Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya. Hal itulah yang menjadikannya dekat di hati manusia, terkhusus metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan sehingga beliau dianggap memiliki kepribadian Muslim yang lebih mencintai dan menghormati Mesir dan dunia Arab. Oleh karena itu beliau diberi gelar Imam ad-Du’at (Pemimpin Para Da’i).

Daftar Isi:

1.      Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

2.      Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

3.      Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

4.      Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

5.      Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

6.      Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

7.      Kalam Mutiara Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

1.      Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi lahir pada 16 April 1911 M di Desa Daqadus, Distrik Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Di usia yang masih dini, 11 tahun, ia sudah hafal al-Quran.

Sejak kecil selalu dipanggil oleh kedua orangtuanya dengan panggilan “Syaikh al-Amin” (yang amanah). Tidak ada keterangan tentang hal ini, namun boleh jadi karena kecerdasan dan kepolosannya kepada orangtuanya.

2.      Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh asy-Sya’rawi semasa kecilnya belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar, Zaqaziq. Kecerdasannya telah tampak semenjak kecil dalam menghafal syair dan peribahasa Arab. Beliau berhasil meraih ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1923. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah di tempat yang sama hingga bertambahlah minatnya dalam syair dan sastra.

Ia mendapatkan tempat khusus di antara rekan-rekannya, hingga terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi ketua perkumpulan sastrawan di Zaqaziq. Diantara rekan-rekan beliau adalah:

1.      Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji (Penyair Thahir Abu Fasya)

2.      Prof. Khalid Muhammad Khalid

3.      Dr. Ahmad Haikal 

4.      Dr. Hassan Gad.

Mereka semua adalah guru sekaligus rekan sesama kaum muda yang gandrung dengan sastra Arab. Mereka memperlihatkan kepadanya apa yang mereka tulis. Hal itulah yang menjadi titik perubahan kehidupan Syaikh asy-Sya’rawi.

Ketika orangtuanya ingin mendaftarkan dirinya ke al-Azhar, Kairo, ia ingin tinggal dengan saudara-saudaranya di Zaqaziq demi untuk menekuni dunia tani, sebagaimana keluarga besarnya yang hidup sebagai petani desa. Namun mereka tetap mendesak beliau untuk ke Kairo agar dapat mengeruk ilmu sebanyak-banyaknya dan mengamalkannya sekembalinya ke kampung halaman.Akhirnya tak ada hal yang patut dilakukannya kecuali patuh kepada orangtua dan mewujudkan keinginan mereka. Maka ia pun akhirnya terdaftar di Fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M.

Syaikh asy-Sya’rawi tamat dari al-Azhar tahun 1940 M dengan gelar S1. Lalu beliau mendapat izin mengajar pada tahun 1943 M setelah menyelesaikan pendidikan Master of Art. Ia ditugasi mengajar di Thanta, Zaqaziq, dan selanjutnya di Iskandaria.

Setelah masa pengalaman yang panjang di negerinya, Syaikh asy-Sya’râwi pindah ke Arab Saudi pada tahun 1950 M, untuk menjadi dosen syari’ah di Universitas Ummu al-Qurra. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke kampung halamannya.

Di Kairo, ia diangkat sebagai direktur di kantor Syaikh al-Azhar Syaikh Husain Ma’mun, kemudian menjadi duta al-Azhar di Aljazair dan menetap selama tujuh tahun di sana. Setelah itu ia kembali lagi ke Kairo, ditugasi sebagai kepala Departemen Agama Provinsi Gharbiyah dan utusan khusus al-Azhar untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi.

Pada bulan November 1976 M, Perdana Menteri Mesir, Mamduh Salim, memilihnya untuk memimpin Departemen Urusan Wakaf dan Urusan al-Azhar. Perannya bagi al-Azhar dan pemerintahan Mesir sungguh luar biasa. Ia seorang ahli agama yang juga sangat handal dalam tata administrasi pemerintahan.

Sekalipun menduduki kedudukan elite dan termasyhur, sikap wara’ dan tawadhunya tidak luntur. Ia juga seorang yang amat pemurah dan menafkahkan gaji yang diperolehnya bagi para pelajar, mahasiswa, hafidz al-Quran dan orang-orang miskin. Bahkan, royalti atas karya-karyanya banyak digunakannya untuk kegiatan-kegiatan sosial seperti membangun sekolah, masjid, memberikan santunan dan sebagainya.

Selain berpengetahuan luas, asy-Sya’rawi juga amat menguasai bahasa dialektika. Kedua kemampuan ini menjadikannya ulama dan muballigh yang handal.

3.      Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh Asy-Sya’râwi juga amat cinta kepada keturunan Rasulullah Saw. Ia sering berkunjung ke kawasan al-Husain (sebuah wilayah yang banyak didiami dzurriyyah Rasul), rutin berziarah ke makam Sayyidah Nafisah, dan menghadiri majelis Maulid di halaman Masjid al-Husain.

Suatu ketika, dalam sebuah diskusi keagamaan, ia pernah ditanya: “Bagaimana pendapat Tuan tentang ziarah ahlul bait dan para wali yang merupakan kebiasaan orang-orang Mesir khususnya orang-orang dari dusun yang bertabarruk kepada mereka?”

Seraya meletakkan tangannya di dada seolah-olah berbicara tentang dirinya, ia menjawab: “Kami besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di lingkungan ahlul bait dan para wali. Orangtua-orangtua kami, datuk-datuk kami, ibu-ibu kami dan saudara-saudara kami semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal keberkahan kecuali dengan mencintai mereka.

