Bagaimana Menghadapi Propaganda Salafi- Wahabi
A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
Bagaimana Menghadapi Propaganda Salafi- Wahabi
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
amma ba'du,
Salafi-Wahabi dikenal dengan radikalisme yang membabi buta memvonis golongan atau orang yang tidak sepaham dengan mereka. Tapi doktrin yang mereka ikuti juga banyak mempunyai kelemahan mendasar. Muhammad Idrus Ramli dalam bukunya Bekal Pembela Ahlussunnah Wal Jamaah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi mencoba menulis secara komprehensif ihwal kelemahan-kelemahan tersebut.
Di antara kriteria Ahlusunnah wal Jama’ah adalah konsistensi mereka dalam memegang teguh ajaran Nabi SAW dan sahabat. Hal tersebut didasarkan pada hadits Nabi SAW yang sangat populer berikut ini, yang artinya, “Abdullah bin Amr RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Israil bercerai-berai menjadi tujuh puluh satu golongan. Dan umatku akan bercerai-berai menjadi menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk ke neraka kecuali satu golongan.’
Nabi SAW ditanya, ‘Siapa golongan tersebut?’
Nabi SAW menjawab, ‘Golongan yang mengikuti ajaran yang dipegang teguh olehku dan para sahabatku’.” (HR At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Hadits di atas memberikan penjelasan bahwa golongan yang selamat ketika umat Islam terpecah belah menjadi berbagai golongan adalah golongan yang konsisten dan selalu mengikuti ajaran Nabi SAW dan ajaran sahabatnya.
Madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi sebagai representasi Ahlussunnah wal Jama’ah selalu berusaha konsisten dan berpegang teguh dengan ajaran Nabi SAW dan sahabatnya. Dalam hal ini Imam Al-Baihaqi berkata, “Hingga kesempatan sampai kepada guru kami, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Beliau tidak melakukan hal yang tercela dan tidak membawa bid’ah dalam agama. Justru beliau mengambil pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, dan para imam sesudahnya dalam pokok-pokok agama, lalu menolongnya dengan tambahan uraian dan penjelasan dan bahwa apa yang mereka katakan dan dibawa oleh syara’ dalam pokok-pokok agama adalah benar menurut nalar, berbeda dengan asumsi orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, bahwa sebagiannya tidak lurus menurut nalar.
Sehingga dalam uraian Al-Asy’ari menguatkan apa yang belum ditunjukkan dari Ahlussunnah wal Jama’ah dan menolong perkataan-perkataan para para imam yang telah lampau, seperti Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri dari ulama Kufah, Al-Auza’i dan lainnya dari ulama Syam, Malik dan Asy-Syafi’i dari ulama Dua Tanah Suci dan orang-orang yang mengikuti keduanya dari Hijaz dan negeri-negeri yang lain, dan seperti Ahmad bin Hanbal dan lainnya dari ahli hadits, Al-Laits bin Sa’ad dan lainnya, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, dua pemimpin ahli atsar dan para penghafal hadits yang menjadikan rujukan syara’.
Lebih tegas lagi Al-Imam Az-Zabidi berkata, “Hendaknya diketahui bahwa masing-masing dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi dan membalas kebaikan mereka kepada Islam, tidak membuat pendapat baru dan tidak menciptakan madzhab baru dalam Islam. Mereka hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf, dan membela ajaran sahabat Rasulullah SAW. Mereka telah berdebat dengan kalangan ahli bid’ah dan kesesatan sampai mereka takluk dan melarikan diri.”
Paparan di atas menyimpulkan bahwa di antara kriteria al-firqah an-najiyah (golongan yang selamat) atau Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mengikuti ajaran Nabi SAW dan sahabat. Para ulama juga menjelaskan, golongan yang memenuhi kriteria di atas adalah golongan Asya’irah dan Maturidiyah. Pertanyaannya sekarang, adakah bukti-bukti ilmiah bahwa Asya’irah dan Maturidiyah selalu mengikuti ajaran Nabi SAW dan sahabat?
