Pendidikan Anak

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Pendidikan Anak

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

Nasehat al-Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi.rhm Mualif Simthud Duhror, Jika perilaku dan sikap anak-anak anda tidak sesuai dengan tabiat yang baik, maka doakanlah mereka: Allahumma baarik fii āwladii, wa la tadhurrahum, wa arzuqnii birrahum, waaj’alhum qurrata’aynin lin-nabiyyi shallaallahu ‘alayhi wa sallam waliwalidayhim  

"Yaa Allah berkahilah anak-anakku, janganlah Engkau celakakan mereka, karunialah aku ketaatan mereka, jadikanlah mereka buah hati Nabi Muhammad SAW dan kedua orang tua mereka."

 

Disamping mereka para salaf sholihin menekankan pendidikan agama dan keteladanan akhlak terpuji utk anak2 dan keluarga dirumah, juga menganjurkan setiap orang tua memegang kepala anaknya sambil berdoa: As-Syahid-as-Syahid (7x), al Baar-al Baar(7x) dan membaca surat al-Zalzalah 3x, maka Insya Allah menjadi anak yang sholeh

Syekh Salim bin Sa'id Bawazir.rhm mengijazahkan doa / istighfar berikut yang juga dibaca seusai shalat 5 waktu :

'Astaghfirullaahal ladzii laa ilaaha illa huwar rohmaanur rohiimul hayyul qoyyuum, alladzii laa yamuutu wa atuubu ilayhi robbighfirlii'

"Aku memohon ampun dari Zat Yang Tiada sesembahan yang Haq melainkan Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang, Yang Menghidupkan, dan Berdiri Sendiri, yang tiada mengalami kepunahan, dan aku bertaubat kepada-Nya. Yaa Allah, ampunilah aku! " yang dibaca sebanyak 25x setiap Ba'da Shubuh dan 'Ashar."

Faedahnya sebagaimana yang disebutkan Nabi. SAW bahwa barangsiapa membaca shighat istighfar seperti tersebut di atas sebanyak 25x setelah ba'da Shalat Shubuh dan Shalat 'Ashar maka ia tidak akan melihat sesuatu yang tidak disukainya baik pada dirinya, keluarganya, kampungnya, kotanya, atau negerinya.

Ketahuilah!! Jika rumah dihuni oleh seorang istri yang sholihah, maka Insya Allah semua penghuninya akan menjadi baik, anak-anaknya, bahkan pembantunya akan menjadi sholeh dan taat kepada Allah, begitu pula suaminya. Jika suami mengetahui bahwa istrinya seorang wanita sholehah, maka ia akan malu pd dirinya sendiri yang kemudian Insya Allah akan berusaha supaya dirinya menjadi orang yang baik.

Dahulu kaum salaf Shalihin mendidik anak mereka agar percaya dan yakin kpd Allah dan mengagungkan perintahNya sejak mereka masih kecil. Kaum ibu yang sedang menyusui anak-anaknya diperintahkan utk berdzikir kpd Allah sembari menyusui. Dan setiap mereka memberikan sesuatu kepada anak-anak mereka, mereka berkata,"ketahuilah ini dari Allah dan itu juga dari Allah". Sejak usia dini semua urusan anak-anaknya selalu dikaitkan dengan Allah. Didiklah anak-anakmu sejak kecil !! Karena jika telah dewasa ia akan sulit menerima nasihat. Didiklah mereka secara bertahap dan bersabar, sedikit demi sedikit! Jangan bebani mereka sesuatu yang tidak mampu mereka kerjakan.

Pembahasan mengenai pendidikan adalah sesuatu yang penting dan menjadi perhatian dalam agama Islam. Demikian uraian Habib Umar bin Hafidz dalam bukunya Mendidik Anak dengan Benar.

Sesungguhnya tujuan pendidikan adalah mempersiapkan jiwa, akal, dan dzat manusia, untuk mengikuti petunjuk-Nya. Mengikuti petunjuk Tuhan, yang mengeluarkan manusia dari kegelapan, kegundahan, khayalan, serta memahami sesuatu yang tidak sesuai dengan ke­nyataannya, seperti kebanyakan amal per­buatan manusia yang seperti fatamor­gana. Allah SWT berfirman, “Amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu ia tidak mendapatkan sesuatu apa pun. Dan didapatinya ketetapan Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepada­nya perhitungan amal-amal dengan cu­kup.” — QS An-Nur (24): 39.

Pendidikan terkait dengan inti tujuan penciptaan dan hikmah diwujudkannya manusia di alam semesta ini. Pendidikan mem­persiapkan jiwa dan akal agar men­dengar dan memahami seruan Allah SWT, serta mempersiapkan diri untuk menerapkan dan mengamalkannya.

Jika hal ini telah sempurna pada diri se­seorang, ia akan mejadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang melak­sanakan tugasnya dalam kehidupan ini dan memberikan hakikat manfaat yang sebenarnya bagi dirinya dan manusia lain.

Disebutkan dalam firman Allah, “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami’.” — QS Al-Furqan (25): 74. Ini adalah keinginan manusia yang memenuhi dada, lalu ia meletak­kan­nya di pintu Sang Maha Raja, agar Dia mengabulkan permintaannya itu.

Namun, sebagaimana telah diisyarat­kan oleh Allah, yang Mahabenar, sering kali manusia baru menyadarinya setelah melewati beberapa waktu dari umurnya, yaitu setelah umurnya melewati empat pu­luh tahun. Pada usia itu manusia baru akan mendapati bahwa hal itu termasuk aspek yang terpenting dalam hidupnya.

“Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku un­tuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu-bapakku, dan supaya aku dapat ber­buat amal yang shalih, yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri.” — QS Al-Ahqaf (46): 15.

Iman sebagai Akar Pendidikan

Keturunan yang baik yang menjadi penyejuk hati tidak akan terwujud kecuali dengan pengorbanan dan usaha yang sungguh-sungguh dari ayah dan ibu. Me­reka berdua menduduki posisi Adam dan Hawa ketika diturunkan ke bumi ini untuk mendirikan khilafah, kepemimpinan.

Allah SWT berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malai­kat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadi­kan seorang khalifah di muka bumi’.” — QS Al-Baqarah (2): 30.

Setelah itu Dia menurunkan ke bumi dua insan, yaitu Adam dan Hawa. Mereka diturunkan bersama, lalu menjalankan tugas yang merupakan perintah agung ini.

Jadi, pendidikan adalah nutrisi dalam pengembangan dan perluasan cakra­wala. Semua ini sangat terkait dengan masalah iman, yang merupakan akar dan titik tolak untuk mendirikan amal yang baik.

Berapa banyak kita mendapati dalam Al-Qur’an bahwa iman dan amal shalih diletakkan bersama. Seperti banyak ayat yang menyebutkan orang-orang yang ber­iman dan beramal shalih. Begitu pula kita banyak mendapati janji kebaikan dari Allah SWT di dunia dan akhirat bagi me­reka yang memiliki dua sifat itu.

Iman adalah fondasi tempat didirikan­nya amal shalih. Artinya, jika gambaran amal itu didirikan walaupun tampak se­perti amal yang baik, jika disertai oleh iman yang lemah, amal itu pun pasti le­mah dan penuh dengan kekurangan, meski­pun berada pada jalan yang benar.

Jika amal shalih telah didirikan de­ngan dasar iman yang kuat, kebaikan akan menyebar merata di alam semesta ini. Dan dampaknya akan positif bagi se­mua orang.

Kalau pendidikan mereka baik, me­nyebar pula kebaikan dan keberkahan ke­pada semua orang. Sedang mereka yang dididik dengan buruk, keburukan itu tidak berhenti sampai dirinya saja, me­lainkan juga akan menyebar kepada yang ada di sekitarnya, dalam beragam bentuk.

Jika kita meneliti bermacam-macam problem umat Islam khususnya dan manu­sia umumnya di zaman sekarang ini, semuanya bersumber pada lemah dan buruknya pendidikan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah terlahir se­orang bayi kecuali ia dalam keadaan fitrah, namun kedua orangtuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Al-Bukhari Muslim).

Hadits ini menjelaskan bahwa ke­burukan yang ada pada manusia dise­bab­kan oleh orangtua yang melalaikan pendidikan. Orangtua yang membiarkan hal itu membuka celah dan pintu sehingga anak tersebut berpindah dari jalan sun­nah yang lurus kepada jalan yang beng­kok.

Di dalam hadits shahih disebutkan, Rasulullah SAW melafalkan adzan di te­linga Hasan bin Ali di hari kelahirannya. Riwayat yang lain menyebutkan, beliau melafalkan di telinga Hasan dan Husein serta memerintahkan umatnya untuk men­­contoh.

Bagaimanakah seseorang menyam­but bayi yang baru lahir dengan adzan, padahal bayi itu belum memahami adzan yang didengarnya? Tujuannya agar suara pertama yang didengar bayi adalah adzan, yang membawa muatan hakikat fitrah dan hakikat pengagungan kepada Allah SWT.

Ini adalah peringatan dari Rasulullah SAW tentang kewajiban berumah tangga dan berkeluarga agar mengukuhkan mak­na adzan itu sebagai pendidikan awal bagi makhluk yang baru saja lahir. Ha­rapannya, ia akan terlepas dari ikatan ke­lemahan yang terdapat pada semesta ini, karena itu bukanlah apa-apa jika ter­lepas dari Penciptanya. Seperti halnya asal-usul segala sesuatu hanyalah se­suatu yang tak ada, kemudian diwujud­kan oleh Sang Pencipta.

Itulah mengapa ketika hati seseorang berada dalam keadaan memisahkan diri dari Sang Pencipta, ia akan tenggelam da­lam kelemahan, kekurangan, dan ke­tidakmampuan. Seperti munajat Rasul­ullah SAW, “Wahai Allah, jika Engkau biarkan aku bersama diriku, Engkau mem­­­biarkanku bersama ketidakmam­puan, kekurangan, kelemahan, dan aib.”

Tetapi jika manusia keluar dari segala sesuatu yang serba terbatas dan kurang dengan menghubungkan hatinya kepada Pencipta alam semesta ini, ia akan men­dapatkan kekuatan.

Jika tidak, ia hanya akan menjadi per­­mainan dan korban dari alam semes­ta ini, sehingga akal, pikiran, pandangan, pengorbanan, dan energinya akan ter­sita.

Namun ketika hatinya terhubung de­ngan Sang Pencipta, ia akan keluar me­nuju ke tempat yang lapang. Begitulah makna adzan di telinga bayi yang baru la­hir, tiada lain untuk menggerakkan mak­na-makna yang terkandung dalam diri bayi yang fitrah untuk mempersiapkan diri­nya tumbuh dewasa.

Pada masa ini kita telah mengetahui bahwa ucapan akan berpengaruh pada bayi sejak berada di kandungan ibunya. Ucapan yang buruk pada anak saat ia masih berada di dalam kandungan, baik dari ibunya maupun orang di sekitarnya,  itu akan berdampak pada pola pikir dan akalnya.

Kalau pendidikan mereka baik, menyebar pula kebaikan dan keberkahan kepada semua orang. Sedang mereka yang dididik dengan buruk, keburukan itu tidak berhenti sampai dirinya saja, melainkan juga akan menyebar kepada yang ada di sekitarnya, dalam beragam bentuk.

Nasihat untuk Anak

Rasulullah SAW telah menjelaskan pentingnya pendidikan, bahkan sejak se­belum janin bayi ada, yaitu ketika manu­sia mulai berpikir ingin mencari pasangan. Nabi SAW bersabda, “Carilah keberun­tungan dengan wanita yang memahami agama, kamu akan bahagia.”

Sabda Rasulullah SAW yang lain, “Barang siapa menikahi wanita untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan wanita, Allah SWT akan mem­berkahi dirinya melalui wanita yang di­nikahinya dan memberkahi wanita me­lalui dirinya.”

Akar pendidikan adalah pendidikan tentang keimanan, sebagaimana disebut­kan dalam beberapa ayat dalam surah Luqman. Dalam ayat tersebut terdapat pa­nutan bagi kita, sebagaimana dijelas­kan oleh Allah SWT melalui riwayat dan wasiat Luqman. “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesung­guh­nya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” — QS Luqman (31): 13.

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah terhadap yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.” — QS Luqman (31): 17.

Wasiat di atas merupakan nasihat un­tuk mempersiapkan anak dalam ke­hidup­an bermasyarakat dan menghadapi bera­gam peristiwa serta pasang surutnya, yaitu dengan mengikatkan hati mereka kepada Allah SWT, bersifat sabar, dan memerintahkan kepada kebaikan dan men­cegah kemunkaran.

Seseorang tak mungkin menyeru ke­pada kebaikan kecuali ia terlebih dahulu melakukan kebaikan. Begitu juga untuk mencegah kemunkaran, ia harus terlebih da­hulu menjauhkan dirinya dari kemun­karan.

Dalam wasiat ini juga terdapat nasihat untuk mempersiapkan anak bersabar ter­hadap apa yang menimpanya, dan hal ini termasuk yang diwajibkan.

Di dalam surah Luqman juga dituntun­kan cara berinteraksi. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manu­sia karena sombong, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” — QS Luqman (31): 18.

Semua ini adalah pengajaran bagi se­orang anak agar dapat berinteraksi de­ngan sempurna dengan setiap makhluk di sekitarnya dan dalam menghadapi pa­sang surut kehidupan.

Pendidikan yang baik bagi seorang anak akan berdampak positif. Khususnya pendidikan dari kedua orangtua, dan lebih khusus lagi pendidikan dari seorang ibu.

Ibu memiliki peran penting dalam pen­didikan, sebab ia lebih banyak berinterak­si dengan anak-anaknya. Bagaimana cara berpikir seorang ibu, cara ia menga­tasi masalah, cara ia melakukan pekerja­annya, cara ia berbicara, semuanya me­miliki pengaruh dalam pendidikan anak.

Dahulu orang shalih meminta kaum ibu agar tidak menyusui anaknya kecuali setelah membaca basmalah, lalu secara terus-menerus membaca dzikir berupa kan­dungan Al-Qur’an, bertasbih, atau ber­tahmid sepanjang ia menyusui. Se­mua itu menjadikan seorang ibu menyu­sui lahiriah anaknya dengan air susunya dan menyusui bathiniah anak dengan apa yang dibacanya dari firman Allah SWT dan berdzikir.

Pendidikan yang ditanamkan sejak dini akan menjadi benteng yang kukuh bagi anak dari segala keburukan yang akan dihadapinya di jalan, di pasar, atau sekolah. Sebagian orang mengalami ke­gagalan di rumah, dan sekolah memberi­kan solusi untuk meluruskan keadaan. Tapi ada juga yang sebaliknya, keluarga memiliki penjagaan yang baik terhadap akhlaq anak, tapi, ketika mereka keluar dan bermasyarakat, mereka pulang de­ngan membawa kata-kata atau perbuat­an yang menyimpang dari adab.

Permasalahannya, jika salah satu dari kedua lingkungan tersebut mengabaikan pendidikan, kerusakan dimulai darinya. Boleh jadi yang satu membangun, se­dang yang lain menghancurkan. Namun, jika bangunan itu dibangun dengan kukuh dan kuat, akan sulit untuk dirobohkan. Se­mua tergantung pada pembangunannya.

Orang-orang tua zaman dahulu, jika mengutus anaknya ke suatu tempat, akan menitipkan nasihat, “Jika engkau mene­mui seseorang di jalan, ucapkanlah salam kepadanya. Jika kau dapatkan orang buta yang membutuhkan pertolongan, bantu­lah ia. Jika kau dapati sesuatu yang meng­ganggu di jalan, seperti duri dan batu, singkirkanlah gangguan itu.”

Mereka memberi banyak nasihat ke­pada sang anak, maka anak itu keluar ru­mah dengan membawa banyak niat baik. Jika ia mendapati apa yang harus ia lakukan, walaupun apa yang akan ia lakukan itu baru berupa niat, ia sudah ter­masuk golongan orang yang mendapat­kan pahala mengerjakan amal yang di­niat­kannya itu.

Inilah contoh mempersiapkan jasad dan hati menuju kepada agama yang telah diturunkan. Ia mengajarkan kebaik­an kepada anaknya melalui perbuatan yang bisa dikerjakan hingga menjadi amal dalam agama Allah, lalu perbuatan mu­bah mereka sehari-hari menjadi tersinari dan dipengaruhi cahaya agama Allah.

Perhatikan Teman Anak

Tidak dihisab hubungan antara se­orang ayah dan ibu dengan anaknya ke­cuali menjadikan anak itu tumbuh dalam keburukan karena kelalaian orangtua me­reka. Namun di samping semua itu, ke­dua orangtua diwajibkan memikirkan cara un­tuk menjalankan tugas sesempurna mungkin. Tidak sekadar mengingatkan, memberi nasihat atau dengan mengan­cam, atau memberikan janji yang menarik kepada anak, sedang sisi yang lain ter­abaikan.

Salah satu caranya adalah dengan mem­perhatikan sahabat dan teman du­duk anak. Hendaknya orangtua menun­tun anaknya untuk menyukai teman yang shalih.

Sesuatu yang juga terpenting dalam pendidikan anak adalah memperhatikan sifat kasih sayang, lembut, dan rahmat. Ga­bungkanlah kebenaran dan peringat­an dengan sifat rahmat.

Terkadang, ketika dalam keadaan jeng­kel, walau anak itu tahu sesuatu yang benar, ia tetap tidak mau melakukannya. Begitu pun sebaliknya, meski mengetaui sesuatu tidak benar, ia tak mau menolak­nya.

Jadi haruslah mengatasi masalah ini dengan menggabungkan sifat rahmat, lembut, dan kasih sayang. Dengan demi­kian, hidup anak dengan orangtuanya tidak hanya berkutat dalam ancaman dan pukulan.

Peringatan hendaknya dicampur de­ngan rahmat, kasih sayang, dan senyum­an, serta disisipi kegembiraan, sehingga membantu anak berbuat baik dan memi­liki sifat kasih sayang sekaligus memiliki karakter rahmat. Tetapi perlu juga me­nunjukkan wajah marah atau tidak suka ketika anak melakukan pelanggaran, se­perti meninggalkan shalat.

Di samping itu dibutuhkan pula doa dari orangtua untuk anaknya, karena pada hakikatnya yang mengubah anak menjadi baik adalah Allah SWT. Orangtua tidak dapat mengubahnya sendiri, karena semua ada dalam genggaman Allah SWT.

Jika kita memasrahkan segala per­kara kita kepada Allah SWT disertai de­ngan mendirikan tanggung jawab kita se­suai dengan kemampuan kita, perto­longan Allah SWT akan datang. Perum­pamaan orangtua adalah seperti mereka yang menebar benih lalu menanam dan mengairinya serta menghalau segala hama yang dapat mengganggunya lalu setelah melakukan semua itu mereka ha­nya dapat memasrahkan segala sesuatu ke­pada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an di­jelaskan, “Maka terangkanlah kepadaku ihwal yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya, atau Kamikah yang menumbuhkannya.” — QS Al-Waqiah (56): 63-64.

Banyak manusia memiliki tujuan yang baik tetapi tak terpikir dalam benak me­reka bahwa Allah-lah yang menggeng­gam hati, sehingga menyangka bahwa merekalah yang mempengaruhi anaknya dalam berbuat baik dan memaksa se­muanya terjadi cepat, sesuai dengan ke­mauannya, padahal mereka tidak memi­liki metode kecuali hanya marah dan meng­ancam.

Hal ini terutama disebabkan pema­haman orangtua bahwa seakan-akan me­rekalah yang berperan, padahal me­reka hanyalah orang yang menyodorkan diri agar Allah SWT menurunkan hi­da­yah. “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semua sesat kecuali yang Aku beri hi­dayah. Maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya Aku akan mem­berikan hi­dayah kepadamu.” (Hadits Qudsi).

Kemudian hendaknya kita memper­hatikan setiap sarana yang dapat mem­pengaruhi anak. Termasuk teman-teman­nya, dari mana pun.

Setiap anak mempunyai tabiat yang berbeda, mereka mempunyai semangat un­tuk menolak dan menerima sesuatu. Ke­suksesan dalam menanamkan keya­kin­an dalam diri mereka tidak dicapai ha­nya dengan satu metode, karena keber­hasilan pada setiap orang tidak dicapai melalui takaran yang sama. Seorang anak mungkin membutuhkan takaran yang lebih banyak dari anak lainnya pada umumnya.

Perhatikan, dengan siapa dia duduk, siapa saja yang mendekatinya. Begitu juga, apa yang dilihat dan disaksikannya.

Jika orangtua tidak mengontrol apa yang mereka lihat di dalam rumah, lalu me­minta anak mereka memiliki perilaku yang baik di masa pertumbuhannya, lebih khu­susnya di masa remaja, per­mintaan tersebut itu menjadi sulit. Men­jadi sulit bagi keduanya untuk mener­tibkan anak­nya karena mereka sendiri tidak mener­tibkan apa yang mereka lihat atau ucap­kan.

Metode pendidikan yang dilakukan oleh orangtua dapat dikelompokkan men­jadi dua.

Pertama, metode yang mengarah pada doktrinasi tanpa memberi anak ke­bebasan dalam berpikir, yang menurut orangtua jika tidak melakukan hal itu ber­arti mereka melalaikan dan mening­gal­kan anak hingga meneng­gelam­kannya.

Metode kedua, kita harus memberi ruang gerak anak untuk berpikir dan me­ngembangkan wawasannya tetapi tetap dalam penjagaan kita. Seperti anak kecil pada umumnya yang melihat api yang be­gelora, ia ingin mendekati atau menyen­tuhnya. Jika kita membiarkan dengan da­lih memberi kebebasan dalam berpikir, ia akan terbakar, dan ini sama sekali tidak benar.

Setiap permasalahan yang timbul me­miliki sebab, walaupun kadang sumber per­soalannya tersembunyi dan tidak di­pahami. Segeralah mengatasi sesuatu, dan janganlah menunda-nunda.

Jika sesuatu yang buruk terlintas da­lam hati manusia, kalau segera diatasi, mungkin saja lintasan itu akan terusir de­ngan cepat. Tetapi jika lintasan buruk itu didiamkan dan telah menguasainya, hal itu menjadi sulit untuk diatasi.

Terlebih dalam hal syahwat berkaitan dengan dilarangnya hubungan laki-laki dan wanita. Allah SWT telah melarang, walau sekadar memandang, untuk men­cegah terjadinya pelanggaran berikutnya, yang merupakan akibat dari pandangan itu.

Berbeda dengan larangan lain yang disyari’atkan, misalnya kebun atau harta manusia, dibolehkan bagi kita untuk me­mandangnya akan tetapi ketika hendak mencurinya barulah larangan itu muncul. Memandangnya dibolehkan, memikirkan bagaimana kita memiliki kebun atau harta dibolehkan, tetapi mengambilnya tidak dibolehkan.

Tetapi masalah hubungan pria dan wanita, Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya.” — QS An-Nur (24): 30.

Pendidikan Keagamaan

Orang yang beriman selalu berada da­lam hidangan syari’at yang agung. Me­reka menimba pelajaran dari guru yang termulia, Rasulullah SAW, agar senan­tiasa menjadikan hubungan antara diri mereka dan anak sebagai ibadah kepada Allah SWT, yang akan membuat mereka menjadi buah hati, tak hanya di dunia me­lainkan juga di negeri yang abadi kelak.

“Dan orang-orang yang berkata, ‘Wa­hai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai buah hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang yang bertaqwa.” — QS Al-Furqan (25): 74.

Disebutkan juga dalam Al-Qur’an, “Katakanlah, sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugi­kan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat. Ingatlah, yang demiki­an itu adalah kerugian yang nyata.” — QS Az-Zumar (39): 15.

Karena itulah para malaikat di langit berdoa, “Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu, dan peliharalah mereka dari siksaan ne­raka yang menyala-nyala. Wahai Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam sur­ga Aden, yang telah Engkau janjikan ke­pada mereka, dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak dan istri-istri mereka, serta keturunan mereka se­mua....” — QS Al-Mu’min (40): 7-8.

Sebab itulah, nafkah yang diberikan kepada anak termasuk bagian dari iba­dah, dan termasuk bagian dari melayani ke­pentingan umat, serta membina keluar­ga dalam umat, juga melayani orang-orang yang taat kepada Allah. Maka da­lam sebuah riwayat disebutkan, sedekah yang paling utama adalah memberikan nafkah kepada anak dan keluarga yang berada dalam tanggungan kita.

Seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah SAW bersab­da, “Uang dinar yang paling utama dinaf­kahkan oleh seseorang adalah uang dinar yang dinafkahkan untuk keluarganya, lalu dinar yang dinafkahkan untuk membeli kuda (kendaraan) di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan untuk para sahabatnya di jalan Allah.”

Abu Qulabah berkata, “Beliau (Rasul­ullah SAW) memulai keutamaan itu de­ngan menafkahkan untuk keluarga. Yakni uang dinar yang dinafkahkan untuk ke­luarga.

Siapa yang lebih agung kedudukan­nya daripada seseorang yang menaf­kah­kan hartanya untuk keluarganya, hingga Allah SWT menjaga kehormatan keluar­ganya melalui tidak meminta-minta atau mencukupi keluarganya melaluinya.”

Allah SWT memberikan manfaat ke­pada keluarga melalui perantara orang­tua. Semua hal di atas menjelaskan ke­pada kita kedudukan menafkahkan harta kepada anak-anak dan keluarga. Per­buatan mencari nafkah yang dilandasi de­ngan niat baik menjadi ibadah untuk men­dekatkan diri kepada Allah SWT.

Di samping memberikan nafkah ke­pada anak, orangtua juga berkewajiban mem­berikan pendidikan kepada mereka, terutama pendidikan keagamaan. Terle­bih dalam hal shalat. “Perintahkanlah anak­­mu mengerjakan shalat pada usia tu­juh tahun, dan pukullah jika ia mening­galkan­nya pada usia sepuluh tahun (pada riwayat lain delapan tahun).” (HR Abu Dawud).

Pengajaran Adab Rasulullah SAW

Makna pendidikan yang begitu men­dalam dapat dilihat dalam sejarah hidup Rasulullah SAW. Di antaranya adalah seperti yang disampaikan ‘Amr bin Abu Salamah. ‘Amr adalah putra Ummu Al-Mu’minin yang bernama Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW. Ia terdidik di dalam rumah tangga Nabi SAW.

Pada saat itu ayahnya terbunuh se­bagai syahid di Peperangan Uhud, lalu ibunya dinikahi oleh Rasulullah SAW. Maka ibunya menjadi Ummu Al-Mu’minin dan anak-anak ibunya menjadi seperti anak-anak Rasulullah SAW. Nabi SAW memenuhi kebutuhan mereka dan meng­ajarkan adab dengan sebaik-baiknya kepada mereka.

Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata, “Pada saat Abu Salamah hidup bersanding bersamaku, ia adalah orang yang paling baik dalam pergaulan dan tingkah laku. Lalu ia terbunuh sebagai syahid di Peperangan Uhud. Dan aku men­dengar bahwa Rasulullah SAW mengatakan, ‘Mereka yang tertimpa musibah lalu mengucapkan: Segala puji bagi Allah, kami milik Allah dan kami semua akan kembali kepada-Nya, maka Allah SWT akan memberikan pahala ke­padanya atas musibah yang menimpa­nya dan menggantikan untuknya sesuatu yang lebih baik.’

Ketika terbunuh suamiku, aku ucap­kan, ‘Segala puji bagi Allah, dan kami semua akan kembali kepada-Nya. Wahai Allah, berilah aku pahala atas musibah yang menimpaku dan gantikan untukku yang lebih baik darinya.’

Namun aku berkata di dalam hatiku bahwa aku tidak akan mendapatkan yang lebih baik dari suamiku, Abu Salamah, tidak ada yang sebanding dengannya pada akhlaq dan kasih sayang terhadap istri.

Aku mengucapkan doa ini hanya karena mengikuti perintah Nabi SAW.

Tetapi setelah habis masa iddahku, Rasulullah SAW mengirim utusan ke­pada­ku untuk melamarku. Sudah tentu be­liau (Rasulullah SAW) lebih baik dari­pada suamiku, Abu Salamah, dan me­reka yang memenuhi bumi seperti Abu Salamah’.”

Melalui utusan, Ummu Salamah ber­kata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, aku telah tua dan memiliki ba­nyak anak, dan aku memiliki rasa cem­­buru yang besar, dan engkau me­miliki banyak istri, maka aku takut rasa cem­buruku menimbulkan tingkah laku yang tidak baik terhadapmu yang akan menye­babkan kebinasaan bagiku.”

Rasulullah SAW berkata kepada utusannya, “Sampaikan kepadanya (Ummu Salamah), ‘Tentang usia tua yang kau sebut, telah menimpaku usia tua se­perti yang menimpamu. Dan me­ngenai rasa cemburu, aku akan memo­hon ke­pada Allah SWT agar menghi­lang­kannya darimu. Sedangkan anak-anakmu, mere­ka juga akan menjadi anak-anakku’.”

‘Amar bin Abu Salamah berkata, “Se­waktu kecil aku pernah berada di rumah Rasulullah SAW. Suatu ketika aku per­nah duduk bersama Rasulullah untuk me­nyantap hidangan. Namun tanganku ber­gerak berpindah-pindah memegang se­luruh makanan yang ada. Maka Ra­sul­ullah bersabda kepadaku, ‘Wahai anak, bacalah basmalah, makanlah de­ngan ta­ngan kananmu, dan makanlah makanan yang ada di sekitarmu (di dekatmu’.”

Rasulullah SAW mengajarkan adab kepadanya, dan sejak hari mendapatkan pengajaran adab itu ia tidak pernah me­ninggalkannya hingga wafat. Itulah peng­ajaran adab Rasulullah SAW.

Di Bawah Cahaya Ilahi

Pendidikan yang baik dan benar akan menjadi sebab utama bakti sang anak kelak di saat orangtua masih hidup mau­pun ketika telah wafat.

Namun berapa banyak orangtua yang melalaikan pendidikan kepada anak. Me­reka berinteraksi dengan anak­nya de­ngan cara memanjakannya, me­lampaui batas dalam menuruti kemauan anak, dan meninggalkan mereka dalam keada­an tidak mengenal adab. Maka, tak sedikit orangtua yang mendapatkan buah pahit dari semua itu berupa sikap anak yang ti­dak mengenal sopan santun dan perilaku-perilaku tercela lainnya.

Sebaliknya, sebagian orangtua ber­interaksi  dengan anaknya dengan cara yang kasar, memasang raut muka yang masam. Setiap ia pulang ke rumah, anak-anaknya gemetar ketakutan dan lari dari­nya. Sang anak tertekan hingga tiba masanya meledak dan mengakibat­kan dirinya melakukan sesuatu yang tak per­nah terbayangkan.

Sebab itu, menjadi kewajiban setiap orangtua untuk memiliki pemahaman dan kesadaran yang baik atas peran penting yang ada di hadapan anak-anak. Persiap­kan mereka untuk memahami makna ja­lan hidup yang ditetapkan Allah SWT, agar mereka menjalani hidup di bawah cahaya Ilahi.

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!