Kami mencintai mereka karena mereka berhubungan dengan Allah. Kebaikan datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahwa mereka berhubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwanya menerima manhaj (syari’at) Allah.

Bagaimana mungkin mereka membolehkan berziarah ke kuburan orang-orang Muslim awam tetapi mengharamkan menziarahi mereka yang dikenal sebagai orang shalih! Ziarah kubur itu diperintahkan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang Muslim awam, apakah orang-orang yang telah dikenal atau orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu diharamkan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Pendapat ini sungguh tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya.

Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal yang tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang meminta sesuatu dari mereka dapat kita katakan berbuat syirik. Tetapi jika ia meminta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang?

Demi Allah, seandainya dalam berziarah itu tidak ada hal lain yang didapatkan selain sekadar pertemuan dengan orang-orang yang tunduk di hadapan Allah, itu sudah cukup bagi saya. Seandainya tidak ada yang saya dapatkan di sana selain bertemu orang-orang yang menggunakan dirinya kembali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu orang-orang yang meninggalkan dunia dan makan sekali saja dalam sehari.

Orang-orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad al-Badawi atau Syaikh Ibrahim ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mungkin juga perasaan malu itu akan terus menyertainya sepanjang hayatnya.”

Setiap hari Jum’at selama 20 tahun di Masjid Arba’in di kampung kelahirannya dan beberapa masjid di Kairo, ia mengisi sebuah majelis bertajuk “Khawathir Sya’rawi”. Ia berceramah dan mengisi pengajian tafsir al-Quran. Kemampuan orasinya mampu memikat pendengarnya yang terdiri dari kalangan masyarakat biasa. Sungguh pun begitu, para pendengar dari kumpulan kaum intelektual sekuler, seperti Syaikh al-Qimani, senantiasa memperhatikan ceramahnya.

Selepas meninggalkan jabatannya dalam kementerian, ia berkhidmat sebagai ulama al-Azhar. Namun dalam penampilan berpakaian, ia enggan memakai pakaian resmi para ulama al-Azhar dan hanya memakai kopiah dan jubahnya.

4.      Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Setelah menikah, Syaikh asy-Sya’rawi dikaruniai tiga orang putra dan dua orang putri: Sami, Abdul Rahim, Ahmad, Fathimah dan Shalihah. Baginya, faktor utama keberhasilan pernikahannya adalah ikhtiar dan kerelaan antara suami dan istri.

Mengenai pendidikan anaknya, ia berkata: “Yang terpenting dalam mendidik anak adalah suri teladan. Seandainya didapatkan suri teladan yang baik, seorang anak akan menjadikannya sebagai contoh. Maka seorang anak harus dicermati dengan baik, dan di sana terdapat perbedaan antara mengajari anak dan mendidiknya.

Seorang anak, jika tidak bergerak kemampuannya dan bersiap untuk menerima dan menampung sesuatu di sekitarnya, artinya, apabila tidak siap telinganya untuk mendengar, kedua matanya untuk melihat, hidungnya untuk mencium, dan ujung-ujung jarinya untuk menyentuh, kita wajib menjaga seluruh kemampuannya dengan tingkah laku kita yang mendidik bersamanya dan di depannya. Oleh karena itu, kita harus menjaga telinganya dari setiap perkataan yang jelek, dan menjaga matanya dari setiap pemandangan yang merusak.

Kita harus mendidik anak-anak kita dengan pendidikan Islami. Apabila anak melihat kita dan kita mengerjakan yang demikian itu, dia akan mengikutinya, juga yang lainnya. Tapi jika anak itu tidak mengambil pelajaran dalam hal ini, tindakan lebih penting daripada omongan belaka.”

5.      Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi adalah salah satu ulama terkemuka masa kini. Ia memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan mudah dan sederhana dalam karya-karyanya. Karya-karyanya begitu familiar di tengah-tengah masyarakat muslim, baik karya asli maupun terjemahan.

Ia juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Lisannya yang fasih dan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran mudah dicerna oleh berbagai lapisan masyarakat Muslim, baik di Mesir, tempat kelahirannya, maupun di berbagai penjuru dunia, sehingga ia diberi gelar Imam ad-Du’at (Imam para Da’i) oleh rekan sejawat sesama ulama di Mesir.

Sebagai seorang ulama yang juga cendekiawan, ia tak hanya fokus dengan dakwah billisan. Ketertarikannya dalam dunia tulis-menulis turut memasyhurkan namanya sebagai ulama penulis handal dan produktif. Beliau juga dijuluki “Mujaddid Abad 20” oleh sebagaian pecinta beliau. Di tengah-tengah kesibukannya dalam aktivitas kepemerintahan dan akademi, Syaikh asy-Sya’rawi masih sempat menelurkan banyak karya diantaranya:

1.      Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Peristiwa Isra dan Mi’raj).

2.      Asrar Bismillahirrahmanirrahim (Rahasia di balik kalimat Bismillahirrahmanirrahim).

3.      Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan Pemikiran Modern).

4.      Al-Islam wa al-Mar’ah: ‘Aqidah wa Manhaj ( Islam dan Perempuan, Akidah dan Metode).

5.      Asy-Syura wa at-Tasyri’ fi al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan dalam Islam).

6.      Ash-Shalah wa Arkan al-Islam (Shalat dan Rukun-rukun Islam).

7.      Ath-Thariq ila Allah (Jalan Menuju Allah).

8.      Al-Fatawa (Fatwa-fatwa).

9.      Labbayk Allahumma Labbayka (Ya Allah Kami Memenuhi PanggilanMu).

10.  Mi-ah Su-al wa Jawab fi al-Fiqh al-Islam (100 Soal Jawab Fiqih Islam).

11.  Al-Mar’ah Kama Aradaha Allah (Perempuan Sebagaimana yang Diinginkan Allah).

12.  Mu’jizah al-Qur’an Min Faydhi al-Qur’an (Kemukjizatan Al-Quran Diantara Limpahan Hikmah Al-Quran).

13.  Nadzarat al-Qur’an (Pandangan-pandangan Al-Quran).

14.  ‘Ala Ma-idah al-Fikr al-Islamiy (Di Atas Hidangan Pemikiran Islam).

15.  Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar).

16.  Hadza Huwa al-Islam (Inilah Islam).

17.  Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Pilihan dari Tafsir Al-Quran Al-Karim).

18.  Al-Hayah wa al-Maut (Hidup dan Mati).

19.  At-Taubah (Taubat).

20.  Adz-Dzalim wa adz-Dzalimun (Dzalim dan Orang-orang yang Dzalim).

21.  Sirah an-Nabawiyyah (Sejarah Kenabian).

Karya-karya beliau dapat dipahami sebagai wujud perpaduan keindahan dan penguasaan sastrawi, fiqh, aqidah, tafsir, hingga permasalahan kontemporer kehidupan Muslimin. Para ulama Mesir mengakui kepiawaiannya di bidang tafsir dan fiqh perbandingan madzhab. Ia juga amat menguasai bahasa dialektika, sehingga Syaikh Ahmad Bahjat dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan Syaikh asy-Sya’rawi sebagai seorang ahli tafsir kontemporer yang dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan uslub (metode) yang mudah dipahami orang umum. Bahasanya lugas dan mudah, tapi mendalam.

Al-Qaradhawi, muridnya saat belajar di al-Azhar Thantha, memuji gurunya ini sebagai tokoh yang rendah hati dan luas pemikirannya dalam berbeda pendapat. Sementara Syaikh Umar Hasyim, salah satu petinggi al-Azhar, menganggapnya sebagai tokoh yang pantas disebut sebagai salah seorang mujaddid (pembaharu) abad ke-20.

6.      Kisah nyata kehidupan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Imam Syafi‘i berwasiat agar Sayyidah Nafisah menshalati jenazahnya ketika ia wafat. Maka, ketika ia wafat pada akhir Rajab tahun 204 H, Sayyidah Nafisah melaksanakan wasiatnya. Jenazah Imam Syafi‘i dibawa dari rumahnya di kota Fusthath ke rumah Sayyidah Nafisah, dan di situ ia menshalatinya.

Tak banyak yang tahu, Syaikh Mutawalli Sya‘rawi, tokoh ulama terkemuka yang sangat alim dan produktif, adalah seorang sayyid. Tak banyak pula yang tahu, ia memiliki banyak pengalam­an spiritual yang unik dengan para tokoh ahlul bayt, seperti Sayyidina Husain, Say­yidah Zainab, Sayyidah Nafisah, Sayyi­dah Sukainah. Bahkan, ia selalu men­zia­rahi makam mereka sejak masih remaja.

Berikut ini kami ajak para pembaca untuk mengikuti kisah yang dituturkan oleh Mutawalli Sya‘rawi sebagaimana yang diceritakan oleh Sa‘id Abul Ainain, yang membukukan pengalaman-penga­laman itu (dengan sedikit pengeditan bahasa):

Setelah perbincangan yang panjang lebar tentang para sufi dan para wali, Syaikh Sya‘rawi bertanya kepada saya, “Apa­kah saya pernah menceritakan kepadamu tentang kisah saya bersama Sayyidah Zainab?”

“Saya belum pernah mendengarnya, Syaikh,” kata saya.

Syaikh pun bercerita:

Saya bertetangga dengan Sayyidah Zainab selama tujuh tahun, dari tahun 1936 sampai tahun 1942. Saya tinggal di Jalan Pangeran Aziz di kampung Sayyi­dah Zainab. Saat itu saya seorang pela­jar. Ketika saya telah siap mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah aliyah, saya jatuh sakit. Sakit itu sangat berat sehingga saya tidak masuk ujian. Ujian pada pe­riode pertama tidak dapat saya ikuti, be­gitu juga pada periode kedua. Saya me­rasa kesal dan sedih, karena sebelumnya saya telah sungguh-sungguh belajar.

Saya berkata kepada Sayyidah Zai­nab, “Kami tinggal di sisimu dan melaku­kan shalat di tempatmu. Namun kami ti­dak dapat mengikuti ujian pada periode pertama dan periode kedua. Hilanglah waktu satu tahun.”

Saya pun “memusuhinya”! Saya tidak lagi melakukan shalat di tempatnya. Saya melakukan shalat di suatu mushalla ber­nama “Al-Habibah”.

Kemudian Syaikh bercerita lagi:

Saat itu saya mempunyai seorang sa­habat yang arif bil­lah, Syaikh Muhammad ‘Abdul Fattah. Ia seorang dosen di fakul­tas syari’ah. Saya terkejut ketika ia me­ngunjungi saya pada malam Maulid Say­yidah Zainab. Malam itu adalah malam yang agung. Ia berkata kepada saya se­olah-olah menyuruh, “Bangunlah, Nak! Ba­ngunlah dan pakailah pakaianmu!”

Saya bertanya, “Mengapa? Ke mana kita akan pergi?”

“Saya sudah bilang: Bangun dan pa­kailah pakaian­mu.”

Saya pun berkata kepadanya, “Baik­lah .... Ke mana kita akan pergi?”

