KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU)

KH. M. Hasyim Asy’ari Pendiri dan Pegasuh Pertama Pesantren Tebuireng (1899 – 1947)

KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya disingkat Kiai Hasyim) adalah pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan nasional ini merupakan salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20. Beliau juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Kelahiran dan Masa Kecil

Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km. ke arah utara kota Jombang. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.

Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:

Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy'ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy'ari hampir berusia 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:

Masa dalam kandungan dan kelahira KH.M. Hasyim Asy'ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan belaiu yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu.

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.

Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana.

Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.

Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

Mencari Ilmu

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy'ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.

Pada usia 15 tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif (Syaikhona Mbah Kholil) yang terkenal waliyullah itu.

Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy'ari "ngangsu kawruh" dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertannya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam'iyah Nahdlatul Ulama' yang dibawa KH. As'ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi'iyah Situbondo).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Belajar Lagi di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.

Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at di sana.

Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.

Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi. 

Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).

Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Diantara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.

Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.

Mendirikan Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.

Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada se-eokor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.

Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.

Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.

Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.

Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

Pendidik sejati

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.

Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.

Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.

Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.

Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an. Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu asar.

Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.

Setelah terdengar azan asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinue dibaca setiap selesai salat asar.

Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.

Setelah salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.

Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran. Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.

Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.

Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”

Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim

Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).

Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.

Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.

Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.

Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).

Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim

Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.

Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.

Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.

Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.

Kebiasaan lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur, beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki tidak sia-sia.

Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.

Dekat kepada Allah

Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:

Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].

Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.

Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.

***

Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qu’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:

”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]

Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.

***

Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah. Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”

Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!” Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.

Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.

Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”

Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”

***

Pernah beberapa kali penjajah hendak menghacurkan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dengan berkali-kali menghujankan bom di pesantren tersebut, tapi bom itu tidak pernah ada yang meledak satupun.

Pondok Pesantren Tebu Ireng selain sebagai tempat belajar para santri, juga sebagai salah satu markas pasukan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Pada waktu terjadi perang kemerdekaan, semua orang yang akan pergi berperang menghadapi penjajah, akan dikumpulkan terlebih dahulu oleh sang panglima KH. Hasyim Asy’ari. Mereka diberi air minum sambil dibacakan: “Ya Allah Ya Hafidz, Ya Allah Ya Muhith, Fanshurna ‘ala Qaumil Kafiriin.”

Semua orang yang dikumpulkan tersebut, oleh KH. Hasyim Asy’ari diberi beberapa pantangan yang tidak boleh mereka langgar selama berperang. “Siapapun yang melanggar pantangan tersebut, maka pasti akan terkena tembakan musuh!” tegas Mbah Hasyim. Pak Si’in, adalah salah seorang saksi sejarah atas kejadian itu yang masih hidup.

Atas izin Allah Swt., KH. Hasyim Asy’ari mampu mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat lain, meskipun dirinya berada jauh dari tempat itu. Serupa dengan riwayat yang mengkisahkan tentang karomah sahabat Umar bin Khaththab Ra., yang mana beliau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi pada pasukannya di medan perang dan cukup beliau memberi perintah dari atas mimbar.

Waktu itu KH. Hasyim Asy’ari sedang mengajar di hadapan para santrinya di pondok (Tebu Ireng). Pada saat yang sama beliau dapat mengetahui keadaan para pasukannya yang sedang melawan penjajah di daerah Pare, sebuah daerah yang jauhnya kira-kira 30 km dari Pondok Pesantren Tebu Ireng. Disamping mampu melihat suasana perang yang sedang berlangsung dari jarak 30 km, KH. Hasyim Asy’ari pun cukup memberi perintah kepada para pejuang itu dari tempat mengajarnya.

Jikalau KH. Hasyim Asy’ari ingin memberi suatu amalan kepada santrinya, maka dipanggillah 3 orang santri, lalu dilihat dengan mata hatinya. Dari bashirah itu, beliau lalu memilih salah seorang dari ketiga santri tersebut yang benar-benar memiliki kemampuan melaksanakan amalan yang akan beliau berikan. Berikutnya, dua orang santri yang tidak beliau pilih, mereka disuruh keluar dari ruangan tempat mereka dipanggil.

Bukan hanya kyainya yang hebat, tapi para santrinya pun memiliki nilai keramat. Terbukti saat Jepang menjajah Indonesia, di daerah Jombang terdapat para tentara Jepang yang siap menindas. Namun setiap kali tentara Jepang mendatangi Pondok Pesantren Tebu Ireng, kendaraan yang mereka pakai selalu tidak bisa berjalan jika bannya disentuh oleh para santri KH. Hasyim Asy’ari.

Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, disamping dikenal sebagai tokoh Islam dan pendiri NU, beliau juga dikenal sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu dari jasa beliau adalah mengenai peran serta beliau ketika terjadi perang kemerdekaan di Surabaya. Ketika itu, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan Resolusi Jihad yang mewajibkan setiap orang Islam yang tempat tinggalnya berjarak di bawah 96 km dari Surabaya, mereka wajib datang ke Surabaya untuk berperang melawan penjajah. Akhirnya masyarakat Islam berbondong-bondong datang ke Surabaya dan tidak sedikit dari mereka datang dari daerah yang jauh.

Meskipun para pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia hanya menggunakan senjata seadanya seperti bambu runcing, namun atas berkat doa para ulama, Allah menurunkan pertolonganNya sehingga tentara penjajah menderita kerugian besar. Peperangan bersejarah itulah yang terjadi pada tanggal 10 November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh Bangsa Indonesia.

Karya-Karya Kiai Hasyim

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.

Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.

Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.

Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:

1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.

    Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 

    H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.

2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. 

    Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan 

    dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. 

    Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul 

    Ulama’”.

3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. 

    Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat  

    madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), 

    metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.

4. Mawaidz. 

    Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain 

    sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah 

    diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.

5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 

    40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.

6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin.

   Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, 

   dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat 

   shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.

7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat.

    Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah 

    dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan 

    perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama 

    terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, 

    dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.

8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. 

    Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. 

    Berisi 9 pasal.

9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. 

   Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga 

   terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.

10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. 

     Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-

     hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya 

     menjadi 75 halaman.

11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. 

     Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 

     masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan 

     Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.

12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. 

     Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan 

     Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta 

     dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). 

     Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.

13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. 

     Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab 

     al-Risalah fi al-‘Aqaid.

14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. 

     Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh 

     Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat 

     al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-

     Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil 

     Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani 

     (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:

1.Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.

2.Ar-Risalah at-Tawhidiyah

3.Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id

4.Al-Risalah al-Jama’ah

5.Tamyiz al-Haqq min al-Bathil

6.al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus

7.Manasik Shughra

NU dan "Tongkat Musa"

Ketika Musa alaihi salam bermunajat pada Tuhan di gunung tursina, maka Tuhan bertanya pada Musa,apa yg ada ditanganmu hai musa? lalu berkata musa, ini adalah tongkatku, aku berpegang padanya, dan aku menggayuh ranting-ranting dedaunan denganya untuk kambing-kambingku, dan ada lagi kegunaan lainya. Lalu Tuhan berkata, “Lemparkanlah (tongkatmu) hai musa”, lalu dilemparkan tongkat itu dan menjadi ular yg merayap, Tuhan lalu memerintahkan agar memegang ular itu dan jangan takut, dia akan berubah seperti semula,…

Pada tahun 1924 syaikhu masyayikhuna Mbah Hasyim Asy’arie solat istikharoh, mencari ilham solusi bagi bangsa, akan tetapi hasil istikharoh beliau justru tembus pada guru beliau kiai Kholil Bangkalan Madura, maka Mbah Kholil memerintahkan santrinya, Kiai As’ad untuk menyerahkan tongkat kepada Mbah Hasyim di Jombang, sembari berwasiat agar membacakan surah Toha ayat 17-21. Ketika menyerahkan tongkat ini kepada Mbah Hasyim….Mbah Hasyim menafsiri tongkat dari Mbah Kholil sebagai bentuk bahwa kita/bangsa ini membutuhkan wasilah untuk berjuang melawan tiran. Akan tetapi Mbah Hasyim masih mempertimbangkan sana sini, hingga pada tahun 1925 Mbah Hasyim kembali beristikhoroh, dan lagi-lagi istikhoroh beliau tembus pada Mbah Kholil, lalu Mbah Kholil mengutus santrinya untuk menyerahkan tasbih kepada Mbah Hasyim. Tasybih tersebut di kalungkan Mbah Kholil pada santrinya tadi…

Di perjalanan dari Bangkalan menuju Jombang SANTRI UTUSAN TADI BERTEMU ORANG-ORANG DENGAN BERBAGAI REAKSI, ADA YG KAGUM DAN MEMUJI BAHWA DIA PASTI ORANG SOLIH KARENA BERKALUNGKAN TASYBIH, ADA JUGA YG MENCACI DAN MENGATAKAN KL DIA ITU ORANG GILA,KARENA BERKALUNGKAN TASYBIH…NAMUN MESKI DIPUJI ATAU DICACI, SANTRI TERSEBUT TIDAK BERGEMING DAN TETAP MEMAKAI TASYBIH DILEHERNYA SESUAI PERINTAH MBAH KHOLIL..

Sesampainya di Jombang, Mbah Hasyim menerima tasybih kiriman dari Mbah Kholil, Mbah Hasyim menafsiri bahwa ini sudah saatnya kita membuat wadah, wasilah untuk berjuang, untuk agama dan bangsa ini,maka dibentuklah Nahdlotul Ulama..

Ya… Nahdlotul Ulama’ yangg jauh-jauh hari diisyarohkan Mbah Kholil sebagai tongkat Musa, bahkan ditasdid dengan ayat 17-21 surat Thoha, maka NU adalah tongkat Musa, yang di dalamnya akan dijadikan wasilah untuk kita berpegang, untuk menggayuh dedaunan kesejahteraan ekonomi, untuk berjuang melawan tirani penjajahan, NU sebagai garda pejuang melawan penjajah dan merebut kemerdekaan, dan tentunya sebagai cikal bahkan NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA…

Inilah tongkat musa bangsa ini,maka spt isyaroh kedua mbah holil, bahwa NU sebagai wasilah harus seperti tasybih yg dikalungkan dileher, meski dicaci ataupun dipuji,  jangan pernah kita/bangsa ini mencoba untuk melepasnya..tak ayal, jika seorang pemikir muda negri ini berkata  ”idza soluhat NU, soluhat Indonesia, wa idza fasadat NU, fasadat Indonesia”

Komite Hijaz dan Pendirian NU

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisasi pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.

Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.

Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.

Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.

Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.

Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.

”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.

Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.

Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Berjuang Mengusir Penjajah

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.

Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:

- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan

- Harta benda yang berlimpah-limpah

- Gadis-gadis tercantik

Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: "Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya". Akhir KH.M. Hasyim Asy'ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuatan Nabi SAW.

Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau mefatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.

Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.

Pada tahun 1913 M, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.

Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.

Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.

Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.

Setelah penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.

Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.

Mbah Hasyim Asy'ari, Berjuang sampai Mati

Jombang, malam tanggal 25 Juli 1947. Hadrotusy Syekh KH Hasyim Asy’ari, beberapa saat selepas sembahyang tarawih 7 Ramadhan 1366 H. Tak lama kemudian, datang dua utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Tomo, pembangkit semangat perjuangan.

Salah seorang utusan itu bernama Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. Keduanya mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Karena agresi itu, wilayah Indonesia makin menciut; tinggal selembar daun kelor. Wilayah itu cuma meliputi garis Mojokerto di sebelah timur, dan Gombong di Kebumen. Di sebelah barat tinggal Yogyakarta sebagai pusatnya.

“Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu.

Rais Akbar Nahdlatul Ulama yang berusia 76 tahun itu kaget luar biasa. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah --dua badan kelaskaran di bawah komando kiai-kiai NU-- Malang ini, sangat mengejutkan KH Hasyim Asy’ari. 

“Masya Allah, Masya Allah!” pekiknya.

Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan.  

Menurut KH Syaifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, karena mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya sangat parah sekali. 

Kemudian menurut buku 20 Tahun Indonesia Merdeka VII yang diterbitkan Departemen Penerangan, hal tersebut menunjukkan betapa penuhnya perhatian ulama besar tersebut akan nasib perjuangan bangsa dan negara. 

Karena situasi bangsa di bawah kekuasaan penjajah Belanda, di samping mengajar, ia turut memikirkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Keluar-masuk penjara pun jadi risiko. 

Pada masa itu, ia mengeluarkan dua buah fatwa yang terkenal dalam sejarah. Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad, hukumnya wajib bagi setiap orang (fardhu ain). Kedua, melarang kaum muslimin beribadah haji menumpangi kapal-kapal Belanda.  

Pada masa penjajahan Jepang ia pernah ditahan bersama KH Mahfudz Siddiq, karena menolak Seikerei, membungkuk 90 derajat tiap pukul tujuh pagi untuk menghormati Kaisar Jepang. Selama empat bulan ia dipenjarakan berpindah-pindah dari Jombang, Mojokerto hingga Bubutan, Surabaya; bercampur dengan tawanan Sekutu. 

KH Hasyim Asy’ari wafat, tapi tetap mewariskan darah pejuang kepada putra-putranya, yaitu KH Wahid Hasyim, salah seorang perumus Pancasila dan Menteri Agama RI tiga kali. KH Choliq Hasyim menjadi Daidanco (Komandan Batalyon Pembela Tanah Air, PETA,) KH Yusuf Hasyim aktif di Laskar Hizbullah sebagai Komandan Kompi II. Salah seorang cucunya menjadi pejuang kemanusiaan dan demokrasi terdepan, KH Abdurahman Wahid.

Mutiara Nasehat KH Hasyim Asy'ari

Diterjemahkan dari kitab al-Mawa’idz karya Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Bismillahirrahmanirrahim...

(Risalah ini) dari makhluk yang termiskin, bahkan pada hakikatnya dari orang yang tidak punya sesuatu apapun, Muhammad Hasyim Asy’ari semoga Allah Swt. mengampuni keturunannya dan seluruh umat muslim. Kepada teman-teman yang mulia penduduk tanah Jawa dan sekitarnya, baik ulama maupun masyarakat umum.

Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Sungguh telah sampai kepadaku (sebuah kabar) bahwa api fitnah dan pertikaian telah terjadi di antara kalian semua. Kurenungkan sejenak apakah kiranya penyebab dari itu semua. Kemudian aku berkesimpulan bahwa penyebab itu semua adalah karena masyarakat zaman sekarang telah banyak yang mengganti dan merubah kitab Allah Swt. dan Sunnah Rasulullah Saw. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu.”

Sementara masyarakat sekarang menjadikan orang mukmin sebagai musuh dan tidak ada upaya untuk mendamaikan di antara mereka, bahkan ada kecenderungan untuk merusaknya. Rasulullah Saw. bersabda: “Jangan kalian saling menebar iri dengki, jangan kalian saling membenci dan jangan saling bermusuhan. Jadilah kalian bersaudara wahai hamba-hamba Allah Swt.”

Sementara masyarakat zaman sekarang saling iri dengki, saling membenci, saling bersaing (dalam urusan dunia) dan akhirnya mereka menjadi bermusuhan. Wahai para ulama yang fanatik terhadap sebagian madzhab dan pendapat. Tinggalkanlah fanatik kalian dalam urusan-urusan far’iyyah (tidak fundamental) yang di dalamnya ulama (masih) menawarkan dua pendapat, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa “Setiap mujtahid (niscaya) benar”. Serta pendapat yang mengatakan “Mujtahid yang benar (pasti hanya) satu, namun (mujtahid) yang salah tetap mendapat pahala”.

Tinggalkanlah fanatik (kalian) dan tinggalkanlah jurang yang akan merusak kalian. Lakukanlah pembelaan terhadap agama Islam, berjuanglah kalian untuk menangkis orang-orang yang mencoba melukai al-Qur an dan sifat-sifat Allah Swt. Berjuanglah kalian untuk menolak orang-orang yang berilmu sesat dan akidah yang merusak. Jihad untuk menolak mereka adalah wajib. Dan sibukkanlah dirimu untuk senantiasa berjihad melawan mereka.

Wahai manusia! Di antara kalian ada orang-orang kafir yang memenuhi negeri ini, maka siapa lagi yang yang bisa diharapkan bangkit untuk mengawasi mereka dan serius untuk menunjukkannya ke jalan yang benar?

Wahai para ulama, untuk urusan seperti ini (baca; membela al-Qur an dan menolak orang yang menodai agama), maka bersungguh-sungguhlah kalian dan silakan kalian berfanatik. Adapun fanatik kalian untuk urusan-urusan agama yang bersifat far’iyyah dan mengarahkan manusia ke madzhab tertentu atau pendapat tertentu, maka itu adalah suatu hal yang tidak akan diterima Allah Swt. dan tidak senangi oleh Rasulullah Saw.

Yang membuat kalian semua bertindak seperti itu tiada lain kecuali hanya kefanatikan kalian (terhadap madzhab tertentu), bersaing dalam bermadzhab dan saling hasud. Sungguh, kalau saja Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hajar dan Imam Ramliy masih hidup, maka pasti mereka akan sangat ingkar dan tidak sepakat atas (perbuatan) kalian dan tidak mau bertanggung jawab atas apa yang kalian perbuat.

