Talqin Dzikir/Ba’iat

Dasar Thariqah

Wa al lawis taqoomu 'alath thoriiqoti la asqoinaahum maa-an ghodaqoo.

"Dan jikalau kamu tetap di atas Thariqah pastilah akan Kuberikan kepadamu akan siraman air yang segar" (QS. Al Jinn 16)

 

Berdasarkan QS. Al Jinn 16, ajaran Thariqah adalah ajaran agama Islam, bukan ajaran Ulama' Salaf (Ulama' pertengahan setelah para sahabat), sebagaimana anggapan sebagian kecil ummat Islam. Masalah Dzikrulloh telah di contohkan atau di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana tersebut dalam Al Qur-an :

La qod kaana lakum fii rosuulillahi uswatun chasanatul li man kaana yarjullaaha wal yaumal aakhir wa dzakarallooha katsiiroo.

"Sungguh ada bagi kamu di dalam diri Rosululloh itu contoh yang bagus, bagi siapa saja yang ingin bertemu Alloh dan hari akhir, maka dzikirlah kepada Alloh yang sebanya banyaknya" (QS. Al Ahzaab)

 

Ajaran Thariqah atau Dzikrulloh ini adalah ajaran yang bersifat khusus, artinya tidak akan di berikan atau di ajarkan kepada siapa saja, selama orang itu tidak memintanya. Oleh sebab itu untuk menerima ajaran Thoriqoh atau Dzikrulloh ini harus memiliki Bai'at, sebagaimana tersebut dalam Al Qur_an surat Al Fath ayat 10

Innal ladziina yubaayi'uunaka innamaa yubaayi'uunallooha,...

"Sesungguhnya orang orang yang Bai'at kepadmu (Muhammad) sesungguhnya mereka Bai'at kepada Alloh" (QS. Al Fath: 10)

 

Bai'at sebagai bentuk proses Ijab Kobul, ajaran Thariqah harus melalui pengajaran dan pengesahan Ijab Kobul antara seorang guru (Mursyid atau wakil yang di tunjuk) dengan murid, di sebut Bai'at. Bai'at bukan sumpah setia kepada guru atau lembaga Thariqah atau Organisasinya. Pelajaran Thariqah tanpa melalui proses Bai'at, maka Barokah Ilmu khusus dari Rosululloh SAW melalui guru-guru secara berantai, tidak dapat mengalir.

 

Salah satu syarat ber-thariqah, adalah bai'at dari seorang Mursyid yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW, yang mana mursyid tersebut telah memiliki empat syarat Thariqah sbb:

1. Sanad-nya silsilahnya muktabaroh, artinya tidak putus shahih sampai kepada Baginda Nabi SAW.Ath-Thoriqotil-Baidlo’ yakni Thoriqoh yang bersih yang muttasil sanadnya sampai Rosulillah SAW

2. Bay'at, melalui guru mursyid yang memilki otoritas dari guru mursyidnya sambung menyambung sampai kepada Baginda Nabi SAW.

3. tidak didapat melalui mimpi.

4. adanya khirqah atau ilbas yang dimiliki oleh Mursyid tersebut. (ini yang sangat kuat menunjukkan otoritasnya) karena ia memiliki khirqah yang maknanya sesuatu peninggalan dari Baginda Nabi SAW atau dari Imam Thariqahnya, yang diberikan secara turun menurun dari setiap guru mursyid terdahulu sampai kepada sang mursyid guru kita sekarang tersebut yang mana bukti otentik khirqah/ilbas tersebut diketahui oleh banyak saksinya.

demikian keterangan dari guru kami yang juga termaktub dalam kitab Jami' ushul awliya.

 

 

Baiat itu adalah wujud janji kita kepada Allah swt. Sebagaimana janji seseorang ketika masuk Islam, dengan membaca syahadatain (dua kalimah syahadat).  Begitu juga Baiat itu berjanji menjalani perilaku thariqoh sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw, dengan tata cara khusus. Karena itu menurut Syeikh Abdul Qodir Jilani, thariqah adalah suluk (penempuhan jalan) menuju kepada Allah dengan tata cara khusus. Maksudnya dzikir-dzikirnya juga khusus, karena harus ada sanad yang berantai sambung (muttasil) sampai ke Rasulullah saw, dan dibimbing oleh Mursyid yang kamil mukammil.

