulama ahli hadits di zamannya seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan Al-Balakilany dan yang lainnya. Beliau juga belajar ilmu Fiqih dari para fuqaha yang masyhur di zamannya, seperti Abu Sa’id Al-Mukharrimi. Selanjutnya beliau belajar ilmu bahasa dan sastra kepada Abu Zakaria Yahya bin Ali Al-Tibrizi. Akhirnya, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan pemahaman yang mendalam : ilmu syari’at, tarekat, bahasa dan sastra; sehingga beliau menjadi pemimpin dan guru besar mazhab Hambali. Allah swt memberikan hikmah dengan perantaraan lisannya yang memberikan wejangan dalam berbagai majelisnya.

Walaupun Syekh Abdul Qadir belajar sufi kepada Syekh Hammad ad-Dabbas, tapi yang memberikan jubah darwis ( symbol dari jubah Rasulullah ) adalah Abu Sa’ad Al Mubarak bin Ali Al-Mukharrimi, ulama terbesar pada zamannya di Baghdad, pemilik madrasah di Babulijadz, yang kemudian diserahkan kepada Syekh Abdul Qadir.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Perjuangan Kanjeng Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat Belajar di Baghdad

Semasa belajar di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah mengalami masa penceklik. Semua orang merasa kesulitan, termasuk beliau. Mengenai hal ini, beliau menuturkan:

“Aku Cuma makan duri, kacang dan daun kubis yang ada di tepian sungai dan danau. Kesulitan lain tiba-tiba masih menyusul di Baghdad. Kesulitan itu yaitu melambungnya harga-harga. Ketika itu aku sampai tidak bisa makan apa-apa. Aku bahkan harus mencari sisa makanan yang bisa dimakan. Saking laparnya, aku lalu pergi ke danau. Aku berharap bisa menemui daun kubis, kacang atau apapun yang bisa dimakan.

Sayangnya, setiap kali aku pergi ke suatu tempat , pasti sudah ada orang yang sudah lebih dulu di sana. Ketika mendapati ada orang fakir yang ikut mencari makanan, aku langsung pergi. Aku malu. Aku kembali berjalan ke tengah kota.

Setiap menemukan satu biji-bijian, aku pasti keduluan. Aku terus mencari sampai aku tiba di suatu masjid yang ada di pasar Raihaniyin, Baghdad. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan, untuk untuk memegang sesuatu saja aku sudah tidak mampu lagi. Aku lalu masuk ke dalam masjid . Aku duduk-duduk di sana.

Aku hampir mati saat itu. Untungnya ada seorang pemuda non Arab yang juga baru masuk ke masjid. Ia membawa kue lapis dan roti bakar. Ia duduk lalu makan roti yang dibawanya. Setiap kali pemuda itu hendak memasukkan makanan ke dalam mulut, mulutku seolah mengikuti gerak mulutnya seperti orang yang hendak memasukkan makanan. Itu aku lakukan karena terlalu lapar. Sebetulnya aku merasa aneh dengan apa yang aku lakukan. “Apa yang aku lakukan ini?” kataku dalam hati.

Sejurus kemudian, pemuda itu menengok ke arahku. Ia pun menawariku. Aku menolak. Dia lalu membagi makanannya untukku. Nafsukku terus menggoda, tetapi aku terus menolak. Ia pun membagi lagi. Akupun menerimanya. Aku lalu memakan makanan itu. Ia lalu menanyaiku:“Kamu dari mana? Namamu siapa?”

“Aku pelajar dari Jailan,” jawabku.

“Aku juga dari Jailan. Apakah kamu mengenal seorang pemuda dari Jailan yang bernama Abdul Qadir. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Abdullah as-Sama’i az-Zahid,” kata pemuda itu

“Itu aku,” jawabku.

Mendengar jawabanku, pemuda itu kaget dan wajahnya langsung berubah. “Demi Allah, aku sudah sampai di Baghdad semenjak tiga hari yang lalu. Kemarin aku masih memiliki beberapa bekal. Aku sudah bertanya ke mana-mana tentang keberadaanmu, tetapi tidak ada yang membantuku. Akupun menghabiskan bekalku. Selama tiga hari, aku tidak menemukan apa yang bisa aku makankecuali yang kita makan ini. Padahal kematian sudah mengancamku. Aku pun memutuskan kue lapis dan roti bakar itu aku berikan padamu. Makanlah! Habiskan saja! Itu untukmu. Sekarang aku tamumu. Sebelumnya kamu memang tamuku.” Kata pemuda itu.

Aku bertanya padanya: “Apa itu?”

“Ibumu menitipkan delapan dinar untukmu, aku pakai sebagian untuk membeli roti ini karena terpaksa. Aku benar-benar minta maaf padamu.”

Mendengar itu, aku pun menenangkannya. Aku memuji pemuda itu. Aku pun menyerahkan sisa makanan dan sedikit emas. Dia pun menerimanya lalu pergi.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani baru sadar bahwa ibunya selalu mengirimi beliau sejumlah uang. Sebagiannya sampai kepada beliau, dan sebagian lagi tidak sampai. Baghdad teralu besar dan luas. Beliau tidak mungkin mengetahui hal serumit itu sebelumnya.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Baju Kesufian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampil sebagai contoh penting yang menunjukkan bahwa mencari ilmu merupakan kewajiban suci setiap muslim dan muslimat, dari buain hingga liang lahat. Beliau mengungguli sufi terbesar pada zamannya. Beliau hafal al-Quran dan belajar tafsir kepada Syaikh Ali Abul Wafa al-Qail, Abul Khattab Mahfudz dan Abul Hasan Muhammad al-Qadhi.

Menurut sebagian sumber, beliau belajar kepada Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Muharami, ulama besar pada zamannya di Baghdad. Meski Syaikh Abdul Qadir al-Jailani belajar tasawuf dari Syaikh Hammad ad-Dabbas dan memasuki jalan thariqah melaluinya, namun beliau juga dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi Saw. dari Qadhi Abu Sa’id melalui jalur Syaikh Abul Hasan Ali Muhammad al-Qurasyi dari Abul Faraj at-Tarsusi dari at-Tamimi dari Syaikh Abubakar asy-Syibli dari Abu Qasim Junaid al-Baghdadi dari Sari as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud ath-Tha’i dari Habib al-A’dzami dari Hasan al-Bashri hingga sampai kepada Sayyidina Ali Bin abu Thalib Ra. Sayyidina Ali menerima jubah pengabdian dari Baginda Nabi Muhammad SAW. kekasih Allah semesta alam, yang menerimanya dari Jibril.AS dan ia menerimanya dari Yang Maha Besar Allah SWT.

Suatu hari, seorang bertanya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang apa yang diperolehnya dari Allah Swt. Beliau menjawab: “Ilmu dan akhlak mulia.”

Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji ( penyusun maulid Barzanji ) menulis :

Guru-guru Ilmu Fiqih Syeikh Abul Qadir :

• Abu wafa ali bin Aqiel

• Abu Khatab Al-Kalwadzani

• Muhammad bin Abu Ya’la

• Syekh Abu Sa’ad Al-Mubarak bin Muharrimi Al-Baghdadi ( guru besar Mazhab Hanafi )

• Syekh Abu Khattab Mahfudz bin Ahmad bin Hasan Al-Iraqi

Guru-guru Bahasa dan Sastra beliau :

• Syeikh At-Tibrisi

• Abu Zakarya Yahya bin Ali bin Muhammad bin Hasan Bustam As-Syaiban Al-Khotib At-Tibrizi

Guru tasawuf beliau :

• Syekh Abi Khair Hammad bin Muslim Ad-Dabbas

• Belajar di Madrasah Nizamiyah, pimpinan Imam Ghazali.

Guru-guru ilmu hadits beliau :

• Abu Muhammad bin Ja’far bin Ahmad bin Hasan Al-Baghdadi

• Abu Ghalib Muhammad bin Hasan bin Ahmad bib Hasan bin Khadzadadza Al-Baqilani

• Syekh Abu shadiq Abu Saad Muhammad bin Abdul Karim bin Kusyasyi Al-Baghdadi

• Syekh Abu Bakar Ahmad bin Muzaffar bin Husein bin Abdullah At-Tammar

• Syekh Abulqasim Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Bayan bin Razzaz

• Syekh Abu Thalib Abdulqadir bin Muhammad bin Abdulqadir bin Yusuf Al-Baghdadi Al-Yusufi, Syekh Abu Barakat

Syekh Ja’far bin Hasan Al-Barzanji berkata : 

“Syekh Abdul Qadir menguasai 13 ilmu pengetahuan. Dalam berfatwa beliau selalu menggunakan dua Mazhab, yaitu Mazhab Syafi’i dan Hambali. Beliau memang terkenal sebagai fuqaha yang sangat menguasai ilmu fiqih”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani diludahi oleh Rasulullah Saw. dan Sayyidina Ali saat Kesulitan di Awal Mengajar

Qadhi Abu Sa’id al-Muharrami mengajar di madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian ia serahkan madrasah itu kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang telah menjadi pengajar di sana. Ketika itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berusia lima puluh tahun. Ucapan beliau sangat fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi siapa saja yang mendengarnya. Murid-murid dan jama'ahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang sangat singkat, tak ada lagi tempat di madrasah itu untuk menampung mereka. 

Kanjeng Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita tentang saat-saat pertama pengajarannya:

“Suatu pagi aku bertemu Rasulullah Saw. yang bertanya kepadaku: “Mengapa kau diam saja?”

Aku menjawab: “Aku orang Persia, bagaimana aku dapat berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?”

“Bukalah mulutmu,” ujar Rasulullah Saw.

Aku menuruti perintahnya. Kemudian Rasulullah Saw. meniup (meludahi) mulutku tujuh kali dan berkata: “Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan kata-kata yang baik.”

Lalu aku shalat Dzuhur dan beranjak menemui orang-orang yang telah menantikan ceramahku. Saat melihat mereka, aku gugup. Lidahku menjadi kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku dan memintaku membuka mulut. Lalu ia meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak enam kali. Aku bertanya: “Mengapa tidak tujuh kali seperti yang dilakukan Rasulullah?”

“Karena aku menghormati Rasulullah,” ujar Imam Ali, dan ia berlalu.

Seketika itu pula meluncur kata-kata yang sangat lancar dari mulutku: “Akal adalah penyelam, yang menyelami samudera hati untuk menemukan mutiara hikmah. Jika ia membawanya ke tepian wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata. Dan dengan itu ia membeli mutiara ibadah dan pengabdian kepada Allah.”

Lalu kukatakan: “Pada suatu malam seperti malam-malam yang kualami, jika diantara kalian mampu menaklukkan birahinya, kematian akan menjadi sangat indah. Sehingga baginya, tak ada sesuatupun yang dapat menandingi keindahannya.”

Sejak saat itu dan seterusnya, baik ketika terjaga maupun terlelap, aku senantiasa menjalankan kewajibanku sebagai pengajar. Ada banyak ilmu keimananan dan agama dalam diriku. Ketika aku tak membicarakan atau melafalkannya, aku merasa ilmu-ilmu meluncur dengan sendirinya. Saat mulai mengajar. Hanya ada beberapa murid yang mendengarkanku. Namun tak lama kemudian, mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu orang.

Beliau memberikan wejangan pada bulan syawal tahun 521 H di Madrasah Abu Sa’id Al-Mukhorrimi, daerah Babulijaz, Baghdad. Beliau menyuarakan secara lantang semangat zuhud. Madarasah tersebut dipadati jama’ah sampai beliau dipindahkan ke sebuah Musholla diluar Baghdad. Jama’ah yang hadir pada saat itu sangat banyak, sekitar 70 000 orang. Murid-murid yang berguru kepadanya semakin banyak, dari kalangan ahli Fiqih, ahli Hadits, para Ulama serta ahli Sufi yang memiliki derajat keistimewaan dan kemuliaan.

Perluasan Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Madrasah dan pondok beliau tak lagi mampu menampung para pengikut beliau. Dibutuhkan tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin membantu mendirikan bangunan. Orang kaya membantu dengan harta dan orang miskin membantu dengan tenaganya. Bahkan kaum wanita di Baghdad pun membantu.

