Imam Ahmad al-Muhajir

[Al-Imam Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-’Uraidhi - Ja’far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

 

Sayyidina Muhajir ilaLlah Ahmad bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain putera Sayyidina Ali bin Abu Thalib dan Sayyidatina Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah s.a.w.

Dilahirkan pada tahun 241H (820 M) menurut al-Qirtas oleh Sayyid Ali bin Hasan, Al-Imam Ahmad bin Isa dinamakan Al-Muhajir karena beliau meninggalkan Basrah, Iraq pada zaman pemerintahan Khalifah Abbassiyah yang berpusat di Baghdad, pada tahun 317H (896 M). Mula-mula ke Madinah dan Mekkah, kemudian pada tahun 318 H dari Mekkah ke Yaman kurang lebih sekitar tahun 319H.

Beliau berhijrah disebabkan karena banyaknya fitnah yang terjadi di Iraq pada waktu itu -- banyak para Ahlul Bait keturunan Rasulullah diburu atau bahkan dibunuh karena pemerintah khawatir kalau mereka mau mengambil-alih kekuasaan. Diperkirakan 70 orang mengikuti beliau berhijrah.

Imam Ahmad Al-Muhajir ialah seorang Imam Mujtahid, yang lebih banyak diikuti daripada mengikuti.

Beliau wafat pada tahun 345h (924 M) di Husayyisah, sebuah kota antara Tarim dan Seiyun, Hadramaut. Makam beliau di atas sebuah bukit merupakan di antara yang pertama kali diziarahi oleh para pengunjung ke Hadramaut.

Semua para sayyid dari keluarga BaAlawi, Hadramaut bernasab kepada beliau. Sebagian besar para Wali Songo di Indonesia juga adalah keturunan Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa.

Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah. Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadramaut sebagaimana kakeknya Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sebelum hijrah ke tujuan akhirnya Hadramaut, beliau tinggal di Madinah selama satu tahun kemudian ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Mekkah beliau pergi ke Hajrain, kemudian ke Husaisah yang jaraknya setengah marhalah dari Tarim.

Imam al-Muhajir adalah orang pertama yang datang ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam perjalanan beliau anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi, Jadid dan Basri. Imam Ahmad al-Muhajir dikarunia keturunan:

1. Muhammad ( Keturunannya tersebar di negri Baghdad )

2. Abdullah / Ubaidillah ( Abu Alawy ).

Ahmad bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’farAsshadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husin. Al Muhajir Ila Allah (orang yang berhijrah menuntut ridha Allah) meninggalkan Basrah di Irak pada tahun 317 H. bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang, menuju Hijaz (Saudi Arabia), kemudian ke Yaman (Utara), dan selanjutnya Hadramaut (Yaman Selatan). Al Muhajir sampai di Hadramaut pada tahun 318 H dan untuk pertama kali mendirikan rumah di Hajrain, lalu pindah ke Husayisah tempat beliau menetap hingga wafat pada tahun 345 H.

 

Sesepuh Ahli Ibadah dan Mujahid

Demi pengembangan syiar Islam, ia rela berhijrah dari Basrah, Medinah, Mekah, dan akhirnya ke Hadramaut.

Hadramaut, di Yaman, khususnya kota Tarim, terkenal sebagai “gudang” para ulama besar, aulia, sufi. Mereka semuanya bermuara pada seorang tokoh bernama Imam Ahmad bin Isa Almuhajir. Ia dilahirkan sekitar 273 H/853 M dan besar di Irak. Tak ayal, ia adalah sesepuh para ahli ibadah dan mujahid, pemegang akidah yang lurus, dengan akhlak terpuji, memesona setiap kali menyampaikan tausiah.

Pesona itu terpancar, misalnya, ketika ia menasihati saudaranya, Imam Muhammad bin Isa, yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, agar mengalihkan perhatian pada urusan-urusan akhirat, dan diterima dengan baik. Imam Ahmad Almuhajir sendiri juga berkedudukan tinggi dan kaya, namun hal itu tidak memalingkan hatinya dari ibadah. Justru sebaliknya, ia semakin kuat beribadah, dan rajin menyampaikan tausiah kepada orang-orang yang sesat.

Sejak kecil, wajahnya sudah mengguratkan kepiawaian, kedamaian, dan kebahagiaan. Ia juga berkemauan keras, terutama dalam beramal kebajikan. Jauh sebelum terjadi kekacauan politik maupun perbedaan paham di bidang agama yang terjadi di Irak, Allah SWT telah memberitahukannya agar memalingkan diri dari urusan dunia, dan lebih memperhatikan urusan akhirat.

Kala itu, 255 H/869 M, di masa pemerintahan Khalifah Al-Muhtadi dari Dinasti Abbasiyah, berkobarlah pemberontakan kaum Zanji di Basrah, Irak, yang sempat menyengsarakan penduduk. Sekitar 300 ribu penduduk terbunuh. Maka, pada 317 H/897 M, Imam Ahmad Almuhajir pun memutuskan berhijrah dari Basrah ke Medinah bersama sekitar 70 orang keluarga dan para pengikutnya. Beberapa anggota keluarga yang ditinggalkan diminta menjaga keluarga, termasuk putranya, Muhammad, Hasan, dan Ali, berikut keluarga mereka.

Dengan iringan ratap tangis penduduk Basrah, khafilah besar itu menuju Hijaz, nama kawasan Mekah, Medinah, dan sekitarnya kala itu. Sampai di Medinah, mereka bermukim selama setahun. Ketika itu, Zulhijah 317 H/897 M, di Mekah tengah terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh kaum Qaramithah pimpinan Abu Thahir ibnu Abi Sa’id. Mereka berhasil menjebol Hajar Aswad dari tempatnya di salah satu pojok Ka’bah. Tapi, 23 tahun kemudian, mereka mengembalikan Hajar Aswad tersebut.

Kaum Ibadiah

Dalam kerusuhan itu, kaum Qaramithah tidak segan-segan merampok, merampas harta benda, dan membunuh penduduk Mekah. Setahun kemudian, setelah keadaan tenang, Imam Ahmad Almuhajir dan pengikutnya berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah, melakukan ibadah haji. Dan belakangan memutuskan untuk hijrah ke Hadramaut, Yaman.

Mengapa ia memilih Hadramaut, yang panas, tandus, dan kala itu terputus hubungan dari dunia luar? Pemilihan kawasan tersebut didorong oleh hasratnya untuk hidup tenang dan tenteram bersama keluarga dan pengikutnya. Tapi, juga untuk membentuk komunitas masyarakat baru di suatu kawasan baru yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun kehadirannya di Hadramaut bukan berarti berakhirnya tantangan berdakwah.

Pada tahun-tahun pertama di Hadramaut, ia menghadapi ancaman para pengikut Mazhab Ibadiah. Karena tidak berhasil mencapai kesepahaman dan perdamaian, ia pun terpaksa mengangkat senjata melawan mereka. Meskipun jumlah pengikutnya tidak terlalu besar, semangat perjuangan mereka cukup tinggi. Apalagi penduduk Jubail dan Wadi Dau’an juga mendukungnya, sehingga kaum Ibadiah tersingkir.

Dakwah Imam Almuhajir, yaitu hidup sesuai dengan ajaran A1-Quran dan sunah, lambat laun diamalkan penduduk. Bahkan sejumlah tokoh terkemuka kaum Ba’alawi menjalani hidup sebagaimana dicontohkan oleh para sahabat di zaman Rasulullah SAW. Ini berpengaruh positif kepada masyarakat Hadramaut di kemudian hari. Mereka inilah yang di belakang hari dikenal sebagai ulama salaf, yakni para ulama terdahulu yang saleh.

Ketika itu peran keluarga Ba’alawi dalam berdakwah dan memberi contoh hidup sesuai dengan syariat merupakan modal besar dalam syiar Islam. Sampai-sampai ulama besar Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fado berkata, “Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barang siapa yang tidak menaruh rasa husnudzan (baik sangka) kepada keluarga Ba’alawi, tidak ada kebaikan padanya.”

Sedemikian tinggi penghargaan masyarakat kepada keluarga Ba’alawi, sampai-sampai Sulthanah binti Ali Az-Zabidy, penguasa Hadramaut, konon bermimpi melihat Rasulullah SAW masuk ke dalam rumah salah seorang keluarga Ba’alawi sambil berkata, “Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta.” Dan itu semua berkat kerja keras penuh kesabaran Imam Ahmad bin Isa Almuhajir Ilallah dalam mengembangkan dakwah Islam di Hadramaut. Ia wafat pada 345 H/956 M, dan dimakamkan di Husaiseh, Hadramaut.

  

[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi Ibnu Ahmad Bilfaqih]