 

Thariqoh itu banyak, tetapi tujuan nya sama, dan dasarnya juga sama. Berikut keterangan yang merupakan pedoman bagi orang yang berthariqah ;

Di dalam thariqah ada yang disebut Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir La ilaaha illallah dengan lisan (diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-Dzatlafadh Allah secara bathiniyah dari seorang Guru Mursyid kepada muridnya.

 

Dalam pelaksanaan dzikir thariqah, seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttasil(bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. 

 

Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa terjadi melalui talqin dan ta’lim(belajar) dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqah, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Karena dzikir tidak akan memberikan faedah yang sempurna kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa jalla.Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut dengan bai'at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang agung. Jadi jika seseorang berbai'at Thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

 

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah ditalqin/dibai'at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

 

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/berbai'at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu ditarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai'at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari'at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

 

Baiat / Baiah / Bai'ah (Bahasa Arab: بيعة atau بَيْعَة) ialah perjanjian untuk memberi ketaatan. Orang yang berbaiat ialah seolah-olah ia membuat janji setia untuk menyerahkan dirinya dan urusan kaum Muslimin kepada khalifah. Ia tidak akan melanggar kepada janji-setianya terhadap khalifah dalam urusan tersebut malah ia mestilah mentaati apa yang dipertanggungjawabkan ke atasnya sama ada ia suka ataupun ia benci.

Bai’ah adalah akad antara umat dan calon khalifah untuk menjadi Khalifah atas dasar redha dan pilihan, tanpa ugutan dan paksaan. Allah S.W.T melalui Rasulullah s.a.w. telah menggariskan bahawa akad tersebut adalah baiah.

Sebagaimana layaknya sebuah akad, dalam Baiah perlu ada ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan). Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya mencontohkan bahawa ijab berasal dari umat sebagai pemilik kekuasaan. Calon khalifah mengabulkannya. Ijabnya berupa penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Khalifah untuk menerapkan Islam dan penyerahan ketaatan mereka kepadanya. Qabulnya berupa penerimaan hal tersebut oleh calon khalifah.

 

Syarat-syarat sah Baiah

 

 

Hadis tentang baiah

Banyak hadis sahih yang menjelaskan bahawa seseorang sah sebagai Khalifah jika diangkat melalui proses Baiah. Para sahabat pun melakukan hal yang sama. Tidak pernah seseorang menjadi Khalifah tanpa dibaiah. Abu Bakar menjadi Khalifah bukan hasil musyawarah memutuskan beliau sebagai khalifah, tetapi setelah beliau dibaiah di Saqifah. Umar menjadi khalifah bukan setelah pengumuman Abu Bakar tentang hasil musyawarah kaum Muslim, melainkan setelah beliau dibaiah. Demikian juga dengan Uthman dan Ali. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahawa baiah merupakan satu-satunya cara tetap (thariqah) pengangkatan khalifah. Sekalipun disetujui majoriti rakyat atau wakilnya, seseorang belum menjadi khalifah sebelum dibaiah. Begitu juga, warisan atau sistem putera mahkota bukanlah cara pengangkatan khalifah.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra. Dari Rasulullah saw. beliau bersabda:[2]

"Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiah khalifah pertama dan seterusnya serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka."

 

Jenis-jenis baiah

Siapapun yang mengkaji hadis Nabi s.a.w. akan menemukan bahawa baiah terhadap khalifah ada dua jenis:

(1) Baiah In‘iqad, yakni baiah yang menunjukkan orang yang dibaiah sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti;

(2) Baiah Taat, iaitu baiah kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiah Taat bukanlah untuk mengangkat khalifah, kerana khalifah sudah ada.

Kedua baiah ini juga didasarkan pada Ijmak Sahabat. Misalnya, Abu Bakar diangkat oleh sebagian Sahabat sebagai calon dari semua Sahabat, baik kalangan Muhajirin maupun Anshar. Setelah baiah dilakukan di Saqifah, esoknya kaum Muslim dikumpulkan di masjid. Abu Bakar berdiri di Mimbar. Sebelum Abu Bakar berbicara, Umar bin Khathab antara lain berbicara,

"Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan urusan kalian kepada pundak orang terbaik di antara kalian. Dia Sahabat yang berdua bersama Rasul di gua. Berdirilah kalian, baiahlah dia."

Para Sahabat pun membaiah Abu Bakar setelah pembaiahan di Saqifah. Pembaiahan wakil Sahabat kepada Abu Bakar di Saqifah merupakan Baiah In‘iqad, sedangkan pembaiahan kaum Muslim kepadanya di masjid merupakan baiah taat. Hal serupa terjadi pada khalifah lainnya. Ini merupakan gambaran dan penegasan tentang keredhaan rakyat kepada Khalifah.

Berbeza dengan Baiah In‘iqad yang bersifat pilihan, Baiah Taat wajib atas setiap orang, yang ditunjukkan dengan ketaatan dan ketundukan kepada Khalifah terpilih; taat pada hukum dan perundang-undangan islam yang ditetapkannya.

 

Baiah adalah sunnah Nabi

Baiah ialah suatu perbuatan sunnah Nabi yang pernah diberikan oleh kaum Muslimin beberapa kali kepada Rasulullah s.a.w semasa baginda masih hidup seperti Baiah Aqabah 1, Baiah Aqabah 2,Baiah Ridhwan. Selepas kewafatan baginda para sahabat terus berbaiat kepada Ulil-Amri (Khalifah) mereka.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah dari 'Ubadah bin Al-Samit yang menyatakan: "Rasulullah s.a.w telah memanggil kami, lalu kami pun memberi baiah kepada baginda... kemudian 'Ubadah berkata: [3]

"Di antara perkara yang diminta kami berjanji ialah; Kami berjanji mendengar dan mentaati (Rasulullah s.a.w) dalam perkara yang kami sukai dan kami benci, dalam keadaan kami susah dan senang, tidak mementingkan diri sendiri, tidak membantah terhadap ketua dalam urusan-urusan kecuali kami melihat kekufuran terhadap Allah secara nyata dengan bukti yang terang dan jelas."

 

 

Sedangkan di dalam kitab : AR-RISALAH AL-‘ALIYAH, susunan Sayyidi Syekh Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi, An-Naqshbandi Al-Mujaddidi Al-Uwaisi, ‘Ufiya Allahu ‘Anhu Wali Walidaihi, diterangkan mengenai sejarah  bai’ah thoriqoh sebagai berikut ;

 

KETAHUILAH bahwa makna Bai‘ah adalah berjanji dan taat setia kemudian berpegang teguh dan tetap melaksanakannya. Berbai‘ah merupakan amalan Para Sufi yang mulia Rahmatullah ‘alaihim dan i terus berjalan sehingga ke hari ini dan akan terus berjalan. Berbai‘ah juga merupakan Sunnah dan Tariqah Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in.

 

Bai‘ah adalah menetapkan secara sadar hubungan di antara Mursyid dan Murid. Murid membenarkan Mursyidnya memberikan bimbingan kepadanya dan Mursyid menerima Murid sebagai Muridnya dan pengikutnya dalam mencapai peningkatan Ruhani menuju kepada maksud yang hakiki.

 

Perkataan Bai’ah berasal dari kata dasar Ba’a Bai’an Mabi’an yang berarti menjual dan perkataan ini biasa digunakan dalam istilah akad jual beli. Biasanya setelah menjual sesuatu, si penjual akan mengucapkan Bi’tu yang berarti “Saya menjual” dan pembeli pula mengucapkan Isytaraitu yang berarti “Saya membeli” dan ini mengisyaratkan kepada keredhaan kedua belah pihak.

 

Darikata dasar tersebut terbit pula kata Baya’a yang berarti membuat perjanjian atau biasa disebutkan sebagai Bay’at atau Bai’ah. Dalil Bai‘ah di dalam Al-Quran ada di dalam Surah Al-Fath ayat 10 yang mana Allah

“Sesungguhnya orang-orang yang berbai‘ah berjanji setia kepada kamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berbai‘ah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya maka akibat buruk akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

 

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada Nabi Muhammad, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat dari melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

 

Pada bulan Zulqaidah tahun keenam Hijriyyah Sayidina Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampainya di Hudaibiyah, Sayidina Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti dan mengutus Sayidina ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu terlebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan kaum Muslimin. Sayidina Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu‘Anhu, tetapi tidak juga datang kerana Sayidina ‘Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu telah ditahan oleh kaum Musyrikin, kemudian tersiar lagi khabar bahwa Sayidina‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu telah dibunuh, maka Nabi menganjurkan agar kaum Muslimin melakukan Bai'ah janji setia kepadanya. Mereka pun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai.

 

Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 Surah Al-Fath, karana itulah disebut sebagai Bai'atur Ridhwan. Bai'atur Ridhwan ini menggetarkan kaum Musyrikin sehingga mereka telah melepaskan Sayidina ‘Utsman dan mengirimkan utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Sulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabat tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji denganAllah. Jadi seakan-akan Tangan Allah di atas tangan orangorang yang berjanji itu. Hendaklah dimengerti bahawa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.

 

Di dalam Surah Al-Fath ayat 18 Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman yang artinya :

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.”

 

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepada NabiMuhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam di bawah sebuah pohon dan Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya. Yang dimaksudkan dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum Muslimin pada perang Khaibar.

 

Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum berbai‘ah dengan Sayidina Baginda Nabi Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam banyak keadaan. Ada yang berbai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjuang bersama-sama Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ada yang berbai‘ah untuk sama-sama menegakkan Rukun Islam, ada yang berbai‘ah untuk tetap teguh berjuang tanpa undur ke belakang dalam medan pertempuran jihad menentang orang kafir, ada yang berbai‘ah untuk tetap berpegang dan memelihara Sunnah, menjauhi bida‘ah dan berbai‘ah untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

 

Kaum wanita di kalangan Para Sahabat Radhiya‘anhum juga melakukan Bai‘ah dengan Sayidina Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Terdapat bermacam-macam peristiwa Bai‘ah di zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Menurut Sayidina Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil terdapat beberapa bagian Bai‘ah yaitu:

1. Bai‘ah untuk taat setia kepada Khalifah.

2. Bai‘ah untuk menerima Agama Islam.

3. Bai‘ah untuk tetap teguh berpegang dengan Taqwa.

4. Bai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjihad.

5. Bai‘ah untuk tetap setia menyertai Jihad.

 

Menurut Sayidina Shah Abdullah Ghulam ‘Ali Rahmatullah ‘, terdapat 3 jenis Bai‘ah. Jenis yang pertama ialah apabila seseorang itu bertaubat pada tangan seorang yang suci dan berbai‘ah untuk meninggalkan perbuatan dosa, maka dosa-dosa besarnya juga akan turut terampun. Jika dia kembali melakukan dosa, maka dia perlu mengulangi Bai‘ah kali yang kedua yakni Bai‘ah ini boleh berlaku berulang-ulang kali.

 

Jenis Bai‘ah yang kedua ialah apabila seseorang itu berbai‘ah untuk mendapatkan Nisbat Khandaniyah yakni nisbat dengan sesuatu golongan atau kelompok bagi mendapatkan berita baik yang menjadi kekhususan bagi golongan tersebut. Di samping itu dia mengharapkan Syafa’at yang tidak terbatas menerusi golongan tersebut. Misalnya, seseorang itu berbai‘ah dengan Silsilah Qadiriyah supaya mendapatkan perkhabaran baik Sayidina Ghauts Tsaqilain Syeikh Abdul Qadir Jailani Rahmatullah‘alaih yang mana beliau telah berkata bahwa, “Para murid dalam Silsilahku tidak akan meninggal dunia dalam keadaan tidak bertaubat.” Bai‘ah seperti ini tidak perlu dilakukan berulang-ulang.

Jenis Bai‘ah yang ketiga ialah apabila seseorang itu berniat untuk mengambil faedah dan istifadah dari sesuatu Khandan atau golongan. Jika seseorang itu telah berikhtiar dan berusaha untuk melaksanakan Zikir dan Wazifah Khandan tersebut secara ikhlas namun tidak berupaya melaksanakannya maka untuk dirinya, dengan kebenaran yang menjadi kebiasaan ialah hendaklah merujuk kepada siapa orang suci dari kelompok atau golongan yang lain dan berbai‘ah dengan Mursyid yang lain sama ada Mursyid yang sebelum itu ridha atau tidak. Akan tetapi tidak boleh sekali-kali menafikan kesucian dan kesalihan Mursyid yang terdahulu sebaliknya hendaklah beranggapan bahawa mungkin berkahnya tidak di sana.

 

Jika seseorang Murid mendapati Mursyid mengabaikan pengamalan Syari’at dan usul-usul Tariqat dan dirinya terikat dengan ahli-ahli duniawi dan mencintai dunia, maka hendaklah dirinya mencari Mursyid yang lain bagi menghasilkan limpahan Faidhz batin dan kecintaan serta Ma’rifat. Adapun, amalan mengulangi Bai‘ah memang ada berlaku di zaman Sayidina Baginda Rasulullah Salllallhu ‘Alaihi Wasallam, begitu juga di zaman Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in, Para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.

 

Menurut Sayidina Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih bahwa mengulangi Bai‘ah dengan Sayidina Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam itu ada asas (dasar)-nya. Begitu juga melakukan Bai‘ah berulang-ulang dengan ahli-ahli Tasawwuf sama ada dengan dua orang Syeikh yang berlainan atau dua kali dengan Syeikh yang sama. Ini dilakukan karena wujudnya kecacatan pada orang yang menerima Bai‘ah itu yakni Syeikh tersebut, sama ada selepas kematiannya ataupun berpisah jauh serta putus hubungan secara zahir.

 

Adapun Bai‘ah yang dilakukan berulang-ulang kali tanpa sembarang sebab atau uzur maka boleh dianggap sebagai main-main dan hal ini boleh menyebabkan akan menghilangkan keberkatan dan menyebabkan hati Syeikh atau Guru Mursyid itu berpaling dari menumpukan perhatian keruhanian terhadapnya. Wallahu A’lam.

 

Sayidina Aqdas Maulana Muhammad ‘Abdullah Rahmatullah ‘alaih suatu ketika telah ditanyakan orang tentang apakah maksud Bai‘ah? Beliau lalu berkata, “Cobalah engkau lihat bahwa dengan adanya pengetahuan hukum-hukum Syariah dan urusan keagamaan pun orang tidak dapat berakhlak dan melakukan amalan Salih dengan baik, terdapat juga kebanyakan orang-orang Islam yang mengerjakan solat dan puasa tetapi masih tidak dapat menghindarkan diri dari kelakuan buruk seperti menipu dan berbohong serta mengumpat ghibat. Maksud utama Bai‘ah ialah supaya menghindarkan kelakuan yang buruk dan menggantikannya dengan melahirkan akhlak yang tinggi dan mulia, mendatangkan kemudahan untuk melakukan amalan Salih dan dengan sendirinya akan meninggalkan perbuatan maksiat.”

 

Hukum Bai‘ah adalah Sunat dan bukannya Wajib, karena manusia melakukan Bai‘ah dengan Sayidina Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam atas tujuan Wasilah untuk tujuan Qurbah (mendakatkan diri) menghampirkan diri mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan atau tidak melakukan Bai‘ah adalah berdosa dan tidak ada Imam Mujtahidin yang menyatakan berdosa jika meninggalkan Bai‘ah.

 

Adapun hikmah melakukan Bai‘ah adalah amat besar sekali karana Allah melaksanakan peraturanNya dengan meletakkan dan menentukan beberapa perbuatan, amalan dan kata-kata yang bersifat zahir sebagai lambang bagi membuktikan ketaatan dan bagi menyatakan perkaraperkara yang bersifat Ruhaniah, halus dan tersembunyi di jiwa insan. Sebagai contoh, membenarkan dan mempercayai dengan yakin akan kewujudan Allah Yang Maha Esa dan Hari Akhirat adalah merupakan perkara ghaib, halus dan bersifat Ruhaniah, Maka Islam meletakkan pengakuan lidah atau ikrar sebagai lambang membenarkan kewujudan Allah dan Hari Akhirat yang bersifat Mujarrad dan halus.

 

Begitulah juga di dalam urusan Mu’amalat perniagaan dan jual beli yang mana ianya berasaskan keredhaan penjual dan pembeli untuk melakukan urusan perniagaan dan keredhaan itu adalah bersifat halus dan tersembunyi maka amalan akad Ijab dan Qabul menjadi sebagai lambang bagi menzahirkankeredhaan antara penjual dan pembeli. Demikian juga dalam melaksanakan Taubat, keazaman untuk berhenti dari melakukan dosa adalah bersifat halus dan Mujarrad lagi tersembunyi, oleh itu telah ditentukan oleh Allah menerusi amalan Sayidina Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum bahawa amalan Bai‘ah itu secara zahirnya adalah bagi melambangkan keazaman untuk bertaubat dan meninggalkan dosa-dosa. Upacara Bai‘ah ini seharusnya dilakukan secara rahsia pada tempat yang rahsia kerana ianya merupakan suatu rahsia perjalanan yang rahsia bagi setiap Salik.

 

Pada hakikatnya Bai’ah adalah merupakan suatu akad jual beli antara kita dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kerana Dia telah berfirman di dalam Surah At-Taubah ayat 111,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar”.

 

Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan ciri-ciri serta sifat-sifat mereka yang telah melakukan jual beli dengan Allah pada Surah At-Taubah ayat 112 yang berarti:

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’aruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman itu.”

 

Di dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan dengan lebih jelas akan ciri serta sifat orangorang beriman yang menyempurnakan akad jual beli antara dirinya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yakni mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang Mukmin itu. Maksudnya melawat untuk mencari ilmu pengetahuan atau berjihad.

 

Ada pula yang menafsirkannya dengan orang yang berpuasa yang sentiasa bertaubat dan melaksanakan amalan ibadah dengan baik dan sempurna, yang sering berziarah untuk tujuan Silaturrahim ataupun untuk bertemu dengan seseorang yang ‘Alim untuk tujuan mendapatkan ilmu ataupun menziarahi Para Auliya Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sebaik-baik ziarah adalah menziarahi Sayidina Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinatul Munawwarah, yang mendirikan Solah dengan ruku’ dan sujud yang baik dan sempurna, yang menjalankan kewajiban Dakwah dan Tabligh dengan menyuruh manusia berbuat amalan kebaikan yang Ma’aruf dan berusaha mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang zalim dan mungkar serta senantiasa memelihara hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala sepertimana yang termaktub di dalam Al-Quran dan berpandukan Al-Hadits dan AsSunnah.

 

Dengan berusaha memelihara hukum-hukum Allah, mereka telah menafkahkan harta mereka dan menyerahkan diri mereka bagi menegakkan Kalimah Allah. Mereka berperang dengan Syaitan, Hawa, Nafsu dan Duniawi semata-mata kerana Allah sehingga mereka menghembuskan nafas yang terakhir. Maka mereka itu adalah golongan orang-orang beriman yang berada dalam tingkatan yang khusus dengan mendapat perkhabaran gembira dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka sebagai melengkapi syarat jual beli antara orang-orang beriman dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahwa Dia telah membeli diri mereka dan harta mereka dan Syurga adalah sebagai tukaran. Bai’ah merupakan akad bagi jual beli ini dan setelah kita berakad dengan akad Bai’ah ini, menjadi tanggungjawab kitalah untuk menyerahkan diri kita mentaati perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan RasulNya Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan membelanjakan harta kita menurut kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengikuti petunjuk RasulNya, Sayidina Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam