Bertawasul Dan Dikabulkannya Doa

Al-Kisah no.26/2004

 

Assalamu’alaikum Wr Wb

 

Habib Luthfi, sebelum membaca dzikir biasanya diawali lebih dulu dengan tawasul atau hadiah Fatihah buat Rasulullah, para wali dan sebagainya. Seandainya tanpa tawasul, apakah berpengaruh terhadap kemustajaban doa? Apakah tawasul memiliki fungsi yang signifikan terhadap kemustajaban suatu doa? 

Selanjutnya, saya juga mohon doa Habib Luthfi berkenan menuliskan doa dalam bahasa Indonesia ketika berziarah ke makam para wali agar saya tidak terpeleset pada syirik.

 

Wassalum’alaikum Wr Wb. 

FIRMANSYAH, Petanahan, Kebumen, Jawa Tengah  

 

Wa’alaikumsalam Wr Wb 

Ayat Al quran yang menyatakan ud’uni astajiblakum (mintalah kepadaKu, maka Aku akan memberinya), merupakan janji Allah yang sangat jelas. Tidak ada seorangpun yang mampu menolak dan memberi lebih dari janji tersebut. Tapi dalam masalah pemberian, dari Allah SWT kepada mahluknya ada syarat-syarat tertentu yang musti dimiliki oleh si peminta, agar ia mendapatkan apa yang dimintakannya kepada Allah SWT. 

Namun, setiap peminta tidak serta merta mendapat semua yang dimintanya sekaligus. Ada kalanya mereka itu harus menempuh perjalanan panjang dan ada pula yang menempuh perjalanannya dengan singkat. Maksudnya, panjang singkatnya perjalanan seorang pribadi, tidak terlepas dari kadar bobot kotoran dan dosa yang ada pada setiap individu. 

Sedangkan, posisi tawasul adalah memberi pengaruh terhadap pribadi si-peminta. Kalau kita kebetulan orang yang berpenyakitan, hanya bisa berjalan tertatih-tatih, tawasul tersebut membantu kita dalam berjalan, sehingga bisa berjalan lebih cepat dibandingkan dengan kita berjalan sendiri. 

Sedangkan masalah kemusyrikan, saya kira, bagi orang yang mengerti dan memiliki tauhid yang kuat, ia tidak akan memiliki kesulitan, sebab ada koridornya. Orang awam atau anak kecil pun tahu, yang didatangi itu orang mati. Bukan Tuhan. Ini menunjukkan, kita tidak syirik. Yang perlu kita jaga, jangan sampai ta’aluq (tergantung kepada orang yang kita ziarahi), seolah-olah kubur tersebut memberi atsar (manfaat) kepada diri kita, itu yang tidak dibenaran. 

Jadi kita ziarah kepada para waliullah semata-mata minta dibimbing dan dituntun oleh orang-orang yang dekat kepada Allah SWT. Baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal.  

 

Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)

Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah