Mbah Kyai Hamid Pasuruan

Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid. 

Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

“Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. 

Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, nyai Royhanah binti Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. 

Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. 

Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. 

“Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.

Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.

Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seqqaf, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.

Mu’thi (Mbah Kyai Hamid) memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang : yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem. 

Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan

Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember) yang juga seorang Waliyullah (Makam beliau ada di utaranya Bank Indonesia Cabang Jember, berada di tepi jalan raya Jl. Gajah Mada Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah SAW Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid. 

Silsilah Mbah Kyai Hamid

  Abdul Hamid bin 

  Abdullah bin 

  Umar bin 

  ‘Arobi bin 

  Muhammad bin 

  Ahmad bin 

  Abdul Azhim bin 

  Abdurrahman (Mbah Sambu) bin 

  Muhammad Hasyim bin 

  Abdurrahman bin 

  Abdullah bin 

  Umar bin 

  Muhammad bin 

  Ahmad bin 

  Abu Bakar Basyaiban bin 

  Muhammad Asadullah bin 

  Hassan At-Turabi bin 

  Ali bin 

  Muhammad Al Faqih Muqaddam bin 

  Ali bin 

  Muhammad Sohib Marbat bin 

  Ali Khali'Qasam bin 

  Alawi Ats-Tsani bin 

  Muhammad bin 

  Alawi Al Awwal bin 

  Ubaidullah bin 

  Ahmad Al Muhajir bin 

  Isa Ar Rumi bin 

  Muhammad An-Naqib bin 

  Ali Uraidhi bin 

  Ja'far As-sodiq bin 

  Muhammad Al Baqir bin 

  Ali Zainal Abidin bin 

  Sayidina Husain r.a bin 

  Sayidina Ali k.m.w + Sayidatina Fatimah r.a bin MUHAMMAD S.A.W 

Dipondokkan

Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi. Setelah di pesantren Termas dipercaya sebagai lurah, Kiai Hamid sudah mulai menampakkan perubahan sikapnya, amaliyahnya mulai instensif dan konon dia suka berkhalwat disebuah gunung dekat pesantren untuk membaca wirid. Semakin lama, dia semakin jarang keluar kamar. Sehari-hari di kamar saja, enath apa yang diamalkannya. Sampai kawan-kawannya menggoda . Pintu kamarnya dikunci dari luar. Tapi, anehnya dia bisa keluar masuk.

Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang. 

Tidak Suka Dipuja

Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah. Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa. 

Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah. 

Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan. 

Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar. 

Kyai Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. 

Kyai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. 

Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah (istri Kyai Hamid) yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. 

Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.

Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.

Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. 

Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Kiai Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. 

Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Kiai Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya.

Kiai Hamid yang kemudian diambil menantu Kiai Qusyairi adalah sosok yang halus pembawaannya. Meski sebagai orang alim dan menjadi menantu kiai, beliau tetap tawadlu’ (rendah hati). Suaranya pelan dan sangat pelan. Ketika apa saja apelan, entah mengajar, membaca kitab, berdzikir, shalat amaupun bercakap-cakap dengan tamu. Kelembutan suaranya sama persis dengan kelembutan hatinya. Beliau mudah sekali menangis. Apabila ada anaknya yang membandel dan akan memarahinya, beliau menangis dulu, akhirnya tidak jadi marah. “Angel dukane, gampang nyepurane”,(susah marahnya, mudah memaafkan) kata Durrah, menantunya.

Kebersihan hatinya ditebar kepada siapa saja, semua orang merasa dicintai beliau. Bahkan kepada pencuri pun beliau memperlihatkan sayangnya. Beliau melarang santri memukuli pencuri yang tertangkap basah di rumahnya. Sebaliknya pencuri itu dibiarkan pulang dengan aman, bahkan beliau pesan kepada pencuri agar mampir lagi kalau ada waktu.

Sikap tawadlu’ sering beliau sampaikan dengan mengutip ajaran Imam Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam; “Pendamlah wujudmu di dalam bumi khumul (ketidakterkenalan)”. Artinya janganlah menonjolakan diri. Dan ini selalu dibuktikan dalam kehidupannya sehari-hari. Bila ada undangan suatu acara, beliau memilih duduk bersama orang-orang biasa, di belakang. Kalau ke masjid, dimana ada tempat kosong disitu beliau duduk, tidak mau duduk di barisan depan karena tidak mau melangkahi tubuh orang.

Berguru pada al-Habib Ja`far bin Syaikhan as-Seqqaf

Periode pasuruan adalah periode emas dari perjalanan spiritual beliau. disinilah beliau mulai dan mungkin mengasah diri dengan pancaran ruhhul ilahiyah yang begitu cemerlang. di Pasuruan ini pula beliau semakin mendekatkan diri pada kalangan ulama dan habaib kususnya dengan habib Ja'far bin Syaikhon as-Seqqaf pasuruan yang merupakan guru utama beliau. Bersama habib Ja`far inilah potensi spiritual beliau semakin terasa, hal ini diakui oleh habib Ja`far, bahwa dibanding murid yang lain, kyai hamid memiliki keunggulan tersendiri yang sangat sulit dicapai oleh orang lain. 

kekaguman dan kepercayaan habib Ja`far diwujudkan dengan dipercayakanya Kyai Hamid untuk menjadi imam sholat Maghrib dan isya` di kediaman habib Ja`far, meski demikian kyai hamid tetap tidak mengurangi takzim beliau kepada sang guru, begitu merendahnya kyai hamid dihadapan habib Ja`far ibarat penda ditangan pemiliknya, Pena tidak akan bergerak jika tidak digerakan pemiliknya, demikian juga kyai hamid keberadaanya seakan hilang dan menyatu dengan habib Ja`far. 

Keunggulan kyai hamid di bidang keilmuan mungkin dapat diungguli oleh orang lain, namun dua hal menjadi kelebihan tesendiri bagi kyai hamid adalah sifat zuhud dan tawadhu yang jarang dimiliki oleh orang lain. bahkan ketika habib Ja`far wafat ketika ziaroh ke makam habib Ja`far, kyai Hamid sangking takzimnya dan tawadu nya tidak berani duduk lurus pada posisi kepala tapi selalu duduk pada posisi kaki habib Ja`far. Inilah sifat tawaddhu beliau yang sangat tinggi.

Isyarat Kewalian

tidak lama setelah wafatnya habib Ja`far semakin tampak pancaran kemuliaan kyai Hamid. nampaknya beliau mewarisi asror Sang Guru al-Habib Ja`far sebagai waliyulloh, hal ini ada yang melihat pulung atau ndaru yang cemlorot (nur-cahaya) di malam hari berpindah dari rumah habib Ja`far ke daerah pondok pesantren salafiyah tempat kyai Hamid tinggal.

Prihatin

Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha. 

Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain. 

Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem. 

Fenomenal

Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah. 

Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal. 

Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang). 

Lurus

Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat. 

Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu. 

Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah. 

Karena kedalaman ilmunya itu, masyarakat meminta beliau menyediakan waktu untuk mengaji. Akhirnya beliau menyediakan waktu Ahad pagi selepas subuh. Adapun kitab yang dibaca kitab-kitab tasawwuf, mulai dari yang kecil seperti kitab Bidayatul Hidayah, Salalimul Fudlala’ dan kemudian dilanjutkan kitab Ihya’. 

Didalam mendidik atau mengajar, Kiai Hamid mempunyai falsafah yang beranjak dari keyakinan tentang sunnatullah, hukum alam. Ketika ada seorang guru mengadu bahwa banyak murid-muridnya yang nilainya merah. Beliau lalu memberi nasehat dengan falsafah pohon kelapa. “Bunga Kelapa (manggar) kalau jadi kelapa semua yang tak kuat pohonnya atau buahnya jadi kecil-kecil” katanya menasehati sang guru. “Sudah menjadi sunnatullah,” katanya, bahwa pohon kelapa berbunga (manggar), kena angin rontok, tetapi tetap ada yang berbuah jadi cengkir. Kemudian rontok lagi. Yang tidak rontok jadi degan. Kemudian jadi kelapa. Kadang-kadang sudah jadi kelapa masih dimakan tupai.

Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. 

Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. 

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. 

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. 

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. 

Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. 

Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi. 

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. 

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.

 

Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. 

Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. 

H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. 

Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat. 

Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, “Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid.” Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang - biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat. 

Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya. “Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah,” desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya. 

Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja. 

Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan. 

Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid. 

Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu’thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja. “Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah),” katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari’ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.

Hormat

Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas. 

Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia. 

Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.” 

Sabar

Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah. 

Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali. 

Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau. Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi. 

Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok. 

Penyakit Hati

Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah. 

Bergunjing

Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.” 

Karomah Mbah Kyai Hamid Pasuruan

Malaikat Jibril datang menyampaikan salam dari Allah, untuk KH. Hamid Pasuruan

Di dunia ini tidak sedikit orang yang beranggapan alam gaib itu tidaklah ada. Meski demikian, ada pula orang yang percaya, akan tetapi kepercayaan mereka cuma sekedar tahu saja, tidak ada pemantapan hingga seratus persen. Lain halnya dengan orang Islam yang memang benar-benar yakin dengan rukun iman yang nomor enam, yakni percaya kepada qodo’ dan qodar atau ketetapan-ketetapan Allah, baik yang buruk maupun yang baik. Memang sangat sulit sekali meyakini barang yang tidak ada wujudnya, tetapi kita sebagai umat Islam wajib hukumnya percaya seratus persen dengan adanya alam ghaib itu ada. Dalam al-Qur’an dijelaskan : “لا يعلم الغائب الا لل”" Yang artinya: “Tidak ada yang mengetahui barang gaib kecuali Allah SWT” Meskipun demikian, anda jangan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan. Memang dalam ayat tersebut al-qur’an menjelaskan sedemikian rupa, akan tetapi para ulama ahli tafsir sepakat bahwa, ada orang-orang tertentu (kekasih Allah) di dunia ini yang memang di izini atau diberi tahu oleh Allah SWT dalam masalah kegaiban tersebut. Contohnya adalah cerita kiai Hamid. Alkisah, dahulu ada santri yang bernama Ihsan, Ia adalah salah satu khadam (pembantu kiai) yang paling dekat dengan kiai Hamid. Bahkan setiap malam, Ihsan di suruh tidur di ruang tamu kiai Hamid. 

Selain terkenal akan tawadhu’ dan kewaliannya. Kiai kelahiran kota Lasem tersebut juga terkenal akan keistiqomahan dalam ibadahnya. Setiap malam beliau tidak pernah meninggalkan qiyamu al-lail (shalat Tahajjud). Pada suatu malam tepatnya pukul 00.00 Istiwa’, setelah melakukan shalat Tahajjud kiai Hamid membangunkan Ihsan. 

“Ihsan…Ihsan… tangio nak!” ( Ihsan…Ihsan… bangunlah nak! ) begitulah cara halus kiai Hamid ketika membangunkan santrinya. Ihsan pun bangun, sambil mengucek-ucek matanya Ia berkata “Wonten nopo kiai?” (Ada apa kiai?) tanya Ihsan. “Awak mu sa’iki sembayango teros lek mari moco al-Fatihah ping 100, maringono lek wes mari awakmu metuo nang ngarepe gang pondok, delo’en onok opo nang kono.” (Sekarang kamu shalat, lalu sesudahnya kamu baca surat al-Fatihah sampai 100 kali, kalau sudah selesai kamu keluarlah ke gang pondok, lihatlah ada apa di sana.) Perintah kiai Hamid. “inggeh kiai” jawab singkat sang santri. Ia pun langsung pergi ke kamar mandi untuk berwudlu’. 

Singkat cerita setelah Ihsan membaca surat al-Fatihah, ia lalu keluar dari gang pondok tepatnya di jalan Jawa, atau yang sekarang namanya berubah menjadi Jl. KH. Abdul Hamid. Pada waktu Ihsan keluar dari pondok, jarum jam kala itu menunjukkan tepat pukul 01.00 dini hari. 

Nyanyian jangkrik senantiasa mengiri langkah kaki Ihsan. terangnya sinar rembulan menjadi penerang jalannya. Sesampainya di Jalan Jawa, Ihsan melihat ada mobil dari arah barat. Lalu mobil tersebut berhenti tepat di depannya. Kaca mobil tersebut terbuka, “Ihsan lapo bengi-bengi nang kene?” (Ihsan mau apa malam-malam kok di sini) begitulah suara yang keluar dari dalam mobil tersebut. Karena lampu dalam mobil tidak dihidupkan, Ihsan pun tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara dengannya. Ihsan pun masih tercengang dan kebingungan suara siapakah itu. 

Akhirnya pintu mobil itu pun terbuka dan yang keluar adalah Ibu Nyai Hj. Nafisah Ahmad, istri hiai Hamid. Ternyata yang ada di dalam mobil tersebut adalah rombongan Ibu Nyai Hj. Nafisah yang datang dari Jakarta. Ihsan masih belum menjawab pertanyaan yang tadi. 

“Yo wes ketepaan lek ngono tolong gowokno barang-barange sing nang njero montor, mesisan ambek barange bojone Man Aqib.” (Ya sudah kebetulan, kalau begitu tolong bawakan barang-barang yang ada di dalam mobil, sekalian dengan barangnya istrinya Paman Aqib) perintah Ibu Nyai Nafisah. Tanpa pikir panjang Ihsan pun langsung menurunkan semua barang yang ada di dalam mobil. 

Setelah semua barang sudah di bawa ke pondok, Ihsan lalu masuk ke dalam ndalem kiai Hamid. Tak lama kemudian kiai Hamid datang kepada Ihsan. “yok opo San? pas yo! Iku mau pas aku sembayang, malaikat Jibril teko nang aku nyampekno salam teko Allah. Ambek ngandani lek bojoku teko jam siji bengi. San, bener nang al-Qur’an dijelasno, lek gak ono sopo wae sing weroh ambek barang ghoib, yo contone koyok kejadian iku mau iku termasuk ghoib. Cuman Allah SWT iku ngidzini utowo ngewenehi weroh barang sing goib marang uwong sing dicintai ambek gusti Allah. 

” (Bagaimana San? Pas kan! Itu tadi waktu aku shalat, malaikat Jibril datang menyampaikan salam dari Allah, dan memberi tahu kalau istriku akan datang jam satu malam. San, benar di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwasannya tidak ada siapa pun yang mengetahui tentang masalah gaib. Ya, contohnya kejadian tadi itu termasuk gaib. Cuma Allah SWT itu memberi idzin atau memberi tahu barang gaib kepada hamba yang dicintainya) jelas kiai Hamid. Setelah menjelaskan kejadian tersebut, kiai Hamid langsung masuk ke dalam. Sedangkan Ihsan masih tercengang dan merasa kagum kepada kiai Hamid. 

Tidaklah ada kalimat yang pantas ketika kita melihat atau mendengar kejadian yang menakjubkan dari Allah SWT, malainkan kata “Subhanalloh…!”. 

Sumber: KH. Ihsan Ponco Kusumo-Malang 

Terkuaknya ke-wali-an Kyai Hamid Pasuruan 

Suatu ketika seorang habaib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah (sekarang beliau masih hidup), di ijazahi sebuah doa oleh Al Ustadzul Imam Al Habr Al Quthb Al Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih (Pendiri Pesantren Darul Hadist Malang).

Habib Abdulqadir Bilfaqih berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang, agar tahu sejatinya orang tersebut siapa, orang atau bukan.

Suatu saat Datanglah Habib Baqir menemui seorang Wali min Auliya illah di daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan.

Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang sowan (bersilaturahmi bertemu) kepada beliau, meminta doa atau keperluan yang lain,

Setelah membaca doa tersebut kaget Habib Baqir, ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid sejatinya bukan Mbah Hamid, Beliau mengatakan, “Ini bukan Mbah Hamid, khodam ini, Mbah Hamid tidak ada disini” kemudian Habib Baqir mencari dimanakah sebetulnya Mbah Hamid,

Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau, “Kyai, Kyai jangan begitu", jawab Mbah Hamid: “ada apa Bib..??” kembali Habib Baqir melanjutkan, “kasihan orang-orang yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam, Panjenengan di mana waktu itu?”  kenapa kok harus begitu kyai.. tanya habib Baqir ?” Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam.

lalu kyai Hamid menarik tangan habib Baqir dan berkata, jika habib ingin tahu yang sebenarnya mari ikut saya. Sambil membaca sebuah doa yang kedengaran jelas oleh habib Baqir seketika itu, kagetlah Habib Baqir karena melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah, “di mana ini Kyai..?” Tanya Habib Baqir, “Monggo njenengan pirsoni piyambek niki teng pundi..?” (silahkan tuan lihat sendiri ini ada dimana?) jawab Kyai Hamid. Subhanalloh..!!!

Ternyata Habib Baqir di bawa oleh Kyai Hamid ke Masjidil Harom di Mekkah. 

Apa yang sebenarnya terjadi kyai, tanya Habib Baqir ? Kyai Hamid kemudian menjelaskan,

“Saya sudah terlanjur terkenal, padahal saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku. Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukan khodam dari jin, melainkan Malakul Ardli, Malaikat yang ada di bumi, berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatnya, dengan rupaku”. 

Habib Baqir yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai kini merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Kyai Hamid, hanya sedikit yang di ceritakan kepada keluarganya.

Kisah salam Kyai Hamid kepada ‘wali gila’ di pasar kendal

Lain waktu, ada tamu dari Kendal soan kepada Mbah Hamid, singkat cerita, Mbah Hamid menitipkan salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal.

Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya,

Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang di anggap gila oleh dirinya,

Tamu tsb bertanya, “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai..??” kemudian Mbah Hamid menjawab, “Beliau adalah Wali Besar yang njaga Kendal, Rohmat Allah turun, Bencana di tangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku”

Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirinyalah “orang gila” yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal,

“Assalamu’alaikum…” sapa si tamu,

Wali tsb memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar,

“Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”

Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri,

berkatalah ia, “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum……”

Tak beberapa lama, wali tersebut berkata,

“Wa’alaikum salam” dan berteriak dengan nada keras,

“Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan”

“Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia”

Kemudian wali tsb membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap, “LAA ILAAHA ILLALLOH… MUHAMMADUR ROSULULLOH”

Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang di utus Mbah Hamid agar menyampaikan salam, hanya si tamulah yang meyakini bahwa orang yang di cap sebagai orang gila oleh masyarakat Kendal itu adalah Wali Besar, tak satupun masyarakat yang meyakini bahwa orang yang meninggal di pasar adl seorang Wali,

Malah si tamu juga dicap sebagai orang gila karena meyakini si fulan bin fulan sebagai Wali.

Subhanalloh.. begitulah para Wali-Walinya Allah,

saking inginnya ber-asyik-asyikan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya di ganggu oleh orang-orang ahli dunia,

Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing, oleh karena itu janganlah kita su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.

Cerita Mbah Hamid yang saya coba tulis hanyalah sedikit dari kisah perjalanan Beliau, semoga kita, keluarga kita, tetangga kita dan orang-orang yang kita kenal senantiasa mendapat keberkahan sebab rasa cinta kita kepada wali-walinya Allah,

Jadi ingat nasihat Maha Guru kami, Al Quthb Habib Abdulqadir bin ahmad Bilfaqih,

“Jadikanlah dirimu mendapat tempat di hati seorang Auliya”

Semoga nama kita tertanam di hati para kekasih Allah, sehingga kita selalu mendapat nadhroh dari guru-guru kita, dibimbing ruh kita sampai terakhir kita menghirup udara dunia ini, Amin…….. !!!!

Sumber: Syaikhina wa Murobbi Arwakhina KH. Achmad Sa’idi bin KH. Sa’id Giren (Pengasuh Ponpes Attauhidiyyah Tegal)

Gus Miek bertemu dengan mbah Kyai Hamid Pasuruan

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi KH. Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek talah beberapa hari tinggal di pondok KH. Hamid. Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan shalat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh KH. Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan shalat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan shalat melainkan membaca perjalanan hidup KH. Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenak kelebihan dan kekurangannya. KH. Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, KH. Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Suatu ketika, rombongan keluarga KH. Ahmad Siddiq yang tengah khusyuk ziarah ke makam Sunan Ampel tergangu oleh datangnya rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang kehidupannya. Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengganggu rombongan yang lain, termasuk rombongan KH. Ahmad Siddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur aduk dan gaduh itu KH. Ahmad Siddik menyingkir lalu melanjudkan perjalanan ke Pasuruan menemui KH. Hamid yang masih merupakan kerabatnya. KH. Ahmad Siddiq kemudian bercerita kepada KH. Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel.

Ya, Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab KH. Hamid setelah mendengar pengaduan KH. Ahmad Siddiq.“Ah, masak?” tanya KH. Ahmad Siddiq tidak percaya karena KH. Hamid sudah sangat termasyhur keluhurannya di kalangan ulama tanah Jawa.Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah,” jawab KH. Hamid. KH. Ahmad Siddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan. "Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, pejudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Dan, untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas KH. Hamid.Setelah mendengar jawaban KH. Hamid, KH. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui KH. Djazuli untuk mengadukan jawaban KH. Hamid tersebut.

Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab KH. Djazuli.Pada kasus lain diceritakan, KH. Ahmad Siddiq pernah mengadu kepada KH. Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan KH. Ahmad Siddiq juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering melihat hal itu.Begini Pak Kiai, sampean kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab KH. Hamid. Akhirnya, KH. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. KH. Ahmad Siddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu.

Setelah kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah KH. Hamid yang dikenal sebagai wali. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatehah kepada KH. Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangn rumah KH. Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak shalat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?”Amar mengangguk.“Gus, nanti tidur di sini ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yagn ternyata adalah KH. Hamid. 

KH. Hamid ternyata tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjungi KH. Hamid belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda belia dengan pakaian lusuh dan rambut panjang. Pertemuan pertama Gus Miek dengan KH. Hamid adalah saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.Gus Miek lalu bertamu ke rumah KH. Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk bertemu KH. Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir. "Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil.Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. 

Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata: “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!”Mungkin karena Kiai Hamid adalah kemenakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek. "Walaupun kemenakannya saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali.” Jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi.Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata: “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Ahmad as-Seqqaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hamper seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga bisa bertemu alamatnya. Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga as-Seqqaf. Hingga diputuskan” pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah, dan yang jadzab! Sayang, tetap tidak bertemu juga.Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada KH. Hamid Pasuruan. 

Begitu tiba di rumah KH.hamid, dia sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa KH. Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk.Setelah di dalam rumah, KH. Hamid kemudian menyodorkan kain sarung  Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek.Ini, Gus, saya beri sarung, silakan shalat dulu,” kata KH. Hamid .Gus Miek dan  kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan sholat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya shalat, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis shalat, keduanya menemui KH. Hamid.Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jum’at, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata KH. Hamid.Gus Miek hanya tersenyum. KH. Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. 

KH. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.Gus Miek, yang tadinya mengambil biji yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan KH. Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yan lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian KH. Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, KH. Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah KH. Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad as-Seqqaf sebagaimana petunjuk KH. Hamid. Ternyata, rumahnya dekat sekali dengan rumah KH. Hamid. Tiba di rumah Habib Muhamad as-Seqqaf, orangnya tinggi besar dengan suara yang keras dan lantang.Dari mana?” Tanya Habib Muhamad as-Seqqaf. Mau minta doa shalawat,” jawab Gus Miek. "Apa belum shalat, di dalam shalat kan banyak shalawat dan banyak doa,” jawab Habib Muhamad as-Seqqaf. Habib Muhamad as-Seqqaf kemudian berdiri dan menjalankan shalat. Akan tetapi, urut-urutan shalat yang dijalankan Habib Muhamad as-Seqqaf sungguh kacau balau menurut tata aturan syari’at fiqih pada umumnya.

Usai shalat, Habib Muhamad as-Seqqaf mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib Muhamad as-Seqqaf menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan sisuruh menghabiskannya. Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib Muhamad as-Seqqaf kembali menuangkan secara penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meminum minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski seolah Gus Miek tidak merasakan apa-apa. 

Setelah puas saling membuktikan kemampuannya, Habib Muhamad as-Seqqaf menyuruh Gus Miek berdoa dan dia mengamininya.Di tengah perjalanan pulang, Ibnu Katsir Siroj memprotes Gus Miek mengenai peristiwa pemberian KH. Hamid. Seharusnya, menurut Ibnu Katsir, Gus Miek tidak mengambil biji yang tengah karena Gus Miek sudah sakti. Gus Miek menjelaskan, pada awalnya memang ingin mengambil yang pinggir, tetapi tiba-tiba ada suara “Khayrul umuri ausatbuha,” (sebaik-baik perkara adalah yang tengah). Lalu, Ibnu Katsir meminta sarung Gus Miek, tetapi Gus Miek tidak memberikannya karena ia kenang-kenangan dari KH. Hamid Pasuruan.

Setelah tiba dan tinggal kembali di Mangunsari, semakin hari semakin banyak pengikut Gus Miek, baik pengikut Lailiyah maupun santri jalanan yang simpati kepada Gus Miek. Gus Miek hanya menyarankan kepada mereka untuk mengunjungi orang-orang  saleh sehingga kesadaran mereka bisa muncul dengan sendirinya. Misalkan berkunjung ke KH. Hamid Pasuruan, Gus Miek meminta Maskur menyampaikan salamnya kepada KH. Hamid. KH. Hamid yang memhami maksud Gus Miek, menerima salam itu sambil terlihat marah (ia tampak habis memarahi rombongan yang masih berada di pelataran rumahnya).

"Gus Miek siapa!” bentak KH. Hamid. 

"Ploso," jawab Maskur. 

"Gus Miek itu siapa, sembahyang atau tidak,” bentak KH. Hamid.

"Ya, tidak tahu,” jawab Maskur.

" Anak siapa sih Gus Miek itu, ya sudah kamu tidak salah, saya juga tidak salah, sampaikan salam saya kepada Gus Miek,” kata KH. Hamid. 

Maskur kemudian mencari Gus Miek ke Ploso, Mojoagung, Jember, Surabaya, Botoputih, tatapi tidak ketemu. Akhirnya, ia balik ke Setonogedong, Kediri. Setelah membaca surat Yasin, Gus Miek tiba-tiba muncul. Pembicaraan KH. Hamid dengan Maskur beserta rombongannya tersebut juga disaksikan oleh seorang tamu yang meragukan shalat Gus Miek, ingin menemui KH. Hamid untuk menanyakan hal itu. "Lho, itu yang kau tanyakan, itu kan Gus Miek, cepat minta maaf. Ayo, saya antarkan,” ajak KH. Hamid seperti gugup. KH. Hamid kemudian membukakan jendela. "Lihat, itu siapa yang shalat,” kata KH. Hamid. 

Orang itu gemetar dan pucat karena melihat Gus miek tengah menjalankan shalat di pucuk pohon mangga, beralaskan daun-daun mangga. 

"Sudah, cari Gus Miek dan minta maaf,” perintah KH. Hamid.Orang itu pun terus mencari Gus Miek dan baru bertemu Gus Miek setelah dua tahun kemudian.

Kisah Asmawi dan daun

Asmawi, saiah seorang santrinya, gundah gulana. Ia harus melunasi utang kepada panitia pembangunan masjid yang sudah jatuh tempo. Besarnya Rp 300.000, cukup besar untuk ukuran waktu itu, tahun ‘70-an. Ia tidak tahu dan mana uang sebanyak Itu bisa didapat dalam waktu singkat. Saking buntu otaknya, Ia hanya bisa menangis, malu kalau sampai ditagih. Akhirnya dia mengadukan hal tersebut kepada Kiai Hamid.

Dengan lembut Kiai menghibur. “Mengapa sampai menangis segala, kan masih ada Kiai,” katanya, yang lantas menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumah Pak Kiai. Di sana ada dua pohon kelengkeng.

“Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa kemari,” pinta Kiai Hamid.

Setelah menerima daun-daun kelengkeng itu, Kial Hamid memasukkannya ke dalam saku baju. Ketika ditarik keluar, di tangannya tergenggam uang kertas. Kemudian a menyuruh Asmawi melakukan hal sama tapi pada pohon kelengkeng yang lainnya. Dengan cara yang sama pula, daun kelengkeng itu berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung Asmawi, jumlahnya Rp 225.000. Masih kurang Rp 75.000. Tiba-tiba datang seorang tamu menyerahkan uang tunai Rp 75 ribu kepada Kiai Hamid. Jadi klop Rp 300.000

“menguji” kewalian Kiai Hamid 

Tapi yang dialami Said Ahmad, santri lainnya, justru sebaliknya. Ia seolah ingin “menguji” kewalian Kiai Hamid yang telah kesohor itu. Saya ingin tahu, apakah Pak Kiai tahu bahwa saya ingin diberi makan olehnya,” katanya, suatu hari ketika pulang dan Surabaya. Ia tidak percaya terhadap kewalian Kiai Hamid.

Sampai di Pasuruan, dia langsung ke rumah Pak Kiai. Kebetulan saat shalat lsya sudah masuk. Ia pun ikut shalat berjamaah. Usai shalat, dia tidak langsung pulang, melainkan menunggu sampai jamaah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan, pertanda pemilik rumah slap-slap beristirahat. Dengan demikian, dia pikir, niatnya berhasil, yaitu bahwa keinginannya untuk ditawari makan oleh Kiai tidak diketahui.

Lalu ia pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid. Ternyata dari rumah Kiai Hamid ada yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan langkah ragu, Ia pun mendekati Si pelambai. Ternyata tuan rumah sendiri yang memanggilnya. “Makan di sini ya,” kata Kiai Hamid sambil senyum.

Ia pun diajak masuk ke ruang tengah. Di sana hidangan sudah tersaji. “Maaf, lauknya seadanya,” kata Kiai santai. “Sampeyan tidak bilang-bilang, sih.”

Said tersindir. Dan sejak itu dia percaya, Kiai Hamid adalah wali.

Pengalaman Misykat

Misykat, lain lagi pengalamannya. Ia sering tertebak apa yang ada di benaknya. “Beliau tahu maunya orang,” katanya. “Saya belum bilang apa-apa, beliau sudah menjawab”.

Suatu hari Misykat diberi pisang oleh Kiai Hamid dengan pesan agar kulitnya diberikan kepada kambing. “Ini pisang, silakan makan, dan kulitnya kasihkan ke kambing,” kata Kiai Hamid.

Karena dia tidak melihat ada kambing d sekitarnya, kulit pisang itu pun dibuangnya.

Ba’dha ashar dia dipanggil Kiai. “Mana kulit pisang tadi?” tanya Kiai Hamid.

“Saya buang, Kiai,” jawab Misykat ringan.

“Lho, gimana kamu, disuruh memberikan ke kambing, malah dibuang,” kata Kiai.

Tak berapa lama, ada orang mengantar kan seekor kambing kepada Kiai Hamid Misykat melongo.

Pada kesempatan yang lain, Misykat di minta menghadap Nyai agar menyediakan lauk daging ayam. “Tolong bilang sama Bu Nyai, Kiai ingin makan dengan lauk daging ayam,” pesan Pak Kiai.

“Han ini menunya bukan daging ayam, jawab Bu Nyai. “Besok baru motong ayam.”

Ba’da maghrib, Misykat dipanggil lagi. “Maaf, Kiai, Bu Nyai bilang, hari ini menunya bukan daging ayam. Besok baru mau motong ayam,” kata Misykat hati-hati. Ia takut dimarahi.

Namun, apa jawab Kiai Hamid? “Lihat di atas meja, itu kan daging ayam,” katanya. Betul, dari arah meja tercium aroma daging ayam. Rupanya seseorang baru saja mengantarkan ke rumah Pak Kiai.

Gus Zaki dan naik Feri ke Madura

Lain lagi pengalaman Gus Zaki, salah seorang pengajar pesantren. Ketika tengah diserang rasa sakit maag yang tidak ketulungan, ia sempat mengerang dan bahkan menggelepar di pembaringan. Dokter sudah mengobatinya, namun tak juga kunjung reda nyerinya. Semua keluarga pun sudah datang membezuk. Kiai Hamid, yang diminta datang untuk memberikan doa, kebetulan tidak ada di rumah.

Ketika jam menunjuk angka sebelas malam, Nyonya Zaki merebus air di dapur untuk sarana menghangatkan perut suaminya, dengan cara dimasukkan ke dalam botol lalu digelindingkan di atas perut. Nah, saat tengah sendirian di kamar itulah Kiai Hamid datang berkunjung. Tentu saja Gus Zaki kaget dengan kedatangan yang tiba-tiba itu. Masalahnya, Ia merasa semua pintu sudah ditutup rapat, kok tahu-tahu Ia sudah ada di depannya.

Pada kesempatan itu Kiai Hamid mengulurkan tangan kanannya dan menempelkannya ke perut Gus Zaki, yang dalam posisi berbaring di tempat tidur. Lantas Zaki tidak merasa sakit lagi di perutnya. Dan ketika disuruh duduk, ia pun bisa duduk Padahal tadinya, jangankan duduk, menggeser badan Sedikit saja, sakitnya bukan main.

Usai itu, Kiai Hamid berpesan agar Zaki tidak banyak bergerak dulu.

Sepeninggal Pak Kiai, Zaki baru merasa ada kejanggalan. “Dan mana beliau masuk, apa benar itu tadi Kiai Hamid,” pikirnya. “Kalau betul itu tadi Kiai Hamid, kok tidak memben uang.” Sebab biasanya Pak Kiai tak pernah absen memberi uang.

Ketika tengah dibebani pikiran seperti itu, istrinya masuk. Dia heran melihat suaminya duduk dan dengan posisi kursi dan bantal yang awut-awutan. “Kalau jatuh, bagaimana?” pikirnya. “Siapa yang memindahkan bantal?” tanyanya.

Namun pertanyaan itu tak digubris Zaki. Ia malah balik menyuruh istrinya. “Coba cek semua pintu,” pintanya.

“Semuanya terkunci,” kata istrinya. “Memang ada apa?’

“Baru saja Kiai Hamid datang kemari,” kata Zaki, sambil menceritakan semua yang dialaminya.

Keesokan paginya, ba’da shalat Subuh, Kiai Hamid datang. “Bagaimana keadaanmu, Ki?”

“Alhamdulillah, sudah baik. Tadi malam...,” kata Zaki tapi terputus.

“Sudah, sudah,” kata Pak Kiai sambil meIetakkan telunjuknya di bibir. Beliau lalu menyerahkan uang Rp 500.000 kepada Zaki, lalu pergi.

“Rupanya beliau membayar ‘utangnya’ semalam,” pikir Zaki.

Suatu malam Kiai Hamid sekeluarga pergi ke Madura dengan mengendarai sebuah mobil. Begitu sampai di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, di sana sudah antre 15 unit mobil yang siap menyeberang ke Madura. Sedangkan kapal feri yang akan mengangkut, yang terakhir hari itu, belum tampak.

Daya angkut kapal feri itu adalah 15 unit mobil, tapi Kiai Hamid tetap meminta sopir menunggu di pelataran pelabuhan. Eh, mobil yang antre paling belakang tahu-tahu berputar balik dan ngeloyor pergi meninggalkan pelabuhan. Maka jadilah beliau menyeberang ke Pulau Garam.

Menghajikan Qari

Ketika akan berangkat ke Medan untuk mengikuti MTQ III /1971, H. Solehuddin memberanikan diri pamitan kepada Kiai Hamid. Padahal dua tahun sebelumnya ketika akan ikut ambil bagian dalam event tersebut di Bandung dan Banjarmasin, dia tidak berani, lantaran sikap masyarakat Pasuruan yang belum bisa menerima perlombaan pembacaan Al-Quran dengan dilagukan.

“Hadiahnya apa?” Kiai Hamid bertanya.

“Juara pertamanya dikirim pergi haji,” jawabnya sopan.

“Baiklah, saya doakan,” kata Kiai Hamid, sambil berpesan agar sesampai di Medan dia langsung menuju ke Masjid Sultan Usman. “Shalat dua rakaat dan baca doa hasbunallah wa ni’mal wakil 350 kali. Jangan ditambah, dan jangan dikurangi.

Namun, ketika pesan dilaksanakan, Solehuddin tidak percaya diri. Maka pembacaannya ditambah dua kali lipat lagi hingga jumlah seluruhnya 1.050 kali. Hasilnya, dia memang menjadi juara, tapi juara ketiga.

Sepulang dan Medan, dia sowan ke Kiai Hamid untuk melaporkan hasil yang diraihnya di arena MTQ. Beliau bertanya, “Apakah pesan saya dilaksanakan semua?”

“Ya, Kiai,” jawab Soleh.

“Berapa kali?”

“350 kali.”

“Berapa kali 350?”

“Tiga kali.”

“Lha itu, kamu baca tiga kali, ya juara tiga,” ujar Kiai setengah bercanda.

Pada tahun 1974 menghadapi MTQ VII di Surabaya, dia sowan lagi kepada Kiai Hamid dan mohon didoakan agar menjadi juara pertama. Saat itu rumah Kiai Hamid penuh tamu. Belum sempat dia membuka mulut, Pak Kiai berkata keiada tamu-tamunya. “Sampeyan saksikan, ya, Solehudin ini ke Makkah dengan naik Al-Quran.”

Soleh kemudian disuruh membaca Al-Quran di depan mereka semua. Kiai Hamid lalu melepas sorbannya dan menaruhnya di atas kepala Soleh sambil berkata, “Berhasil, berhasil, amin, amin.”

Dengan bekal itu Soleh pergi ke Surabaya dan pulang dengan memboyong gelar juara pertama MTQ VII dan menunaikan ibadah haji sebagai hadiahnya....

Kyai Hamid dan Kyai Syamsul Arifin

Pada suatu hari Kiai As’ad Samsyul Arifin dari Situbondo mengatakan kepada salah seorang muridnya bahwa dia sudah rindu kepada sohibnya, Kiai Hamid, di Pasuruan (jarak Pasuruan-Situbondo 70 km). Tak berapa lama kemudian, pintu rumah Kiai As’ad diketuk orang. Setelah dibuka, ternyata Kiai Hamid telah berdiri di depan pintu.

“Wah, kebetulan, saya memang kangen sama sampeyan,” kata Kiai As’ad. “Berarti telinga sampeyan memang lebar.”

“Bukan begitu, telinga saya tidak lebar,” jawab Kiai Hamid. “Tapi tutuk (mulut) sampeyan yang panjang hingga suara sampeyan terdengar di Pasuruan.”

Keris Dalam Perut Kyai Hamid (Kisah ke-wali-an Kyai Hamid Pasuruan : Kesabaran ketika di santet orang)

Waktu Kyai Hamid masih terbilang baru di kota Pasuruan, kehidupan beliau tidak secara tiba-tiba disegani, dihormati, dan dicintai oleh masyarakat. Banyak sekali orang yang hasud kepada putra Kyai Abdulloh ini, akan tetapi, itu semua tidak pernah diambil pusing oleh beliau. Sifat sabar dan penuh tawakal itulah yang selalu beliau pakai untuk menghadapi semua itu.

Pernah pada suatu ketika, kyai hamid memanggil KH. Abdurrohman yang masih adik ipar beliau sendiri, ke dalamnya. Setelah masuk, Kyai Abdurrohman ini langsung duduk di depan Kyai Hamid yang sedang duduk di atas tempat tidurnya,

“Man…kowe arep tak kei weroh… tapi kowe … ojo ngomong nang sopo-sopo yo!” (Man… kamu mau aku beri tahu, tapi kamu jangan bilang ke siapa-siapa ya!) kata kyai hamid,

“inggeh kyai”, jawab Kyai Abdurrohman singkat.

Setelah menjawab demikian, akhirnya takl lama Kyai Hamid membuka baju yang dikenakannya, dan ternyata astaghfirllohal’adzim didalam tubuh beliau terlihat jelas ada sebuah keris yang melekat di dada seperti halnya orang yang terkena ilmu santet. Sontak Kyai Abdurohman terperangah dan terkejut melihat itu semua,

Kyai sinten sing nggarai panjenengan ngoten!” (Kyai siapa yang membuat anda seperti itu!), kata Kyai Abdurrohman dengan nada yang menunjukkan seakan-akan tidak terima kakak iparnya didzolimi oleh Orang.

“uwes koe orah perlu wero, sing penting kowe ojo kondo sopo-sopo yo… iku “Nusa’” nang ngarep, lek di tako’i ngomongo orah onok opo-opo yo, wes saiki moleo” (sudah, kamu tidak perlu tahu, yang penting kamu jangan bilang sama siapa-siapa ya… itu di depan ada “Nusa’” –panggilan akrab Kyai hamid kepada istrinya Ibu Nyai nafisah- di depan, kalau kamu ditanya, bilang tidak ada apa-apa, sudah sekarang kamu pulang). Akhirnya Kyai Abdurrohman keluar meninggalkan kamar dengan raut wajah yang sedih setelah melihat kakak iparnya didzolimi.

Ketika keluar, ternyata benar Bu Nyai Nafisah berada di ruang tamu, Bu Nyai Nafisah merasa penasaran memergoki adiknya yang berwajah sedih ketika keluar dari kamar Kyai Hamid “Man… onok opo?” (Man ada apa?), Tanya Bu Nyai Nafisah, mendengar pertanyaan seperti itu, Kyai Abdurrohman serasa tidak kuat untuk menahan kepedihan setelah melihat kondisi Kyai Hamid, dan itu semua membuat Kyai Abdurrohman lupa akan janjinya yang telah dikatakan kepada Kyai Hamid, ketika Kyai Abdurrohman akan menjawab jujur kepada Bu Nyai Nafisah tiba-tiba, “orah onok opo-opo kok Bu…” jawab Kyai hamid sembari melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Pada akhirnya Kyai Abdurrohman meminta izin pulang kepada Bu Nyai Nafisah. إن الله مع الصابرين Mungkin dari sini kita semua telah tahu, bahwa kenapa Allah SWT senantiasa memberikan kasih sayangnya lebih kepada hamba-hambanya yang shaleh, dan kesabaran adalah sebuah kunci untuk menuju kesuksesan.

Sumber : Ust. H. Luthfi bin Abdul Basith

Kemakrifatan Kyai Abdul Hamid Pasuruan

لا يعرف الولىّ الا الولىّ

Tidak ada yang bisa mengetahui seorang Wali, kecuali (orang) tersebut juga seorang Wali.” Begitulah Maqolah (perkataan) yang menerangkan tentang Wali.

Kita sering mendengar kataWali, lalu apakah Wali itu? Kata "Wali" dalam Bahasa Arab berarti yang menolong, yang dicintai, yang dilindungi. Dan dalam dunia sufi kata Wali tersebut diartikan orang yang suci, yang mempunyai akidah yang benar dan yang selalu menjalankan Amal Saleh serta selalu mengikuti Sunnah Rasulallah SAW. 

Dalam kitab Sirajul Tholibin dijelaskan:

والاولياء جمع ولي:وهوالعارف بالله وصفات حسبمايمكن المواظب على الطعات المجتنب المعاصي والمعرض عن الانهماك في االلذات والتشهوات

"Auliya' itu adalah kata Jama' dari Wali, Wali adalah orang yang betul-betul mengenal Allah SWT, selalu tetap taat kepada Allah, menjauhi semua larangan dan berpaling dari keasyikan Ladzat (Duniawi) dan Syahwat (nafsu duniawi)."

Tidak semua Wali itu berasal dari seorang “Kyai”. Tapi kebanyakan seorang kyai yang semakin berisi (Ilmu-nya) dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta selalu meningkatkan Akhlaqnya, suatu saat pasti akan diangkat menjadi kekasih-Nya. Sebut saja K.H. Mukhsin, yang sebelum menjadi seorang pengasuh sebuah PonPes yang Santrinya ratusan, bahkan sampai ribuan, adalah seorang Sopir pribadi seorang Juragan di tempatnya bekerja. Berikut sepercik kisahnya.

K.H. Mukhsin saat ini adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Maqbul yang terletak di daerah Bululawang, Kabupaten Malang. Namun sebelum ke-Waliannya “mengudara”, beliau adalah seorang Sopir salah satu juragan di daerah Bululawang. Waktu itu tidak ada yang tahu bahwasannya beliau adalah salah satu “orang-orang pilihan”. 

Suatu hari sang majikan minta diantar ke Pasuruan, ke kediaman salah satu kyai yang terkenal akan tingkah lakunya (Akhlaq) nya. Dengan berpakaian ala Sopir pada umumnya, dia pun melaju dengan kecepatan yang sedang, sambil meliuk-liuk di jalanan yang tidak begitu padat. Setelah menempuk pejalanan kurang lebih satu jam, akhirnya mobil yang di kendarai sang Sopir saleh tiba dihalaman Pesantren yang diasuh oleh Kyai Hamid bin Abdullah bin Umar.

Setelah memarkir mobil, sang Sopir melihat sepertinya di “tolak” oleh Kyai berkelahiran Lasemm Jawa Tengah itu. Namun tak lama kemudian sang majikan menghampiri Sopir kesayangannya tersebut. “Kyai Hamid tidak mau menerima kedatanganku, kalau kamu tidak ikut masuk” sang majikan berkata kepada Sopir yang sedang menunggunya di dalam Mobil. Sang Sopir keheranan, “kenapa kyai itu tidak mau menerima majikanku, kalau aku tidak ikut ke dalam?” penasarannya dalam hati.

Setelah sang Sopir masuk ke Ndalem Kyai Hamid bersama majikannya, kyai Hamid menyambutnya dengan hangat. Di tengah perbincangan, kyai Hamid bertanya kepada sang Sopir amalan-amalan apa yang di jalaninya selama ini. Dia menjawab, bahwa amalan-amalan yang dijalaninya selama ini adalah amalan yang umumnya dijalankan para Masyarakat, yang sama sepertinya.

“Tadi kenapa Kyai (sapaan Kyai Hamid) menolak kedatangan saya, ketika saya masuk sendirian ke kediaman anda? Dan anda bilang tidak akan menerima kedatangan saya apabila tidak mengajaknya (Sopir) juga?” tanya sang majikan, karena masih terselinap rasa penasaran yang amat di hatinya tentang kelebihan sang Sopir pribadinya tersebut.

“Arek iki bakale dadi wali, lan duwe pondok seng gede. Aku mero tanda-tandane. Makane iku aku nolak koen polae waline gak di ajak melbu” (Anak (karena sang sope lebih muda dari Kyai Hamid ini bakal menjadi seorang walik, dan juga akan mempunyai Pesantren yang besar. Maka dari itu aku menolak kamu Karena “Wali”nya (sopir) tidak kamu ajak masuk. kyai Hamid memaparkan alasannnya mengenai penolakan sang tamu, dengan sedikit guyonan. Sang sopir pun tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya karena malu mendengar alasan Kyai Hamid tentang dirinya. Padahal dia sendiri tidak mengetahui akan hal itu. Dan sang majikan kaget bukan kepalang mendengar pernyataan kyai Hamid tentang sopir pribadinya tersebut.

Mulai saat itu pun ke-walian K.H. Mukhsin mulai terdengar penjuru kota. satu persatu para orang tua mengirim anaknya kepada beliau untuk belajar. Semula hanya lima murid dan bertempat di Mushollah dekat rumah majikannya. Karena lambat laun santri beliau tambah banyak, yang datang bukan hanya dari dalam kotam dari luar kota pun banyak yang datang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar kepada beliau. 

Lalu berdirilah Pesantren tersebut. Setahun kemudian santrinya mencapai 100. dan lambat laun terus bertambah jumlahnya. Lalu beliau semakin memperbesar Pesantren tersebut. Dan hingga kini jumlah santri yang me-nyantri di pesantren kurang lebih sepuluh ribuan anak. Subhanalah itu bukan bilangan yang sedikit. Semoga semua santri yang belajar di PonPes Al-Maqbul selalu dalam kasih sayang Allah SAW. 

Bermula dari seorang sopir yang senantiasa takut kepada-Nya di manapun. Tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Dan sunnah-sunnah Rasul SAW yang lain. Semoga kita senantiasa bisa meniru amal ibadah beliau. Amin . . 

Kisah Mahfudz M.D dan Alwy Shihab

Mahfud MD yang diberi kesempatan berpidato menceritakan tentang bukti kewalian sosok Almagfurllah KH Abdul Hamid Pasuruan yang dikenal mampu mengetahui segala sesuatu yang bisa terjadi di masa datang, baik melalui perkataan maupun perbuatan beliau.

Hal tersebut terbukti dengan sekelumit kisah yang disampaikan oleh rekannya semasa kuliah yang ingin sekali pergi ke luar negeri ketika beliau masih hidup.

Menurutnya, rekannya tersebut bermaksud sowan dan hendak minta tanda tangan KH Abdul Hamid agar mudah mendapatkan rekomendasi pergi belajar ke luar negeri serta diterima dengan baik oleh pihak kedubesnya.

Namun, sesampainya dihadapan beliau, bukan tanda tangan yang didapatkan tapi justru perkataan yang kemudian menjadi kenyataan menggembirakan di masa mendatang.

“Beliau cuma berkata pada rekan saya tersebut. Kamu paling pintar kalau tanda tangan urusan luar negeri,” tutur Ketua Mahkamah Konstitusi asal Pulau Madura tersebut.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, semua orang di Indonesia tentu mengetahuinya dan menjadi saksi sejarah, jika rekan Mahfudz MD tersebut akhirnya diangkat menjadi Menteri Luar Negeri di era Gus Dur.

“Beliau adalah Alwi Sihab, mantan Menteri Luar Negeri kita,” Kata Mahfudz, yang mengaku mendengar langsung kisah tersebut dari yang bersangkutan.

Anjing pun diperlakukan baik

Siapa pun (orang Islam) tidak suka bila melihat anjing berada di sekitarnya. Bahkan orang akan mengusirnya dengan cara kasar. Melemparinya dengan batu, memukuli dan hal-hal lain yang menjurus pada perlakuan kasar.

Perbuatan ini bertolak belakang dengan kiai Hamid. Di samping beliau menebar cinta ke semua orang, beliau juga menebar cinta kepada binatang. Termasuk anjing yang oleh orang awam tadi dipandang dengan kebencian karena najis mughallazhahnya. Berkali-kali anjing datang, duduk-duduk diteras rumah beliau atau bermain ditempat wudlu pondok. Oleh beliau, binatang itu dibiarkan, malah tak boleh diusir.

Suatu kali ada seekor anjing masuk ke dalam pesantren. Karuan saja para santri segera mengepungnya, memukulinya dan menjerat lehernya. Keesokan harinya, dalam pengajian ahad, Kiai Hamid marah besar. “Anjing itu juga mahkluk Allah, tidak boleh diperlakukan semena-mena,” katanya dengan penuh tekanan.

Sumber: H. Misbah (Miskat), Pasuruan

Minta Nomer Togel

Suatu ketika ada seseorang meminta nomer togel ke Kyai Hamid. Oleh Kyai Hamid diberi dengan syarat jika dapat togel maka uangnya harus dibawa kehadapan Kyai Hamid. Maka orang tersebut benar-benar memasang nomer pemberian Kyai Hamid dan menang. Saran ditaati uang dibawa kehadapan Kyai Hamid. Oleh kyai uang tersebut dimasukan ke dalam bejana dan disuruh melihat apa isinya. Terlihat isinya darah dan belatung. Kyai Hamid berkata “tegakah saudara memberi makan anak istri saudara dengan darah dan belatung?” Orang tersebut menangis dan bertobat.

Setiap pergi ke manapun Kyai Hamid selalu didatangi oleh umat, yang berduyun duyun meminta doa padanya. Bahkan ketika naik haji ke mekkah pun banyak orang tak dikenal dari berbagai bangsa yang datang dan berebut mencium tangannya. darimana orang tau tentang derajat Kyai Hamid? Mengapa orang selalu datang memuliakannya? Konon inilah keistimewaan beliau, beliau derajatnya ditinggikan oleh Allah SWT.

Kyai Hamid masuk partai

Pada suatu saat orde baru ingin mengajak Kyai Hamid masuk partai pemerintah. Kyai Hamid menyambut ajakan itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat. Ketika surat persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpennya, Kyai Hamid menerimanya dan menandatanganinya. Anehnya pulpen tak bisa keluar tinta, diganti polpen lain tetap tak mau keluar tinta. Akhirnya Kyai Hamid berkata: “Bukan saya yang gak mau tanda tangan, tapi bolpointnya gak mau”. Itulah Kyai Hamid dia menolak dengan cara yang halus dan tetap menghormati siapa saja yang bertamu kerumahnya.

Pencuri datang, dihormati sebagai tamu

Kiai Hamid adalah sosok yang halus pembawaannya. Suaranya pelan, sangat lirih, nyaris berbisik. Pelan ketika mengajar, pelan ketika membaca kitab, pelan ketika salat, pelan ketika berzikir, pelan juga ketika bercakap-cakap. Baik bercakap dengan tamu, dengan santri, maupun dengan keluarganya sendiri. “sejak dulu, Kiai Hamid kalau membaca Qur’an sendiri tak pernah terdengar suaranya,” kata KH. Zaki Ubaid, yang sejak kecil sudah mendampingi Kiai Hamid, “hanya kalau tadarus terdengar suaranya.”

Gus Zaki Ubaid bercerita, jemuran di pekerangan belakang rumah beliau sering raib. Setelah berhari-hari melakukan pengintaian bersama sejumlah santri, akhirnya sang pencuri tertangkap basah. Maka digelandanglah sang pencuri itu ke halaman depan, untuk menjadikan bancakan, pesta bogem mentah. Tapi sial, begitu keluar dari pintu lorong, mereka kepergok Kiai Hamid. “O, ada tamu ya. Silakan, silakan“ kata beliau. Maling dibilang tamu. Urusan pun berpindah tangan, sementara ”pesta besar” batal dilaksanakan. Gus Zaki Ubaid dkk. Tak bisa berbuat apa-apa.

Akan halnya Kiai Hamid, beliau memperlakukan si pencuri seperti layaknya tamu. Disuguhi minuman , diberi makan, diajak bercengkrama. Ketika pulang, diantar hingga ke halaman, sambil berpesan agar mampir lagi kalau ada waktu.1

Sumber: KH. Zaki Ubaid (al Marhum), Pasuruan

 

Sepuluh Ribu Untuk Kyai Hamid

Kota Pasuruan merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang menyimpan banyak nilai religi dan kental dengan aroma keislamannya. Berbagai kegiatan islami di kota yang terkenal dengan sebutan “ kota santri” ini sangat beragam dan tak terhitung jumlahnya. Namun dibalik itu, siapa sangka kota yang banyak para kekasih Allah tersebut, menyimpan segudang cerita unik yang cukup menggelitik hati yang justru muncul dari para tokoh agama di kota itu.

Alkisah di kota Pasuruan dahulu hidup seorang kyai yang terkenal dengan kewaliannya dan memilki kharismatik tinggi di mata masyarakat Pasuruan. Ya, siapa lagi kalau bukan KH. Abdul Hamid atau yang lebih akrabnya biasa dipanggil romo kyai Hamid . Pada suatu hari ada seorang pengusaha bernama Sukir yang hendak sowan kepada kyai Hamid yang terkenal dengan sikap tawadlu’ dan lemah lembutnya itu. Sukir-pun akhirnya mendatangi temannya terlebih dahulu sambl bertanya, ”biasanya kalu sowan kepada kyai Hamid perlu memberi “salam templek” apa tidak ?”

Temannya pun menjawab:

“kadang ya, kadang juga tidak.” Jawabnya singkat.

Merasa belum puas, sang pengusaha tadi kembali bertanya:

“kalau memberi salam templek, kira-kira berapa ya ?” tanyanya dengan nada penasaran.

“ah...... saya tidak tahu, karena saya sendiri tidak pernah memberi salam templek. Malahan kyai Hamid sendiri yang sering memberi tamunya.” Jelasnya cukup panjang lebar.

Mendengar keterangan dari temannya tersebut, akhirnya Sukir memutuskan untuk memberi salam templek, karena ia tahu biasanya kalu sowan kepada kyai-kyai manapun, kebanyakan memberi salam templek, meskipun jumlahnya nggak terlalu besar. Sesaat kemudian ia pun bingung karena berapa jumlah uang yang pantas untuk diberikan kepada kyai Hamid. Tanpa panjang lebar ia pun merogoh sakunya dan mengambil uang sebesar sepuluh ribu, lalu dimasukkan ke dalam amplop dan ditutupnya rapat-rapat. Dalam benaknya ia berfikir, kalau nanti banyak orang yang sowan sementara yang diberikannya itu kurang “kan tidak tahu kalu itu dari saya.”

Selang beberapa saat, Sukir pun berangkat menemui sang kyai di Ponpes Salafiyah Pasuruan. Setibanya di sana ia langsung bertemu dengan kyai Hamid, dan Sukir pun bersalaman sambil menyelipkan amplop yang dibawanya ke tangan kyai Hamid.

“sepuluh ribu juga boleh,” kata kyai Hamid dengan nada datar.

Pengusaha itupun spontan merasa heran yang dibarengi dengan keluarnya keringat dingin dari sekujur tubuhnya, ia merasa malu karena merasa tertebak isi amplop yang diberikannya kepada kyai Hamid. (Jar)

Menjadi Bapak Dari Masyarakat

Sebagai seorang pengasuh pondok, beliau bukan hanya menjadi bapak dari santri-santrinya. Tetapi beliau juga menjadi bapak dari masyarakat. Seorang bapak yang merasa punya tanggung jawab untuk melayani mereka di kala mereka sedih ataupun ditimpa masalah.

Kholil yang berusia hampir 70 tahun warga kebonsari, adalah pemilik warung kaki lima yang menyediakan minuman dan makanan kecil. Warung ini bka tiap malam hari, sehabis isya' sam'pai subuh, di pinggir jalan dekat langgar arghob (jalan jawa). Setiap malam, sambil membangunkan orang pada pukul 3 dini hari, beliau selalu menyempatkan diri untuk mampir di warung tersebut. Bukan untuk makan minum, melainkan bercengkrama dengan pemiliknya. Terkadang beliau juga memberi saran-saran untuk perbaikan. Misalnya, beliau menyarankan kholil untuk agar mengganti tiang warungnya yang terbuat dari bamboo. "Ini diganti besi saja biar tak mudah roboh," kata beliau sambil memegang tiang tersebut. Kholil menuruti nasehat tersebut.

Betapa besar perhatian beliau pada individu. Besar pula perhaian beliau pada masyarakat. Cerita berikut ini memperlihatkan orientsi beliau kepada umat. Pada 1975 ta'mir Masjid Jami' Al-Anwar sepakat bahwa menara lama harus dirobohkan karena kondisinya mengkhawatirkan. Maka diputuskan menara itu akan dibongkar dan diganti yang baru. Mengenai yang baru, rapat ta'mir sepakat lokasinya agak ke barat, artinya menempel ke bangunan induk. Tapi ada satu peserta rapat yang tidak sutuju yaitu gus Zaki saya ngotot agar ditaruh dekat jalan raya ujar gus zaki maksudnya bagaimana kira-kira orang lewat itu yang dilihat pertama kali bukan tugu di alun-alun depan masjid tapi menara pokoknya bagaimana menara itu bisa menonjol usul ini akhirnya disetujui peserta rapat hasil rapat seperti biasa dilaporkan pada kyai hamid beliau nerkata begini ki penduduk itu jumlahnya tambah lama tambah banyak kalau orang bertambah banyak ya butuh rumah yang besar ya butuh jalan yang lebar lha kalau sekarang (menara) ditaruh di sana kalau kelak jalan dilebarkan bagaimana?" mendengar jawaban itu kontan gus zaki merasa malu sekali betapa tidak saya yang biasa lewat di jalan raya kok tidak pernah berpikir tentang kebutuhan masyarakat akan jalan kiai Hamid yang tidak pernah lewat jalan raya (kalau ke masjid beliau lewat gang pen.) kok bisa mikir sampai ke sana," kata gus zaki. (Abd)

Mbah Hamid dan Mbah Bisri

Memasuki halaman kediaman Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan rahimahullah pada suatu sore, Kyai Bisri Mustofa Rembang —Allah yarham— mendapati seorang santri sedang menyirami halaman itu dengan air dari selang untuk menekan debu agar tak berterbangan.

“Sungguh sayang”, gumam Mbah Bisri, “sráná kok dibuang-buang…”

Pintu rumah Mbah Hamid tertutup. Sejumlah orang yang punya hajat hendak sowan, menunggu dengan khusyuk di sekitarnya.

Tanpa sungkan-sungkan, Mbah Bisri meneriakkan salam,

“Assalaamu’alaikum!”

Tak ada jawaban. Orang-orang ngeri melihat kekurangajaran Mbah Bisri, tapi ragu-ragu untuk menegur. Mungkin mereka pikir, kalau usaha Mbah Bisri ada hasilnya, mereka akan ikut untung juga…

“Assalaamu’alaikooom!” teriakan Mbah Bisri lebih keras lagi. Tetap tak dijawab.

Santri yang menyirami halamanlah yang kemudian menegur,

“Maaf, Pak”, katanya, “Mbah Yai sedang istirahat!”

Tak menanggapi teguran si santri, Mbah Bisri malah semakin meninggikan suaranya dengan nada yang nelangsa,

“Yaa Allah Gustiiii….!” ratapnya, “beginilah nasib manusia kotor macam aku ini… mau sowan wali saja kok nggak ditemuiii…!”

Suara berdehem dari dalam, disusul Mbah Hamid membuka pintu.

“Jangan begitu lah, Nda…,” tegur beliau, “sampeyan ini kok mêsthi yang ênggak- ênggak saja…”

”Nda” adalah sapaan akrab antar teman. Beliau berdua memang sama-sama santrinya Mbah Kyai Kholil Harun rahimahullah di Kasingan, Rembang.

Orang-orang —yang sejak lama menunggu— berebut menciumi tangan Mbah Hamid dengan riang-gembira, dan mereka semua dipersilahkan masuk. Tak ada yang ingat untuk mengucapkan terimakasih atas “jasa” Mbah Bisri.

Di ruang tamu, Mbah Bisri pun menyampaikan hajatnya.

“Begini, Nda”, katanya, “sampeyan ‘kan ngerti, aku ini muballigh…”

“Hm…”

“Lha… aku ini belum punya mobil”, Mbah Bisri melanjutkan, “kalau terus-terusan kesana-kemari naik bis umum ‘kan bisa jatuh wibawaku…!”

Mbah Hamid manggut-manggut.

“Terus… maksudmu gimana?” beliau bertanya.

“Yaah… sampeyan yang dekat dengan Pêngéran, mbok sampeyan mintakan mobil buat aku!”

Mbah Hamid tersenyum.

“Ya sudah… ayo…”, beliau mengajak semua orang, “’alaa niyyati Kyai Bisri… al faatihah!” Kemudian menadahkan tangan membacakan doa, diamini yang lainnya.

Begitu doa selesai dibaca, Mbah Bisri langsung menyerobot,

“Mereknya apa, Nda?”

_______________________________

Catatan tambahan:

Kedekatan Waliyullah dgn Allah; Doa mudah Dikabulkan (Cerita Romo Kyai Hamid Pasuruan dengan Kyai Bashori Alwi Singosari)

Salah satu faktor yang menjadikan doa kita mustajab dan mudah dikabulkan oleh Allah adalah karena faktor kedekatan seorang hamba kepada penciptanya. Kedekatan waliyullah kepada sang Khaliq ini memang tak perlu diragukan lagi, sebab seorang hamba disebut waliyullah karena dia telah menjadi kekasihnya. Sehingga, karena kecintaan Allah pada hambanya tersebut menjadikan hampir setiap doanya dapat terkabulkan. Begitu juga dengan Kyai Hamid yang tingkat wilayahnya (kewalian) menurut Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) sudah muttafaq ‘alaih (tak perlu diragukan lagi).

Untuk menggambarkan hal tersebut, berikut ini ada satu cerita tentang betapa mustajabnya do’a seorang Kyai Hamid.

Wa ruwiya ‘an (diriwayatkan) Kyai Bashori Alwi Singosari (pengasuh Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ), bahwa suatu saat beliau ingin sekali bertemu dengan Kyai Hamid. Pada waktu itu, seorang Bashori Alwi hanyalah seorang ustadz kecil yang tengah merintis dakwah dan pengajaran ilmu-ilmu al-Qur’an yg didapat dari guru-gurunya. Dengan berbekal perjuangan jihad dan juhudnya tersebut, Kyai Bashori pun akhirnya mampu membeli sepetak tanah seluas kurang lebih 300 m2, di tepi jalan raya Singosari – Malang, dimana beliau menginginkan agar tanah itu bisa dikembangkan untuk pondok pesantren.

Untuk tujuan itulah akhirnya beliau sangat ingin untuk sowan kepada Kyai Hamid. Maka berangkatlah beliau ke ndalem (rumah) Kyai Hamid yang berada di komplek pelataran pondok pesantren Salafiyah Pasuruan.

Seperti diceritakan oleh para santrinya, Kyai Hamid adalah orang yang amat susah ditemui orang umum. Tidak lain demi menghindari ‘syuhroh’ (kemasyhuran) karena sifat tawadllu’ beliau. Seorang tamu pun kadang harus nunggu berjam-jam untuk menemui beliau hingga mendapat panggilan ataupun dipersilahkan masuk oleh Kyai Hamid.

Tapi hal ini tidak berlaku bagi ustadz Bashori Alwi, dimana begitu sampai di pintu gerbang halaman pondok, Kyai Hamid pun langsung menyambutnya dan memanggilnya dari kejauhan. Bahkan Kyai Hamid pun menyambutnya sampai turun ke halaman.

“Syaikh Bashori Alwi.. Syaikh Bashori Alwi.. al-hamdulillah..” ujar Kyai Hamid memanggil beliau.

Mendengan ucapan Kyai Hamid itupun Kyai Bashori yang masih menjadi ustadz itu terperangah dan haru mendengarnya.

“Lawong aku iki isik ustadz cilik-cilikan kok karo Kyai Hamid dipanggil “syekh”..?!” (Saya masih jadi ustadz kecil-kecilan kok dipanggil Syekh oleh Kyai Hamid), kata Kyai Bashori dalam hati.

Akhirnya, tanpa panjang kata Kyai Bashori pun bersalaman dengan Kyai Hamid di depan ndalem beliau (dibawah pohon mangga yang sekarang masih menjadi saksi hidup). Anehnya, belum sempat duduk dan bercerita panjang lebar tentang maksud dan tujuannya, kyai Hamid pun langsung meminta ustadz Bashori untuk mengamini doanya. Tanpa berpikir panjang, beliau pun langsung mengangkat tangan untuk mengamini do’a Kyai Hamid.

Tidak jelas benar apa yang diucapkan Kyai Hamid dalam doa tersebut tapi yang jelas, Kyai Bashori mendengar doa Kyai Hamid itu berbunyi:

“Bil Wus’I, wa an-naf’I, wa al-jamali, wa al-kamal” (semoga mendapatkan keluasan, kemanfaatan, keindahan, dan kesempurnaan)

Atas doa Kyai Hamid itulah, Kyai Bashori benar-benar membuktikan betapa mustajabnya doa seorang waliyullah seperti Kyai Hamid, karena kedekatannya kepada Allah.

“Alhamdulillah, saya dipanggil Syekh oleh Kyai Hamid ternyata adalah doa. Sehingga saya sekarang punya santri banyak berkat doa dari Kyai Hamid” ujar Kyai Bashori.

Kyai Bashori juga membuktikan doa yang diucapkan Kyai Hamid terbukti semua. Dengan menerangkan maksud doa Kyai Hamid tadi, Kyai Bashori pun menuturkan:

“Bil wus’I (semoga diberi kelapangan), ternyata dari dari 300 M2 tanah yang saya miliki sekarang bisa berkembang menjadi berhektar-hektar. Bagaimana tidak, wong sekarang sudah sampai 6 lantai. Kalau dihitung kan banyak luasnya”

“Bi an-naf’I (semoga diberi kemanfaatan), ternyata alhamdulillah, semua ilmu yg saya punya bisa manfaat ke semua santri saya. Bahkan banyak diantara mereka telah menjadi Kyai, ustadz, guru dan tokoh-tokoh masyarakta”.

“Bi al-jamal (semoga mendapat keindahan), ternyata keindahan manusia itu dilihat dari ilmunya. Dan saya benar-benar membuktikannya sekarang dengan bisa mengajar kemana-mana, dan masih dibutuhkan orang-orang untuk mengajar. Termasuk pondok saya juga bisa berdiri megah dan indah di tepi jalan Singosari Malang”

“wa al-kamal (semoga mendapat kesempurnaan), dan semua yang saya rasakan sekarang inilah kesempurnaan nikmat yang diberikan Allah kepada saya, berkat doa Kyai Hamid” tutur Kyai Bashori menutup cerita.

KH. Abdul Hamid dan KH. Moh. Said

Pagi itu hampir beranjak siang, al-Arif Billah KH. Abdul Hamid Abdullah Umar Pasuruan, sdh berada di depan ndalem (kediaman) KH. Mohammad Said, pengasuh pondok PPAI Ketapang Kepanjen Malang, seraya mengucapkan "Assalamualaikum ...". Sampai 3 kali beliau mengucap salam, tapi tak ada jawaban.

Tak lama kemudian, mucul seorang santri datang dari bilik yg tak jauh dari ndalem Romo Kyai Said mendatangi Romo Kyai Hamid yg berada di serambi ndalem.

"Romo Kyai Said wonten?" Tanya Kyai Hamid

"Romo Kyai Said kadose tindakan kolowau kaleh bunyai. Ngapunten, saking pundi?" Tanya santri tadi

"Kulo Abdul Hamid saking Pasuruan .."

Mendengar jawaban itu santri tadi langsung bingung tak tahu harus berbuat apa karena tahu yg dihadapannya bukan orang biasa, tetapi Kyai panutan banyak org. Melihat hal itu Kyai Hamid pun langsung berkata kpd santri tadi;

"Menawi ngaten kulo tak ngrantosi Romo Kyai Said ten masjid mawon mpun nak geh .."

Akhirnya Kyai Hamid pun berjalan menuju masjid, sholat dua roka'at dan kemudian tidur-tiduran di depan mihrob masjid yg tak jauh dari ndalem itu. Sedangkan santri tadi sambil bingung kembali ke bilik memberi tahu teman-temannya bahwa tamu tadi adalah Kyai Hamid dari Pasuruan yg alim dan waro' itu.

Selang hampir satu jam, melihat kondisi Romo Kyai Hamid yg sedang tidur-tiduran di depan mihrob masjid pondok menunggu kedatangan Romo Kyai Said yg tengah 'tindakan' (bepergian), akhirnya santri tadi berinisiatif utk mencari keluarga atau abdi ndalem yg ada agar bisa membukakan pintu ndalem Kyai Said agar Kyai Hamid bisa menunggu di ndalem saja.

Maka tdk lama kemudian, keluarlah Gus Kholidul Azhar, putera angkat Romo Kyai Said, dari dalam ndalem sambil kelihatan layu nampak habis bangun tidur. Maka tanpa basa-basi santri tadi langsung berkata kepada Gus Kholid.

"Gus, wonten Yai Hamid Pasuruan bade sowan dateng Romo Yai .. (KH. Moh. Said)"

"Iyo wis mari ketemu kok .." jawab Gus Kholid

"Lho, kepanggih pripun tho gus .. Lha wong Yai Hamid sak meniko tasik nenggo Romo Yai Said kundur saking tindakan ten masjid ngantos sare wonten ngajenge mihrob .."

"Lho, sopo sing ngomong Abah (Yai Said) tindak? Wong iki maeng lho aku metu teko kamar (habis tidur) abah karo Yai Hamid isik temon-temonan ndek mbale (ruang tamu) omah .."

"Lho, saestu gus .. Romo Yai (Said) tasik tindakan, kulo ningali piambak wau mios ipun (keluarnya) .. Pramilo Yai Hamid nenggo Romo Yai kundur sakniki ten masjid .."

"Koen iki yokpo se, dikandani lek abah karo Yai Hamid isik temon-temonan ndek mbale kok gak percoyo?"

"Mosok nggeh gus .. Saestu tah? Wong nembe mawon kulo tasik ningali Yai Hamid wonten masjid, sare ten ngajenge mihrob. Lan kulo ningali Yai tindakan lan dereng kundur .."

"Koen iki, dikandani kok gak percoyo .."

Di tengah perdebatan antara santri tadi dgn Gus Kholid, tiba-tiba datang mobil Holden Romo Kyai Said datang dan berhenti di depan ndalem, seraya keluarlah dari dalam mobil tadi Romo Kyai Said dan Ibunyai.

Melihat pemandangan itu, gus Kholid dan santri tadi menjadi bingung ..

"Lho gus .. niku lho Romo Yai nembe kundur saking tindakan .." tukas santri tadi

"Lha terus, sing tak delok temon-temonan ndek mbale omah iki maeng sopo?" Sela Gus Kholid

"Lha geh duko gus .." jawab santri tadi

Di tengah kebingungan keduanya, maka Gus Kholid langsung menghampiri Romo Kyai Said yang baru keluar dari mobil, seraya berkata ..

"Abah, wonten .."

Belum selesai berkata, Kyai Said pun menjawab ..

"Yai Hamid? Wis .. wis .. Abah wis ketemu kok .." jawab Yai Said kpd gus Kholid sambil berjalan menuju dalam ndalem.

Maka makin bingunglah gus Kholid dan santri tadi mendengar jawaban Romo Kyai Said tersebut. Dan untuk menghilangkan kebingungan tadi, santri tadi langsung berlari ke masjid untuk memastikan Kyai Hamid masih di depan mihrob. Tapi justru kebingungannya semakin menjadi ketika dia menemukan Romo Kyai Hamid sdh tidak ada di dalam masjid, dan dicari kemana-mana tidak ketemu.

Maka disampaikanlah cerita tadi ke teman-teman santri di pondok oleh santri tadi.

"Lha terus, sing temon-temonan ndek mbale ndalem maeng sopo, kang?" Tanya santri tadi

"Kang, ojo kathek bingung karo wali-waline gusti Allah. Sebab wali iku lelakone ora kenek diakal, tapi kenek didelok lan dipercoyoi .." jawab santri yg lain.

(Sumber; KH. Achmad Muchtar Gz, santri Romo KH. Moh. Said)

Mendoakan orang Madura

“Dulu, waktu Mbah Hamid, ada orang Madura datang ke rumah, membawa buntelan. Terus ditanya: Apa itu?”

“Biasa” jawabnya. “Kembang”.

“Digawe apa?” Tanya Kiai Hamid.

“Sampean dongani, agar kapalku dapat banyak ikan dan besar.”

“Oh, Ditaruh kapal. Kalau kembange ditaruh kapal, kembange jadi amis atau ikannya yang wangi. Taruh saja di rumah, di tempat tidurmu biar tempat tidurmu menjadi wangi,” saran Kiai Hamid dengan lemah lembut. “Kon deleh di sajadahmu biar kalau sembahyang menghirup bau wangi”.

“Baiklah kalau begitu, Kiai.” 

Beberapa hari berikutnya sang nelayan datang dengan ikan besar.

“Saya mau memberikan ikan-ikan ini kepada Kiai. Karena doa kiai saya mendapatkan ikan yang besar dan banyak.”

“Lho aku belum doa je..” jawab Kiai Hamid sambil tersenyum. Inilah persembunyian dan ketawadhuan Kiai Hamid. Sebenarnya, tentu saja sudah didoakan.

Inilah kekuatan dan kelemahan internal. Inilah internal strength yang aku maksudkan. “aku belum berdoa loh”. Wah, Inilah persembunyian Kiai Hamid. Luar biasa. Kalau tanpa internal strengthness di dalam hati, siapapun akan gampang terseret tsunami dunia yang besar. 

Karena kualitas-kualitas seperti inilah, maka beliau-beliau para ulama itu menjadi spreader of love cahaya Muhammad di segala penjuru. Maka di mana-mana saya mengajak muslim untuk haul, kembali menghidupkan pertalian batin mereka dengan Rasulullah. 

Shodaqoh jangan separuh-separuh Keteladanan Kyai Hamid

Shodaqoh merupakan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh ulama-ulama dulu. Meskipun dengan mengorbankan dirinya sendiri (itsar). Mereka hampir tiap hari bersodaqoh karena mereka yakin terhadap pernyataan nabi bahwa di samping akan menjadi amalan sholeh yang kelak membantunya di alam kubur, barang yang dipakai bersedekah pada hakikatnya tidak akan berkurang, tetapi akan terus bertambah dan bertambah.

Amalan shodaqoh bagi KH. Ahmad Qusyairi misalnya, beliau jadikan sebagai bentuk istiqomahnya hingga ketika beliau tidak punya uang untuk dibuat bersedekah, beliau hutang. Begitu juga seperti apa yang dilakukan oleh romo Kyai Hamid.

Semakin tambah umur beliau, semakin nampak juga kewaliannya. seperti yang telah diceritakan oleh salah seorang santri yang selalu mendampingi beliau, dia adalah Ahmadi. ”setiap hari Jum’at, beliau selalu mengasihku uang untuk dimasukkan ke kotak amal”, kisah Ahmadi. tapi suatu hari ada yang berbeda dalam pemberian uang tersebut. Entah beliau sedang menguji iman Ahmadi atau tidak. Yang jelas, hari itu dia diberi uang lebih banyak dari hari Jum’at sebelumnya. kebetulan, waktu itu Ahmadi tidak berangkat sama beliau. maka dia pun berangkat sendirian. Di tengah perjalan, hati Ahmadi menggerutu. ”kok tumben uangnya banyak sekali. aku masukkan separuhnya saja dulu, seperuh lagi untuk Jum’at besok”.

Tak lama menggerutu, tiba-tiba datang seorang santri mengejarnya. dengan teregesah-gesah santri tadi berkata, ”Di, Ahmadi. dipanggil Kyai Hamid dirumahnya”. karena mendengar dipanggil Romo Yai, tanpa pikir panjang dia pun segera balik menghadap beliau. Ketika sampai di sana, Ahmadi dikagetkan dengan ucapan beliau. ”Di, separoh duite aku dewe seng ngelebokno (Di, seperuh uangnya aku sendiri yang memasukkan)”. Spontan wajah Ahmadi memerah, dia sangat malu, mulutnya tidak bisa berucap sedikitpun. ”kemudian separuh uangnya aku kasihkan kepada beliau tanpa melihat beliau sedikitpun”. kenang Ahmadi sambil tertawa mengakhiri kisahnya. (ren)

sumber:http://salafiyah.org/beranda/51-kyai-hamid/304-shodaqoh-jangan-separuh-separuh.html

Belajar Keteladanan kepada Mbah Ali dan Mbah Hamid Pasuruan

Masih saja lamat-lamat membayang bila memandang wajah ini, saat masih sangat belia dulu, ayah (KH. Hasbullah; red.)memanggil saya utk diajak ke kamar tamu depan rumah mbah kakung, sebutan keluarga untuk kakek KH. Ali Maksum rahimahullah wa nafa’ana bi’ulumih. Ingatan masa lampau –entah kenapa, sering berujud gambaran yang blur dan agak ‘berkabut’. Termasuk saat itu.

Begitu masuk ke kamar tamu, ayah mengenalkan dan meminta doa restu untuk saya. Kontras dengan di dalam ruangan yang temaram, di depan saya adalah sesosok besar yang seperti diliputi cahaya, bersurban, wajah yang bersenyum. Masih saja saya ingat setelah itu tangan beliau memegang dan mengusap-usap kepala saya. Saya tak berkata apa-apa, hanya yang saya ingat di depan Mbah Hamid Pasuruan quddisasirruh, kyaigung waliyyullah ini (tentu setelah beberapa tahun setelah itu baru saya tahu), saat itu berlangsung suasana tenang.

Bila rawuh di Krapyak, sering terutama saat peringatan haul Mbah Munawwir akhir dekade 70-an dan awal 80-an, di luar kamar tamu selalu penuh dengan orang. Ada yang menunggu untuk sekedar dapat memandang wajah beliau atau untuk dapat bersalaman atau bahkan dapat matur untuk memohon doa. Beliau biasa rawuh, seingat saya, sore menjelang puncak acara Haul, untuk kemudian sudah kondur isya’ awal menjelang mulai pengajian Haul. Selama kerawuhan beliau, sekitar kamar tamu selalu “dikepung” orang-orang hingga beliau masuk ke mobil sedan untuk kondur pulang . Rubungan-rubungan seperti itu selalu berlangsung dengan dihinggapi suasana tenang dan hidmat. Jauh dari hiruk pikuk.

Peristiwa lampau yang terkenang,–entah kenapa, hampir selalu ikut menjadi konsiderasi dalam membuat gambaran-gambaran. Termasuk, dalam suatu majlis pengajian pasan terakhir beliau, ‘mbah Kakung, ketika menjelaskan hadis ra’sul hikmah, teringat dengan dialog beliau dengan Kyai Hamid :

Mbah Ali : Bagaimana sih kau bisa mencapai hal yang seperti ini?

Mbah Hamid : Dulu itu aku selalu merenung-renungkan sabda Nabi dalam hadits : رأس الحكمة مخافة الله. (Maknanya : Inti puncak hikmah adalah khasyah kepada Allah.)

Seperti ada yang mengganjal, mungkin Anda agak tidak nyaman dengan pertanyaan Mbah Ali dengan cara seperti itu. Tidak perlulah dialog ditulis dengan eufimisasi, atau penghalusan ekspresi dialog beliau berdua. Memang seperti itulah keadaannya. Mbah kakung dalam berbagai pengajian saat menyinggung konsep perwalian sangat kental dengan ajaran Imam Ghozali (Gazalian sufism) dan mengidolakan sosok seperti mbah Hamid, sebagai wali salik. Tapi apa dengan dengan cara seperti itu? Begitulah. Secara kebetulan, beliau berdua masih kerabat, sama-sama teman semenjak kecil, berguru dengan dua guru besar yang sama yakni Mbah Ma’shum Lasem (ayahanda beliau sendiri) dan Mbah Dimyati Abdullah (adik dan murid Syeikh Mahfudz) Termas. Akhirnya sama-sama ngiyai dan berbesanan. Watak, gaya, lingkungan daerah dan jenis bidang garapan yang berbeda tidak mengurangi sinergitas dan koneksitas yang kuat dan saling menguatkan.

Mbah Hamid bersuara lirih, tidak diketahui suka berpidato, tinggal di Pasuruan, daerah tapal kuda bagian Timur Jawa, dan tidak dikenal dalam struktur NU. Tapi beliau min abdaali Jawah pada zamannya. Di sisi lain, Mbah Ali dikenal sebagai kiyai ‘srengat’, dan cenderung berpembawaan rasional, bergaya penuh gengsi khas superioritas fuqaha dalam urusan otoritas ilmu dan ajaran Syari’ah di atas siapapun. Apalagi beliau saat itu menjadi lurahe kiyai-kiyai dan menjadi pengurus syuriah NU. Namun, yang tidak banyak diketahui publik umum, urusan-urusan dan keputusan penting NU dengan penuh hormat oleh beliau dan para kiyai di‘inapkan’ terlebih dulu di Pasuruan, kepada Mbah Hamid. Diam-diam, tenang, dan jauh dari publisitas. Adakah hal yang seperti itu berlangsung sekarang? Saya yakin (untuk berharap) seperti itu adanya.

Rahimahumullah wa askanahum fasiha jannatih wanafa’ana bi ‘ulumihim wa a’aada ‘alaina min asraarihim wa barakaatihim, wa ilaa hadlratin Nabiy al Faatihah.

*) Pengasuh pada Pondok Pesantren Krapyak dan Pengajar STAIN Purwokerto

Sudah wafat masih membangun pesantren

Kalau membaca judul di atas, kayaknya yang bisa mengalaminya pasti hanya orang tertentu dan mempunyai keistimewahan tersendiri. Ya, bisa dipastikan orang tersebut adalah hamba Allah yang mendapatkan nilai lebih dari-Nya.

Mungkin anda sekalian pernah mendengar cerita tentang kyai Abdul Hamid Pasuruan? Kyai yang memiliki akhlaq sangat mulia dan sopan dalam bermasyarakat ini mulai beliau hidup hinga wafat sekalipun terus menjdai panutan dan figur bagi penduduk tanah Jawa khususnya masyarkat Pasuruan.

 

Selain itu, kita juga mungkin pernah mendengar atau membaca tentang sejumlah karomah yang dimiliki kyai kelahiran kota Lasem Jawa-Tengah ini. Sedangkan karomah itu sendiri bisa diketahui sebagai satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang tertentu, yang menjadi kekasih-Nya, dan yang selalu takut kepada-Nya dimanapun ia berada. Karomah tersebut biasanya keluar dengan sendirinya tanpa diduga alias langsung dari Allah SWT. Nah, kalau kita bahas tentang karomah pastinya kurang lengkap kalau hanya sebatas keterangan saja. Kali ini penulis mencoba kembali mengungkap salah satu keistimewahan atau karomah yang dimiliki kyai Abdul Hamid.

Alkisah dahulu di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Klaten, di dalamnya terdapat suatu kampung, yang warganya pernah mengalami kejadian aneh yang sempat membuat semua warga di dalamnya merasakan rasa ketidakpercayaan atas kejadian yang dialaminya. Berikut ceritanya,

 

Dalam satu komunitas masyarakat, baik di daerah, di kampung, pedesaan, kecamatan, kota, maupun provinsi, pasti mempunyai orang yang di percaya oleh penduduknya sebagai orang yang mumpungi atau pandai akan ilmu agama atau dengan kata lain orang tersebut biasa kita panggil sebagai tokoh masyarakat. Nah, pada satu ketika, tokoh masyarakat di daerah Klaten yang bernama Fulan (bukan nama asli) tersebut kedatangan tamu dari luar kota, tamu tersebut mengaku bernama Kyai Hamid. Setelah berbincang-bincang dan mengutarakan maksud kedatangan si tamu ke daerah tersebut, kyai Hamid langsung menjalankan misinya sebagai seorang Da’i, yakni berda’wah.

 

Misi kyai Hamid sebagai seorang muballig kian hari berjalan dengan lancar dan menunjukkan perkembangan. Dalam sederetan agenda da’wahnya beliau memulainya dengan mengadakan pengajian rutinan yang diikuti oleh warga sekitar, yang bertempat di Masjid di daerah tersebut. Semakin hari pengajian kyai Hamid mampu menarik warga setempat untuk selalu mendatangi pengajian yang dibinanya. Setiap minggunya bisa dibilang jumlah jama’ah yang hadir dalam pengajian tersebut terus bertambah, hingga melebihi kapasitas ruangan dalam Masjid tersebut. Hingga beberapa bulan kemudian, jumlah yang mengikuti pengajian kyai Hamid meluber sampai ke pelataran Masjid. Melihat jama’ah pengajiannya begitu banyak, dan juga mendapat respon baik dari warga setempat, akhirnya muncullah keinginan kyai Hamid untuk membangun sebuah pesantren di desa itu. Beliau mempunyai anggapan, mungkin sebagian warga suatu saat akan mengirim anak-anak mereka untuk mengaji dan menimba ilmu di pesantren orang yang belum lama mereka kenal dan menetap di sana.

 

Alhasil pesantren yang di bangun kyai Hamid perlahan banyak di datangi anak-anak warga setempat untuk nyantri. Dengan di bantu tokoh masyarakat yang menjadi orang pertama yang dikenal kyai Hamid sekaligus yang banyak membantu da’wah beliau di daerah tersebut. Sesuai dengan amanat yang diberikan kyai Hamid kepadanya, dia mengkelola pesantren itu dengan baik. Melihat keadaan pesantren yang semakin hari semakin membaik, pesantren pun pada akhirnya dipasrahkan kepada tokoh masyarakat tersebut. Beliau juga berpesan agar selalu menjaga dan merawat pesantren yang didirikannya itu dengan baik.

 

Di tengah-tengah semakin banyaknya santru yang mengaji di pesantren tersebut, tanpa bilang sepatah kata pun dan hendak ke mana, kyai Hamid pergi begitu saja tanpa memberi kejelasan kepada tokoh masyarakat tersebut dan warga setempat.

 

Dua tahun silam telah berlalu, kepergian kyai Hamid pun dari daerah tersebut menimbulkan tanda tanya dan mendorong rasa penasaran tokoh masyarakat untuk mengetahui keberadaan orang yang telah banyak berjasa di daerahnya tersebut. Dia ingat, sebelum pergi meninggalkan kampungnya dua tahun lalu, kyai Hamid pernah menuliskan sebuah alamat kepadanya.

 

Setelah mencari kertas yang berisikan alamat yang ditulis kyai Hamid, dia baca dan menganalisa di daerah mana alamat tersebut berada. Dan yang tertulis di dalamnya adalah alamat PonPes Salafiyah Pasuruan. Dia pun tanpa berfikir panjang berencana untuk mendatangi pondok tersebut.

 

Ke esokan harinya ia jadi berangkat ke Pasuruan. Setelah sampai di Pasuruan, ia pun kesana-kemari dan muter-muter mencari alamat yang ada disobekan kertas itu, hinga pada akhirnya alamat yang di maksud ketemu. Sesampainya di dalam pondok, dia menanyakan ke salah satu santri tentang kyai Hamid. Santri yang ditanyai pun sempat kaget dan heran, namun, kebetulan dia tahu bahwa salah satu kyainya itu adalah seorang wali besar, jadi, kalau kalau saat ini ada orang yang mencari kyai Hamid, mungkin orang tersebut pernah bertemu di daerah lain. Karena orang tadi bertanya rumah kyai Hamid, lantas dia menyarankan untuk sowan ke kyai Idris, yang saat itu menjadi Nadhir atau pimpinan pondok.

Sesampainya di ndalem kyai Idris, dia langsung bercerita panjang lebar semua yang terjadi dua tahun silam di desanya. Kyai Idris yang dari tadi hanya menjadi pendengar tidak percaya dan juga heran, “ha . . . , apa benar yang diceritakan bapak itu?” kata kyai Idris kepada Fulan tadi. “Iya betul, sungguh saya bertemu dengan kyai Hamid, lha wong saya juga sering salaman dengan beliau. Beliau juga sempat mendirikan sebuah pesantren di sana, tapi ditinggal begitu saja selama dua tahun, makanya itu saya kemari untuk menayakan kepada kyai Hamid, mengapa pondoknya di san kok di tinggal?” jelas si fulan. “Saya tadi kaget dan tidak percaya dengan cerita sampean, karena kyai Hamid sudah lama meninggal.” Ungkap kyai Idris. “Memang anda ini siapa? kok berani bilang kalau kyai Hamid sudah wafat?” tanya si fulan sambil menunjukkan rasa tidak terima terhadap apa yangtelah dikatakan kyai Idris kepadanya. “Saya putra kyai Hamid” jawab kyai Idris santai. Kini gantian si fulan tadi yang tidak percaya dan heran. “Kalau anda masih tidak percaya kyai Hamid itu sudah meninggal, mari ikut saya, saya akan tunjukkan makam beliau kepada sampean” Kata kyai Idris yang berusaha meyakinkan si fulan. Tanpa berpikir panjang, si fulan pun langsung mengiyakan ajakan beliau.

 

Berangkatlah keduanya menuju makam kyai Hamid, yang bertempat di komplek pemakaman di belakang Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan. “itu makam Abah saya” kata kyai Idris sambil menunjukkan makam kyai Hamid. Si fulan pun tidak percaya dan heran. Baru setelah menghampiri makam yang di maksud dan membaca sebuah nama yang tertera di batu nisan makam kyai Hamid, dia akhirnya mempercayainya. Tak lama kemudian dia menangis sejadi-jadinya, mulai jam delapan pagi sampai jam lima sore di depan makam kyai Hamid. Setelah puas menangis di depan makam kyai Hamid dia pun pulang dengan kabar yang sulit untuk dipercaya orang-orang di kampungnya, yakni desa Klaten.

 

Sesampainya di kampung halamannya, keesokan harinya dia mengumpulkan warga yang dulu sering mengikuti pengajian kyai Hamid untuk menyampaikan kabar yang dia bawa dari Pasuruan. Warga pun datang berbondong-bondong datang ke masjid untuk mendengarkan kabar keberadaan kyai Hamid yang telah menjadi tauladan bagi mereka. Setelah semuanya berkumpul, ia pun menjelaskan kanytaan yang dialaminya di Pasuruan. “Anda semua boleh percaya, boleh tidak. Yang penting berita yang saya bawa ini benar adanya.” Si tokoh mengawali pembicaraan kepada para warga. Lalu dia melanjutkan, “Sesungguhnya kyai yang selama ini menjadi Imam pengajian kita, yang sempat anda semua dan saya salami dan mencium tangannya, yang telah mendirikan pesantren di desa ini telah lama meninggal. Artinya, selama berada di sini kyai Hamid tersebut sebenarnya sudah lama wafat.” Mendengarkan berita darinya, warga pun langsung geger, dan banyak yang tidak percaya. Lalu untuk menjawab teka-teki yang sedang berkecamuk di tengah warga tesebut, dia menawarkan diri untuk mengantarkan mereka semua ke makam kyai Hamid. “Baiklah! kalau anda semua masih tidak percaya, silakan kalian menyewa Bus untuk pergi berombongan ke makam kyai Hamid di Pasuruan, dan saya yang akan menjadi pemimpin rombongan sekaligus penunjuk arah. bagaimana?” tawarnya. Semua warganya pun langsung menyetujui tawaran tersebut. Jadilah rencana mereka untuk pergi ke Pasuruan.

 

Setelah melewati perjalanan yang begitu panjang, akhirnya rombongan yang ingin mencari tahu kebenaran berita yang di sampaikan tokoh masyarakat mereka itu, sampailah mereka di depan alun-alun Pasuruan. Tak lama kemudian mereka langsung di giring oleh ketua rombongan untuk menuju makam kyai Hamid. Setelah sampai di areal pemakamam tersebut, si fulan tadi langsung berjalanan menuju areal pemakaman yang berada di dalam, dan langsung menunjukkan makam kyai Hamid, “itulah makam kyai Hamid” katanya sambil menyuruh warganya melihat lebih dekat lagi dan membaca nama yang tertera pada batu nisan tersebut. Seketika itu semua rombongan yang diikuti seluruh warga kampung di Klaten itu menangis sejadi-jadinya. Tangis mereka menandakan rasa sedih yang begitu mendalam, sekaligus merasa heran karena sang kyai yang selama ini memimpin pengajian mereka, yang sering mereka cium tangannya, ternyata sudah wafat beberapa tahun lalu.

 

Subhanallah . . .kejadian di atas, kalau kita pikirkan dengan logika pasti tidak akan sampai. Tapi, yang mengalami adalah seorang wali yakni kekasih Allah. Dan kisah di atas menunjukkan atas kekuasaan yang dimiliki Allah SWT. Kita harus percaya semua itu, karena yang mengalami adalah seorang wali, orang yang taat dan selalu dekat dengan Allah. Jadi, kalau dia bisa terbang atau bisa mengalami hal di atas, itu semua keistimewaan yang diperolehnya atas ketaatannya kepada Allah, dan kejadian ajaib itulah yang kita sebut sebagai karomah. Baru, kalau ada orang yang tidak pernah sholat, males shodaqoh, dan hal lain yang menyimpang dari agama, kok dia bisa terbang atau yang lain yang sifatnya nyeleneh, kita bisa menengarai, itu pasti pemberiaan dari syetan atau ilmu sihir bukan sebuah karomah. 

 

Cerita BerSumber : Wali santri Salafiyah Pasuruan Jatim.

Inilah beberapa dari banyak karomah Kyai Hamid. Kyai Hamid adalah realita nyata tentang munculnya seorang hamba Allah yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah yang mumpuni dan kekuatan musyahadah atas nur tajalli dengan maqam wilayah yang amat tinggi. Dan kekuatan tersebut tentu tidak mungkin beliau dapatkan dengan serta merta tanpa melalui tahapan-tahapan amaliyah dan maqamat tarekat yang beliau jalani dan beliau istiqamahkan. Setidaknya -dari sirah Kyai Hamid yang dapat kita baca-, kualitas amaliyah dan maqamat itulah yang selalu beliau pancarkan dalam setiap gerak langkah beliau. Kewara’an, kezuhudan, ketawadlu’an, kesabaran, keistiqamahan, dan riyadlah.

Dan yang jelas, kekuatan ma’rifat dan wilayah tersebut hingga saat ini telah menjadi hamparan hikmah yang maha luas dan menebarkan harum pada sanubari tiap orang yang mengenalnya. Hingga siapapun tak akan pernah kehabisan untuk mengais suri tauladan atas keagungan akhlaknya dan menempa keberkahan yang telah beliau sebarkan dalam setiap relung hati dan palung hidup kita.

Sebelum menjadi kyai, semasa beliau mondok di Termas, Abdul Hamid (nama asli Kyai Hamid) banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, ia pura-pura mantheg (mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa dia sedang berkhalwat. Amalan wirid juga sering beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang untuk mencari jangkrik, Kyai Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak melihatnya.

Lambat laun, aktifitas suluk Kyai Hamid dengan dzikir sirri (qalbi) dan membaca awrad semakin intens dilakukan di kamar Pondok. Bahkan diceritakan, semakin hari, Kyai Hamid semakin jarang keluar dari kamar untuk melakukan dzikir dan wirid tarekat tersebut. Sampai-sampai, kawan-kawannya menggodanya dengan mengunci pintu kamar dari luar.

Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.

Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir.

Thariqah Mbah Kyai Hamid

Untuk menjawab, tarekat apakah yang diikuti Kyai Hamid? Tentu bukanlah persoalan mudah untuk menjawab. Kesulitan ini muncul karena memang tidak ada data yang valid yang mengarah pada jawaban tersebut. Dalam berbagai riwayat yang didapat dari ahli keluarga, kerabat, para santri dan sumber-sumber yang lain pun hanya bersifat spekulasi karena banyaknya ikhtilaf pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Kyai tidak menjadi punya tarekat, alias tidak menjadi pengikut tarekat manapun. Kedua Kyai Hamid bertarekat Alawiyah. Dan ketiga, Kyai Hamid bertarekat Syadziliyah.   

Syari’at, Tarekat dan Ma’rifat

Tarekat secara lughowi berasal dari Bahasa Arab Thoriqoh yang bearti jalan. Sebuah istilah dalam ilmu tasawuf sebagai salah satu tahapan dalam ajaran Islam yang harus dilalui seorang muslim setelah derajat syari’ah dan sebelum haqiqat. Ia merupakan salah satu jalan menuju Allah atau wushul (sampai) kepada Allah. 

Syekh Abu Bakr bin Muhammad al-Makki mengatakan, tarekat adalah mengambil yang paling hati-hati bagi diri dalam setiap amal perbuatan, seperti wara’, optimis kepada Allah (‘azimah) dan olah rohani (riyadlah). Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili mengatakan bahwa thariqat ini adalah kekuatan kesabaran, ketakwaan, kewara’an, keyakinan dan hidayah. Tujuan utamanya adalah wushul (sampai) pada derajat haqiqah. Yaitu wushulnya seorang salik (orang yang melakukan pengembaraan rohani) pada tingkatan ma’rifat billah dan musyahadah nur tajalli (menyaksikan Allah SWT) dalam hati-Nya. Sehingga terbuka segala hijab (halangan) antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Dengan demikian tarekat sebenarnya merupakan amaliyah yang dilakukan oleh seorang salik melaluimaqamat (tingkatan-tingkatan) tarekat, seperti wara’, qona’ah, ikhlas, syukur, sabar, zuhud, muroqobah, shidq, khusyu’, tawadlu’, yakin, hingga pada maqamat tertinggi, yaitu ridlo. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran tarekat ini adalah melakukan ketaatan, membersihkan hati, mengamalkan akhlak hati dan memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Tarekat dan Mursyid

Pada mulanya tarekat merupakan amaliyah yang menekankan pentingnya ketaatan pd Allah, membersihkan hati, mengamalkan akhlak (hati) dan memperbanyak dzikir terhadap Allah. Namun dalam kenyataanya dalam tradisi tasawuf, peran seorang guru (syekh) mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual (maqamat) ketika seorang salik mengamalkan ajaran tarekat. 

Kadang keberadaan dan urgensi seorang Mursyid dan wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf sebagai aktifitas individu dan personal. Mereka merasa mampu menembus jalan hati dan lautan rohani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara yang mereka yakini, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (Syari’at). Sehingga mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Namun, dalam kenyataannya pandangan seperti ini hanya bisa diterima secara teoritis belaka. Sebab dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan mereka hanya akan mendapat kegagalan. Bukti-bukti sejarah kegagalan spiritual tersebut telah dibuktikan oleh para salafuna sholih yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Sebut saja Ibnu Athaillah as-Sakandari, Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali yang pada pengembaraannya akhirnya mereka harus menyerah pada kehampaan spiritual. Hingga ending pengembaraan itu dapat mereka dapatkan ketika bertemu seorang guru Mursyid. Salafuna sholih tersebut akhirnya memberikan kesaksian, bahwa seseorang dengan kehebatan ilmu agamanya pun, tidak akan mampu menempuh jalan sufi (suluk), kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. 

Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu” yang hakikatnya lahir dari amaliah dan lahiriyah. Manakala hati dan pengembaraan rohani menuju ma’rifat billah merupakan lautan misteri yang penuh dengan rahasia dan bahkan tipudaya. 

Pada sisi lain dalam alam metafisika sufi, seorang salik yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, maka dia tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan jin. Sehingga jalan ma’rifat itu tidak bisa ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional (Syari’ah) saja, kecuali yang akan dia raih hanyalah Ilmul Yaqin belaka, bukan Haqqul Yaqin. Oleh sebab dapat dimengerti apabila kaum sufi mengatakan: “Barangsiapa (menempuh jalan Allah) tanpa mempunyai seorang guru (syekh), maka gurunya adalah syetan”.

Dengan urgensi seorang mursyid dalam tarekat ini maka tarekat bukan lagi menjadi satu tingkatan amaliyah dalam ajaran Islam yang harus dilalui seseorang, tetapi telah berkembang menjadi institusi yang menjadi pengikat antara seorang syekh mursyid dengan murid-muridnya dan dengan berbagai amalan, awrad dan dzikirnya. Amalan, awrad dan dzikir inilah yang membedakan antara tarekat satu dengan lainnya. Sebab inti dari tarekat adalah satu, yaitu wushul pada Allah atau sampai pada derajat haqiqat dan ma’rifat billah. 

Waliyullah, Mursyid dan Tarekat

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, 

maka kamu tak akan mendapatkan seorang wali yang dapat memberi petunjuk kepadanya”.

(Q.S. al-Kahfi; )

Wushul merupakan tujuan utama dalam maqamat, dan merupakan tingkatan tertinggi dalam tarekat. Berdasarkan ayat di atas, ia tidak akan dapat diperoleh tanpa kehadiran seorang waliyan mursyidan, yaitu syekh yang mempunyai kemampuan kamil dalam membimbing para muridnya. 

Para wali sendiri memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan dalam wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil yang mampu membimbing para salikin menjadi seorang hamba yang paripurna dengan kekuatan ma’rifat billah secara utuh. 

Siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dalam dan tajam mata hatinya, dan luas lautan rohaninya serta tidak berkubang dalam kemaksiatan. Suatu tingkatan paripurna yang hanya Allah saja yang berhak menentukan. Firman Allah: 

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Waliyullah adalah seseorang yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah tingkat excellent. Ia hanya bisa dicapai apabila seseorang mampu menembus berbagai hijab hati yang menghalanginya untuk musyahadah kepada Tuhannya dan sampai pada nur tajalli. Karena itulah, kehadiran seorang mursyid kamil mukammil, seorang waliyan mursyidan dan tarekat pegangan adalah mutlak bagi kelahiran seorang waliyullah, apapun hirarki yang dimilikinya. 

Seorang mursyid yang memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas, mempunyai pengetahuan yang benar, himmah yang luhur, perilaku ruhani yang diridhai serta mata hati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Tak lain dalam hal ini Kyai Hamid yang menurut Gus Mus, bukanlah wali tiban. “Wali Tiban” kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kyai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara ‘muttafaq ‘alaih’.

Tarekat dan Kyai Hamid

Untuk menjawab, tarekat apakah yang diikuti Kyai Hamid? Tentu bukanlah persoalan mudah untuk menjawab. Kesulitan ini muncul karena memang tidak ada data yang valid yang mengarah pada jawaban tersebut. Dalam berbagai riwayat yang didapat dari ahli keluarga, kerabat, para santri dan sumber-sumber yang lain pun hanya bersifat spekulasi karena banyaknya ikhtilaf pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Kyai tidak menjadi punya tarekat, alias tidak menjadi pengikut tarekat manapun. Data ini di dapat dari ahli keluarga dan kerabat beliau yang tidak pernah mendengar Kyai Hamid pernah“dawuh” atau mengakui tentang tarekat yang beliau anut. 

Namun asumsi ini tentu sulit diterima melihat maqam wilayah dan ketinggian karamah yang beliau punyai semasa hidupnya. Begitu pula dengan tingginya kualitas maqamat tarekat yang beliau jalani. Suatu tingkatan yang hanya dapat diperoleh apabila seseorang mampu melalui lautan hati dan hamparan sara’ir dengan amaliyah tarekat yang amat mumpuni sehingga beliau sampai pada derajat ma’rifat billah. Hingga, adalah mustahil apabila beliau mendapatkan semua itu tanpa kehadiran seorang guru mursyid tarekat, atau bahkan seorang waliyan mursyidan.

Sikap diam beliau yang tidak pernah mengatakan siapa guru mursyid dan apa tarekat beliau memang cukup beralasan jika dikembalikan kepada otoritas beliau sebagai seorang waliyullah. Sebab, otoritas sebagai seorang wali adalah bagian dari ketentuan Allah yang ditentukan dengan batasan-batasan tugas tertentu. Sehingga, adalah sebuah pantangan apabila beliau melakukan pengakuan dan penyebaran tarekat, karena itu bukan menjadi otoritasnya. Hanya seorang mursyid tarekat saja yang berhak menyandang wewenang itu. Dari sini pula dapat kita mengerti, mengapa kita juga tidak pernah mendapat data valid, apa tarekat hadratus syekh Kyai Shiddiq, Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah, hingga Mbah Kyai Kholil Bangkalan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa tarekat Kyai Hamid adalah tarekat Alawiyah. Indikasi ini diperoleh dari pengamatan para santri beliau yang menyandarkan praktik amaliyah tarekat dan zikir beliau yang banyak mengambil dari tarekat ini. Seperti diketahui, tarekat Alawiyah yang didirikan oleh Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M ini tidak menekankan segi-segi riyadlah atau olah rohani dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. 

Keunikan dari tarekat ini adalah tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah dari Syaikh mursyid jika ingin mengamalkan tarekat. Tarekat ini merupakan jalan tengah antara tarekat Syadziliyah yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati, dan tarekat Ghazaliyah yang menekankan riyadlah al-‘abdan bil a’mal atau olah fisik. Ada dua wirid utama yang diajarkan tarekat ini, yakni al-wird al-lathif dan ratib al-haddad. Dua wirid yang diajarkan oleh Kyai Hamid dan diwariskan hingga sekarang kepada para santri dan keluarganya. 

Indikasi lain yang menguatkan adalah karena Kyai Hamid semenjak tinggal di Pasuruan sudah berguru kepada Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaf. Salah seorang ulama besar dan waliyullah di kota Pasuruan yang bertarekat Alawiyah. Sebab seperti diketahui, tarekat ini dinamakan alawy –selain disandarkan pada pendirinya, Imam Alawi al-Muhajir,- adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai sadat yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan adalah dari para Sayyid. Dan mereka jugalah yang banyak menyebarkan tarekat ini di Indonesia sebagaimana dilakukan oleh Habib Ja’far as-Seggaff. 

Tidak diketahui pasti apakah Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaff adalah seorang ulama sekaligus guru (Syaikh) mursyid atau bukan. Tapi melihat karakter tarekat Alawiyah yang mudah dipraktikkan oleh siapapun dan awrad dan dzikirnya yang boleh dilakukan siapapun tanpa bimbingan seorang mursyid dan bai’at talqin, maka indikasi bahwa Kyai Hamid bertarekat Alawiyah dapat dibenarkan. Sebab selain Kyai Hamid berasal dari keluarga sadat, semenjak berguru kepada Habib Ja’far bin Syaikhon, Kyai Hamid mulai mengistiqamahkan diri dengan para santri serta keluarganya untuk mengamalkan  al-wird al-lathif dan ratib al-Haddad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa tarekat Kyai Hamid adalah Syadziliyah. Sebab menurut sebuah sumber, sebenarnya beliau ketika mondok ke Termas selain belajar ilmu-ilmu agama dibawah asuhan KH. Dimyathi beliau juga sudah mengikat bai’at kepada Syekh Abdurrozaq bin Abdullah at-Termasi. Seorang wali mursyid tarekat Syadziliyah terkemuka pada masa itu di Termas. Mengapa beliau tidak menetap di pondok Syekh Abdurrozaq? Tentu karena pondok tarekat bukanlah pondok berasrama seperti pondok yang mempelajari ilmu agama layaknya pondok Termas. Tapi pondok yang hanya untuk melayani para santri yang meminta bimbingan suluk dan tarekat dari sang Mursyid saja.

Tarekat Syadziliyah yang disandarkan kepada nama pendirinya, Syekh Abu al-Hasan as-Syadzili merupakan tarekat yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati pada setiap individu dengan melalui dzikir sirri (qalbi) dan beberapa awrad dan hizib yang digubah oleh al-Syadzili. Ajaran tarekatnya amat dipengaruhi oleh kitab Ihya’ Ulumiddin al-Ghozali yang menekankan amaliyah dalam bertasawuf dan Qut al-Qulub al-Makki yang menekankan kekuatan hati. Aturan, prinsip dan pokok cara menjalankan tarekat ini kemudian dikodifikasikan oleh Ibn ‘Atho’illah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam.

Ciri-ciri tarekat Syadziliyah yang menekankan dzikir sirri dan kekuatan riyadlah hati secara individu ini memperkuat dugaan Kyai Hamid memang menjadi pengikutnya. Sebab, dugaan itu diperkuat dengan data-data fakta bahwa semasa beliau mondok di Termas, Abdul Hamid (nama Kyai Hamid) sudah banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, ia pura-pura mantheg (mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa dia sedang berkhalwat. Amalan wirid juga sering beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang untuk mencari jangkrik, Kyai Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak melihatnya. 

Lambat laun, aktifitas suluk Kyai Hamid dengan dzikir sirri (qalbi) dan membaca awrad semakin intens dilakukan di kamar Pondok. Bahkan diceritakan, semakin hari, Kyai Hamid semakin jarang keluar dari kamar untuk melakukan dzikir dan wirid tarekat tersebut. Sampai-sampai, kawan-kawannya menggodanya dengan mengunci pintu kamar dari luar. 

Indikasi lain adalah dari ketertarikan Kyai Hamid semenjak muda untuk mempelajari kitab Ihya’ Ulumiddin. Bahkan kepada Habib Ja’far bin Syaikhon as-Seggaff pun beliau mengaji Ihya’ sampai berkali-kali. Ucapkan-ucapan beliau kepada para santrinya yang menceritakan kekagumannya dan menekankan pentingnya mempelajari karya monumental tasawuf al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, juga merupakan bukti lain yang menguatkan dugaan tersebut.

Ibrah Kyai Hamid dan Tarekat

Namun terlepas dari paparan di atas, apakah Kyai Hamid bertarekat Alawiyah, Syadziliyah, atau bahkan mungkin tidak bertarekat sama sekali –seperti yang tersebut di atas- bukanlah masalah mendasar dalam hal ini. Sebab semua itu hanyalah sebuah asumsi yang didasarkan atas indikasi-indikasi yang relatif dan bahkan mungkin tidak valid. 

Yang jelas, Kyai Hamid adalah realita nyata tentang munculnya seorang hamba Allah yang mempunyai kekuatan ma’rifat billah yang mumpuni dan kekuatan musyahadah atas nur tajalli dengan maqam wilayah yang amat tinggi. Dan kekuatan tersebut tentu tidak mungkin beliau dapatkan dengan serta merta tanpa melalui tahapan-tahapan amaliyah dan maqamat tarekat yang beliau jalani dan beliau istiqamahkan. Setidaknya -dari sirah Kyai Hamid yang dapat kita baca-, kualitas amaliyah dan maqamat itulah yang selalu beliau pancarkan dalam setiap gerak langkah beliau. Kewara’an, kezuhudan, ketawadlu’an, kesabaran, keistiqamahan, dan riyadlah

Dan yang jelas, kekuatan ma’rifat dan wilayah tersebut hingga saat ini telah menjadi hamparan hikmah yang maha luas dan menebarkan harum pada sanubari tiap orang yang mengenalnya. Hingga siapapun tak akan pernah kehabisan untuk mengais suri tauladan atas keagungan akhlaknya dan menempa keberkahan yang telah beliau sebarkan dalam setiap relung hati dan palung hidup kita. 

Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein,

1. Syekh Abdul Hamid Pasuruan, dari 

2. Syekh Mustaqim bin Husain, dari

3. Syekh Abdur Rozaq bin Abdillah at Turmusi, dari

4. Syekh Ahmad, Ngadirejo, Solo, dari

5. Sayyidisy Syekh Ahmad Nahrowi Muhtarom al Jawi Tsummal Makky, dari

6. Sayyidisy Syekh Muhammad Shoiih al Mufti al Hanafi al Makky, dari

7. Sayyidisy Syekh Muhammad ‘Ali bin Thohir al Watri al Hanafi al Madani, dari

8. Sayyidisy Syekh al ‘Allamah asy Syihab Ahmad Minna-tulloh al’Adawi asy Syabasi al Azhary al Mishry al Mali-ky,dari

9. Sayyidisy Syekh al’ Arif Billah Muhammad al Bahiti, dari

10. Sayyidisy Syekh Yusuf asy Syabasi adh Dhoriri, dari

11. Al Ustadz Sayyid Muhammad ibnul Qosim al Iskandary alMa’ruf Ibnush Shobagh, dari

12. Syekh al ‘Allamah Sayyid Muhammad bin Abdul Baqi’ az Zurqoni al Maliky, dari

13. Sayyidisy Syekh an Nur ‘Ali bin Abdurrahman al Ajhuri al Mishry al Maliky, dari

14. Sayyidisy Syekh al ‘Allamah Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakri alQorofi,dari

15. Syekh al Hafidh al Burhan Jamaluddin Ibrahim bin Ali bin Ahmad al Qurosyi asy Syafi’i al Qolqosyandi, dari

16. Syekh al ‘Allamah asy Syihab Taqiyyuddin Abil Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar al Muqdisi asy Syahir bil Wasithi, dari

17. Syekh al ‘Allamah Shodruddin Abil Fatkhi Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim al Maidumi al Bakry al Mishry, dari

18. Syekh al Quthubuz Zaman Sayyid Abul Abbas Ahmad bin ‘Umar al Anshori al Mursi, dari

19.Quthbul Muhaqqiqin Sulthonil Auliya’is Sayyidinasy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily, Qoddasallahu Sirrohu waa ‘aada ‘alainaa mim barokaatihim wa anwaarihim wa asroo-rihim wa ‘uluumihim wa akhlaaqihim wa nafakhaatihim fid diini wad dun-ya wal aakhiroh, aamiina yaa robbal ‘aala-miin.

Manusia Biasa

Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau). 

Bagaimana pun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un. 

Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia. 

Rasulullah telah mengingatkan, “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari diri para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ulama pun, maka masyarakat akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin, jika mereka ditanya mereka menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Bukhari).

Hadis ini menjelaskan tentang konsekuensi meninggalnya seorang ulama, yaitu akan menimbulkan bahaya bagi umat. Di sisi lain, hadis ini juga menunjukkan bahwa keberadaan ulama di tengah kaum muslimin merupakan suatu rahmat dan keberakahan dari Allah. Hadis ini, barangkali, cukup sebagai alasan mengapa kita patut berduka setiap kali ditinggal pergi oleh seorang ulama. Ulama adalah pelita. Mereka adalah cahaya yang menerangi umat dengan ilmunya. Mereka adalah pewaris para Nabi.

Selain itu, dalam kitab Targhibaatul Abrar dijelaskan juga bagaimana urgensnya posisi ulama. Ulama tetap berada di garda terdepan dan sebagai pilar terpenting di dunia. “Tiang tegaknya dunia itu ada empat perkara: 1) Ilmunya para ulama; 2) Pemerintahan yang adil; 3) Kedermawanan orang-orang kaya; 4) Do’a orang-orang fakir. Kalau tidak dengan ilmu para ulama, maka binasalah orang-orang bodoh, dan kalau tidak ada pemerintahan yang adil, niscaya manusia saling memakan manusia bagaikan serigala memakan domba, dan kalau tidak ada kedermawanan orang-orang kaya, maka binasalah orang-oranng fakir, dan kalau tidak ada doa orang-orang fakir, maka hancurlah langit dan bumi ini.

Pentingnya posisi ulama di sisi Allah karena “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama.” (QS Al-Fathir: 28). Allah  juga menjelaskan, “Allah menyatakan bahwasanya tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS Ali Imran: 18).

Kita mendengar keluhuran hadits nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari dada para ulama’ tetapi dengan cara mewafatkan para ulama’, inilah musibah terbesar di muka bumi, bukanlah gempa bumi atau tsunami, bukan pula gunung berapi atau angin topan dan lain sebagainya.

Musibah yang sebenarnya adalah wafatnya para ulama’, jika ulama’ telah wafat maka semua musibah akan muncul. Maka semakin Allah panjangkan usia para ulama’ kita musibah akan semakin menjauh. Jika para ulama’ sudah tidak ada maka manusia akan kebingungan dan mencari guru-guru yang tidak mempunyai sanad keguruan, atau guru yang jahil/tidak berilmu), tidak berguru pada ahlul khusyu’, yang akhirnya hal yang bid’ah akan dikatakan sunnah, dan sebaliknya yang sunnah dikatakan bid’ah, ziarah kubur dikatakan syirik, bertawassul dikatakan syirik, karena mereka tidak mempunyai sanad keguruan, mereka hanya belajar pada buku tanpa tuntunan guru, bukan berarti tidak boleh belajar pada buku namun tentunya jika kita punya guru seorang alim yang shalih maka ia akan mengajarkan kita jika kita tidak mengetahui makna yang kita baca dalam buku itu, maka boleh belajar pada buku namun harus mempunyai guru, karena guru bertanggung jawab jika seandainya kita salah, maka di hari kiamat guru yang akan bertanggung jawab atas kesalahan kita, maka akan dipanggil guru itu untuk bertanggung jawab atas ajaran yang tidak benar misalnya, maka guru mesti bertanggung jawab, namun buku tidak akan bisa bertanggung jawab (atau dimintai pertangggungjawab).

disebutkan dalam salah satu riwayat dan telah kita dengar sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

اتّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإنّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ

“ Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah ”

Ijazah-ijazahnya

Seperti kebanyakan para kiai, Kiai Hamid banyak memberi ijazah wirid kepada siapa saja. Biasanya ijazah diberikan secaara langsung tapi juga pernah memberi ijazah melalui orang lain. Diantara ijazah beliau adalah:

1. Membaca SURAT AL-FATIHAH 100 kali tiap hari. Menurutnya, orang yang membaca ini bakal mendapatkan keajaiban-keajaiban yang tak terduga. Bacaan ini bisa dicicil setelah sholat Shubuh 30 kali, selepas shalat Dhuhur 25 kali, setelah Ashar 20 kali, setelah Maghrib 15 kali dan setelah Isya’ 10 kali.

2. Membaca HASBUNALLAH WA NI’MAL WAKIL sebanyak 450 kali sehari semalam.

3. Membaca sholawat 1000 kali. Tetapi yang sering diamalkan Kiai Hamid adalah shalawat Nariyah dan Munjiyat.

4. Membaca kitab DALA’ILUL KHAIRAT. Kitab yang berisi kumpulan shalawat.

5.  Wirid rutin AL-WIRD AL-LATHIF dan RATIB AL-HADDAD. Dua wirid yang diajarkan oleh Kyai Hamid dan diwariskan hingga sekarang kepada para santri dan keluarganya.

Terakhir, berikut Syiir doa beliau yang sering dibaca ;

بسم الله الرّحمن الرّحيم

 

يَا رَبَّنا اعْتَرَفْنا * بِأَنَّنَا اقْتَرَفْنَا

Wahai Tuhan kami! kami mengakui telah berbuat dosa

 

وَاَنَّنَا اَسْرَفْنَا * عَلَى لَظَى اَشْرَفْنَا

Sungguh kami telah melampaui batas dan kami hampir masuk neraka ladho

 

فَتُبْ عَلَيْنَا تَوْبَةْ * تَغْسِلْ لِكُلِّ حَوْبَةْ

Maka berilah kami taubat, sucikanlah kami dari segala dosa

 

وَاسْتُرْ لَنَا الْعَوْرَاتِ * وَاَمِنِ الرَّوْعَاتِ

Tutuplah segala keburukan kami, amankanlah dari segala ketakutan

 

وَاغْفِرْ لِوَالِدِيْنَا * رَبِّ وَمَوْلُوْدِيْنَا

Wahai Tuhan ampunilah orang tua kami dan anak-anak kami

 

وَالْاَلِ وَالْاِخْوَانِ * وَسَائِرِالْخِلَّانِ

Ampunilah keluarga, teman-teman dan semua saudara

 

وَكُلِّ ذِيْ مَحَبَّةَ * أَوْ جِيْرَةٍ أَوْ صُحْبَحْ

Ampunilah kekasih, tetangga dan semua sahabat

 

وَالْمُسْلِمِيْنَ اَجْمَعْ * اَمِيْنَ رَبِّ اِسْمَعْ

serta semua muslim, Wahai Tuhan semoga Kau dengar kau kabulkan

 

فَضْلًا وَجُوْدًا مَّنَّا * لَا بِاكْتِسَابٍ مِنَّا 

Dengan anugrah, kemurahan, dan kemuliaanMu, bukanlah sebab usaha kami

 

بِاالْمُصْطَفَى الرَّسُوْلِ * نَحْظَى بِكُلِّ سُوْلِ

Dengan wasilah Rasul Terpilih, kami peroleh segala permintaan

 

صَلَّى وَسَلَّمْ رَبِّ * عَلَيْهِ عَدَّ الْحَبِّ

Semoga Allah memberi rahmat dan keselamatan kepada Rasul sebanyak bijian (sebanyak-banyaknya).

 

وَاَلِهِ وَالصَّحْبِ * عَدَدَ طَشِّ السُّحْبِ

Kepada dan keluarganya sebanyak rintikan hujan yang turun

 

وَالْحَمْدُ لِلْاِلَهِ * فِيْ الْبَدْءِ وَالتَّنَاهِى

Segala puji bagi Allah dari permulaan dan penghabisan

 

@@@

WALLAHU A’LAM BISHAWAB.