MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI

SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI (DATU KALAMPAYAN)

Makam datu kalampayan di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan (sekitar 56 km dari Kota Madya Banjarmasin).

Datu kalampayan atau syekh Muhammad Arsyad AlBanjari adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh dan mempunyai peran penting dalam sejarah pengembangan syiar agama Islam,khususnya di bumi Kalimantan .Seorang yang sangat gigih mempertahankan dan mengembangkan faham Ahlus Sunah Wal jama'ah dengan faham Asy'ariah untuk Ilmu Tauhid,dan Mazhab Imam syafi'i untuk bidang Ilmu fiqih.Beliau juga seorang mufti (penasehat agama) pada Kesultanan Banjar,dan juga seorang penulis yang produktif.

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan pada hari Kamis, 25 Syafar 1122H bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1710M. Ayahnya bernama Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurrasyid (Abdul Harits) bin Abdullah. Ibunya bernama Aminah. Keluarga tersebut tinggal di Kampung Lok Gabang, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, dekat dengan Kota Martapura, Kalimantan Selatan. Pada masa itu, raja yang memerintah Kerajaan Banjar adalah Sultan Hamidullah atau Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah.

Muhammad Arsyad kecil bernama Ja’far. Saudara-saudaranya, Abidin, Zainal Abidin, Nurmein dan Nurul Amin. Selagi Syeikh Muhammad Arsyad berada di dalam rahim ibunya, pada malam bulan Ramadhanm ibu beliau berserta suaminya mendapatkan malam penuh berkah, Lailatul Qadar.

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari wafat hari Selasa, 6 Syawal 1227H bertepatan dengan tanggal 13 Oktober 1812M. Dimakamkan di Desa Kalampayan, tidak jauh dari makam orang tuanya.

Pendidikan

Sejak kecil, Muhammad Arsyad mendapat pendidikan langsung dari orang tuanya. Ketika beliau berumur 7 tahun, Raja Banjar yang memerintah waktu itu, Sultan Hamidullah atau Sultan Tahlilullah sangat tertarik melihat kelebihan Muhammad Arsyad. Baginda meminta kepada kedua orang tua Muhammad Arsyad agar mengizinkan anaknya dipelihara serta dididik di lingkungan Istana Berajaan Banjar. Kedua orang tua Muhammad Arsyad tidak keberatan dan menyerahkan anaknya dibawa ke istana. Sejak itulah Muhammad Arsyad mendapat didikan dari para guru yang mengajar di Istana Kerajaan Banjar.

Muhammad Arsyad sangat disayangi oleh seluruh kalangan istana karena akhlak dan budi pekertinya yang halus serta adab sopan santun yang mulia. Setelah dewasa, sultan menikahkannya dengan wanita shalihah bernama Bajut.

Sekalipun baru menikah, Muhammad Arsyad telah berniat untuk pergi ke Makkah al-Mukarramah, tempat kelahiran Islam. Setelah bermusyawarah dengan istrinya, Muhammad Arsyad kemudian meminta restu dari sultan. Sudah barang tentu baginda amat terharu mendengar keinginannya tersebut. Setelah sekian lama berkumpul dan membesarkannya, sekarang harus berpisah. Namun mengingat cita-cita luhurnya, masa depan agama serta Masyarakat Banjar khususnya, baginda akhirnya merelakan kepergian Muhammad Arsyad untuk pergi menuntut ilmu.

Di Makkah, Muhammad Arsyad mendapat kesempatan mempelajari disiplin ilmu agama, hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk belajar. Muhammad Arsyad termasuk ulama yang memiliki pandangan yang seimbang (moderat) antara ilmu syari’at dan ilmu hakikat.

Para Guru dan Sahabat

Muhammad Arsyad mendapat kesempatan mengaji dan belajar beberapa disiplin ilmu kepada para Syeikh dan Guru atau Ulama yang masyhur pada masa itu, di antaranya:

‘Alimul ‘Allamah Syeikh Atha’illah bin Ahmad al-Mishri al-Azhari, di Makkah.

Syeikh al-Islam Imam al-Haramain ‘Alimul ‘Allamah Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, di Madinah.

Khusus dalam bidang Tasawuf, Muhammad Arsyad belajar kepada Sayyid al-Arif Billah Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiry al-Hasani, yang masyhur dikenal dengan nama Syeikh Muhammad Samman al-Madany, di Madinah.

Disamping itu, ada beberapa ulama yang banyak mengeluarkan sanad, silsilah kitab atau ilmu yang diajarkan, di antaranya:

Dalam bidang Tasawuf, Muhammad Arsyad mendapat bimbingan langsung khalwatnya dari Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiry al-Hasani as-Samman al-Madany, dan mendapat ijazah serta kedudukan sebagai khalifah.

Para sahabatnya selama menuntut ilmu dan bermudzakarah dalam berbagai bidang ilmu di anataranya adalah:

Selain mereka tersebut di atas, masih ada lagi sahabat Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bernama Syeikh Abdush Shamad Sirajul Huda, yang masyhur dengan sebutan Datu Sanggul. Bahkan ada pula sahabat sekaligus murid Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari selama di Makkah, yang ikut pulang ke Indonesia. Sahabat ini berasal dari bangsa jin yang masyhur dikenal dengan nama Badekok al-Mina atau Datu Boddok.

Karya-Karya

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari banyak membuat tulisan, baik berupa lembaran maupun kitab dalam berbagai bidang ilmu seperti Tauhid, Fiqih, Tasawuf dan lainnya. Di antara kitab-kitab yang ditulisnya adalah:

Kitab Ushuluddin, semacam Kitab Sifat Dua Puluh.

Kitab Luqtatul Ajlan, kitab yang menguraikan hukum-hukum mengenai masalah kewanitaan.

Kitab Fara’idh, yang menguraikan masalah pembagian harta warisan.

Kitab Ilmu Falaq.

Kitab an-Nikah, yang menguraikan tentang hukum-hukum pernikahan.

Kitab Kanzul Ma’rifah, yang menguraikan tentang Ilmu Tasawuf atau Ilmu Hakikat Pengendalian Diri dan Allah.

Fatawa Sulaiman Kurdi.

Kitab Sabilal Muhtadin, kitab ini sangat masyhur bahkan sampai ke luar negeri seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Fathani dan lainnya. Kitab ini berisi tentang masalah Ilmu Fiqih, ditulis sekitar tahun 1192H atau 1777M.

Kitab Tuhfatul Raghibin, ditulis pada tahun 1188H atau 1774M dengan nama asli “Tuhfaturraghibin fi Bayan Haqiqat al-Mu’minin wa ma Yufsidu min Riddatul Murtadin”. Kitab ini telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia, berisi tiga bab dan khatimah, berbicara penguraian masalah Aqidah, kepercayaan yang haq dan bathil atau hakikat iman yang benar, serta hal-hal yang bisa merusak iman. Sebagian orang meragukan apakah kitab ini asli karya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, hal ini disebabkan isinya relatif bertolak belakang dengan adat kepercayaan sebagian Masyarakat Kalimantan.

Karena bakat dan kepandaian beliau dalam mempelajari ilmu agama,maka menjelang usia 30 tahun Muhammad Arsyad diberangkatkan ketanah suci Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dengan biaya sultan (kerajaan),karena sultan berharap dengan ilmu yang diperolehnya ditanah suci itu kelak akan dapat membimbing dan mengajarkan kepada rakyat Banjar dan sekitarnya dalam hal ke agamaan (Islam)

Di tanah Suci Mekkah dan Madinah beliau belajar kepada para ulama yang terkenal, antara lain:

1. Syekh Athaillah bin Ahmab Al-Mihsri Al-Azhar

2. Sekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi.Madinah.(pengarang kitab Hawasyil

madaniyyah)

3. Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammany Al-Madany,dalam bidang

tasawuf yang akhirnya mendapatkan Ijazah dengan kedudukan Khalifah

(wakil).

4. Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im Ad-Damanhuri.

5. Syekh Sayyid Abul Faydi Muhammad Murtadha' Az-Zabidi

6. Syekh Hasan bin Ahmad 'Akisy Al-Yamani

7. Syekh Salim bin Abdullah Al-Bashr.

8. Syehk Shiddiq bin Umar Khan.

9. Syekh Abdullah bin Hijazi bin Asy-Syarqawi

10. Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz Al-Maghrabi.

11. Syekh Sayyid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal.

12. Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin Al-Fathani.

13. Syekh Abdul Ghani bin Syekh Muhammad Hilal.

14. Syekh 'Abid As-Shindi.

15. Syekh Abdul Wahab Ath-thanthawi.

16. Syekh Maulana Sayyid Abdurrrahman Mirghani.

17. Syekh Muhammad bin Ahmad Al-jawahir.

18. Syekh Muhammad Zayn bin Faqih Jalaludin Aceh.

Ketika di Mekkah beliau berkenalan dan bersahabat dengan penuntut-penuntut setanah air,antara lain: Abdul Wahhab Bugis dari Makasar,Abdus Samad dari Palembang (pengarang kitab Siyarus Salikin dan Hidayatus Salikin) dan Abdur Rahman Masri dari Betawi (jawi).Konon di Mekkah itu pula sempat berkenalan dan sekaligus berguru kepada Datu Sanggul (Abdus Samad),yang pada akhirnya beliu diberi kitab yang terkenal dengan sebutan Kitab Barencong oleh Datu Sanggul.

Setelah lebih 30 tahun belajar ditanah suci beliau akhirnya dapat menguasai keahlian diberbagai bidang ilmu agama seperti:ilmu fiqih,ilmu tasawuf,usul fiqih,cabang -cabang bahasa Arab seperti: nahwu,sharaf,balaghah dan lain-lain,serta ilmu falak (astronomi) dan ilmu umum seperti politik serta pemerintahan . Selesai mempelajari yang disebut diatas beliau pulang ketanah air bersama kawan-kawannya.

Sebenarnya beliau dan kawan - kawan tidak ingin pulang ketanah air tetapi ingin melanjutkan belajar di Mesir,namun maksud tersebut terpaksa dibatalkan karena Syekh sulaiman Al-kurdi menyatakan bahwa ilmu mereka sudah dalam dan luas,lebih penting pulang ketanah air untuk memberi pelajaran dan membimbing masyarakat didaerah masing-masing.

akhirnya mereka menuruti nasehat guru mereka itu.Setiba ditanah betawi (Jakarta) Muhammad Arsyad dan kawan-kawan disambut oleh para ulama dan orang banyak dengan gembira. Selama 60 hari berada di betawi (jakarta),beliau berkunjung kebeberapa mesjid. Berikut beberapa karamah (keahlian)yang beliau miliki,beliau dapat membetulkan arah kiblat mesjid yang kurang tepat.mesjid yang beliau perbaiki arah kiblatnya adalah mesjid Jembatan Lima,Mesjid Luar Batang, dan Mesjid Pekojan.

Ada sebelas orang isteri dalam kehidupannya. Dia mengawini para isterinya tidak bersamaan dan tidak lebih dari empat orang dalam hidupnya, tetapi apabila salah seorang isterinya meninggal, dia menikah lagi dan begitu seterusnya. Syekh Arsyad dapat berlaku bijaksana dan adil terhadap para isterinya, sehingga mereka hidup rukun dan damai. Isteri-isteri Syekh Arsyad tersebut adalah:

1.  Bajut; melahirkan Syarifah dan Aisyah.

2.  Bidur; melahirkan Kadi H. Abu Suud, Saidah, Abu Na’im, dan Khalifah H. Syahab Al-Din.

3.  Lipur; melahirkan ‘Abd Al-Manan, H. Abu Najib, alim al-fadhil H. ‘Abd Allah, ‘Abd Al-Rahman, dan alim al-fadhil ‘Abd Al-Rahim.

4.  Guwat (keturunan Cina; Go Hwat Nio); melahirkan Asiyah, Khalifah H. Hasanuddin, Khalifah H. Zain Al-Din, Rihanah, Hafsah, dan Mufti H. Jamal Al-Din. Dalam perkawinan ini, Syekh Arsyad berusaha menyebarkan Islam di kalangan Tionghoa, dia tidak merubah nama isterinya untuk menunjukkan bahwa Islam tidak akan merubah tradisi mereka, asal tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.

5.  Turiyah; melahirkan Nur’ain, Amah, dan Caya.

6.  Ratu Aminah; melahirkan Mufti H. Ahmad, Safia, Safura, Maimun, Salehah, Muhammad, dan Maryamah.

7.   Palung; melahirkan Salamah, Salman, dan Saliman.

8.   Kadarmik.

9.   Markidah.

10. Liyyuhi, dan

11. Dayi, keempat isteri yang terakhir ini tidak memberikan keturunan (Kadir, 1976).

Karamah (Kemulian) beliau adalah makam datu kalampayan yang sampai sekarang sangat ramai diziarahi orang.Dengan ziarahnya orang-orang yang datang dari segala penjuru Kalimantan dan Luar Kalimantan,mereka membagi - bagikan hadiah pada penduduk Kalampayan yang ada disekitar makam itu, walau beliau sudah lama meninggal dunia, beliau masih dapat membantu penduduk kampung sekitar makam beliau. 

Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama.   Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung Banjarmasin. Nama kitabnya yang lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makam Syaikh Arsyad.

Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai  keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh.  

Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-’Aidrus bin Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-’Aidrus. Silisahnya kemudian sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah keturunan Rasulullah.

Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah Al-’Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu, yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M).

Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India mengembara untuk  menyebarkan Dakwah,Beliau seorang ahli seni ukiran kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdo’a agar dapat melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul-Husna,disamping berdo’a kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan al-qur’an kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya yaitu ;  ’Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein.

Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M.

SemasaKecil

Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau.

Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampung-kampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang soleha bernama Tuan Bajut, Hasil perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinama Syarifah.

Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama 30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh sultan.

Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut adalah Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis (yang kemudian menjadi menantu Syaikh). Guru yang banyak disebut adalah Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani Al-Madani. Selama belajar di Mekah Syeikh Arsyad tinggal di sebuah rumah di Samiyah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Syeikh Arsyad juga belajar kepada guru-guru Melayu di Arab Saudi, seperti Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok Al-Fathani (Thailand Selatan), Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin Al-Falimbani.

Hampir semua ilmu keislaman yang telah dipelajari di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah hingga ke pengarangnya. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Padang, Sumatera Barat) dalam beberapa buah karya beliau. Selain bukti berupa karya-karyanya, juga dapat diambil jasa-jasanya membuka mata rakyat Banjar atau dunia Melayu.

Rekan-rekan Arsyad selama di Mekah kemudian juga menjadi ulama terkenal. Syeikh `Abdus Shamad Al-Falimbani pengarang Sayrus Salaikin, Syeikh `Abdur Rahman Al-Mashri Al-Batawi (akkek Sayid `Utsman bin Yahya, Mufti Betawi yang terkenal), Syeikh Muhammad Nafis bin Idris Al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durrun Nafis, Syeikh Muhammad Shalih bin `Umar As-Samarani (Semarang) yang digelar dengan Imam Ghazali Shaghir (Imam Ghazali Kecil), Syeikh `Abdur Rahman bin `Abdullah bin Ahmad At-Tarmasi (Termas, Jawa Timur), Syeikh Haji Zainuddin bin `Abdur Rahim Al-Fathani (Thailand Selatan), dan banyak lagi.