Pengamalan Zikir dan Doa

Al-Kisah no.22/2004

 

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Habib Lutfi yang saya hormati dan saya cintai. Kalau saya baca dalam beberapa kitab semisal Saiful Mukminin, Doa-doa Mustajab, tanya jawab spiritual, dan lain-lain, para mualif atau pengarangnya mengatakan dalam mukadimahnya, doa dan zikir ini telah diijazahkan secara amah (umum) bagi kaum muslimin yang membacanya. Namun selain itu, ada yang mengatakan, kaum muslimin tidak boleh mengamalkan begitu saja apa yang dibaca dalam buku.

    

Meskipun, mualifnya sudah mengijazahkan secara ammah (umum), kecuali selawat Nabi. Mohon penjelasan Habib mengenai persolan ini. Manakah yang muktamad, dapat dijadikan pegangan, dari kedua fatwa tersebut?

Pada edisi yang lalu, ikhwan dari Demak ada yang mengusulkan agar Alkisah mensponsori diklat paranormal. Yang saya tanyakan pada Habib, bolehkah seorang muslim yang sudah mengikuti tarekat mempelajari dan menjadi paranormal. Sama atau tidakkah paranormal dengan kahin yang disebutkan Nabi SAW dalam sebuah hadisnya? Atas penjelasan Habib, saya ucapkan terima kasih.

 

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Taufiq, S.Pd.

Wedung, Demak, Jawa Tengah

 

 

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Taufiq, masalah ijazah, patut Anda ketahui, ijazah tersebut memiliki sifat 'am (umum). Sebagai muatif, ia memberikannya secara bersama-sama kepada kita sebagai umat. Namun agar ijazah tersebut bisa mengantar kita dalam mencapai peningkatan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, kita harus mengikuti apa yang telah digariskan atau dicontohkan oleh Baginda Nabi SAW, sahabat, tabiin (generasi ulama setelah sahabat), tabi'it tabi'in (generasi ulama setelah tabiin), yang itu tidak terdapat dalam penjabaran ijazah tersebut dalam buku yang Anda baca. Baik itu i’lan atau peringatan, maupun i'bar atau pemberitahuan, dari para mualif tersebut. Sekalipun ijazah itu sudah diberikan secara amah, tetap saja kita masih memerlukan guru.

Guru di sini berfungsi sebagai penyambung lidah dalam bentuk ijazah amah. Guru-guru atau ulama-ulama tersebut adalah orang-orang yang tahu persis dosis dan kemampuan orang yang menerima dan mengamalkan muamalah atau pekerjaan itu. Disinilah penting dan tingginya nilai seorang guru. Khususnya untuk menerapkan ijazah-ijazah yang amah di dalam kitab-kitab tersebut.

Sebab di dalam kitab-kitab itu, pasti ada satu-dua bab yang memerlukan keterangan lebih mendetail dari seorang guru. Tapi, berapa kali wirid atau awrad itu harus diamalkan, belum tentu disebutkan.

Kalau dilihat dari segi nilai ibadah, hal itu bagus sekali. Tapi muamalah dalam nilai ibadah juga ada ketentuannya. Misalnya dalam hal salat sunah. Kalau kita mau berulang-ulang melaksanakan salat sunah, itu akan menjadi perbuatan yang bagus, tapi itu menjadi salat sunah mutlak. Salat sunah seperti kabliah dan bakdiah (yang mengiringi salat lima waktu) itu, walaupun menjalankan salat sunah itu bagus, pada keduanya terdapat pembatasan dalam menjalankannya.

Kita tidak bisa mengambil secara global bahwa semua sunah menjadi muakad, yang dianjurkan, atau nawafil, yang boleh dijalankan secara bebas, tidak ada batas-batas tertentu. Salat sunah seperti qabliah dan bakdiah tetap saja mengandung perbedaan dengan sunah-sunah yang lain dalam tata cara menjalankannya. Misainya, menjalankan salat Tahajud hingga 100 rakaat.

Kalau seseorang merasa mampu, ketika ia bisa menjalankannya itu akan menjadi nilai ibadah yang sangat baik. Tapi Rasulullah tidak pernah menjalankan salat Tahajud seperti itu hingga 100 rakaat. Di sinilah kemudian Rasulullah menganjurkan, "Silakan, saya berikan kepada umatku kebebasan untuk meniru aku dalam menjalankan qiyamullail (ibadah pada malam hari)," Siapa pun bisa menjalankan salat Tahajud, bahkan tanpa guru pun boleh. 

Tapi di sini pun masih ada nila - nilai yang harus diketahui tentang batalnya salat dan rukun salat. Kalau hal seperti ini tidak diajarkan oleh guru dahulu, bagaimana kita akan tahu? Meski, kalau dilihat dari segi Tahajudnya, siapa pun dia, silakan mengamalkannya.

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)

Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah