Shalat Khafarah

Mengenai shalat kafarat (mengqodlo sholat lima waktu) adalah kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa sahabat, diantaranya oleh Ali bin Abi Thalib kw, dan terdapat sanad yang muttashil dan tsiqah kepada Ali bin Abi Thalib kw bahwa beliau melakukannya di Kufah. Dan yang memproklamirkan kembali hal ini adalah AL Imam Al Hafidh Al Musnid Fakhrul Wujud Syaikh Abubakar bin Salim rahimahullah, yaitu dilakukan pada setelah shalat jumat, pada hari jumat terakhir di bulan ramadhan, meng Qadha shalat lima waktu, Tujuannya adalah barangkali ada dalam hari hari kita shalat yang tertinggal, dan belum di Qadha, atau ada hal hal yang membuat batalnya shalat kita dan kita lupa akannya maka dilakukan shalat tersebut.

Mereka melakukan hal itu menilik keberkahan dan kemuliaan waktu hari jumat dan bulan Ramadhan. Adapun tatacaranya adalah sholat dengan niat qadha` . pertama sholat dhuhur, kemudian setelah salam langsung bangun sholat ashar qadha` dan begitu seterusnya sampai sholat subuh. Tetapi jika tak dapat menghitung jumlahnya, dengan melakukan Shalat Sunnat kafarah.

Shalat kafarah Bersabda Rasulullah SAW : " Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka sholatlah di hari Jum'at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1x tasyahud (tasyahud akhir saja, tanpa tasyahud awal), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 X dan surat Al-Kautsar 15 X .

Niatnya: ” Nawaitu Usholli arba’a raka’atin kafaratan limaa faatanii minash-shalati lillaahi ta’alaa”

Sayidina Abu Bakar ra. berkata "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sholat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut Sayidina Ali ra. sholat tersebut sebagai kafaroh 1000 tahun. Maka bertanyalah sahabat : umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya ?". Rasulullah SAW menjawab, "Untuk kedua orangtuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang yang didekatnya/ lingkungannya."

Meng-Qadha shalat tentunya wajib hukumnya bagi mereka yang meninggalkan shalat, namun tidak ada larangannya melakukan shalat fardhu kembali karena hukum shalat I’adah adalah hal yang diperbolehkan. Dan selama hal ini pernah dilakukan oleh para sahabat maka pastilah Rasul saw yang mengajarkannya, mengenai tak teriwayatkannya pada hadits shahih maka hal itu tak bisa menafikan hal ini selama terdapat sanad yang tsiqah dan muttashil pada sahabat atau tabiin. Sebab hadits yg ada kini tak sampai 1% dari hadits hadits Rasul SAW yg ada dizaman sahabat, Anda bisa bayangkan Jika Imam Ahmad bin Hanbal telah hafal 1 juta hadits dengan sanad dan hukum matannya, namun beliau hanya mampu menulis sekitar 20 ribu hadits pada musnadnya, sisanya tidak tertulis, lalu kemana 980.000 hadits lainnya?, sirna dan tak tertuliskan ? demikian pula Imam Bukhari yang hafal lebih dari 600 ribu hadit dengan sanad dan hukum matannya, namun beliau hanya mampu menuliskan sekitar 7000 hadits pada shahihnya dan beberapa hadits lagi pada buku-buku/kitab-kitab beliau lainnya, lalu kemana 593.000 hadits lainnya. sirna dan tak sempat tertuliskan ? Tentu mustahil, Insya Allah.

Namun ada tulisan-tulisan, catatan dan riwayat sanad yang dihafal oleh murid-murid mereka, disampaikan pula pada murid murid berikutnya, terus terjaga hingga sekarang para murid yang memiliki sanad, demikianlah sanad yang sampai saat ini tanpa teriwayatkan dalam kitab hadits shahih. Tentunya jalur mereka yang tidak sempat terdata secara umum, namun masih tersimpan jalurnya dengan riwayat tsiqah dan muttashil kepada para sahabat.

Hal ini, harus dipahami bersama merupakan Ikhtilaf, perbedaan pendapat, maka boleh mengamalkannya dan boleh meninggalkannya. Tidak boleh ada paksaan sama sekali.

hadits dhaif boleh dipakai untuk motivasi ibadah yakni yang terkait dengan fadhail a'mal (keutamaan beramal) bukan sebagai dalil yang masalah hukum. Imam Nawawi menyatakan di dalam kitab Al-Adzkar hlm. 1/8

قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم‏:‏ يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً‏(5)‏، وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يُعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن

Artinya: Para ulama ahli hadits dan ahli fiqih dan yang lain menyatakan bahwa boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif untuk fadhail a'mal dan motivasi selagi bukan hadits maudhu' (palsu). Adapun yang terkait masalah hukum seperti halal, haram, jual beli, nikah, talak, dll maka tidak boleh memakai dasar hadits kecuali hadits sahih dan hasan.

Sayyidi al Walid al Imam al Habib Alawi bin Abbas al Maliki berkata: Ahli hadits dan yang lain sepakat bahwa hadits dha’if bisa diamalkan dalam  keutamaan amal. Di antara orang yang mengatakan demikian adalah Imam Ahamd bin Hambal, Ibnul Mubarak, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, al Ambari dan yang lain. Sungguh telah dinukil ungkapan dari mereka:

إِذَا رَوَيْنَا فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَإِذَا رَوَيْنَا فِى الْفَضَائِلِ تَسَاهَلْـنَا

“Jika meriwayatkan tentang halal haram maka kami berlaku tegas dan jika meriwayatkan keutamaan – keutamaan maka kami memudahkan”

Imam Ramli dalam Fatawinya berkata: [Imam Nawawi telah menceritakan dalam banyak karangannya tentang Ijma’ (konsensus) untuk mengamalkan hadits dha’if dalam kaitannya dengan Fadha’il saja.] Ibnu Abdil Barr berkata: [Untuk mengamalkan hadits dha’if tidak dibutuhkan orang yang bisa dijadikan hujjah] al Hakim berkata: [Aku mendengar Abu Zakariyya al Anbari berkata: Hadits yang warid dan tidak memberitakan tentang penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal dan juga tidak menetapkan hukum dan hanya berkisar dalam wilayah anjuran dan peringatan maka tidak perlu diteliti dan mudah saja diriwayatkan] Ibnu Mahdi, seperti dalam al Madkhal, berkata: [Jika meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang halal haram dan hukum – hukum maka kami berlaku ketat (tegas) dalam meneliti sanad dan mengkritik para perowi. Dan bila meriwayatkan tentang al Fadha’il, pahala dan siksa maka kami mudah saja dalam meneliti sanad dan berlaku murah terkait para perawi]

Sebagian dari kaum muslimin mendudukan hadist dho’if seperti halnya hadist maudhu’ atau buatan lantas bagaimana kedudukan hadist itu sendiri dalam hukum islam dan bagaimana kita menyikapi hadist dho’if itu?

Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’(palsu). Hadits dho’if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tetapi kedudukannya lemah, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus atau rawinya lemah, sehingga hadits itu menjadi dhoif (lemah), tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!!!

Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an! Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).

Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.

Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).

Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.

Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.

Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu’ dll.

Kedudukan hadits Dhoif

Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.

Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).

Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!

Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.

Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.

Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.

Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?

Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?

Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.

Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.

================================================================================================

Setelah selesai Sholat membaca Istigfar 10 x : أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعِظِيْمِ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَ أتُبُوْا إِلَيْكَ

Kemudian baca sholawat 100 x : اللَّهُمَّ صَلِّّ عَلَى سَيِّدِنَا محمّد

Kemudian menbaca basmalah, hamdalah dan syahadat Kemudian membaca Doa kafaroh sebanyak tiga kali:

"Allahumma yaa man laa tan-fa’uka tha’atii wa laa tadhurruka ma’shiyatii taqabbal minnii ma laa yanfa’uka waghfirlii ma laa yadhurruka ya man idzaa wa ‘ada wa fii wa idzaa tawa’ada tajaa wa za wa’afaa ighfirli’abdin zhaalama nafsahu wa as’aluka. Allahumma innii a’udzubika min bathril ghinaa wa jahdil faqri ilaahii khalaqtanii wa lam aku syai’an wa razaqtanii wa lam aku syaii’in wartakabtu al-ma’ashii fa-innii muqirun laka bi-dzunuubii. Fa in ‘afawta ‘annii fala yanqushu min mulkika syai’an wa-in adzdzaabtanii falaa yaziidu fii sulthaanika syay-’an. Ilaahii anta tajidu man tu’adzdzi buhu ghayrii wa-anaa laa ajidu man yarhamanii ghaiyraka aghfirlii maa baynii wa baynaka waghfirlii ma baynii wa bayna khlaqika yaa arhamar rahiimiin wa yaa raja’a sa’iliin wa yaa amaanal khaifiina irhamnii birahmatikaal waasi’aati anta arhamur rahimiin yaa rabbal ‘aalaamiin. Allahummaghfir lil mukminiina wal mukminaat wal musliimina wal muslimaat wa tabi’ baynana wa baynahum bil khaiyrati rabbighfir warham wa anta khairur-rahimiin wa shallallaahu ‘alaa sayidina Muhammadin wa ‘alaa alihii wa shahbihi wasallama tasliiman katsiiran amiin." (3 kali)

Artinya; Yaa Allah, yang mana segala ketaatanku tiada artinya bagiMu dan segala perbuatan maksiatku tiada merugikanMu. Terimalah diriku yang tiada artinya bagiMu. Dan ampunilah aku yang mana ampunanMu itu tidak merugikan bagiMu. Ya Allah, bila Engkau berjanji pasti Engkau tepati janjiMu. Dan apabila Engkau mengancam, maka Engkau mau mengampuni ancamanMu. Ampunilah hambaMu ini yang telah menyesatkan diriku sendiri, aku telah Engkau beri kekayaan dan aku mengumpat di saat aku Engkau beri miskin. Wahai Tuhanku Engkau ciptakan aku dan aku tak berarti apapun. Dan Engkau beri aku rizki sekalipun aku tak berarti apa-apa, dan aku lakukan perbuatan semua ma’siat dan aku mengaku padaMu dengan segala dosa-dosaku. Apabila Engkau mengampuniku tidak mengurangi keagunganMu sedikitpun, dan bila Kau siksa aku maka tidak akan menambah kekuasaanMu, wahai Tuhanku, bukankah masih banyak orang yang akan Kau siksa selain aku. Namun bagiku hanyaEnakau yang dapat mengampuniku. Ampunilah dosa-dosaku kepadaMu. Dan ampunilah segala kesalahanku di antara aku dengan hamba-hambaMu. Ya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih dan tempat pengaduan semua pemohon dan tempat berlindung bagi orang yang takut. Kasihanilah aku dengan pengampunanMu yang luas. Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Engkaulah yang memelihara seluruh alam yang ada. Ampunilah segala dosa-dosa orang mu’min dan mu’minat, muslimin dan muslimat dan satukanlah aku dengan mereka dalam kebaikan. Wahai Tuhanku ampunilah dan kasihilah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Washollallahu ‘Ala sayyidina Muhammadin wa’ala alihi wasohbihi wasalim tasliiman kasiira. Amin.

Diambil dari kitab “Majmu’atul Mubarakah”, susunan Syekh Muhammad Shodiq Al-Qahhawi. (oleh: Habib Munzir al-Musawa dan dari berbagai sumber lain.) Yang diijazahkan oleh Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, Pekalongan.

 

waktu pelaksanaan shalat ini dapat dilakukan antara waktu setelah Dhuha hingga sebelum Ashar, pada hari Jum'at terakhir di bulan suci Ramadhan.