Lalu bagaimana dengan golongan Salafi-Wahabi, yang mengklaim lebih Ahlussunnah daripada Asya’irah dan Maturidiyah?
Posisi Ahli Hadits
Di antara propaganda Salafi-Wahabi dalam memperkuat posisi mereka sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah adalah klaim mereka sebagai satu-satunya representasi ahli hadits, sementara selain mereka dianggap sebagai ahli bid’ah.
Dengan propaganda tersebut mereka menjadi mudah dalam mengelabui dan mempengaruhi kalangan awam yang tidak mengerti fakta dan realitas ahli hadits. Oleh karena itu penting sekali dipaparkan paradigma pemikiran ahli hadits dalam bidang aqidah dan fiqih.
Pada dasarnya ahli hadits tidak memiliki madzhab tertentu yang menyatukan pemikiran mereka, baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang fiqih. Kitab-kitab tentang rijal al-hadits (perawi hadits) dan biografi ahli hadits menyebutkan dengan gamblang bahwa di antara ahli hadits ada yang mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Mujassimah, madzhab Al-Asy’ari, Al-Maturidi, dan aliran-aliran pemikiran yang lain.
Di antara mereka ada juga yang mengikuti aqidah sayap esktrem Madzhab Hanbali (ghulat al-hanabilah) yang disebarkan oleh Ibnu Taimiyah dan diklaim sebagai madzhab salaf dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Hanya saja, apabila kita menelusuri literatur sejarah, akan didapati suatu fakta bahwa, dalam bidang aqidah, mayoritas ahli hadits mengikuti Madzhab Al-Asy’ari.
Imam Tajuddin As-Subki mengatakan, “Madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang.”
Di antara ahli hadits yang sangat populer mengikuti Madzhab Al-Asya’ri adalah Ibnu Hibban, Ad-Daraquthni, Abu Nu’aim, Abu Dzar Al-Harawi, Al-Hakim, Al-Khaththabi, Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Baihaqi, Abu Thahir As-Silafi, As-Sam’ani, Ibnu ‘Asakir, Al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Ash-Shalah, An-Nawawi, Abu Amr Ad-Dani, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Abi Jamrah, Al-Kirmani, Al-Mundziri, Ad-Dimyathi, Al-‘Iraqi, Al-Haitsami, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, As-Sakhawi, As-Suyuthi, Al-Qasthalani, Al-Ubbi, Ali Al-Qari, dan lain-lain.
Kesimpulannya, mayoritas ahli hadits dalam bidang aqidah mengikuti Madzhab Al-Asy’ari.
Sementara dalam bidang fiqih, di antara ahli hadits ada yang mengikuti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan madzhab-madzhab fiqih yang lain. Hanya saja, apabila kita mengkaji kitab-kitab biografi ahli hadits, seperti kitab Tadzkirah al-Huffazh, karya Adz-Dzhahabi, Thabaqat al-Huffazh, karya As-Suyuthi, dan lain-lain, akan kita dapati bahwa mayoritas ahli hadits mengikuti Madzhab Syafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa 80% ahli hadits mengikuti Madzhab Syafi’i.
Ahli hadits menyebar di berbagai madzhab keislaman, baik dalam fiqih maupun aqidah. Hanya saja, apabila dikaji secara seksama, akan disimpulkan bahwa mayoritas ahli hadits dalam bidang aqidah mengikuti Madzhab Asy’ari dan dalam bidang fiqih mengikuti Madzhab Syafi’i, sehingga tidak mengherankan apabila dalam perjalanan sejarah ahli hadits identik dengan Madzhab Syafi’i.
Dari sini sebagian ulama terkemudian memberikan kesimpulan yang cukup praktis bahwa al-firqah an-najiyah atau Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan mayoritas umat Islam yang mengikuti salah satu madzhab fiqih yang empat dan mengikuti aqidah madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Sedangkan pengakuan kaum Salafi-Wahabi bahwa merekalah Ahlussunnah wal Jama’ah dan ahli hadits masih perlu dikaji secara ilmiah dan obyektif.
Salafi-Wahabi dan Ahli Hadits
Salafi-Wahabi mengaku bahwa mereka mengikuti ahli hadits. Mayoritas ahli hadits mengikuti madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi. Sedangkan ahli hadits generasi salaf dan generasi sesudahnya yang menjadi panutan Salafi-Wahabi hanya segelintir dan mereka disebut “kaum Hasyawiyyah” ataupun “pengikut aliran Mujassimah”. Sehingga sangat tidak logis dan tidak rasional apabila orang-orang segelintir tersebut dianggap sebagai representasi ahli hadits, yang mayoritas mereka mengikuti madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
Untuk melegitimasi pengakuan mereka dan membangun kepercayaan umat Islam bahwa Salafi-Wahabi benar-benar mengikuti ahli hadits, kaum Salafi-Wahabi melakukan beberapa langkah agar umat Islam percaya dengan penampilan dan propaganda mereka.
Salafi-Wahabi mendiskreditkan para ulama ahli hadits. Di antara ulama yang mereka diskreditkan dan mereka anggap sebagai ahli bid’ah adalah Al-Baihaqi, Abu Amr Al-Dani, Ibnu Asakir, Imam Nawawi, Ibnu Hajar.
Para ulama senior Salafi-Wahabi, seperti Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Al-Albani, Al-Fauzan, secara terang-terangan memvonis para ulama ahli hadits tersebut telah keluar dari Aswaja dan mengikuti ahli bid’ah karena mengikuti madzhab Al-Asy’ari.
Vonis pembid’ahan terhadap ahli hadits itu ternyata menimbulkan keguncangan di kalangan awam kaum Salafi-Wahabi. Kaum awam mereka bertanya-tanya, apabila Salafi-Wahabi memang mengikuti ahli hadits, lalu ahli hadits yang mana yang mereka ikuti? Bukankah para ulama ahli hadits terkemuka yang menjadi rujukan utama mayoritas umat Islam, termasuk kaum Salafi-Wahabi, seperti Al-Baihaqi, Ad-Dani, Ibnu Asakir, An-Nawawi, Ibnu Hajar, mengikuti madzhab Al-Asy’ari?
Untuk menjawab pertanyaan ini kaum Salafi-Wahabi mencoba mengeluarkan vonis lebih ringan, yaitu menetralisir ke-Asy’ari-an para ulama ahli hadits tersebut, seperti dengan mengatakan bahwa Al-Baihaqi, Ad-Dani, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar sebenarnya bukan pengikut madzhab Al-Asy’ari.
Tentu saja jawaban ini tidak ilmiah dan jelas mengelabui orang awam Salafi-Wahabi. Karena, seandainya benar dikatakan bahwa Al-Baihaqi, Ad-Dani, Ibnu Asakir, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar menyetujui banyak pendapat madzhab Al-Asy’ari, mereka tidak pernah menyetujui dan bahkan melakukan bantahan terhadap ajaran tasybih(penyerupaan) dan tajsim (pematerian) yang diadopsi kaum Salafi-Wahabi.
Lebih parah lagi, akhir-akhir ini sebagian tokoh amatir Salafi-Wahabi menulis buku yang isinya menerangkan bahwa Ibnu Hajar sama sekali bukan pengikut madzhab Al-Asy’ari, suatu pandangan yang sangat aneh dan tidak ilmiah. Mengingat, pandangan Ibnu Hajar dalam kitab-kitabnya, terutama kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, referensi primer para pengkaji ilmu hadits, termasuk kaum Salafi-Wahabi, mengikuti metodologi dan pandangan madzhab Al-Asy’ari dalam hal aqidah.
Begitulah kekacauan ideologis dalam pemikiran kaum Salafi-Wahabi. Usaha keras mereka untuk membangun opini bahwa mereka satu-satunya representasi ahli hadits melahirkan kekacauan di kalangan mereka sendiri dalam menyikapi para ulama ahli hadits yang sebagian besar mengikuti madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.
Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Salafi-Wahabi dalam rangka membangun opini bahwa mereka benar-benar representasi ahli hadits adalah menerbitkan kitab-kitab aqidah yang ditulis oleh para ulama ahli hadits dengan memberinya komentar dan catatan kaki yang bertentangan dan bertolak belakang dengan kandungan dan substansi kitab tersebut. Cara di atas dalam istilah modern disebut pembunuhan karakter.
Di antara kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang ditulis oleh kalangan ahli hadits yang telah mengalami pembunuhan karakter di tangan kaum Salafi-Wahabi adalah Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, karya Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi.
Nama pengarangnya adalah Al-Imam Al-Hafizh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah Ath-Thahawi Al-Hanafi (853-933M), ulama ahli hadits yang menyandang predikat al-hafizh, terpercaya, dan hidup pada masa salaf. Ath-Thahawi menulis kitabnya untuk menjelaskan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, aqidah Rasulullah SAW dan generasi salaf yang shalih sejak generasi sahabat, sesuai dengan paradigma madzhab Imam Abu Hanifah (pendiri Madzhab Hanafi) dan kedua muridnya, Al-Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan. Ketiga imam tersebut adalah tokoh generasi salaf yang suci. Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M dan mengikuti masa sebagian sahabat, Abu Yusuf wafat pada tahun 183 H/799 M, sedangkan Muhammad bin Al-Hasan wafat pada tahun 187 H/803 M.
Kandungan Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah tersebut diikuti oleh Imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dan selanjutnya diikuti oleh para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) kecuali sekelompok kecil dari pengikut Madzhab Hanbali yang berpaham tasybih dan tajsim yang dewasa ini diikuti oleh kaum Salafi-Wahabi.
Mengingat reputasi Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah yang luar biasa, yang memiliki sanad yang kuat dan shahih kepada ulama salaf, kaum Salafi-Wahabi, yang tidak pernah berhenti melakukan propaganda bahwa mereka satu-satunya representasi ajaran salaf, sangat memperhatikan penyebaran kitab itu dengan memberi komentar dan catatan kaki versi ideologi mereka, agar terkesan di mata kaum muslimin bahwa aqidah mereka sama dengan aqidah salaf yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Thahawi.
Di antara ulama Salafi-Wahabi yang menulis komentar dan catatan kaki terhadap kitab Al-‘Aqidah al-Thahawiyahadalah Ibnu Baz, Al-Albani, Ibnu Utsaimin, Al-Fauzan, Al-Khumayyis, Al-Barrak, Al-Rajihi. Akan tetapi apabila kita membaca komentar dan catatan kaki yang mereka tulis terhadap kitab tersebut, akan didapati bahwa aqidah mereka bertentangan dan bertolak belakang dengan aqidah kaum salaf dari generasi sahabat dan tabi’in yang dirangkum oleh Al-Thahawi. Hanya saja untuk menutupi pertentangan aqidah mereka dengan aqidah kaum salaf, ulama Salafi-Wahabi melakukan dua langkah dalam mengomentari Al-‘Aqidah al-Thahawiyah.
Pertama, mencela, menghujat, dan menyalahkan pernyataan Al-Thahawi yang tidak sesuai dengan ideologi Salafi-Wahabi, dengan alasan Al-Thahawi telah terpengaruh ahli bid’ah. Hal sepeti ini dilakukan oleh Al-Barrak, ulama Salafi-Wahabi kontemporer, dalam komentar (syarh) yang ditulisnya, yang memberikan pernyataan bahwa Al-Thahawi telah mengadopsi ajaran-ajaran bid’ah dan memasukkan teori-teori bid’ah dalam Al-’Aqidah al-Thahawiyyah, yang ditulisnya.
Di sini kita patut menggugat kepada Al-Barrak: Apabila kitab tersebut memang sarat dengan bid’ah, mengapa Anda memberinya syarh? Mengapa Anda tidak menulis kitab sendiri, tanpa mendompleng nama besar Al-Imam Al-Thahawi?
Kedua, melakukan tahrif (distorsi) terhadap makna kalimat yang dimaksud oleh Al-Thawi ketika bertentangan dengan paham Salafi-Wahabi kontemporer, dalam kitabnya Al-Hidayah al-Rabbaniyyah fi Syarh al-‘Aqidah al-Thashawiyyah.
Kedua cara di atas banyak dilakukan oleh Salafi-Wahabi terhadap kitab-kitab aqidah Ahlussunnah yang ditulis oleh ahli hadits. Oleh karena itu kaum muslimin harus berhati-hati dengan syarh dan ta’liq (komentar terhadap sebuah naskah) yang ditulis oleh Salafi-Wahabi terhadap Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, seperti tulisan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi, Ibnu Baz, Al-Albani, Ibnu ‘Utsaimin, Al-Fauzan, Ibnu Jibrin, Al-Khumayyis, Al-Barrak, Al-Rajihi. Mereka hanya mendompleng terhadap nama besar Al-Thahawi untuk menyebarkan aqidah Salafi-Wahabi di tengah-tengah umat Islam.
Apabila kaum muslimin ingin memahami maksud Al-‘Akidah al-Thahawiyyah dengan benar, hendaknya membaca kitab-kitab syarh yang ditulis oleh para ulama Ahlussunnah, seperti Syarh ‘Aqidah al-Imam al-Thahawi, karya Al-Imam Sirajudin Al-Ghaznawi Al-Hindi, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, karya Al-Imam Abdul Ghani Al-Ghunaimi Al-Hanafi, Izhhar al-‘aqidah al-sunniyyah bi-Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, karya Syaikh Abdullah Al-Habasyi Al-Harari. Juga, Al-I’tiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad dan al-Asma wa al-Shifat, karya Al-Imam Al-Baihaqi. Al-Imam Al-Hafizh Al-Baihaqi adalah ulama besar yang reputasinya dalam kitab-kitab hadits disejajarkan dengan ahli hadits kenamaan selevel Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad-Daraquthni, Al-Hakim, dan lain-lain.
Dalam bidang aqidah semua ulama mengakui bahwa Al-Baihaqi mengikuti madzhab Al-Asy’ari. Kaum Salafi-Wahabi, yang selalu menyebarkan propaganda bahwa mereka mengikuti ajaran salaf dan ahli hadits, sangat memperhatikan kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Baihaqi dengan melakukan “tahqiq” (revisi), “ta’liq”, dan “takhrij” (otentisifikasi), terutama kitab Al-I’tiqad wa al-Hidayah ila Sabil al-Rasyad dan al-Asma’ wa al-Shifat.
Hanya saja tahqiq yang mereka lakukan terhadap kedua kitab tersebut sarat dengan kecurangan ilmiah. Misalnya kitab al-I’tiqad, yang ditahqiq Abu Abdillah Ahmad bin Ibrahim Abu Al-‘Ainain, atau al-Asma wa al-Shifat, yang ditahqiq Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi.
Tahqiq yang dilakukan oleh kedua orang Salafi-Wahabi tersebut berbeda dengan tahqiq yang dilakukan para pakar pada umumnya.
Biasanya seorang pentahqiq suatu kitab akan menulis biografi pengarangnya pada bagian awal kitab tersebut dengan menguraikan posisi keilmuannya serta urgensitas kitab yang ditulisnya di mata para ulama sebelumnya. Akan tetapi untuk kedua kitab Al-Baihaqi tersebut, baik Abu Al-‘Ainain, yang mentahqiq kitab Al-I’tiqad, maupun Al-Hasyidi, yang mentahqiq kitab Al-Asma’ wa Al-Shifat, tidak menulis biografi Al-Baihaqi serta urgensitas kitabnya di mata para ulama terdahulu.
Hal itu mereka lakukan agar pembaca yang tidak mengenal reputasi Al-Baihaqi dan posisi kitabnya tidak tertarik untuk mengikuti jejak dan pendapat Al-Baihaqi dalam kedua kitab tersebut. Karena, seandainya Salafi-Wahabi menulis biografi Al-Baihaqi di bagian awal kitabnya, tentu mereka akan terpaksa mengutip pernyataan para ulama ahli hadits yang memuji Al-Baihaqi dan kitab-kitab yang ditulisnya setinggi langit.
Misalnya Al-Imam Al-Hafizh Al-Dzahabi, murid Ibnu Taimiyah, dan salah satu ulama yang dikagumi oleh Salafi-Wahabi, berkata tentang Al-Imam Al-Baihaqi dan karya-karyanya: “Al-Baihaqi adalah al-hafizh yang sangat alim, terpercaya, ahli fiqih, syaikhul Islam.... Allah memberkati Al-Baihaqi dalam hal ilmunya. Ia mengarang banyak karya yang bermanfaat. Karangan-karangan Al-Baihaqi memiliki kedudukan yang agung dan faidah yang berlimpah. Sedikit orang yang bagus menyusun karangannya seperti Al-Imam Abi Bakar Al-Baihaqi.”
Pernyataan Al-Dzahabi di atas menggambarkan kekaguman dan penilaiannya terhadap keilmuan Al-Baihaqi dan urgensitas karya-karyanya di mata para ulama. Seandainya Abu Al-‘Ainain dan Al-Hasyidi menulis biografi Al-Baihaqi dalam pengantar revisi mereka, tentu orang-orang awam yang membaca kedua kitab tersebut tidak akan tertarik dan terpengaruh dengan propaganda, pembusukan, dan pembunuhan karakter yang dilakukan oleh Salafi-Wahabi terhadap karya-karya Al-Baihaqi.
Pada bagian awal kedua kitab Al-Baihaqi tersebut kedua pentahqiq di atas melakukan pembusukan dan pembunuhan karakter terhadap kitab dan pengarangnya, dengan menguraikan kesalahan-kesalahan Al-Imam Al-Baihaqi menurut paradigma Salafi-Wahabi, bukan menurut ulama salaf yang shalih.
Sebenarnya, apabila diteliti secara mendalam, ternyata semua kritik yang dilancarkan oleh Salafi-Wahabi terhadap Al-Baihaqi bersumber dari pemikiran satu orang, yaitu Syaikh Ibnu Taimiyah Al-Harrani, dan orang-orang yang menjadi corong pemikirannya, seperti Ibnu Al-Qayyim, Ibnu Abi Al-Izz Al-Hanafi, dan lain-lain. Hanya saja pemikiran tersebut mereka klaim sebagai kesepakatan ulama salaf yang shalih.
Kemudian, apabila kita memabca teks kitab yang mereka tahqiq, akan kita dapatkan kecurangan ilmiah mereka yang kasatmata. Setiap Al-Baihaqi menulis aqidah yang berbeda dengan ajaran Salafi-Wahabi, pentahqiq akan menulis catatan kaki bahwa apa yang ditulis oleh Al-Baihaqi tersebut adalah keliru dan bertentangan dengan ajaran salaf yang shalih. Lalu pentahqiq akan memperkuat kritikannya tersebut dengan mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya secara panjang lebar. Hanya saja, apabila kemudian Al-Baihaqi menjelaskan dalil-dalil aqidah yang dikemukakannya tadi, Abu Al-‘Ainain maupun Al-Hasyidi sedikit pun tidak mengomentari dalil-dalil tersebut, apalagi mematahkannya secara ilmiah.
Jadi Salafi-Wahabi hanya menyalahkan konsep aqidah yang diuraikan oleh Al-Baihaqi tetapi tidak menanggapi apalagi mematahkan dalil dan argumen yang dikemukakan oleh Al-Baihaqi
Kaum Salafi-Wahabi selalu menisbahkan pendapatnya kepada kaum salaf dan ahli hadits, padahal pendapat kaum salaf dan ahli hadits bertolak belakang dengan pendapat mereka.
Misalnya tentang konsep Dzat Allah. Menurut Aswaja, Dzat Allah bukan berupa benda (jisim) dan bukan pula sifat benda, sehingga mustahil Dzat Allah itu dibatasi oleh tempat dan waktu. Sementara Salafi-Wahabi berpendapat, Dzat Allah itu berupa benda yang dibatasi oleh tempat dan bertempat di ‘arsy atau langit. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Bayan Talbis al-Jahamiyyah, menisbahkan pendapatnya bahwa Allah SWT itu berupa benda yang dibatasi oleh tempat, kepada kaum salaf dan ahli hadits.
Banyak sekali pernyataan ulama salaf dan ahli hadits bahwa Allah SWT bukan benda atau sifat benda yang terbatas oleh tempat atau waktu.
Al-Imam Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitabnya Hilya al-Auliya’ pernyataan Sayidina Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa berasumsi bahwa Tuhan itu terbatas, ia benar-benar tidak mengetahui Tuhan, Yang Maha Pencipta dan harus disembah.”
Al-Imam Abu Al-Fadhl Al-Tamimi, ulama terkemuka Madzhab Hanbali di Baghdad, mengutip aqidah Al-Imam Ahmad bin Hanbal yang menafikan batas bagi Dzat Allah dalam kitabnya I’tiqad al-Imam al-Munabbal Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, sebagai berikut, “Allah SWT tidak pernah ditimpa perubahan dan pergantian, tidak dikenai batas, baik sebelum menciptakan ‘arsy maupun sesudahnya.” Imam Ahmad menolak terhadap orang yang berkata bahwa Allah ada di semua tempat dengan Dzat-Nya karena semua tempat itu terbatas.
Al-Imam Ibnu Hibban, ahli hadits terkemuka, yang mengikuti aqidah salaf dan pengarang Shahih Ibn Hibban, menjelaskan sebagai berikut, “Allah ada tanpa waktu dan tanpa tempat.”
Mencium Makam Nabi SAW
Di antara padangan Salafi-Wahabi yang berbeda dengan Aswaja terkait dengan hukum mengusap dan mencium makam Nabi SAW dengan tujuan bertabaruk.
Salafi-Wahabi berpandangan, mengusap dan mencium makam Nabi SAW dengan tujuan tabaruk termasuk syirik. Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Ziyarah al-Qubur wa-al-Iastinjad bil Maqbur, kitab kecil yang dibagi-bagikan secara gratis oleh Salafi-Wahabi, sebagai berikut, “Penjelasan hukum mengusap makam, mencium, dan mengusapkan pipi kepadanya, maka hukumnya dilarang oleh kesepakatan kaum muslimin, meskipun makam tersebut makam para nabi. Ini belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kaum Salaf umat Islam serta para imamnya, bahkan ini termasuk syirik.”
Pertanyaannya sekarang, benarkah apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah tersebut? Tentu saja pernyataan itu tidak benar dan bertolak belakang dengan fakta. Terdapat banyak riwayat dari kaum salaf yang shalih yang mencium makam Nabi. Misalnya, sahabat Abdullah bin Umar meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi SAW setiap datang dari perjalanan. “Dari Nafi, bahwa, apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua rakaat di masjid lalu mendatangi Nabi SAW kemudian meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi SAW dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi SAW, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Madzhab Hanabli, yang diakui oleh Salafi-Wahabi sebagai madzhab mereka dan madzhab Ibnu Taimiyah, telah berfatwa boleh bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi SAW dengan tujuan taqarub kepada allah SWT.
Putra Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, “Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi SAW, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya dan ia melakukan hal yang sama ke makam Nabi SAW atau yang sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan hal tersebut.
Beliau menjawab, ‘Tidak apa-apa’.”
Paparan di atas menyimpulkan bahwa kaum salaf yang shalih dan ahli hadits tidak melarang bertabaruk dengan cara mengusap atau mencium makam Nabi SAW dan orang-orang shalih, apalagi menganggapnya sebagai perbuatan syirik. Bahkan sebagian kaum salaf dari generasi sahabat dan tabi’in melakukannya, dan Imam Ahmad bin Hanbal telah berfatwa tentang bolehnya hal tersebut.
Sedangkan fatwa Ibnu Taimiyah bahwa mencium dan mengusap makam Nabi SAW dan orang shalih dilarang dan dianggap syirik oleh kaum salaf jelas tidak sesuai dengan fakta dan realitas yang ada.
Masih banyak contoh lain yang ditulis dalam buku ini yang memberikan argumentasi atau hujjah atas tuduhan dan tudingan kaum Salafi-Wahabi terhadap berbagai praktek keagamaan Aswaja.
Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,
Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!