Seorang wanita muda yang bekerja secara suka rela memperkenalkan suaminya yang enggan bergotong-royong kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Ini suamiku. Aku telah menerima mahar darinya sebanyak dua puluh keping emas, separuhnya akan kuberikan kembali kepadanya dan separuh lagi akan kubayarkan jika ia ikut bekerja di sini.” Kata wanita itu.

Lalu keping emas itu ia serahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan laki-laki itupun mulai bekerja. Ia pun terus bekerja meskipun jatah maharnya telah habis. Kendati demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tetap membayarnya karena beliau tahu bahwa ia miskin.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menjadi Pemuka Agama yang Paling Mumpuni dan Disegani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama dan imam dalam ilmu-ilmu agama, kalam dan fiqih, serta tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Keberadaan beliau memberi manfaat yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan kutukannya selalu dikabulkan. Beliau memiliki banyak keistimewaan. Beliau adalah manusia sempurna yang selalu mengingat Allah, bertafakur, merenung serta belajar dan mengajar.

Hati beliau lembut, perilaku beliau santun, dan paras beliau senantiasa tampak ceria. Beliau juga selalu bersimpati dan memelihara perilaku yang mulia. Di mata orang-orang, beliau tampil sebagai sosok yang berwibawa, dermawan dan gemar memberi bantuan berupa uang, nasehat, maupun ilmu. Beliau menyanyangi sesama, terutama kaum mukmin yang taat dan selalu beribadah kepada Allah.

Penampilan beliau selalu terjaga sehingga nampak tampan dan necis. Beliau tak suka berbicara berlebihan. Jika bicara, meski cepat, setiap kata maupun suku kata beliau terdengar jelas. Bicara beliau santun dan hanya yang diucapkan hanya kebenaran. Beliau sampaikan kebenaran dengan lantang dan tegas. Beliau tak peduli apakah orang lain akan memuji, mencela, mengkritik atau bahkan memaki beliau.

Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat Yahya bin Sa’id sebagai Qadhi (kepala pengadilan), Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengkritiknya di hadapan khalayak: “Kau telah mengangkat orang yang sangat dzalim sebagai hakim atas kaum mukmin. Mari kita saksikan apa pembelaanmu ketika kau dihadapkan kepada Hakim Agung, Tuhan Semesta Alam.”

Mendengar kritikan pedas itu khalifah gemetar dan menangis . Ia segera memecat qadhi itu.

Saat itu, penduduk Baghdad mengalami kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, banyak penduduk yang benar-benar bertaubat, menjaga perilaku dan menjalankan syariat Islam dengan baik.

Orang-orang pun semakin mencintai dan menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Pengaruh beliau semakin meluas. Orang shaleh mencintai beliau dan para pelaku maksiat takut kepada beliau. Banyak orang, termasuk raja, menteri dan kaum bijak bestari, datang meminta nasehat beliau. Banyak kaum Yahudi dan Kristen yang masuk Islam karena beliau.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Pendeta yang Meragukan Mi’raj Rasulullah Saw. Dengan Ruh dan Jasadnya

Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan berpengaruh di Baghdad yang memilki banyak pengikut. ia memiliki pengetahuan yang luas tidak hanya mengetahui tradisi Yahudi dan Kristen, tetapi juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui kitab suci al-Quran dan sangat menghargai Nabi Muhammad Saw. Khalifah sangat menghormatinya dan berharap ia dan pengikutnya masuk Islam. sebenarnya, pendeta itu ingin masuk Islam. Hanya saja, ia masih meragukan bahwa Mi’raj Nabi Muhammad Saw. terjadi berikut raganya.

Mi’raj itu terjadi ketika Nabi Saw. diperjalankan dari Makkah ke Yerusalem dengan jasad dan ruh beliau. Kemudian naik ke tujuh lapis langit serta menyaksikan banyak hal. Beliau Saw. melihat surga dan neraka, lalu bertemu dengan Allah Swt. yang menyampaikan sembilan ribu kata. Saat pulang dari perjalanan itu, kasur Nabi Saw. belum mendingin dan daun yang tersentuh dalam perjalanan belum berhenti bergoyang.

Akal sang pendeta tidak menerima peristiwa Mi’raj itu dan segala yang disampaikan Nabi Saw. sepulang dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum Muslimin ketika itu yang tidak mempercayai penjelasan Nabi Saw., dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan kaum Muslimin. Karena akal tidak dapat menerima fenomena serupa itu.

Khalifah mengundang para bijak bestari dan para syaikh untuk menyakinkan si pendeta. Namun tak ada satupun yang mampu. Kemudian pada suatu sore, ia memohon kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk menyakinkan si pendeta mengenai kebenaran Mi’raj Nabi Saw.

Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani datang ke istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain catur. Saat pendeta mengangkat sebuah bidak catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Si pendeta memejamkan matanya. Ketika membuka mata, tiba-tiba ia berada di sebuah sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang deras. Ia berteriak minta tolong.

Seorang penggembala pemuda lompat ke sungai menyelamatkannya. Ketika pemuda itu memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak berpakaian dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis. Si penggembala menariknya keluar dan serta-merta menanyakan keluarga dan rumahnya.

Ketika gadis itu (pendeta) menyebutkan Baghdad, si penggembala itu mengatakan bahwa butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana. Si penggembala menghormati, menjaga dan melindunginya. Namun karena tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala menikahinya. Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak.

Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, ia tergelincir dan jatuh ke air. Ketika sadar dan membuka mata, ia dapati dirinya duduk di hadapan khalifah, memegang bidak catur dan masih bertatap pandang dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berujar kepadanya: “Hai pendeta yang malang, apakah saat ini kau masih enggan mengakui?”

Si pendeta yang masih ragu dan menganggap apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab: “Apa yang kau maksudkan?”

“Apakah engkau ingin berjumpa dengan anak dan suamimu?” Tanya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani seraya membuka pintu.

Di depan pintu istana itu telah berdiri si penggembala dengan tiga orang anaknya. Mengalami runtutan kejadian itu, si pendeta langsung menyatakan keimanan dan mengakui kebenaran Mi’raj Nabi Saw. Ia dan jamaahnya yang berjumlah sekitar lima ribu orang masuk Islam melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Allah Mencatat Tidak Akan Murka kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Meskipun dikenal orang yang lembut, santun dan penyanyang, dan selalu menepati janji jika berurusan dengan keadilan, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersikap tegas. Beliau tak pernah marah jika orang lain memperlakukan beliau dengan buruk. Namun, jika mereka mengusik agama dan keimanan, beliau akan sangat marah dan segera menimpakan hukuman yang berat.

Seorang syaikh kala itu, Abu Najib as-Suhrawardi, menceritakan:

“Pada tahun 523 H, dalam sebuah majelis yang dihadiri oleh Syaikh Hammad, gurunya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengucapkan suatu pernyataan besar. Saat itu juga Syaikh Hammad menegur beliau: “Hai Abdul Qadir, kau berbicara terlalu lancang. Aku takut murka Allah akan menimpamu.”

Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menempelkan telapak tangan beliau ke dada Syaikh Hammad: “Lihatlah telapak tanganku dengan mata hatimu. Dan katakan tulisan yang terbaca di sana.”

Ketika Syaikh Hammad tak dapat menjawab, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat tangannya lalu menunjukkan kepada Syaikh Hammad. Di sana nampak tulisan yang sangat jelas: “Ia (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) telah menerima tujuh puluh janji dari Allah bahwa ia tidak akan dimurkai.”

Manyaksikan itu, maka Syaikh Hammad, gurunya berkata: “Takkan ada sedikit pun keburukan atas orang yang dikaruniai janji itu dari Allah. Tak seorang pun kesal kepadanya. Allah merahmati siapa saja yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Para Pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Semua Mati dalam Keadaan Bertaubat

Dalam riwayat lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan: 

“Tidak ada seorang pun pengikutku yang mati sebelum bertaubat. Mereka mati sebagai hamba yang beriman kepada Allah. Setiap satu orang pengikutku yang shaleh akan menyelamatkan tujuh orang saudaranya yang berdosa di api neraka. Seandainya ada aib salah seorang pengikutku, yang berada di bagian paling barat dunia, yang akan disingkapkan secara semena-mena, maka kami, meski berada di bagian paling timur dunia, akan menutupinya sebelum diketahui siapapun.”

“Aku dikarunia kitab. Tidak semua orang dapat melihatnya. Dalam kitab itu tercantum nama para pengikutku hingga hari kiamat. Dengan rahmat Allah akan kami selamatkan mereka. Beruntunglah orang yang pernah bertemu denganku. Aku prihatin kepada orang-orang yang tidak akan bertemu denganku.”

Semua orang yang dekat dengan beliau selalu merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Seseorang pernah bertanya kepada beliau: “Kami tahu keadaan para pengikutmu yang shaleh dan apa yang telah disediakan bagi mereka di hari kiamat. Namun, bagaimana dengan pengikutmu yang berbuat maksiat?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: 

“Para pengikutku yang shaleh setia kepadaku. Dan aku setia untuk menyelamatkan mereka yang berbuat maksiat.”

Seorang wanita muda pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tinggal di Ceylon, suatu hari ketika melintas di tempat yang sepi, seorang laki-laki mencegat dan bermaksud memperkosanya. Dalam keadaan tak berdaya, wanita muda berteriak: “Wahai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani guruku tolonglah aku!”

Ketika itu di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sedang berwudhu. Orang-orang melihat beliau menghentikan wudhunya dan dengan marah beliaupun mencopot sandalnya lalu melemparkannya ke udara. Mereka tak melihat jatuhnya sandal itu. Ternyata sandal itu mengenai kepala si lelaki yang tengah menganiaya gadis itu dan menewaskannya. Konon, sandal itu kini masih ada di sana dan dijaga sebagai benda suci.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Aminnya Para Malaikat Didengar saat Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengimami Shalat

Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa, pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru mereka. Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke arah sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan di permukaan sungai. Mereka melihat semua ikan muncul di permukaan dan menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur. Mereka melihat permadani luas terhampar di atas kepala mereka, dan menutupi angkasa. Pada permadani itu tertulis ayat dengan tinta emas dan perak: “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).

Layaknya permadani terbang Nabi Sulaiman As., permadani itu terbang melayang lalu turun ke tanah. Dengan rasa takjub , tenang dan tentram, orang-orang berjalan menuju permadani itu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan pakaian yang indah juga melangkah ke arah permadani, lalu menjadi imam shalat.

Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat tangannya dan mengucapkan: “Allahu Akbar,” seluruh angkasa menggemakan kalimat yang sama. Ketika beliau shalat, para malaikat tujuh lapis langit secara tertib mengikuti beliau.

Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah,” sinar kehijauan memancar dari mulut beliau dan menyebar ke seluruh angkasa.

Di akhir shalat, seraya menengadahkan tangan beliau berdoa: “Ya Allah, demi leluhurku dan kekasihMu Muhammad Saw., dan demi para hambaMu yang bertakwa dan mencintaiMu, jangan cabut nyawa para pengikutku kecuali jika dosa-dosa mereka telah diampuni dan iman mereka telah disempurnakan.”

Semua hadirin mendengar para malaikat bersamaan berucap: “Aamiin.” Mereka mengikuti aminnya para malaikat. Lalu mereka semua mendengar suara dari dalam diri mereka sendiri: “Bergembiralah. Aku telah mengabulkan doamu.”

Rasulullah Saw. bersabda: “Syaikh yang sempurna laksana nabi bagi para pengikutnya. Dan sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani termasuk diantara syaikh yang sempurna yang telah membukakan pintu kebahagian dunia ini untuk para pengikutnya dan pintu surga di akherat kelak.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah berhasil menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi manusia sempurna berkat ilham dan perintah Nabi Saw. Beliau menjadi guru yang punya hubungan kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani Nabi Muhammad Saw

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Ketika Empat Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengadu

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki empat orang istri, yang semuanya sangat setia dan taat kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki 49 anak, 27 laki-laki dan 22 perempuan.

Suatu hari, istri-istri beliau mendatangi beliau dan berkata: “Wahai pemilik akhlak yang mulia, anak bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang yang menjadi bagian dari dirimu? Kami sangat berduka, tetapi engkau tetap sibuk dengan urusanmu seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau adalah pemimpin, pembimbing dan harapan kami di dunia maupun di akherat. Tetapi, hatimu sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar kepadamu di hari kiamat dan berharap kau dapat menyelamatkan kami?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Sahabat-sahabatku tercinta, jangan pernah mengira hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir karena kekafiran mereka. Aku mengasihi anjing yang menggigitku dan berdoa kepada Allah agar tidak menggigit orang lain dimana mereka akan melemparinya dengan batu. Tidaklah kalian tahu bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam?”

Para istri beliau berkata: “Engkau mengasihi bahkan kepada anjing yang menggigitmu, tetapi mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas anakmu yang telah dipenggal pedang kematian?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Duh sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Kau melihat anakmu dalam mimpi duniawi dan kau kehilangan dia dalam mimpi yang lain. Allah berfirman: “Dunia ini adalah mimpi.” Dunia ini adalah mimpi bagi orang-orang yang tidur. Sementara aku tetap terjaga. Aku melihat anakku ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia telah keluar dari lingkaran itu. Aku masih melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang bermain di dekatkku persis seperti saat-saat sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat dengan mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun mati, kebenaran tidak akan pernah hilang.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Godaan Setan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan para pengikut beliau berjalan kaki di padang pasir dan saat itu padang pasir benar-benar panas. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:

“Aku merasa sangat lelah dan dahaga. Para pengikutku berjalan di depanku. Tiba-tiba sekumpulan awan muncul di atas kepala, seperti payung yang melindungi kami dari terik matahari. Di depan kami muncul sebuah mati air yang jernih dan sebatang pohon kurma penuh dengan buah yang telah masak.

Lalu, muncullah cahaya yang lebih terang dari matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara:“Hai umat Abdul Qadir, akulah Tuhan! Makan dan minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa yang kuharamkan atas orang lain.”

Para pengikutku yang berada di depanku berlarian menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku berteriak menghentikan mereka. Kutantang sinar itu seraya berteriak: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk!”

Seketika, awan, cahaya, mata air dan pohon kurma itu lenyap. Setan itu berdiri di depan kami dengan rupa yang sangat buruk. Ia bertanya: “Bagaimana kau mengenaliku?”

Kukatakan pada setan terkutuk yang telah diusir dari rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah dalam bentuk suara yang dapat didengar telinga. Selain itu, aku tahu hukum Allah bersifat tetap dan berlaku atas semua orang. Dia takkan mengubahnya atau menghalalkan yang haram bagi sekelompok orang yang disukaiNya.”

Mendengar ucapanku, setan menggoda agar aku menjadi angkuh: “Hai Abdul Qadir, aku telah memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini. Sungguh ilmu dan kebijaksanaanmu lebih tinggi daripada nabi.”

Kemudian setan itu menunjuk ke arah pengikutku dan berkata: “Hanya sebanyak inikah pengikutmu? Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu karena kau laksana nabi.”

Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku berlindung darimu kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Bukan ilmu atau kebijaksanaanku yang dapat menyelamatkanku darimu, melainkan kasih sayang Allah.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memandang bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau melakukan segala sesuatu hanya karena Allah, dan tidak menisbatkan sesuatupun pada makhluk, termasuk kepada beliau sendiri. Beliau selalu mengerjakan apa yang beliau katakan. Beliau anggap sama, baik pujian atau cercaan, manfaat atau mudharat. Ilmu beliau luas dan kebijaksanaan tinggi, bagi beliau, orang berilmu dan tak mengamalkan ilmunya laksana keledai yang membawa buku.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat

Salah seorang syaikh yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-Mubarak al-Wasithi, meriwayatkan:

“Aku mengunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersama beberapa muridku. Aku membawa sebuah buku filsafat. Beliau menyalami dan memandang kami lalu berkata kepadaku:“Betapa kotor dan buruknya sahabat yang kau genggam itu. Pergi dan cucilah tanganmu.”

Aku terkejut mendengar ucapan marah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tak mungkin beliau mengetahui isi buku yang memang kusukai dan nyaris kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri dan menyembunyikan buku itu di suatu tempat untuk diambil kembali saat pulang.

Baru saja aku hendak bangkit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapku tajam dan aku tak dapat berdiri. Beliau memintaku menyerahkan buku itu. Sebelum kuberikan, aku membukanya untuk terakhir kali. Namun, tak ada satupun hurup yang kulihat. Semuanya kosong. Putih. Semua yang tertulis di sana telah hilang.

Setelah menerima buku itu, beliau amati apa yang ada di dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepadaku seraya berkata: “Inilah keutamaan al-Quran yang ditulis oleh Daris.”

Kuterima dan kubuka buku itu. Ternyata, buku filsafat itu telah diubah menjadi Fadhail al-Quran karya Ibn Daris, dengan tulisan yang sangat indah. Kemudian beliau berkata: “Maukah kau bertaubat dengan lisan dan hatimu?”

“Ya.” Jawabku.

“Berdirilah.”

Ketika aku bangkit, kurasakan semua ilmu filsafatku luruh dari fikiranku dan jatuh ke tanah. Tak satu pun kata mengenainya yang tersisa dalam fikiranku.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Dapat Membaca Pikiran Para Muridnya

Dikisahkan bahwa sekelompok orang berkumpul dekat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, berharap dapat mendengarkan ceramah beliau. Namun, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani duduk sangat lama tanpa berkata sepatah katapun. Jamaah juga duduk menanti dengan tenang.

Tiba-tiba mereka diliputi kenikmatan. Pikiran dan imajinasi mereka seakan-akan hilang. Lalu semuanya secara berbarengan memikirkan hal sama: “Apa yang tengah dipikirkan syaikh.”

Secepat pertanyaan itu muncul dalam pikiran mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Baru saja seseorang tiba-tiba datang dari Makkah bertaubat di depanku lalu pulang kembali.”

Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang dapat terbang langsung dari Makkah ke Baghdad perlu bertaubat?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Terbang di udara adalah satu hal, namun merasakan cinta adalah hal lain. Aku telah mengajarinya bagaimana mencinta.”

Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan bahwa ketika itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid di madrasah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Suatu hari, aku melihatnya pergi meninggalkan rumah dengan tongkat di tangannya. Aku berkata dalam hati: “Andai saja ia memperlihatkan keajaiban melalui tongkat itu.”

Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu mengetukkan tongkatnya ke pasir. Tiba-tiba tongkat berubah menjadi cahaya yang memancar ke langit, menyinari segalanya selama satu jam. Kemudian ia memegang cahaya itu, dan seketika berubah kembali menjadi tongkat. Beliau memandangku lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah yang kau inginkan?”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Riyadhah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Melalui diri beliau, lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Kristen menjadi Muslim. Lebih dari seratus ribu bajingan, penjahat, pembunuh, pencuri dan perampok bertaubat dan menjadi orang shaleh. Beliau menuturkan bagaimana beliau mencapai keutamaan itu:

“Selama 25 tahun aku berkelana di padang sahara Irak. Aku tidur di reruntuhan bangunan. Selama 12 tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di Sahara Syustar, yang berjarak 12 hari perjalanan dari Baghdad. Aku berjanji kepada Tuhanku bahwa aku tidak akan makan dan minum sebelum meraih kesempurnaan ruhani.

Pada hari ke-40, seseorang datang membawa setumpuk roti dan makanan, kemudian meletakkannya di depanku. Lalu ia menghilang. Tubuhku berteriak: “Aku lapar, aku lapar!”

Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati. Mengapa kau tidak makan?” Tetapi aku tidak melanggar sumpahku kepada Allah.

Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami lewat di hadapanku. Ia mendengar jeritan lapar tubuhku, meski aku tidak mendengarnya. Ia menghampiriku dan ketika melihat keadaanku yang lemah, ia berkata: “Apa yang kulihat dan kudengar ini, wahai Abdul Qadir?”

Jawab Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Jangan hiraukan wahai sahabatku. Itu hanyalah suara nafsu yang menantang dan tidak setia. Padahal jiwaku tunduk kepada tuhanku dengan keadaan gembira, tenang dan bahagia.”

“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta Abu Sa’id.

Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku berkata: “Aku takkan meninggalkan tempat ini hingga datang perintah Allah.”

Tak lama setelah itu, Nabi Khidhir datang dan berkata: “Pergilah dan ikutlah bersama Abu Sa’id.”

Setelah menerima perintah itu, aku pergi ke Baghdad, ke madrasah Abu Sa’id. Kudapati ia sedang menungguku di depan pintu. “Aku telah memintamu untuk datang,” katanya. Lalu ia memberiku jubah darwis. Sejak saat itu, aku tak pernah meninggalkannya.

Selama 40 tahun aku tak pernah tidur malam. Aku mendirikan shalat dengan wudhu shalat Tahajudku . Aku membaca al-Quran setiap malam untuk menghilangkan kantuk. Aku berdiri dengan satu kaki dan bersandar ke dinding dengan satu tangan. Aku tidak beranjak dari posisiku hingga khatam al-Quran.

Ketika rasa kantuk tak dapat kutahan, satu suara akan menyeru dan mengejutkan seluruh tubuhku: “Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu untuk tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu kehidupan. Karena itu, meskipun kau hidup, kau tidak mengenal kami.”

Suatu hari, seseorang bertanya: “Wahai Abdul Qadir, kami mendirikan shalat, berpuasa dan menaklukkan nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak menerima tingkatan ruhani yang tinggi dan mendapatkan karamah sepertimu?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Pantas saja, kau hanya berusaha menyaingiku dalam amal. Kau kira telah melakukan apa yang kulakukan, padahal kau hanya meniruku. Kau mencerca Allah karena tidak memberimu imbalan yang sama. Allah adalah saksiku ketika aku tak makan dan tak minum kecuali jika Penciptaku memerintahkanku. Makan dan minumlah, kau berhak atasnya karena aku dan demi tubuh yang telah kuberikan kepadamu. Tak pernah kulakukan sesuatu pun tanpa perintah Tuhanku.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Ketika Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Ali bin Musafir menuturkan: 

“Bersama ribuan orang lainnya, aku berkumpul untuk mendengarkan ceramah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di tempat terbuka. Ketika ia berbicara, hujan turun lebat dan sebagian orang mulai meninggalkan majelis. Langit tertutup awan pekat. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa: “Ya Allah, aku telah berusaha mengumpulkan manusia demi Engkau, apakah Engkau menjauhkan mereka dariku?”

Tak lama kemudian hujan pun berhenti. Tak ada setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selesai berceramah, meskipun di luar tempat kami berkumpul hujan turun dengan derasnya.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Takluknya Orang Terkaya Baghdad di Hadapan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Dikisahkan bahwa Abdus Shamad bin Humam termasuk orang terkaya di Baghdad. Ia dikenal sangat cinta dunia, sombong dan takabur. Ia bangga telah memiliki dunia dan banyak orang yang bekerja kepadanya, ia mengira dapat menguasi dan memerintah mereka untuk melakukan apa saja sesenang hatinya.

Sebagai materialis sejati, ia terang-terangan tidak menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengingkari karamahnya. Ia menuturkan pengalamannya berikut ini:

“Sebagaimana kalian ketahui, aku tak pernah menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun kekayaanku berlimpah dan aku dapat memiliki apapun yang aku inginkan, aku tak pernah merasa puas senang dan tenang.

Pada suatu Jum’at, ketika aku lewat di dekat madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku berkata dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang telah menarik perhatian banyak orang melalui karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di masjidnya!”

Masjid itu telah penuh sesak. Aku merengsek menerobos kerumunan orang dan kuperoleh tempat persis di bawah mimbar. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mulai menyampaikan khutbahnya dan apapun yang dikatakannya membuatku jengkel.

Tiba-tiba aku merasa mulas ingin buang hajat. Tetapi aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut dan sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat kutahan.perasaan jengkelku kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.

Namun, ketika aku dibasahi keringat dingin karena malu dan menahan mulas, pelan-pelan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuruni tangga mimbar dan berdiri di atasku. Seraya berkhutbah, ia menutupiku dengan bagian bawah jubahnya. Tiba-tiba saja aku telah berada di lembah yang hijau dan indah. Kulihat sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih. Segera saja aku buang hajat lalu membersihkan diri dan berwudhu. Setelah itu, kudapati diriku kembali berada di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia pun kembali ke atas mimbar.

Aku sangat takjub. Tidak hanya perutku yang merasa nyaman, hatiku pun merasa tentram, semua kejengkelan, amarah dan kekesalan sirna sudah.

Usai shalat, aku keluar dari masjid dan pulang. Di tengah jalan, aku sadar bahwa kunci lemariku hilang. Aku kembali ke masjid dan mencarinya, namun tak kutemukan.

Keesokan harinya aku harus melakukan perjalanan niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami tiba di sebuah lembah yang sangat indah. Seakan-akan dituntun ke tepi sungai yang sangat jernih. Aku langsung teringat bahwa di sinilah aku buang hajat dan membersihkan diri. Kini, sekali lagi kubersihkan diri. Dan ternyata, di sana kutemukan kembali kunci lemariku. Sekembali ke Baghdad, aku menjadi pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menghidupkan Tulang Belulang

Karena terpikat oleh ketenaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang perempuan dari Baghdad memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan berkata: “Kuserahkan anakku kepadamu. Anggaplah ia sebagai anakmu sendiri, dan besarkanlah ia seperti dirimu.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menerimanya dan mulai mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan penaklukan hawa nafsu.

Selang beberapa waktu, si ibu datang melihat keadaan anaknya yang ternyata bertubuh kurus, pucat dan tengah makan roti kering. Ia marah dan meminta bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Sang ibu melihat syaikh berpakaian rapi, duduk di ruang yang menyenangkan dan tengah memakan daging ayam.

“Sementara kau makan daging ayam! Anakku yang malang yang kutitipkan kepadamu tengah mengunyah sepotong roti kering.” cercanya.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan tangannya di atas tulang ayam lalu berkata:“Dengan nama Allah yang membangkitkan tulang dari debu, hiduplah!”

Lalu beliau angkat tangannya dan ayam itupun hidup lalu berlari ke atas meja seraya berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menoleh ke arah perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat melakukan hal ini, ia dapat makan apapun yang diinginkan.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Lebih Tinggi Daripada Leher Semua Wali

Suatu malam, lima puluh syaikh terkemuka pada zamannya di Baghdad berkumpul di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin Harb, yang menuturkan kisah berikut:

“Malam itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tengah mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan dari mulutnya. Kami benar-benar merasa tenang dan khusyuk, perasaan yang tak pernah kami alami sebelumnya.

Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk ke arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi daripada leher semua wali.”

Tak lama kemudian, salah seorang muridnya, Syaikh Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ditempelkannya kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke lehernya, lalu kami semua mengikutinya.

Diantara hadirin yang lainnya, yakni Syaikh Abu Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi daripada leher wali.”

Kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku, aku melihat semua wali di dunia berdiri di hadapannya, menutup seluruh penglihatanku. Semua yang hidup hadir secara jasmani, semua wali yang sudah meninggal hadir secara ruhani, langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib lainnya. Sejumlah malaikat turun dan memberi jubah Rasulullah kepadanya. Lalu kami mendengar suara berkata:

“Hai penguasa zaman dan pembimbing agama, wahai pengamal firman Allah Yang Maha Pengasih, wahai pewaris kitab suci, penerus Rasulullah, wahai orang yang diserahkan kepadanya kekuatan langit dan bumi, yang doanya dikabulkan, jika ia meminta hujan hujan akan turun, wahai yang dicintai dan dimuliakan seluruh makhluk.”

Usai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada di hadapan beliau, melainkan semua ulama merasakan bertambahnya ilmu mereka, kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati mereka, dan tingkatan ruhani mereka.

Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh dunia Islam, semua syaikh dan guru bersujud untuk menghormati dan menerima kepemimpinannya. Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada beliau untuk bertaubat dan disucikan kembali. Para bajingan, pencuri dan penjahat datang kepada beliau lalu menjadi pengikut beliau. Dan beliau menjadi pusat kutub ruhani.

313 wali pada zaman itu, termasuk diantaranya 17 orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak, 40 di Iran, 20 di Mesir, 30 di Damaskus, 11 di Abissinia, 7 di Ceylon, 27 di barat, 47 di daerah terpencil di gunung Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan Ma’juj, dan 24 di belahan dunia lainnya hingga di lautan. Semuanya patuh dan tunduk, kecuali satu orang Persia.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Syaikh Persia karena Kesombongannya kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah. Ia mendirikan shalat lebih banyak dari siapapun dan terus-terusan berpuasa. Ia sering beribadah haji ke Makkah. Ia sangat mendambakan ridha Allah. Selama lima puluh tahun ia mengasingkan diri bersama empat ratus orang muridnya, yang dilatih siang dan malam untuk menyempurnakan diri. Ia banyak memiliki ilmu dan karamah.

Ketika ucapan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sampai kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah haji bersama murid-muridnya, di kota suci Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani atau mengagungkan dirinya sendiri, ia menolak menghormati dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Malam harinya, ia bermimpi meninggalkan Makkah menuju Bizantium dan di sana ia menyembah berhala. Karena sedih mendapatkan mimpi itu, ia kumpulkan semua murid-muridnya dan mengatakan ia harus pergi ke Bizantium untuk menyingkap makna mimpinya. Mereka mengikutinya dengan setia.

Ketika memasuki kota itu, ia melihat seorang gadis cantik berdiri di balkon. Rambut gadis itu hitam sepekat malam, matanya laksana dua purnama dengan alis mata tebal melengkung bagaikan bulan sabit kembar, parasnya memikat para pecinta, bibirnya merah delima tampak basah dan lembut. Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi. Lekat-lekat ia menatapnya, hasratnya membara meruapi rongga dadanya. Karena cintanya kepada gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya. Kecantikan gadis itu benar-benar menjadi pemuas nafsu iblis.

Ia berdiri di depan pintu gadis kafir itu dengan mulut terbuka seraya menatap lekat-lekat ke arah balkon, berharap dapat melihatnya lagi. 

Pikirannya terkoyak. Puasa yang dilakoni bertahun-tahun dan menguruskan badannya tak dapat membandingkan derita yang dialami kini, begitu pikirnya. Ia kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya untuk memahami keadaan ini, namun semua pengetahuan telah sirna meninggalkan dirinya.

Dengan rasa takut segan, murid-muridnya memohon kepadanya untuk pergi bertaubat dan berdoa. Ia menjawab bahwa sekira ia harus bertaubat, ia akan bertaubat dari kebodohan telah menyisihkan dunia dan kesenangan hanya karena agama. Jika diharuskan berdoa, ia akan memohon kepada gadis itu daripada kepada Allah.

Ketika diperingatkan akan adzab Allah dan neraka, ia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat memadamkan tujuh neraka. Mereka berusaha keras membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka sia-sia, mereka pun meninggalkannya.

Syaikh itu diam sebulan suntuk di depan pintu pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak tangga sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan bersama anjing-anjing kudisan.

Akhirnya, si cantik kafir itu membukakan pintu dan berkata: “Hai orang tua yang mengaku syaikh muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan kafir.”

Ia berkata: “Akan kuserahkan bukan hanya agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat menyentuh bibirmu.”

“Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu. Betapa beraninya kau menciumku sementara kau sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak sudi aku menyentuhmu.”

Tanpa memperdulikan caci maki gadis itu, ia tetap berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi dan berkata kepadanya: “Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau harus keluar dari Islam, membakar al-Quran, menyembah berhala dan minum arak.”

Ia berkata: “Aku tak dapat sepenuhnya meninggalkan Islam dan membakar al-Quran, tetapi aku bersedia minum arak demi kecantikanmu.”

“Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”

Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan pikirannya menyala-nyala. Ia mencoba mengingat al-Quran yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun yang diingatnhya . Dalam keadaan mabuk ia berusaha menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu menampiknya: “Tidak, kecuali jika kau menjadi orang kafir sepertiku dan membakar kitab sucimu.”

Ia turuti permintaan pelacur itu. Dilemparkannya al-Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia menyembah berhala. Sekali lagi ia berupaya menyentuh gadis itu. Namun, sekali lagi gadis itu menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak nafsu yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak punya harta, bukan pula orang yang tenar. Bagaimana mungkin gadis sepertiku mau melayani pengemis jorok sepertimu? Aku butuh , emas, perak dan sutera. Karena kau tak punya apa-apa enyah saja kau dari hadapanku!”

Waktu terus berlalu, ia masih saja berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Akhirnya, suatu hari, gadis itu menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi penggembala babi-babiku selama satu tahun.”

Tanpa daya, ia pun menjadi penggembala babi.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya Iman di Akhir Hayatnya

Berita sedih mengenai syaikh yang tidak menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pun tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan dirinya telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha menemui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang tidak tunduk dan menjadi seekor kambing bagi seorang penggembala, ia akan menjadi penggembala sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap orang memiliki seribu babi, yakni seribu berhala di hatinya, yang hanya dapat diusir dengan ketundukan dan pertaubatan.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga memarahi mereka karena meninggalkan guru mereka. Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berdoa bagi orang tua yang sesat itu dan meminta para muridnya untuk kembali ke Bizantium dan memberitahu guru mereka bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.

Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium. Sepanjang jalan mereka selalu berdoa bagi guru mereka. Mereka berpuasa dan berdoa memohon kepada Allah untuk memberikan pahala mereka untuk guru mereka. Mereka bershalawat kepada Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.

Anak panah doa itu melesat mencapai sasaran. Ketika bertemu dengan orang tua itu, mereka melihatnya bercahaya di tengah kumpulan babi. Dan ketika diberitahukan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya menghadap, segera ia campakkan pakaian kekafiran. Air mata penyesalan mengalir deras, dan ia angkat tangan ke langit untuk bersyukur. Seketika itu juga semua yang telah dilupakannya, al-Quran dan rahasia Ilahi, kembali kepadanya. Kini ia terbebas dari kehinaan dan kebodohan, setelah itu ia mandi berwudhu dan berangkat ke Baghdad.

Ketika peristiwa itu berlangsung, gadis kafir itu bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut agamanya, jadilah debu di kakinya. Kau yang pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang telah menariknya ke jalanmu, kini masuklah ke jalannya.”

Ketika bangkit dari tidur, ia rasakan perubahan pada dirinya, ia berlari menyusul syaikh dan murid-muridnya. Tanpa makan dan minum, melewati lembah dan pegunungan. Akhirnya, di tengah-tengah padang sahara , ia jatuh ke tanah, ia berdoa: “Wahai Dzat yang telah menciptakan aku, ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah menantang agama dan jalanMu. Namun kulakukan itu karena kebodohanku, sebagaimana syaikhku melakukannya karena kesombongan. Kau telah mengampuninya. Kini ampunilah aku. Aku tunduk dan menerima agama yang benar.”

Allah memungkinkan syaikh , yang memang belum terlalu jauh, mendengar ucapannya sehingga ia dan murid-muridnya segera kembali dan mendapatinya tengah berbaring. Wanita itu berkata: “Kau telah membuatku malu. Ajari aku Islam agar aku dapat bertemu dengan Tuhanku melalui agama ini.”

Ketika syaikh menjadi saksi atas keimanannya dan para muridnya menangis haru, wanita itu hembuskan nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak lebih dari setetes air di samudera khayal, telah berpulang ke samudera sejati. Syaikh itu pun datang ke Baghdad lalu menundukkan lehernya dengan penuh hormat di bawah kaki Kanjeng Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Seiring dengan semakin meluasnya pengaruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke seluruh dunia, banyak murid beliau meraih kedudukan penting, dan banyak penguasa menjadi muridnya. Ia menugaskan sebagian muridnya untuk menjadi wakilnya sesuai dengan kemampuan, kualitas batin dan tingkatan ruhaninya masing-masing. Sebagian mereka diangkat sebagai guru ruhani dan sebagian lainnya menjadi hakim. Bahkan, tidak sedikit yang diangkat sebagai gubernur dan raja.

Dikisahkan bahwa ada seorang fakir yang telah mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani selama empat puluh tahun. 

Selama itu, ia telah menyaksikan beberapa murid yang jauh lebih muda darinya dan belum lama mengabdi, telah ditunjuk Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk menempati jabatan penting. Suatu hari ia menghadap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengajukan permohonan. Ia telah mengabdi kepada syaikh selama bertahun-tahun dan kini usianya semakin tua. Mengapa ia belum juga ditunjuk untuk menempati pos penting seperti murid yang lain.

Belum lagi ia tuntas menyampaikan maksudnya, satu utusan dari India datang. Mereka ingin Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk seorang maharaja bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatap pembantunya itu dan berkata: “Apakah engkau menyukai jabatan ini? Apakah engkau memenuhi syarat?” Pelayan itu mengangguk kegirangan.

Ketika para utusan itu keluar rumah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada pembantunya: “Aku akan mengangkatmu sebagai raja di sana dengan syarat kau harus berjanji untuk memberikan kepadaku separuh dari keuntungan dan kekayaan yang kau peroleh selama berkuasa.” Tentu saja pelayan itu menyanggupinya.

Orang tua itu bekerja di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus mengaduk hidangan yang akan disajikan. Setelah berbicara dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, ia kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu di sebuah kuali raksasa dengan sendok kayu. Di tengah pekerjaan itu ia dipanggil untuk pergi bersama para utusan itu ke India sebagai raja mereka.

Di negeri itu, ia dinobatkan sebagai raja. Ia dapatkan kekayaan berlimpah, ia bangun banyak istana untuk dirinya sendiri, ia menikah dan punya seorang anak laki-laki. Ia sepenuhnya telah melupakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji yang diucapkannya.

Pada suatu hari, ia menerima pesan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani akan datang mengunjunginya. Ia bersiap-siap menyambut kedatangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Setelah upacara, prosesi dan pesta yang megah, mereka berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan kesepakatan mereka, yaitu bahwa ia harus memberikan separuh dari semua keuntungan yang dikumpulkannya selama berkuasa. Maharaja itu jengkel ketika diingatkan akan janjinya. Kendati demikian, ia berjanji esok lusa ia akan menyerahkan separuh dari semua kekayaannya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Keserakahan yang bertambah seiring bertambahnya kekayaan tak membiarkannya membuat daftar kekayaan dengan jujur. Tepat pada hari yang direncanakan, ia membawa daftar kekayaanya itu yang menyerahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meski daftar itu mencantumkan banyak istana dan kekayaan, semua itu hanyalah sebagian kecil dari kekayaan yang sesungguhnya.

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampak puas dengan bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Kudengar kau juga memiliki seorang anak laki-laki.”

“Iya, sayangnya cuma seorang. Sekiranya ada dua, tentu akan kuberikan salah seorangnya kepadamu.”

“Tidak apa-apa, bawalah anak itu.” Tukas Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat membaginya.”

Anak itu dibawa di hadapan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menghunus pedangnya yang tajam tepat di atas bagian tengah kepala anak itu. “Kau akan mendapatkan separuhnya dan separuhnya lagi menjadi bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Sang ayah yang ketakutan, menghunus belatinya dan kedua tangannya ditusukkan ke dada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata terpejam. Ketika membuka matanya, ternyata ia sedang mengaduk makanan di kuali besar dengan sendok kayu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapnya dan berkata: “Seperti kau lihat sendiri, kau belum siap menjadi wakilku. Kau belum memberikan segalanya, termasuk dirimu, kepadaku.”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah menyerahkan dirinya kepada Allah. Malam beliau lalui dengan sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali untuk Tahajjud dan tafakur. Sebagai pengikut setia Rasulullah Saw., beliau gunakan waktu siangnya untuk mengabdikan diri kepada umat manusia. Tiga kali dalam seminggu beliau berceramah di hadapan ribuan orang.

Setiap pagi dan sore beliau mengajar tafsir, hadits, tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat Dzuhur, beliau mengisi waktu dengan memberi nasehat kepada umat, baik pengemis maupun raja, yang datang dari belahan dunia. Sebelum Maghrib baik ketika hujan maupun cerah, beliau telusuri jalan-jalan untuk membagikan roti kepada kaum fakir.

Karena berpuasa nyaris sepanjang tahun, beliau hanya makan sekali dalam sehari setelah shalat Maghrib dan tak pernah sendirian. Para pelayan beliau berdiri di depan pintu seraya bertanya kepada setiap orang yang lewat apakah mereka lapar dan meminta mereka untuk makan bersama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada hari Sabtu tanggal 8 Rabiu’ts Tsani tahun 562 H/1166 M. Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad telah menjadi tempat ziarah penting bagi kaum Muslimin, dan khususnya kaum sufi.

Ketika beliau sakit, putra beliau, Abdul Aziz melihatnya meringis menahan sakit yang luar biasa. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergulingan di atas tempat tidur. “Jangan cemaskan aku.”Kata beliau kepada putranya. “Aku telah tengah berubah terus menerus dalam pengetahuan Allah.”

Ketika putra beliau, Abdul jabbar, menanyakan bagian mana tubuhnya yang teras sakit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Semuanya, kecuali hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada bagian ini karena ia bersama Allah.”

Putra beliau yang lain, Abdul Wahab, berkata kepada beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang dapat kuamalkan setelah ayah wafat.”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Takutlah hanya kepada Allah. Berharaplah kepada Allah, dan sampaikan segala kebutuhanmu kepadaNya. Jangan berharap atau menghendaki sesuatupun dari selain Allah. Bertawakallah hanya kepada Allah, bersatulah denganNya, bersatulah denganNya.”

Sebelum wafat, beliau memandangi sekeliling dan berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka yang tak pernah kalian lihat telah datang kepadaku. Berikan ruang dan bersikap santunlah kepada mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian melihatku bersama kalian, padahal aku bersama yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”

Kemudian beliau berkata: “Wahai malaikat maut, aku tak takut kepadamu atau apapun selain Allah yang telah menemaniku dan bersikap baik kepadaku.”

Pada detik-detik terakhir, beliau angkat tangannya dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Segala puji bagi Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala puji bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang mengalahkan hambaNya dengan kematian.”

Setelah menyeru: “Allah, Allah, Allah,” ruh beliau pun pergi meninggalkan jasad beliau.

Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau memberi barakah kepada kita semua. Aamiin.

Beliau telah menyusun banyak karya dalam bidang ushul fiqih, tasawuf dan hakikat. Di antara karya-karyanya adalah :

1. Ighatsah Al-Arifin wa Ghayah Muna Al-Washilin ( Pertolongan untuk ahli Makrifat dan tujuan ideal para ahli Makrifat ).

2. Awrad Al-Jailany wa Ad’itatih ( beberapa wirid dan doa-doa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany )

3. Adab Al-Suluk wa Al-Tawashul ila Manazil Al-Muluk ( adab penempuhan Ruhani menuju kerajaan ilahi )

4. Tuhfat Al-Muttaqin wa Sabil Al-Arifin ( persembahan orang-orang bertaqwa dan jalan para ahli Makrifat )

5. Jala’ Al-Khathir fi Al-Bathin wa Al-zhahir ( penampakan hati tentang yang batin dan zhahir )

6. Risalah Al-Ghautsiyah ( Risalah Wali Ghauts – tingkatan wali dibawah kedudukan nabi SAW )

7. Risalah fi Al-Asma’ Al-Azhim li Al-Thariq ila Allah ( Risalah tentang beberapa nama Allah guna menuju kepadanya )

8. Al-Gunyah li Al-Thalib Al-Haqq ( Rasa kecukupan bagi para pencari Al-Haq ).

9. Al-Fathur Rabbani wal Faydur Rahmani

10. Sittin Majalis

11. Hizbul Raja’ul Intiha

12. Al-hizbul Kabir

13. Ad-Du’aul Awrad Al-fatihah

14. Ad-Du’a al-Basmalah

15. Al-Fuyudath Rabbaniyyah

16. Mi’raj Latif al-Ma’ani

17. Yawaqit Hikam Sirul Asrar

Masa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany yaitu abad ke 5 H, adalah masa yang masyhur dengan cakrawala ilmu pengetahuan dan maju dalam bidang sastra. Pada masa itu muncul para ulama besar dan para penulis yang handal seperti : Abu Ishaq Al-Syairazy, Al-Ghazali, Abu Wafa bin Aqil, Abdul Qadir Al-Jurjany, Abu Zakaria Al-Tabrizy, Abu Qasim Al-Hariry, Al-Zamahsary dll. Mereka itulah yang memenuhi abad tersebut dengan menguasai berbagai aspek rasionalitas dan berbagai orientasi. Mereka juga adalah para tokoh sastra dan intelektual. Tidak seorangpun pada masa tersebut yang bisa mewarnai masyarakatnya, kecuali harus terjun kedalam gelanggang ilmu pengetahuan yang merupakan kehidupan ilmiah dan berbagai sumber disiplin ilmu pengetahuan. Diberbagai daerah penuh dengan tempat belajar dan halaqah pembelajaran seperti kota Baghdad.

Dalam masyarakat berperadaban waktu itu tidak ada seorangpun yang terkenal dan memiliki pengaruh amat luas, kecuali seorang ulama yang sangat tinggi wawasan ilmu pengetahuannya, kemampuan dalam ilmu keagamaan dan ilmu keduniawian, bahkan para ulama selanjutnya mengakui keistimewaan tersebut dan mengklaim dia sebagai seorang ulama yang paling luas wawasan intelektualnya.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Akhlak mulia Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra. 

Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra memiliki sifat-sifat yang terpuji dan juga mempunyai peninggalan karya ilmiah yang banyak, bahkan secara mutawatir dikenal karena berbagai daya dan karomah yang beliau miliki.

Beliau selalu berpakaian khas Ulama, berselendang ( serban), menunggang keledai, berbicara di atas kursi yang tinggi. Terkadang beliau berjalan beberapa langkah di udara di atas kepala orang-orang yang hadir, lalu kembali ke kursinya. Beliau pernah berkata :

“Aku pernah melewati hari-hariku tanpa makan sama sekali. Ketika itu datang seseorang membawa sebuah wadah yang ternyata berisi sejumlah dirham dan makanan di atasnya. Aku pun mengambil sekerat roti, lalu duduk menyantapnya.”

Namun tiba-tiba di hadapanku ada secarik kertas yang bertuliskan :

“Allah swt mengatakan didalam sebagian kitab yang diturunkannya bahwa Nafsu Makan itu hanya dijadikan bagi makhluk-makhluk yang lemah agar mereka sanggup(bertenaga) untuk melaksanakan ketaatan kepada Ku. Sedangkan bagi mereka yang kuat, maka nafsu makan itu tidak perlu bagi mereka. Membaca tulisan itu, aku segera meninggalkan makanan itu, lantas pergi.”

Suatu kali beliau bercerita tentang dirinya :

”Pada awal-awal kehidupanku, aku mengalami masa-masa sulit, namun aku hadapi dengan tabah. Kala itu, aku berpakaian dari bulu binatang, bertutup kepala dari kain jelek, dan berjalan kaki di atas duri dan onak jalanan lainnya. Yang aku makan hanya belalang, sisa-sisa sayuran dan daun-daun muda di pinggiran sungai. Aku suka pura-pura tuli dan pura-pura gila, kalau sedang berada di tengah-tengah manusia. Masa-masa pahit itu berlangsung selama beberapa tahun hingga akhirnya Allah swt merubah keadaanku.”

Pernah ada orang bertanya kepadanya :

”Bagaimana cara membebaskan diri dari ‘Ujub ( merasa bangga terhadap diri sendiri )?”

Beliau menjawab :

”Pandanglah segala sesuatu sebagai pemberian Allah swt, ingatlah bahwa Dia lah yang memberikan taufiq kepada kita sehingga dapat melakukan kebaikan, dan buanglah perasaan bahwa kita telah berbuat sesuatu. Kalau sudah demikian, niscaya kita akan selamat dari penyakit tersebut.” 

Dan sewaktu ada yang bertanya kepadanya :

”Mengapa kami tidak pernah melihat lalat hinggap di bajumu?” 

Beliau menjawab :

”Memangnya apa yang mau diambilnya dariku, sedangkan manisan Dunia dan madu Akhirat tidak ada padaku sedikitpun.” 

Suatu kali, terdengar suara jeritan seseorang dari dalam kuburnya dan suara itu mengganggu orang-orang yang lewat disana. Lalu orang-orang melaporkan kejadian tersebut kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailany. Beliau berkata :

”Sungguh orang itu pernah melihatku sekali. Sekarang pastilah Allah merahmatinya lantaran pernah melihatku.” 

Pernah suatu hari Syekh Abdul Qadir berwudhu, lalu air wudhunya itu jatuh membasahi seekor burung pipit. Burung itu diperhatikannya terbang, lalu jatuh dan mati. Melihat kejadian itu, beliau langsung mencuci bajunya lalu menjualnya, dan uang hasil penjualan itu beliau sedekahkan; seraya berkata :

“Burung itu mati lantaran air wudhukku.”

Syekh Izzudin bin Abdul Salam berkata : 

”Tidak kami temukan transmisi ( naqal al-akhbar ) secara mutawatir mengenai karomah para wali seperti karomah Syekh Abdul Qadir Al-Jailany Ra”.

Demikian juga dikatakan oleh Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah :

“Semua Ulama dan para wali di zamannya menghormati Syekh Abdul Qadir Al-Jailany. Dalam Ilmu Fiqih, beliau melebihi Ulama segenerasi dengannya, bahkan para tokoh wali juga sangat mematuhinya; beliau diakui oleh semua kalangan Ulama dan wali. Semuanya mengangkatnya sebagai pemuka mereka; maka jelaslah bahwa Syekh Abdul Qadir Al-Jailany adalah pemimpin para wali”. 

Mufasir Ibnu Katsir.rhm berkata :

“Syekh Abdul Qadir sebagai Ulama yang tangguh dalam amar ma’ruf nahi munkar, menjalani kehidupan zuhud dan wara’, serta sufi yang sangat disegani.”

Syekh Abdul Qadir Al-jailany Ra juga memberikan fatwa dengan Mazhab Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ulama-ulama di Iraq sangat kagum terhadap fatwa-fatwanya, sampai mereka berkata :

”Maha suci Zat yang telah memberi nikmat kepadanya.”

Ketika kapasitas keilmuan dan kewaliannya sudah populer, ratusan ahli fiqih dari berbagai kalangan di Baghdad berdatangan, setiap orang bertanya kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailany suatu permasalahan dari berbagai disiplin ilmu agar mereka bisa mendapat jawaban masalah tersebut dan mereka terus mendatangi majelis pengajiannya.

Suatu ketika semua jama’ah sudah duduk, mulailah Syekh berbicara. Terlihatlah dari dadanya kilat memancarkan cahaya yang tak kelihatan, kecuali oleh orang yang Allah kehendaki. Kilat tersebut melintasi ratusan hati jamaah yang kelihatan pucat pasi. Keadaan pun menjadi gaduh. Mereka berteriak serentak dan akan mengoyak pakaian dan membuka surban mereka masing-masing. Selanjutnya mereka mencoba naik keatas kursi singgasana Syekh Abdul Qadir Al-Jailany dan meletakkan kepala mereka di atas dua kaki Syekh, sehingga keadaan para jama’ah dalam majlis pengajian tersebut semakin gemuruh. Suasana menjadi riuh seakan-akan kota Baghdad tengah terjadi gempa saja.

Kemudian Syekh memeluk setiap orang dan merapatkan kedua tangan ke dadanya, dan berkata kepada salah seorang diantara mereka :

”Jika masalah anda seperti itu, maka jawabannya adalah begini…, dan jika masalah anda begini maka jawabannya begini…..” 

dan seterusnya sampai ratusan masalah para jamaah tersebut tuntas dijawab oleh Syekh.

Ketika majlis pengajian berakhir, seorang diantara mereka, Muffaris bin Nabhab, bertanya kepada para jamaah :

”Bagaimana keadaan kalian waktu itu ?”

mereka menjawab :

”Ketika kami berada di tengah pengajian, kami merasa kehilangan pengetahuan kami, dan ketika Syekh memeluk kami satu persatu, seakan apa yang kami ketahui tersebut kembali hadir dalam pengetahuan kami”

Syekh Abdul Qadir Al-Jailany tidak ingin memperdaya umat dengan keajaiban dan keanehan yang mereka lihat, tetapi beliau menekankan bahwa ilmu hakikat harus sesuai dengan koridor Syari’at dan ilmu Makrifat. Dan setiap pelanggaran terhadap ilmu Syari’at merupakan lubang jalan setan dalam perilaku, walaupun ia dianggap seorang wali.

Dalam kesempatan lain, Syekh Abdul Qadir al-Jailany memberi wejangan agar memegang teguh Kitabullah dan sunnah Rasul dan konsisten mengikuti Nabi Muhammad SAW:

”Setiap Hakikat yang tidak terlihat dasar syari’atnya adalah Zindiq. Terbanglah kepada Al-Haqq dengan dua sayap kitabullah dan Sunnah Rasul. Masuklah kepadanya dan genggamlah oleh tanganmu tangan Rasul SAW; jadikanlah beliau sebagai menteri dan guru sekaligus, eratkan tangannya agar menghiasimu, menyisirmu dan membuatmu tampil”

Suatu saat Syekh Abdul Qadir ditanya tentang 

“cara memperoleh Semangat” ( untuk beribadah );

Beliau menjawab :

”Caranya adalah dengan menelanjangi ( membebaskan ) diri dari kecintaan terhadap dunia, mempertautkan jiwa hanya dengan akherat, menyatukan kehendak hati dengan kehendak Allah swt dan membersihkan batin dari ketergantungan kepada makhluk.” 

Saat ditanya tentang “Menangis”;

Beliau berkata:

”menangislah kamu karena Allah swt, menangislah karena jauh dari-Nya dan menangislah untuk-Nya.”

Saat ditanya tentang “Dunia”;

Beliau berkata:

”Keluarkanlah ia dari hatimu kedalam tanganmu! Dengan begitu ia tidak mencelakakanmu.”

Dan ketika ditanya tentang “Syukur”,

beliau berkata:

”Hakikat Syukur adalah mengakui dengan penuh ketundukan terhadap nikmat si Pemberi nikmat, mempersaksikan karunianya dan memelihara kehormatannya dengan menyadari, sesungguhnya bahwa kita tidak akan sanggup untuk bersyukur dalam artian yang sebenarnya.”

Beliau berkata:

”Orang miskin yang sabar karena Allah swt menghadapi kemiskinannya adalah lebih baik daripada orang kaya yang bersyukur kepadanya. Orang Miskin yang bersyukur adalah lebih baik dari kedua orang di atas. Sedangkan Orang Miskin yang sabar dan bersyukur adalah lebih baik dari mereka semua. Tidak ada yang sabar menjalani Ujian, kecuali orang yang tahu akan hakikat ujian tersebut.”

Ketika ditanya tentang al-Baqa ( keabadian),

beliau menjawab :

”Tidaklah keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Allah swt, sedangkan perjumpaan dengan Allah swt itu adalah seperti kedipan mata, atau lebih cepat dari itu. Di antara ciri orang yang akan berjumpa dengan tuhannya adalah tidak terdapat sesuatu yang bersifat fana pada dirinya sama sekali. Sebab keabadian dan fana adalah dua sifat yang saling bertolak belakang.”

Beliau pernah berkata :

”Makhluk adalah tabir penghalang bagi dirimu, dan dirimu adalah tabir penghalang bagi tuhanmu. Selama kamu melihat makhluk, selama itu pula kamu tidak melihat dirimu, selama itu pula kamu tidak melihat tuhanmu.” 

Di antara akhlak beliau yang sangat mulia dan agung adalah selalu berada disamping orang-orang kecil dan para hamba sahaya untuk mengayomi mereka. Beliau senantiasa bergaul dengan orang-orang miskin, sambil membersihkan pakaian mereka. Beliau sama sekali tidak pernah mendekati para pembesar atau para pembantu Negara. Juga sama sekali tidak pernah mendekati rumah seorang menteri atau raja.

Suatu saat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany mengungkapkan ilham batinnya dalam pengajiannya, meski yang hadir jumlahnya mencapai 70 000 orang. Cerita ini sudah banyak yang meriwayatkan secara mutawatir. Syekh Abu Bakar Al ’Imad berkata :

“Tatkala aku membaca mengenai permasalahan dasar-dasar agama, aku terjerembab dalam keraguan, sampai aku telat mengikuti pengajian Syekh Abdul Qadir.

Setelah aku berlalu, dia bicara :

“Akidah kita adalah akidah Salaf yang shaleh dan sahabat.” 

Aku sepakat dengan tutur katanya; kataku dalam hati. Dia kemudian berbicara sembari menengok ke arahku dan beliau mengulangi sampai tiga kali, lalu beliau berkata :

”Hai Abu Bakar! Ayahmu telah datang” sedangkan ayahku sudah tiada, hingga aku berdiri bergegas. Jika Syekh memalingkan kepalanya dariku, maka ayahku datang.

Begitu juga Al-Syuhrawardy bercerita hal yang sama :

”Aku berniat menekuni dasar-dasar agama, aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku perlu minta nasihat kepada Syekh Abdul Qadir, lalu aku datangi beliau.

Lantas beliau berbicara kepadaku sebelum aku mengutarakan niatku :

”Hai Umar, apa persiapan menuju kematian? Hai Umar, apa saja persiapan menuju kematian?”

Kala Syekh Abdul Qadir Al-Jailany masih muda, yakni ketika menekuni ilmu, dan menapaki “Hal”( kondisi ruhani ), serta berpetualang ke padang pasir siang malam, selalu terlihat dengan wajah serius, sampai beliau mendengar para pengembara padang pasir berteriak dahsyat, hingga beliau mengira mereka mati. Setelah itu, beliau berkeinginan kuat untuk keluar dari Baghdad, lalu beliau mendengar suara dari jauh ; ”kembali kepada manusia karena dirimu punya daya guna”

Cerita diatas menggambarkan betapa beliau dicintai banyak jama’ah nya; mereka kembali kepada agama melalui kefigurannya, dan banyak orang nasrani dan yahudi yang masuk islam melalui tangannya.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Perkataan Ulama tentang Beliau

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”

Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Beliau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Tentang Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).

"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Di antara keramatnya menurut kitab "Jami’u Karamatil Aulia" adalah sebagai berikut:

1. As-Siraj meriwayatkan bahawa pada suatu hari dalam tahun 521 H, Syeikh Abu Hassan bin Tamim bin Ahmad Al-Baghdadi, seorang pedagang, telah menemui Syeikh Hammad Ad-Dabbas, seraya mengatakan bahawa ia telah menyiapkan suatu kafilah untuk membawa barang dagangan ke Syam, seharga 700 dinar.

Syeikh Hammad menegaskan : "Jika mengadakan perjalanan dalam tahun ini, niscaya anda akan mati terbunuh dan barang- barang daganganmu habis dirampok orang."

Syeikh Abu Muzhaffar gusar mendengarnya, Ia pun segera menemui Syeikh Abdul Qadir Jailani, memberitahu halnya. Waktu itu Syeikh Abdul Qadir masih muda remaja.

Abdul Qadir berkata: "Berangkatlah, insya Allah anda dalam keadaan selamat dan pulang nanti akan memperoleh keuntungan."

Abu Muzahaffar pun berangkatlah dan ternyata dagangannya laris dan laku dengan nilai 1000 dinar. Beruntung tiga ratus dinar.

Pada suatu hari Abu Muzhaffar singgah di sebuah tempat pemerahan susu, untuk sesuatu urusan. Dia terlupa, wang yang 1000 dinar itu tertinggal di situ, terletak di atas sebuah rak.

Setelah pulang, ia pun tidur beristirahat dan bermimpi beberapa orang Arab dalam satu kafilah, mengeroyoknya dan menganiayanya dengan lembing. Ketika tersentak, masih terasa sakitnya dan bekas darah jelas kelihatan dilehernya. Waktu itu dia teringat kepada wang 1000 dinar yang tertinggal tadi, lalu dicarinya kembali,. Ternyata wang itu didapatinya dalam keadaan utuh, tiada kurang satu sen pun.

Sesudah peristiwa itu, ia pun pulang ke Baghdad. Dalam perjalanan hatinya berkata "lebih baik berjumpa dahulu dengan Syeikh Hammad, kerana dia lebih tua, sedang Abdul Qadir masih muda walaupun ucapannya benar." la pun lalu menuju ke pekan, untuk menemuinya. Setelah berjumpa, Syeikh Hammad menyuruhnya supaya lebih dulu menemui Abdul Qadir, karena dia adalah orang yang dikasihi Allah dan telah mendoakannya sebanyak 17 kali, sehingga berkat doanya, ia telah diselamatkan Allah dari pembunuhan.

Mendengar petunjuk itu, ia pun pergi menemui Abdul Qadir. Dan setelah bertemu, Abdul Qadir lebih dahulu berkata: "Menurut Syeikh Hammad 17 kali, tetapi sebenarnya aku mendoakanmu 17 kali dan 17 kali, sampai apa yang anda alami itu terjadi."

2. Imam Al-Yafi'i berkata : Diriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir pada suatu hari, meminta barang titipan kepada seorang yang menyimpannya, karena pemiliknya tidak dapat datang mengambilnya. Orang yang menyimpan barang itu menolak, tidak mau menyerahkannya seraya berkata : "Jika sekiranya aku meminta kepadamu dalam perkara seperti ini, tentu anda pun tidak akan mau memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, karena anda bukan pemiliknya."

Tiada lama sesudah ucapan itu, tibalah sepucuk surat pemiliknya ketangannya, menyatakan supaya barang titipan itu diserahkan kepada Syeikh Abdul Qadir, untuk disalurkannya kepada fakir miskin.

Maka barang itu pun diserahkannya kepada Syeikh Abdul Qadir. Beliau mengecamnya sedangkan Allah telah merelakannya.

3. Imam Sya 'rani menyatakan bahwa di antara keramatnya, pada suatu hari is mengambil wudluk. Tiba-tiba seekor burung layang-layang mengencinginya dari atas. Ia pun menoleh ke atas dengan mengangkatkan kepalanya, maka seketika itu juga burung itu terjatuh dan mati. Pakaian yang kena najis itu pun di cucinya kemudian dijualnya dan harganya disedekahkannya.

4. Setelah namanya makin terkenal ke seluruh dunia, maka pada suatu hari berkumpullah 100 orang alim-ulama dan cerdik pandai di Baghdad, hendak menguji ilmu pengetahuannya. Masing-masing telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Setelah masing-masing mengambil tempat duduk, Syeikh Abdul Qadir diam menundukkan kepalanya, tiada bercakap sepatah pun. Tiba-tiba memancar cahaya sekilas dari dadanya, menembus ke dada hadirin, sehinggn semua pertanyaan.yang akan diajukan tadi, terhapus hilang lenyap dari dada masing-masing. Suasana majlis itu menjadi kalang-kabut, karena mereka menjerit jerit, sambil mengoyak ngoyak baju dan membuangkan kopiah.

Sesudah itu, beliau pun duduk di atas sebuah kursi, siap untuk menjawab semua pertanyaan. Ternyata tiada satu. pun pertan yaan yang dapat diajukan. Dan setelah menyaksikan kenyataan itu, semua hadirin tunduk mengakui kebesaran dan ketinggian ilmu beliau.

5. Abu Al-Fatah Al-Harawi berkata : "Saya pernah menjadi pelayan Syeikh Abdul Qadir selama 40 tahun. Kulihat dia shalat subuh dengan wuduk isyak. Setiap batal, digantinya dengan wuduk baru, kemudian shalat dua rakaat. Selesai shalat isyak, beliau masuk ke ruangan khalwatnya, tiada seorang pun diperkenankan menemuinya. Dia baru keluar dari situ ketika terbit fajar."6. Kata Al-Harawi lagi : "Pada suatu malam, aku menginap dirumahnya. Pada awal malam; kulihat dia shalat sekejap kemudian berdzikir sampai sepertiga malam pertama, lalu mengucapkan:

"Tuhanlah yang meliputi yang empunya, yang menyaksikan, yang memperhitungkan, yang berbuat, yang amat menciptai, yang mencipta, yang melepaskan, yang menggambarka"

Sesudah mengucapkan kalimat itu, kulihat tubuhnya beransur-ansur kecil kemudian membesar, sesudah itu naik ke udara, sampai lenyap dari pemandanganku.

Pada bahagian kedua dari malam, beliau shalat dan membaca Qur'an sampai pada bahagian ketiga malam. Sujudnya lama sekali, kemudian duduk tafakkur, bertawajjuh menghadap Allah sampai menjelang terbit fajar. Sesudah itu mendoa dengan rendah hati dan tawaduk. Kulihat cahaya mengelilinginya, sampai hilang dari pemandangan.

Kudengar disisinya suara yang mengucapkan: "Salamun 'alaikum, salamun 'alaikum".Dia menjawab salam itu sampai ke luar untuk mengerjakan shalat subuh.

7. Di antara keramatnya, beliau pernah menyatakan bahwa pada suatu hari, ia bertemu dengan Nabi Khidir. Beliau tidak mengenalnya. Nabi Khidir membuat syarat, bahwa beliau tidak boleh menyalahi perintahnya.

Nabi Khidir berkata kepadaku : "Duduk di sini!" Aku pun duduklah di tempat yang ditunjuknya itu selama tiga tahun. Setahun sekali dia datang dan memerintahkan supaya aku tetap duduk di tempat itu sampai dia datang pula pada kali yang lain."

Selanjutnya Syeikh Abdul Qadir menyatakan : "Aku pernah tinggal dicelah-celah puing kota Madain, untuk beribadah dengan sungguh-sungguh. Aku memakan anggur yang diperah dan tidak minum. Kemudian setahun aku minum air tidak memakan anggur. Dan pada tahun berikutnya aku tidak makan dan tidak minum dan tidak tidur.

Pada suatu malam yang amat dingin, aku tertidur dan bermimpi bersetubuh. Aku pun mandi wajib. Kemudian tidur pula dan bermimpi lagi. Aku pun mandi pula. Kemudian tidur dan bermimpi lagi, dan mandi pula. Malam itu aku bermimpi bersetubuh sampai 40 kali dan mandi 40 kali.

Sesudah itu aku pun naik ke satu jenjang istana Kaisar, dengan harapan tidak akan tidur lagi. Aku pun fana, tenggelam dalam 1001 ilmu dan rahasia kebesaran Allah, sampai aku beristirahat dari dunia kamu ini ."

8. Ibnu Al-Akhdlar berkata : "Pada suatu hari musim dingin, kami mengunjungi Syeikh Abdul Qadir. Walaupun cuaca amat dingin, beliau hanya memakai sehelai baju dan kopiah. Keringat membahasi seluruh tubuhnya. Beberapa orang mengipas-ngipasnya. Keadaannya seperti berada di musim panas yang amat sangat."

9. Beliau pernah menceritakan halnya, dengan berkata : "Aku pernah mengembara selama 25 tahun ke berbagai negara Selama dalam perjalanan aku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan meminum air sungai. Dan dapat menahan diri tidak minum selama setahun. Allah mengurniaiku kata-kata "kun" (jadilah). Apabila kata "kun" itu ku ucapkan, maka apa yang aku ingini, tercapai. Ku dapati hidangan yang tersedia, maka aku pun memakannya dengan sepuas-puasnya. Dengan "kun" itu, gunung bisa ku belah menjadi kue, lalu ku makan. Pasir bisa menjadi gula, ku taruhkan pasir itu dalam gelas, dan ku tuangkan air laut ke dalamnya, lalu ku minum. Semuanya sudah ku tinggalkan, kerana malu kepada Allah."

10. AI-Manawi berkata : "Di antara keramatnya, ketika masih bayi, tidak mau menyusu kepada ibunya, pada siang Ramadhan. Orang banyak yang ingin mengetahui awal bulan, bertanya kepalanya. Dan seumur hidupnya, lalat tidak pernah menjatuhkan kotoran kepadanya."

11. Pada suatu hari, seorang wanita menyerahkan anaknya kepada beliau untuk dididik, dengan mengatakan : "Aku perhatikan, anakku ini sangat tertarik kepada tuan. Sekarang, dia ku serahkan kepada tuan."

Beliau pun menerimanya dengan segala senang hati, dan mendidiknya dengan sungguh-sungguh mengamalkan thariqat ini. Beberapa waktu kemudian, ibunya datang menjenguk. Dilihatnya badan anaknya kurus-kering, mukanya pucat, akibat kurang makan dan tidur. Ia hanya memakan sepotong roti dari tepung gandum.

la sangat kasihan dan sedih melihat keadaan anaknya, lalu segera menemui Syekh Abdul Qadir. Dilihatnya beliau sedang memakan daging ayam. Lantas ia pun berkata : "Wahai tuan, anda memakan ayam, sedangkan anakku memakan roti?"

Beliau pun meletakkan tangannya ke tulang-tulang ayam itu seraya berkata : "Bangkitlah dengan idzin Allah!" Maka ayam itu pun bangkit, hidup kembali sebagaimana semula.

Sesudah itu, beliau pun berkata : "Nah, apabila anakmu itu sudah bisa berbuat seperti ini, maka dia bolehlah memakan apa saja yang disukainya."

12. Pada suatu hari seekor burung elang terbang di atas majlis Syekh Abdul Qadir. Burung itu berkicau dengan kuatnya, sehingga mengganggu hadirin. Beliau pun berkata: "Wahai angin, ambil kepala burung itu." Maka burung itu pun terjatuh ke tanah, kepalanya terpisah dari tubuhnya, masing-masing tercampak ke satu sudut. Beliau pun turun dari atas kerusinya, mengambil bangkai burung tadi dan mengusap-ngusapnya, dengan mengucapkan "bismillahir rahmanir rahim". Seketika itu juga burung itu hidup kembali.

13. Keramatnya yang lain menurut suatu riwayat, pada suatu hari tiga orang pekerja naik kuda melintasi beliau. Mereka membawa sejumlah minuman keras untuk Raja.

Syeikh Abdul Qadir menyuruh mereka supaya berhenti, tetapi mereka tidak memperdulikannya. Lantas beliau memerintahkan kepada kuda yang membawa mereka, supaya berhenti. Kuda itu pun berhenti, dan Syeikh Abdul Qadir mengambil minum keras itu dan menahan mereka. Mereka merasa kecut dan cemas. Syeikh Abdul Qadir menyatakan, arak itu sudah menjadi cuka. Maka mereka pun membukanya, ternyata apa yang dikatakan beliau itu, benar dan tepat.

14. Pada suatu hari beberapa orang wanita yang menentangnya, datang mengunjungi Syeikh Abdul Qadir, dengan membawa dua buah peti yang berkunci rapat. Mereka berkata : "Cuba teka apa isi peti ini."

Beliau berkata : "Didalamnya ada seorang bayi sedang duduk."

Ketika peti dibuka, ternyata apa yang dikatakan beliau itu adalah benar. Kemudian wanita-wanita itu menunjuk ke peti yang sebuah lagi, menanyakan apa pula isinya.

Syeikh Abdul Qadir menjawab : "Isinya, seorang bayi yang sehat, tidak terkena penyakit sampar." Ketika di buka, ternyata benar didalamnya seorang bayi yang sehat segar-bugar. Beliau memegang ubun-ubunnya, seraya berkata: "Duduklah." Maka bayi mungil itu pun duduk. Melihat kenyataan ini, maka mereka pun tobat, minta ampun, tidak mau lagi melawannya. Tiga orang di antara hadirin ketika itu mati.

15. Seorang laki-laki dari Baghdad menemuinya seraya berkata "Anak perempuanku telah disambar jin." Syeikh Abdul Qadir menyuruhnya pergi ke suatu tempat, dan supaya melingkari tempat itu dengan tulisan "bismillah 'ala niati Abdul Qadir". Orang itu pun melakukan semua itu. Maka sejumlah jin berdatangan melintasi lingkaran sampai Raja mereka tiba. Raja jin itu tegak di pinggir garis lingkaran tadi, seraya bertanya "Apa keperluanmu?"

Laki-laki itu pun menerangkan tentang anak perempuannya disambar jin tadi. Ketika itu juga Raja jin, menghadapkan si penyambar tadi kehadapannya dengan memukul pundaknya.Orang itu pun berkata kepada Raja jin : "Aku belum pernah melihat kepatuhan orang kepada Syeikh Abdul Qadir, seperti kepatuhanmu ini."

Raja jin itu pun menjawab : "Benar, dia melihat keadaan kami dari rumahnya, walaupun kami tinggal di ujung bumi. Mereka berlarian daripadanya karena kehebatannya."

16. Keramatnya yang lain, pada suatu hari beberapa sahabatnya menghadap beliau. Seorang diantaranya tak bisa buang air kecil. Akibatnya dia gelisah menahannya, sehingga mempengaruhi sikap dan gerak-geriknya. Dia menoleh kepada Syeikh Abdul Qadir, seolah-olah minta tolong. Beliau pun turun dari atas tempat duduknya, berhenti di satu tingkatan. Tiba-tiba muncul di atas kepalanya sebuah kepala manusia, seperti kepalanya. Kemudian turun ke satu tingkat lagi, maka muncul pula sebuah kepala yang sama. Kemudian turun ke tingkat bawah, muncul pula dua pundak dan dada. Setiap turun muncul sesuatu, akhirnya nampaklah duduk di atas kursi itu seorang laki-laki yang menyerupainya. Dia bercakap-cakap seperti percakapan Syeikh Abdul Qadir.

Beliau pun bangkit lalu menutupi wajah laki-laki itu dengan lengan bajunya. Tiba-tiba saja orang itu sudah berada di suatu padang pasir, di situ terdapat sebuah sungai dan ditepinya tumbuh sepohon kayu. Dalam keadaan seperti itu, hilanglah penyakit yang dialaminya. Ia pun mengambil wuduk di sungai tadi kemudian shalat. Tatkala memberi salam, Syeikh Abdul Qadir membuangkan tutup kepalanya. Tiba-tiba saja dia sudah berada kembali di majlis itu, sedangkan beliau duduk di atas kursi seperti semula.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Beberapa Kejadian Penting

Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.

Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.

Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”

Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Hubungan Guru dan Murid

Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.

   1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).

   2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.

   3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.

   4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.

   5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.

   6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:

Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai’at para sahabatnya.

Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.

Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: 

Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Pada tahun 521 H/1127 M, Beliau mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu Beliau memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai penggagas sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Beberapa Gelar Syeikh Abdul Qadir

• Muhyiddin was Sunnah ( Tokoh yang menghidupkan agama dan sunah )

• Mumitul Bid’ah ( Tokoh yang menghapuskan bid’ah )

• Al-Imamuz zahid ( Pemimpin yang zuhud dalam kehidupannya )

• Al-Ariful Qudwah ( Gelar untuk seorang tokoh yang termasyhur dan menjadi suri teladan)

• Syaikhul Islam 

• As-Sultanul Awliya ( Sultannya para wali )

• Al-Asfiya ( Imam para sufi)

• Wali Quthb al-Ghauts (Pemimpin para Wali dan Wali Penolong).

Murid-murid Syekh Abdul Qadir Al-Jilany

• Syekh Abu Ali bin Musallam bin Abi Al-Jud Al-Farisi Al-Iraqi

• Syekh Abu Abdullah Muhammad bin Abu Ma’ali bin Qayyid Al-Awwani

• Syekh Abu Qasim Abdul Malik bin Isa bin Dirbas

• Syekh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali As-Surur

• Syekh Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah bin Miqdam bin Nassar Al-Maqdisi

• Syekh Abu Ma’ali Ahmad bin Abdul Ghani bin Muhammad bin Hanifah Al-Bajisrani

• Abul Mahasin Umar bin Ali bin Khidhr Al-Quraisyi 

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Diantara Wasiat dan Nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailany.

• Ikutilah Sunnah rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah, patuhlah selalu kepada Allah swt dan Rasulnya, janganlah melanggar. Junjung tinggi tauhid, jangan menyukutukan Allah swt, selalu sucikan Allah swt, dan jangan berburuk sangka kepadanya. Pertahankanlah kebenarannya, jangan ragu sedikitpun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidak sabaran. Beristiqomahlah dengan berharap kepadanya; bekerja samalah dalam ketaatan, jangan berpecah belah. Saling mencintailah, dan jangan saling mendendam.

• Tabir penutup kalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus; selama engkau melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat; selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah swt dan cahayanya. Jika jiwamu bersatu dengan kehendak Allah swt dan mencapai kedekatan denganNya lewat pertolonganNya. Makna hakiki bersatu dengan Allah swt ialah berlepas diri dari makhluq dan kedirian; serta sesuai dengan kehendaknya tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendaknya. Inilah keadaan fana dirimu; dan dalam keadaan itulah engkau bersatu denganNya; bukan dengan bersatu dengan ciptaannya. Sesuai Firman Allah swt :”Tak ada sesuatupun yang serupa dengannnya. Dan dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

Komplek makam Syaikh 'Abd al-Qadir al-Jailany

Kompleks makam Syeikh 'Abd al-Qadir al-Jilany yang wafat pada tahun 561 H/I166 M terletak di pusat Kota Baghdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasyid. Dengan Letaknya di pusat kota itu tentu saja sangat mendukung jamaah yang ingin melakukan ziarah kubur.. Jumlah jamaah sangat banyak kalau dibandingkan dengan jamaah yang ziarah ke makam syeikh Ahmad al-Rifai, makamnya memang terletak di daerah yang mayoritas penduduknya beraliran Syiah, di dekat kota Wasif.

Kampung tempat al-Jilani dimakamkan dinamakan Bab al-Chaykh yang berarti "pintu gerbang sang Syekh" sebagai penghormatan kepada wali ini. dan penduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai "penduduk asli Bagdad". Orang Kurdi dari Irak Utara, menyebut Syaikh Abdul Qadir Jilani sebagai Ghauts, Jailani (atau "penyelamat besar Jilani") kampung itu juga dihuni oleh wakil dari etnis Kurdi. Para Fuayliyah yang beretnis Kurdi itu merupakan golongan sosial yang miskin dan tidak lebih dari minoritas kecil di Bab al-Chaykh; selain itu mereka beraliran Syiah dan oleh karena itu tidak begitu menyanjung-nyanjung sang syekh. Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang, yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama. Ruangan makam berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru; ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara zikir oleh kelompok Qadiri dari berbagai daerah. Sebuah masjid yang megah berdiri di sebelahya. Masjid itu memiliki dua mihrab, karena ada dua imam, yang satu beraliran Hanafi, dan yang lain beraliran Syafi'i. Imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Bagdad, dan para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturahmi; salah seorang dari kedua imam itu, Abd al-Karim al-Mudarris, adalah scorang ulama Kurdi yang pernah menjadi mufti besar Irak.

Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan sebuah kolam untuk berwudu; dua madrasah serta satu perpustakaan yang masih dikelola oleh pimpinan keluarga Jilani. Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama. Peziarah datang dari seluruh dunia Islam tapi orang-orang Turki- yang paling sering mengunjungi kompleks al-Jilani dalam perjalanan haji ke Mekkah; ketika pulang mereka lalu mengunjungi kompleks makam Ibn 'Arabi di Damaskus. Selain itu. banyak pula peziarah yang datang dari India, dari Asia Tenggara, atau malah dari Maghribi dan Afrika Hitam. Maka jumlah orang Irak konon tidak lebih dari seperempat jumlah keseluruhan pengunjung kompleks yang datang untuk salat Jumat. Dengan demikian berbagai bangsa berbagi penginapan: sejumlah penganut Qadiri ditanggung oleh wakil setempat selama sebagian besar hidupnya; ada pula yang tinggal di situ selama beberapa bulan atau hanya beberapa hari.

Tempat yang paling ramai di seluruh kompleks tentu saja makam 'Abd al-Qadir sendiri. Makam dan pagarnya berwarna perak; sedangkan pada tembok ruangan makam dan kubah terpasang banyak kaca kecil segi empat yang memantulkan cahaya tanpa henti. Kesan umum adalah kemegahan, tetapi juga kesejukan, yang mengingatkan kita pada suasana kompleks makam Syiah. Di Timur Tengah, tidak ada makam (maztir) sunni yang semegah kompleks ini.

Setelah memasuki kompleks. Jamaah ziarah mengucapkan ayat Kursi sebelum berpaling ke makam, dan mengucapkan salam (taslimah); mereka kemudian maju tujuh langkah menuju makam, sambil mengucapkan salam lagi pada setiap langkah; dengan ritus ini para peziarah yakin bahwa permohonan mereka akan dikabulkan. Kini, para pegunjung mengelilingi makam satu kali, seperti biasanya pada ziarah di kebanyakan makam Sunni lainnya.

Pengunjung yang datang berziarah ke makam Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani berasal dari berbagai daerah. Penduduk setempat, dan terutama kaum perempuan, sering ke makam untuk menyampaikan permohonannya kepada wali. Hal itu mereka lakukan dengan cara berpegang pada terali pagar berwarna perak itu. Banyak pengunjung juga menyampaikan nazar dengan mengaitkan sepotong kain—kerap berwarna hijau—pada pagar tersebut. Kain itu sering diberikan oleh salah satu khadim penjaga makam. Dapat dicatat bahwa pada makam Abu Hanifa penjaga setempat membagi-bagikan potongan kain berwarna hijau yang disentuhkan pada makam. dan hal itu juga berlaku, pada makam-makam Syiah; maka praktik itu adalah khas Irak, atau paling sedikit tidak berlaku di Bilad al-Syam. Ada ritus lainnya yang berlaku baik untuk kalangan Sunni maupun kalangan Syiah Irak lainnya, yaitu kebiasaan orang memasang gembok (qifl) pada pagar, untuk memperkuat hubungan mereka dengan wali, atau untuk memperkuat nazar mereka. Memang, potongan kain dapat dilepaskan dengan mudah oleh para penjaga, namun lain halnya dengan gembok, yang harus dibuka dengan gunting besi... Para peziarah pun tidak kurang akal dalam hal ini: karena terali pagar memang amat tebal, dan tidak bisa digembok oleh semua jenis gembok. maka mereka memasang gemboknya yang kecil pada gembok yang lebih besar yang sudah tergantung pada pagar.

Semangat religius setempal juga nampak pada berbagai pemberian: wangi-wangian yang disebar-sebarkan, manisan yang dilemparkan dari atas makam dan jatuh di alas para pemohon (karena penutup makam miring). Apabila ada nazar yang terkabul, biasanya orang-orang membagikan manisan, atau kaum perempuan memekikkan sebuah lolongan khas ("ulululu") yang nyaring. 

Sesungguhnya, walilah yang menjamu dan bersikap royal; ketika seorang peziarah dari jauh sedang mengeluh dalam hati karena belum mendapalkan perhatian Al Jilani,, konon mendadak akan jatuh sebuah manisan dari atas makam. dekat tempat dia duduk, dan manisan itu menggelinding sampai ke kakinya...

Para sufi, datang menghormati sang syekh pertama-tama atas dorongan adab, yaitu kesopanan spiritual. Pada umumnya, permohonan yang diajukan oleh kaum sufi itu tidak menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan dunia yang fana ini (kemandulan, penyakit, pernikahan atau perceraian, ujian dan sebagainya), melainkan yang berkaitan dengan "pencerahan" (al-fath'), atau kalau tidak, bisa tuntunan dalam jalan tasawuf, atau bahkan penampakan wali dalam mimpi malam.

Para sufi memandang al-Jilani sebagai satu "kutub" universal, dan jangan dianggap bahwa dalam hal ini ada perbedaan sikap di antara tarekat-tarekat: seperti dikatakan kaum Bcktasyi, "Wali adalah milik semua orang". Maka banyak sufi yang bukan Qadiri juga berkunjung dari jauh untuk berbagi berkah sang wali serta berzikir di makam. Menurut kabar yang beredar di kalangan sufi, orang-orang tarekat tertentu dapat melihat Al Jilani berwujud fisik di samping makamnya, dengan badannya tertutupi kain hijau. Menurut bahasan tasawuf, para wali, kendati telah wafat, mempertahankan kekuatan spiritualnya (tasfynf atau tasyarruf)t bahkan ada penulis yang mengatakan bahwa kekuatan-kekuatan itu malah bertambah.

[ Buku Ziarah Wali di Dunia I ]

اللهم انشر عليه رحمة ورضوانا وءمدنا باسرره فى كل وقت ومكان

alloohhummansyur 'alaihhi rohmataw waridhwaana waamiddana bi asrorihhi fii kulli waqti wamakaan.

Semoga senantiasa tercurahkan kepadanya rohmat, kesejahteraan dan melimpahkan kepada kita dengan rahasia Allah dalam semua waktu dan tempat

( Dikutip dari buku Rahasia dibalik Rahasia dan Al-Kisah no. 10 / tahun III / 9-22 Mei 2005 )