KH Imam Ghazali

Pejuang Pendidikan Islam

Tahun 1945 di Pulau Jawa ada 1.300 lembaga pendidikan.

Dari jumlah itu hanya ada 20 yang layak disebut sekolah Islam setingkat SMU

 dan belum ada perguruan tinggi Islam.

 

Kepakaran K.H. Imam Ghazall masih dikenal hlngga hari Inl. Semua buku yang dihasilkannya masih lengkap dan dlpergunakan di Perguruan Al-lslam Solo, yang pendiriannya dlprakarsainya dan hingga kini masih eksis. Bahkan Yayasan Perguru­an Al-lslam klnl telah mempunyai cabang di berbagai kota di Jawa Tengah.

Dari Karesidenan Surakarta, Pergu­ruan Al-lslam menyebar ke 27 lokasi di berbagai kota: Wonogirl, Sukoharjo, Boyolali, Sragen. Seleblhnya ada di Semarang, Ambarawa, Grobogan, Purwodadi, Salatiga, Demak, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Kediri, Kendal, Karanganyar, Pacitan, bahkan hingga Sumatera Barat, yaitu di Sitiung.

KH. Imam Ghazali, yang nama kecilnya Damanhuri, lahir di Desa Turen, Kabupaten Klaten, Karesidenan Surakarta, pada tahun 1903. Ayahnya, Ustadz Hasan, dikenal sebagai penulis beberapa buku agama. Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji sekitar tahun 1932, namanya diubah menjadi Imam Ghazali.

Damanhuri kecil belajar agama kepada para kiai dan ulama di seputar desanya. Tapi agaknya ia merasa ruang lingkup tersebut kurang memberikan wawasan padanya, maka ia pun hijrah ke Solo, masuk ke Pesantren Jamsaren, yang kala itu sedang menjadi favorit para santri, di samping Mambaul Ulum.

Bakat menulis diwarisi dan ayahnya, seorang pendidik dan pendakwah. Sang ayah juga banyak menulis buku-buku agama.

Imam Ghazali menikah dengan gadis Soto yang berdarah Mangkunegaran, Ummi Hanik binti Kiai Irsyam. Dari pemikahan itu, ia dikaruniai 12 anak, tapi yang mencapai usia dewasa hanya tujuh orang. Kini, anak Kiai Ghazali tinggal tiga orang: Hj. Dra. Muslihah Syukri (anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta), Ir. H. Munawir (pensiunan pegawai Departemen Pertanian), dan H. Muhammad Amin (pengurus Al-lslam Surakarta).

Sekolah Tinggi Islam

Nama Imam Ghazali juga dikenang sebagai salah satu pendiri Sekolah Ting­gi Islam di Yogyakarta pada tahun 1945 bersama tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya.

Ide mendirikan perguruan tinggi Islam muncul lantaran tidak adanya lembaga pendidikan tinggi Islam yang mampu mengajarkan Islam secara mendalam. Padahal saat itu di Pulau Jawa ada 1.300 lembaga pendidikan. Dari jumlah itu hanya ada 20 yang layak disebut sekolah Islam setingkat SMU dan belum ada perguruan tinggi Islam.

Itu sebabnya banyak kaum muda yang harus belajar ke Mesir atau India bila ingin memperdalam ilmu agama. Namun, menurut majalah Soeara Moeslimin Indonesia edisi 15 Januari 1945, di antara mereka itu sedikit sekali yang mampu menyelesaikan studinya dengan balk, lantaran kurangnya pengetahuan dasar agama dan bahasa Arab yang diterima sewaktu di tanah air.

Itu juga merupakan kelanjutan per-juangan mendirikan Sekolah Tinggi Islam yang selalu kandas sejak tahun 1940 oleh kecurigaan Belanda terhadap orang-orang pergerakan. Baru pada 1944, ketika Jepang menduduki Indonesia, umat Islam diizinkan mendirikan STI. Itu pun karena Jepang ingin merebut simpati umat Islam atas keberadaan mereka di Indonesia. Ketika itu Jepang membubarkan seluruh partai Islam, kecuali empat organisasi besar yang tergabung dalam MIAl (Majelis Islam A'la Indonesia), yaitu NU, Muhammadiyah, PUI (Persatuan Umat Islam), dan PUN (Persatuan Umat Islam Indonesia). MIAI inilah yang kemudian menjelma menjadi Masjumi.

Masjumi kemudian memotori berdirinya perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam, yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia, di Yogyakarta.

Lewat keputusan yang diambil pada rapat partai tahun 1945, digelar rapat yang dihadiri wakil dari PB NU, yaitu K.H. Abdul Wahab, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Zainul Arifin, Kiai Mansur, dari PP Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadi-kusumo, Kiai Mas Mansur, K.H. Faried Ma'ruf, K.H. Yunus Anis, dari PB PUI, yaitu K.H. Abdul Halim dan Djunaedi Manstir, dari PB PUII, yakni K.H. Ahmad Sanusi, Kiai Zarkasyi, dan Suma-atmadja, dari Departemen Agama, yaitu Kahar Muzakkir, K.H. Muhammad Adnan, K.H. Imam Zarkasyi, dan dari kalangan ulama intelektual, yakni K.H. Imam Ghazali, Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Abikusno Tjokrosujoso, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokro aminoto, Mr. Moeh Roem, dan H. Dahlan Abdullah.

Pendirian STI, dengan demikian, me-rupakan hasil prakarsa seluruh elemen kekuatan Islam waktu itu, baik pemerintah maupun kalangan intelektual dan ulama, serta organisasi Islam yang tergabung dalam federasi Masjumi.

Kiai Ghazali juga terlibat dalam fusi dua perguruan tinggi Islam di Solo dan Yogya, pada tahun 1959, yaitu Ull Yogyakarta dan PTII (Perguruan Tinggi Islam Indonesia) Surakarta. Lantaran Fakultas Agama diambil alih oleh Departemen Agama hingga menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, yang kemudian menjadi IAIN Sunan Kalijaga).

Gabungan dua perguruan tinggi tersebut diberi nama PTII dan diresmikan pada 22 Januari 1950 oleh K.H. R. Muhammad Adnan, K.H. Imam Ghazali, dan Prof. K.R.M.T. Tirtodiningrat.

Dalam perkembangannya, PTII, yang berkedudukan di Yogyakarta, berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (Ull). Penandatanganan persetujuan kedua belah pihak dilakukan di rumah Menteri Agama, Jln. Jawa 112, Jakarta, pada 20 Februari 1951.

Pada tahap awal Ull memiliki empat fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi, Hukum, dan Pendidikan di Yogya, dan Fakultas Hukum di Surakarta.

Ide Penyatuan Umat

Perguruan Al-lslam, yang dirintis K.H. Imam Ghazali, mulanya merupakan pendidikan nonformal semacam kelompok belajar dengan nama Madrasah Din Al-lslam. Kala itu ia masih berstatus santri Jamsaren, pesantren asuhan Kiai Jamsari.

Bersama Kiai Abdusshomad, Kiai Abdul Manaf, dan Kiai Khurmen Batu, dia termasuk "empat serangkai ulama muda dari Jamsaren". Mereka proaktif dengan ide penyebaran penyatuan umat, pemikiran yang berkembang pada tahun 1927 di Surakarta. Umat Islam Surakarta tidak perlu berafiliasi pada organisasi keagamaan tertentu. Itu merupakan hasil musyawarah ulama Surakarta tahun 1927.

Keempat ulama muda yang independen itu sepakat menggunakan istilahl Jamaah Al Islam, sebagai lawan kata firaq, perpecahan, istilah yang banyak bermunculan di Surakarta kala itu. Mereka beranggapan, fanatisme yang telanjur tertanam di dalam perilaku keberagamaan masing-masing kelompok adalah pemicu timbulnya perpecahan bahkan konflik di antara umat Islam.

Madrasah Din Al-lslam berdiri pada 1928 dan aktivitasnya mengambil tempat di rumah Kiai Ghazali. Tahun berikutnya, 1929, kegiatan madrasah tersebut digelar di sebuah bangunan khusus yang dibangun secara swadaya di atas tanah wakaf Pak Kiai yang terletak di samping rumahnya.

Tahun-tahun berikutnya madrasah ini berkembang pesat, jumlah siswa dan tenaga pengajar makin meningkat. Pengajarnya adalah alumni pondok Jamsaren, sedangkan siswanya tas sebatas dari kawasan Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten, tapi juga dari Salatiga, Semarang, Pekalongan, Magelang, Ngawi, Madiun dan Pantura, Jawa Tengah.

Keberadaan siswa dari luar Surakarta ini merupakan keuntungan tersendiri bagi kemajuan gerakan Jamaah Al-Islam, karena id penyatuan umat yang selama ini menjadi tujuan kelompok ini dapat tersosialisasi secara luas.

Perkembangan yang pesat serta luasnya wilayah dakwah penyebaran ide penyatuan umat merupakan fenomena baru yang harus di dukung,. Maka diadakanlah kongres, yang disebut Kerapatan Besar (KB)

Kongres yang digelar pada tahun 1933 itu membentuk pengurus pusat Al-Islam yang dipimpin Kiai Imam Ghazali, dengan sekretaris Kiai Mufti

Tahun 1936 Al-Islam menerbitkan majalah Albalaagh, yang peredarannya menjangkau seluruh Pulau Jawa bahkan hingga Lombok.

Penulis Produktif

Di samping pendidik dan pendakwah. Kiai Imam Ghazali juga penulis yang produktif. Di antara buku-buku karyanya, AlAdabu wa Al-Akhlak an Nabawiyah, Fiqh Al Hadits, Kitab An-Nikah, Miftah Al-Hadist, At-Tijan fi Syu’ab al-Imam, Kitabul Imamah, Kitabul  Buyu’, Al-Fiqun Nabawi, al-Islam wa al-Muslim, Kitab Al-Jumu’ah, Maqsud Islam, Tafsir Al-Fatihah, Ruh al-Islam wa Usul Qawaid al-Ahkam.

                Ada juga kitab hadist yang diterbitkan sendiri secara bulanan selama beberapa tahun dari Kitaabul Akhlaq.

                Buku-buku tersebut, yang hingga kini tetap digunakandi seluruh Madrasah Al-Islam, disusun secara tematis, berdasarkan tema yang berkembang dalam buku-buku popular di dunia Islam.

Setelah ia mendedikasikan diri untuk umat dan agama, akhirnya Allah SWT memanggilnya pada tahun 1986. Ribuan warga Solo melepasnya ke tempat perisitirahatan terakhir di TPU Makam Haji, Pajang, Solo. Semoga Allah SWT menempatkannya pada tempat yang terbaik.