“Saya akan pergi mendamaikanmu dengan Sayyidah Zainab!”

Saya terkejut. Bagaimana dia tahu bahwa saya kesal kepada Sayyidah Zai­nab?! Bagaimana dia tahu bahwa saya sedang memusuhinya?!

Saat itu juga ia membawa saya. Kami pergi me­ngun­jungi Sayyidah Zainab....

Kami memasuki masjid dan melaku­kan shalat dua rakaat. Lalu kami mengun­jungi Sayyidah Zainab. Kami mengucap­kan salam kepadanya, lalu kami duduk. Setelah itu kami melakukan shalat Isya. Kami habiskan waktu malam itu di masjid.

Pagi harinya kami kembali ke rumah agar kami dapat tidur dan beristirahat se­jenak. Di rumah kami, Syaikh Abdul Fattah tidur di ranjang, sedangkan saya tidur di sofa.

Tidak lama kemudian saya men­de­ngar suara ketukan pintu. Suara itu mem­­bangun­kan saya dari mimpi yang indah!

“Siapa yang datang di waktu seperti ini?” begitu pikir saya. Saya pun bangun dan membuka pintu. Ternyata ayah saya. Ia datang dari daerah.

Sambil menyambutnya, membawa­kan keranjangnya, dan mem­persilakan­nya masuk, saya berkata kepadanya, “Ayah telah membangunkan saya dari mimpi indah!”

“Mimpi apa, anakku?” tanya Ayah de­ngan penuh per­hatian.

“Mimpi berjumpa dengan Sayyidah Zainab.”

Lalu ia bertanya lagi kepada saya de­ngan perhatian yang lebih besar dan tangannya diletakkan di pundak saya, “Engkau melihatnya, Nak? Wajahnya ter­buka atau ditutupi oleh penutup kepala?”

“Terbuka apa? Tertutup apa?” tanya saya kepadanya.

“Wajahnya terbuka atau tertutup?” kata Ayah meng­ulangi pertanyaannya.

“Terbuka,” jawab saya.

Ia pun memeluk dan mencium saya.

“Wajahnya terbuka itu apa artinya, Ayah?”

“Artinya, kita ini termasuk keluarga­nya. Termasuk mahramnya, Nak!”

“Apa yang ia katakan kepadamu?” tanya Ayah lagi.

“Mari kita bicara di lantai atas,” kata saya sambil me­megang tangannya.

“Siapa yang sedang bersamamu di sini?”

“Syaikh ‘Abdul Fattah. Ia sedang tidur di tempat tidur. Saya tidak ingin pembi­caraan kita membangunkannya.”

Kami pun naik ke lantai atas.

Sebelum kami berbicara, saya dike­jut­kan oleh Syaikh Abdul Fattah. Ia telah ba­ngun dari tidurnya. Dari tempat tidur­nya, Syaikh Abdul Fattah bertanya ke­pa­da saya, “Apa yang ia katakan kepada­mu? Kemari­lah, ceri­takan kepada saya!”

Saya pun bercerita, “Sayyidah Zainab ber­kata, ‘Engkau kesal kepada saya?’.”

“Apa yang ayahmu katakan kepada­mu?” tanya Syaikh ‘Abdul Fattah lagi.

“Ayah bertanya apakah wajah Sayyi­dah Zainab ter­buka atau tertutup.”

“Apa jawabmu?”

“Saya katakan, wajahnya terbuka.”

“Lalu apa kata ayahmu?”

“Ayah mengatakan bahwa itu berarti kami termasuk mah­ramnya. Termasuk ke­luarganya.”

“Benar, benar apa yang dikatakan ayahmu!” kata Syaikh ‘Abdul Fattah.

Kemudian Syaikh bertanya lagi ke­pa­da saya, “Apa yang dikatakan Sayyidah Zainab kepadamu?”

“Ia mengatakan, ‘Engkau kesal ke­padaku? Jika engkau kehilangan waktu satu tahun, kami akan menggantinya un­tukmu lima tahun’.”

Syaikh ‘Abdul Fattah pun bertanya, “Apa artinya waktu yang lima tahun ini?”

“Wallahu a`lam,” jawab saya.

Syaikh Sya‘rawi berkata selanjutnya:

Saya baru mengetahui makna per­ka­ta­an Sayyidah Zainab “kami akan meng­gantinya untukmu lima tahun” be­berapa waktu kemudian. Beberapa tahun setelah itu, saya lulus dari Al-Azhar. Saya kemudian bekerja sebagai pegawai go­longan enam. Biasanya, ketentuan ke­naikan golongan tidak hanya berda­sar­kan senioritas. Sekitar 25% dinaikkan dengan cara dipilih dari pegawai-pegawai yang rajin.

Saya terkejut karena saya dinaikkan dari golongan enam ke golongan lima de­ngan dipilih, dan bukan karena faktor se­nioritas. Saat itu teringat oleh saya per­kataan Sayyidah Zainab, “Kami akan meng­gantinya untukmu lima tahun!” Saat itu juga saya meminta izin meninggalkan pekerjaan saya dan pergi ke Kairo untuk mengunjungi Sayyidah Zainab.

Syaikh Sya‘rawi berkata lagi:

Ada orang-orang yang tidak memper­cayai hal-hal se­perti ini, bahkan orang yang menceritakannya dituduh gila. Me­reka dapat kita maklumi karena mereka tidak me­lihat apa-apa! Di suatu negeri Arab, saya pernah ditanya oleh se­bagian me­reka, “Orang-orang mengatakan bah­wa engkau suka bercerita tentang para wali dan mengisahkan kejadian-kejadian dan cerita-cerita yang tidak ada sanad­nya.”

Saya pun berkata kepada mereka, “Marilah kita ber­debat sebagaimana per­debatan para ahli, bukan per­debat­an orang-orang awam.” Saya katakan ke­pada mereka, “Apakah kalian percaya de­ngan mi’raj Nabi Muhammad SAW?”

“Ya,” jawab mereka.

Saya bertanya lagi kepada mereka, “Apakah kalian percaya bahwa Nabi naik ke langit dan berjumpa dengan Nabi Musa pada malam mi’raj?”

“Ya,” jawab mereka lagi.

Saya berkata lagi, “Baiklah! Nabi Musa telah wafat sebagaimana orang lain yang telah wafat, sedangkan Nabi kita ketika itu masih hidup sebagaimana orang-orang yang masih hidup. Nabi kita dan Nabi Musa melakukan pe­kerjaan yang sama, yaitu melaksanakan shalat bersama-sama.

Nabi Musa yang telah wafat itu me­lakukan suatu per­bua­tan bagi Nabi kita yang masih hidup. Ia yang me­nyuruh Nabi kita untuk bolak-balik menghadap Tuhan agar meringankan shalat yang di­perintahkan oleh-Nya. Nabi Muhammad pun bolak-balik sampai shalat yang di­perintah­kan itu menjadi lima waktu, dari sebelumnya lima puluh waktu.

Jadi, siapa yang melakukan itu? Yang melakukannya adalah Nabi Musa. Pada­hal, Nabi Musa telah wafat. Jadi, terka­dang orang yang telah wafat melakukan sesua­tu untuk orang hidup yang berman­faat bagi orang itu. Maksudnya, perbuat­an itu untuk orang lain, bukan untuk diri­nya sendiri. Karena, amalnya untuk diri­nya sendiri telah terpu­tus.”

Itulah yang saya katakan kepada orang-orang yang mende­bat saya. Itulah yang saya katakan kepada orang yang mendebat saya dengan cara perdebatan ulama, bukan perdebatan orang awam.”

Haji Ahmad dan Peringatan dari Sayyidah Zainab

Syaikh Sya‘rawi mengisahkan kisah lain tentang Sayyidah Zai­nab, yaitu kisah yang terjadi pada salah seorang sahabat dekatnya bernama Haji Ahmad. Ada se­orang pelayan di makam Sayyidah Zai­nab yang dikasihi oleh Haji Ahmad dan sering diberi bantuan olehnya. Pada sua­tu hari, pelayan itu mengundang Haji Ah­mad ke rumahnya untuk minum kopi. Haji Ahmad pun pergi ke rumah pelayan itu. Ia mendapati rumah pelayan itu di­leng­kapi dengan perabot yang hebat dan di­hampari dengan permadani, sebagai­mana layaknya orang kaya.

Terpikir dalam benak Haji Ahmad, “Mengapa saya memberi­kan uang kepa­da orang ini, padahal ia hidup lebih baik dari­pada saya?!”

Pada malam itu terjadi suatu peristiwa yang dicerita­kan oleh Haji Ahmad sambil bersumpah dengan nama Allah. Ia me­nga­takan bahwa pada malam itu ia ber­mimpi melihat Sayyidah Zainab yang ber­diri di balkon dan ber­kata kepadanya, “Wa­hai Haji Ahmad, engkau tidak boleh me­nuntut pelayanku!” Setelah berkata begitu, ia meng­hilang.

Setelah kejadian itu, Haji Ahmad tidak lagi bertanya atau mempersoalkan se­suatu pun! Ketika Haji Ahmad bertanya ke­pada saya, saya kata­kan kepadanya, “Orang-orang yang melayani suatu tem­pat akan diberi gambaran tentang sikap pe­milik tempat itu. Ada pelayan yang di­muliakan oleh pe­miliknya dan ada pela­yan yang tidak dimuliakan.”

Lalu ia bertanya kepada saya, “Apa arti perkataan Sayyi­dah Zainab kepada­ku? Apakah ia marah kepadaku?”

“Itu menunjukkan bahwa engkau orang yang pantas menda­patkan tegur­an! Jadi engkau diperhatikan oleh­nya.”

 

Perjumpaan Imam Syafi‘i dengan Sayyidah Nafisah

Syaikh Mutawalli juga banyak berce­rita tentang Sayyidah Nafisah. Inilah pe­nuturannya:

Sayyidah Nafisah banyak dikunjungi oleh fuqaha, tokoh-tokoh tasawwuf, dan orang-orang shalih. Di antara mereka ada­lah seorang imam yang agung, Imam Syafi‘i. Imam Syafi‘i datang ke Mesir pada tahun 198 H (813 M), lima tahun setelah kedatangan Sayyidah Nafisah. Ada yang mengatakan bahwa Imam Syafi‘i datang ke Mesir karena diundang oleh Al-Abbas bin Abdullah. Al-Abbas adalah wakil Abdulllah Al-Ma‘mun di Mesir.

Imam Syafi‘i tinggal di Mesir lebih dari empat tahun. Di sana ia mengarang kitab-kitabnya. Namanya menjadi terkenal ka­rena orang-orang menerimanya, mencin­tainya, dan tersebarnya mazhabnya di te­ngah-tengah mereka. Di kalangan orang-orang Mesir, ia diagungkan. Di Mesir ia menyusun pendapat madzhabnya yang baru (qaul jadid), yang disusunnya karena adanya perubahan kondisi dan kebiasa­an. Hal itu dimuat dalam kitabnya, Al-Umm.

Pelajaran dan ilmu yang disampaikan oleh Imam Syafi‘i kepada murid-muridnya banyak dan bermacam-macam. Setelah shalat Subuh, ia duduk dalam suatu ha­laqah. Para siswa Al-Qur’an mengeli­li­ngi­n­ya. Ketika matahari terbit, mereka bu­bar. Lalu datang siswa-siswa ilmu hadits. Mereka bertanya kepadanya tentang taf­sirnya dan makna-maknanya. Ketika ma­ta­hari meninggi, mereka pun bubar. Kemudian halaqahnya digunakan untuk muzakarah dan berdiskusi. Saat waktu dhuha meninggi, mereka pun bubar. Se­telah itu, datang siswa-siswa bahasa Arab, ilmu arudh, nahu, dan syair. Mereka tetap bersamanya sampai menjelang tengah hari.

Dari sini jelaslah bahwa setiap hari selama hampir enam jam, Imam Syafi‘i menyampaikan pelajaran-pelajarannya dan berpindah dari satu materi ke materi yang lain. Kelompok-kelompok muridnya berdatangan silih-berganti. Demikianlah hal itu terus berlangsung dari setelah shalat Subuh sampai mendekati shalat Zhuhur.

Fiqih Imam Syafi‘i bagaikan buah kur­ma, karena ia merupakan hasil dari pemi­kiran yang dalam dan pendapat yang bi­jaksana dan kuat, serta pengalaman yang telah teruji. Imam Syafi‘i telah mengelilingi banyak negeri, berdiskusi dengan banyak faqih, dan mendengarkan pendapat para ulama. Ia mengunjungi negeri-negeri Islam terpenting dan mengambil manfaat dari para faqih dan tokoh-tokoh besar.

Ketika imam besar ini datang ke Me­sir, ia benar-benar mengen­al Sayyidah Nafisah. Di antara keduanya terjalin hu­bungan yang erat. Hubungan keduanya diikat oleh keinginan untuk berkhidmat kepada aqidah Islam. Masing-masing de­ngan cara dan gayanya.

Imam Syafi‘i biasa mengunjungi Say­yidah Nafisah ketika ia berangkat menuju halaqah-halaqah pelajarannya di sebuah masjid di Fusthath, yaitu Masjid ‘Amr bin Al-‘Ash, dan ketika pulang ke rumahnya. Imam Syafi‘i biasa melakukan shalat Ta­rawih dengan Sayyidah Nafisah di masjid Sayyidah Nafisah. Imam Syafi‘i selalu mengunjunginya bersama beberapa orang muridnya.

Para sejarawan mengatakan bahwa, walaupun Imam Syafi‘i memili­ki keduduk­an yang agung, jika ia pergi ke tempat Say­yidah Nafisah, ia selalu meminta doa kepadanya dan mengharapkan keber­kah­annya. Imam Syafi‘i juga mende­ngar­kan hadits darinya. Bila sakit, Imam Syafi‘i mengutus muridnya sebagai peng­ganti­nya. Utusan itu men­yampaikan salam Imam Syafi‘i dan berkata kepada Sayyi­dah Nafisah, “Sesungguhnya putra pa­manmu, Syafi‘i, sedang sakit dan memin­ta doa kepadamu.” Sayyidah Nafisah lalu mengangkat tangannya ke langit dan men­doakan kesembuhan untuknya. Maka ketika utusan itu kembali, Imam Syafi‘i telah sembuh.

Suatu kali, Imam Syafi‘i menderita sakit. Seperti biasanya, ia mengirim utus­an untuk meminta doa dari Sayyidah Na­fisah baginya. Tetapi kali itu Sayyidah Na­fisah berkata kepada utusan tersebut, “Allah membaguskan perjumpaannya de­ngan-Nya dan memberinya nikmat dapat memandang wajah-Nya yang mulia.” Ke­tika utusan itu kembali dan mengabarkan apa yang dikatakan Sayyidah Nafisah, ta­hulah Imam Syafi‘i bahwa saat perjumpa­annya dengan Tuhannya telah dekat.

Imam Syafi‘i berwasiat agar Sayyidah Nafisah menshalati jenazahnya ketika ia wafat. Maka, ketika ia wafat pada akhir Rajab tahun 204 H, Sayyidah Nafisah me­laksanakan wasiatnya. Jenazah Imam Syafi‘i dibawa dari rumahnya di kota Fusthath ke rumah Sayyidah Nafisah, dan di situ ia menshalatinya. Yang menjadi imam adalah Abu Ya‘qub Al-Buwaithi, sa­lah seorang sahabat dan murid dekat Imam Syafi‘i. Dibawanya jenazah Imam Syafi‘i ke rumah Sayyidah Nafisah adalah karena Sayyidah Nafisah tidak dapat ke­luar dari rumahnya mendatangi jenazah Imam Syafi‘i karena kondisinya yang lemah akibat terlalu banyak beribadah.

 

Menziarahi Ahlul Bayt, para Wali, dan Orang-orang Shalih

Syaikh Mutawalli Sya‘rawi juga sering menjelaskan ihwal ahlul bayt dan hal-hal yang terkait, misalnya berziarah ke ma­kam-makam mereka. Inilah penuturan Sa‘id Abul Ainain:

Di serambi Sayyidah Nafisah perbin­cangan kami terus ber­lanjut. Saya ber­tanya kepada Syaikh Sya‘rawi, “Apa pen­dapat Tuan tentang acara-acara maulid yang kita rayakan di Mesir, baik maulid para ahlul bayt maupun maulid para wali?”

Syaikh menjawab, “Kita tidak perlu mem­persoalkan acara-acara maulid se­per­ti itu. Yang penting bagi kita adalah apa yang dilakukan pada acara itu. Se­lama tidak ada pengumbaran nafsu dan tidak pula keluar dari jalur agama, ya su­dah. Selama semuanya diisi dengan dzi­kir dan shalawat kepada Nabi SAW, ya tidak apa-apa. Sebagian negeri Arab ti­dak membenarkan hal itu. Mereka me­nga­takan bahwa acara-acara maulid yang kita kerjakan tidak diajarkan oleh Nabi. Saya katakan kepada mereka, ‘Kita tak perlu mem­per­masa­lahkan soal ga­gasan tentang maulid itu. Yang penting ada­lah apa yang terjadi dalam acara mau­lid itu. Jika tidak ada yang terjadi se­lain ketaatan kepada Allah, ya tidak ada masalah! Berikan dalil kepada saya yang melarang orang untuk taat kepada Allah. Berikan hujjah kepada saya yang melar­ang orang untuk melakukan ketaat­an pada waktu tertentu.’

Ada juga orang yang mempertanya­kan mengapa kita meraya­kan Maulid Nabi SAW. Kepada mereka saya kata­kan, ‘Nabi-lah orang pertama yang me­rayakan hari kelahirannya.’

Ketika beliau ditanya ‘Mengapa eng­kau berpuasa di hari Senin?’, beliau men­jawab, ‘Itu hari kelahiranku.’ Jadi, tampak bahwa beliau memuliakan hari kelahir­an­nya. Yang menjadi pertanyaan kini: Ba­gaimana meng­hidup­kan hari Maulid-nya itu?

Orang yang mengharamkan dzikir ter­tentu pada waktu tertentu harus mem­beri­kan dalil pengharamannya, bukan berta­nya tentang dalil penghalalannya. Kare­na, segala se­suatu pada asalnya adalah halal. Jadi, selama acara-acara itu se­muanya berisi dzikir dan shalawat kepada Nabi SAW, berarti tidak ada masalah. Jika ada hal-hal yang tidak patut pada acara itu, mari kita ber­bicara tentang hal-hal tersebut, dan bukan melarang ke­bera­daan acara itu sendiri.

Dengan demikian, yang harus diper­soalkan adalah apa yang terjadi pada acara itu, bukan acara itu sendiri! Sekali lagi saya katakan: Berikan dalil yang meng­­haram­­kan ketaatan pada waktu tertentu.

Sa‘id Abul Ainain melanjutkan cerita­nya:

Saya bertanya kepada Syaikh, “Ba­gai­mana tentang shalat di dalam masjid yang di dalamnya terdapat makam?”

Syaikh menjawab, “Saya banyak di­tanya tentang hal ini. Saya katakan: Allah melaknat Bani Israil karena mereka men­jadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid. Jadi, mereka menjadikan kubur itu sendiri sebagai masjid. Tetapi hal ini tidak ada pada kita. Makam pada kita ter­pisah dan di­lingkupi dengan pagar yang kita namakan al-maqshurah. Jadi, kita tidak menjadikan kubur sebagai masjid. Meng­ambil dalil dengan apa yang di­lakukan oleh Bani Israil adalah salah. Ka­rena, kita shalat jauh dari al-maqshurah.

Kita memiliki contoh yang baik di Mas­jid Nabawi. Kita melakukan shalat di Rau­dhah sedangkan makam Nabi berada di sebelah kiri kita. Jika kita shalat di tempat turun­nya wahyu, makam berada di se­belah kanan kita. Bila kita melakukan sha­lat di Al-Hadhrah Asy-Syarifah, makam berada di belakang kita. Dan bila kita shalat di Ash-Shuffah, makam berada di de­pan kita.

Hal itu telah dialami oleh para ulama sejak wafatnya Rasulullah, dan tak se­orang ulama pun mengingkarinya. Jika dika­takan bahwa ini khusus bagi masjid Nabi, kami dapat mengatakan kepada mereka bahwa Abubakar dan ‘Umar pun ada di sana. Walaupun demikian, saya me­nyarankan agar sebaik­nya dibuat pin­tu sendiri untuk masjid dan pintu sendiri untuk makam, agar kita keluar dari per­tentangan ini.”

Saya (Sa‘id Abul Ainain) bertanya lagi kepada Syaikh, “Bagaimana tentang men­ziarahi ahlul bayt dan para wali, yang merupakan kebiasaan orang-orang Me­sir, khususnya orang-orang dari dusun yang mengambil berkah dari mereka?”

Syaikh menjawab sambil tangannya diletakkan di dada­nya seolah-olah ia ber­bicara tentang dirinya, “Kami juga besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di serambi ahlul bayt dan para wali. Orangtua-orangtua kami, da­tuk-datuk kami, ibu-ibu kami, dan sau­dara-saudara kami, semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal ke­berkahan kecuali dengan mencintai me­reka. Kami mencintai mereka karena me­reka berhubungan dengan Allah. Kebaik­an datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahwa mereka ber­hubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwa­nya menerima manhaj Allah.”

Syaikh membantah orang-orang yang menentang ziarah kubur ahlul bayt dan para wali dan yang mengatakan bahwa hal itu tidak ada dasarnya, dengan me­ngatakan, “Bagaimana mereka membo­leh­kan berziarah ke kubur­an orang-orang mus­lim awam tapi mengharamkan men­ziarahi mereka yang dikenal sebagai orang shalih? Ziarah kubur itu diperin­tah­kan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang muslim awam, apakah orang yang telah di­kenal atau orang yang disepakati oleh sejarah sebagai orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu di­haram­kan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Perkataan ini tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya.

Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang yang me­minta sesuatu dari mereka dapat kita kata­kan berbuat syirik. Tetapi jika ia me­minta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang? Dalam persoalan ini, demi Allah, seandainya da­lam berziarah itu tidak ada hal lain yang di­dapatkan selain sekadar pertemuan de­ngan orang-orang yang tunduk di hadap­an Allah, itu sudah cukup bagi saya! Se­andai­nya tidak ada yang saya dapat­kan di sana selain bertemu dengan orang-orang yang menggunakan dirinya kem­bali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu dengan orang-orang yang meninggalkan dunia dan ma­kan sekali saja dalam sehari.

Orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad Al-Badawi, atau Ibrahim Ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mung­kin juga perasaan malu itu akan te­rus menyertainya sepanjang hayatnya.”

6.      Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Tiga bulan sebelum wafatnya, saat peresmian sebuah masjid di kampungnya, ia berkata: “Semua harta adalah milik Allah Ta’ala, dan setiap apa yang telah diberikan oleh Allah kepadaku akan aku nafkahkan pada jalan Allah. Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa. Harta dan diriku hanya untuk Allah. Seandainya setiap orang merasa bertanggung jawab pada kampung dan bandar tempat kelahirannya, niscaya tempat itu lebih indah daripada bandar-bandar besar di seluruh dunia. Aku ingin tanah tempat kelahiranku ini yang menimbun jasadku nanti.”

Kerajaan Saudi pernah menawarkan kepadanya tanah pekuburan di Baqi’. Tawaran itu adalah tawaran terhormat bagi seorang ulama Mesir yang banyak jasanya bagi studi Islam di Arab Saudi, yang Wahabi-sentris. Namun, kecintaannya kepada kampung halamannya, Mesir, diungkapkannya: “Tanah kelahiranku lebih layak menerima jasadku hingga ia dapat memelukku ketika aku mati sebagaimana aku memeluknya dan memeliharanya ketika hayatku.”

Pada pagi Rabu 17 Juni 1998 M/22 Shafar 1419 H, Syaikh asy-Sya’rawi kembali ke haribaan Ilahi, dalam usia 87 tahun. Saat pemakamannya, ratusan ribu orang memadati kuburnya di Kampung Daqadus, sebagai penghormatan terakhir bagi ‘allamah besar ini.

7.      Kalam Mutiara Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi

Diantara kalam mutiara nasehat beliau yang berbentuk syair adalah:

(من أقوال الشيخ محمد متولي الشعراوي)

إن كنت لا تعرف عنوان رزقك# فإن رزقك يعرف عنوانك.

“Jika kamu tidak tahu alamat tempat rizqimu, maka ketahuilah rizqimu tahu alamat tempatmu.”

إذا أهمّك أمر غيرك فاعلم بأنّك ذوطبعٍ أصيل # وإذا رأيت في غيرك جمالاً فاعلم بأنّ داخلك جميل

“Jika engkau mementingkan urusan orang lain, ketahuilah bahwa kamu punya karakter yang baik. Jika engkau melihat orang lain baik, maka ketahuilah bahwa batinmu juga baik.”

من ابتغى صديقا بلا عيب عاش وحيدا # من ابتغى زوجةً بلا نقص عاش أعزبا

“Siapa yang ingin mencari teman yang sempurna (tanpa aib), maka hidupnya akan sendirian (karena tiada teman yang sempurna). Siapa yang ingin mencari istri yang sempurna (tanpa kekurangan), maka hidupnya akan jomblo (karena tiada istri yang tanpa kekurangan).”

من ابتغى حبيبا بدون مشاكل عاش باحثا # من ابتغى قريباً كاملاً عاش ناقصا

“Siapa yang ingin mencari kekasih tanpa rintangan, maka hidupnya akan dilewati dengan mencari saja (tak akan pernah ketemu). Siapa yang ingin mencari kerabat yang sempurna, ia akan hidup dalam kekurangan.”

إذا أخذ الله منك مالم تتوقع ضياعه # فسوف يعطيك مالم تتوقع تملكه.

“Jika Allah mengambil sesuatu darimu yang tak kau sangka, maka kelak Allah akan memberimu sesuatu yang tak kau sangka kau miliki.”

Wallahu al-Musta’an A’lam. Lahu al-Fatihah…

Referensi:

·         Al-Imam Muhammad Mutawallî asy-Sya'râwî: Musyâhadat an-Nuskhat Kamilatan.

·         Al-Imam asy-Sya’rawi wa Haqa-iq al-Islam karya Ma’mun Gharib, 1987.

·         Al-Muntadayâtu al-Islâmiyyat fî Rihâbi al-Islâmi.

·         An-Nur al-Abhar fi Thabaqat Syuyukh al-Jami' al-Azhar karya Muhyiddin at-Tu’mi, 1992.

·         Asy-Syaikh asy-Sya’rawi min al-Qaryah ila al-‘Alamiyyah karya Muhammad Mahgub Hassan, 1990.

·         Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi fi al-Hukm wa as-Siyasah karya Abu al-Hassan Abd al-Raziq, 1990.

·         Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Hayati min Daqadus ila al-Wizara karya Muhammad Safwat al-Amin, 1992.

·         Muntadayâtu Syabâbi Mishra.

·         Muntadâ Qashash al-Anbiyâ’ wa al-Mursalîn.