Kalian mengingkari sesuatu yang masih dikhilafi para ulama, sementara kalian melihat banyak orang yang tak terhitung jumlahnya, meninggalkan shalat yang hukumannya menurut Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad adalah potong leher. Dan kalian tidak mengingkarinya sedikitpun. Bahkan ada di antara kalian yang telah melihat banyak melihat tetangganya tidak ada yang melaksanakan shalat, tapi diam seribu bahasa.

Lantas bagaimana kalian mengingkari sebuah urusan far’iyyah yang terjadi perbedaan pendapat di antara ulama? Sementara pada saat yang sama kalian tidak (pernah) mengingkari sesuatu yang (nyata-nyata) diharamkan agama seperti zina, riba, minum khamar dll.

Sama sekali tidak pernah terbersit dalam benak kalian untuk terpanggil (mengurusi) hal-hal yang diharamkan Allah Swt. Kalian hanya terpanggil oleh rasa fanatisme kalian kepada Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar. Yang hal itu akan menyebabkan tercerai-berainya persatuan kalian, terputusnya hubungan keluarga kalian, terkalahkannya kalian oleh orang yang bodoh-bodoh, jatuhnya wibawa kalian di mata masyarakat umum dan harga diri kalian akan jadi bahan omongan orang-orang yang tolol dan akhirnya kalian akan (membalas) merusak mereka sebab gunjingan mereka seputar kalian. (Itu semua terjadi) karena daging kalian telah teracuni dan kalian telah merusak diri kalian dengan dosa-dosa besar yang kalian perbuat.

Wahai para ulama, apabila kalian melihat orang yang mengamalkan pendapat dari para imam ahli madzhab yang memang boleh untuk diikuti, walaupun pendapat itu tidak unggul, apabila kalian tidak sepakat dengan mereka, maka jangan kalian menghukuminya dengan keras, tapi tunjukkanlah mereka dengan lembut. Dan apabila mereka tidak mau mengikuti anjuran kalian, maka jangan sekali-sekali kalian menjadikan mereka sebagai musuh. Perumpamaan orang-orang yang melakukan hal di atas adalah seperti orang yang membangun gedung tapi merobohkan tatanan kota.

Jangan kalian jadikan keengganan mereka untuk mengikuti kalian, sebagai alasan untuk perpecahan, pertikaian dan permusuhan. Sesungguhnya perpecahan, pertikaian dan permusuhan adalah kejahatan yang mewabah dan dosa besar yang bisa merobohkan tatanan kemasyarakatan dan bisa menutup pintu kebaikan.

Untuk itu, Allah Swt. melarang hambaNya yang mukmin dari pertentangan dan Allah Swt. mengingatkan mereka bahwa akibatnya sangat buruk serta ujung-ujungnya sangat menyakitkan. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Anfal ayat 46: “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”

Wahai orang-orang muslim, sesungguhnya di dalam tragedi yang terjadi hari-hari ini, ada ‘ibrah (hikmah) yang banyak serta nasehat yang sangat layak diambil oleh orang yang cerdas dari hanya mendengarkan mau’idzahnya para penceramah dan nasehatnya pada mursyid.

Ingatlah bahwa kejadian di atas adalah merupakan kejadian yang setiap saat akan selalu menghampiri kita. Maka apakah bagi kita bisa mengambil ‘ibrah dan hikmah? Dan apakah kita sadar dari lelap dan lupa kita?

Dan kita mesti sadar, kebahagiaan kita itu tergantung dari sifat tolong menolong kita, persatuan kita, kejernihan hati kita dan keikhlasan sebagian dari kita kepada yang lain. Ataukah kita tetap berteduh di bawah perpecahan, pertikaian, saling menghina, hasud dan kesesatan? Sementara agama kita satu, yaitu Islam dan madzhab kita satu, yaitu Imam Syafi’i dan daerah kita juga satu yaitu Jawa. Dan kita semua adalah pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.

Maka demi Allah Swt., sesungguhnya perpecahan, pertikaian, saling menghina dan fanatik madzhab adalah musibah yang nyata dan kerugian yang besar.

Wahai orang-orang Islam, bertaqwalah kepada Allah Swt. dan kembalilah kalian semua kepada Kitab Tuhan kalian. Dan amalkan Sunnah Nabi kalian serta ikutilah jejak para pendahulu kalian yang shaleh-shaleh. Maka kalian akan berbahagia dan beruntung seperti mereka.

Bertaqwalah kepada Allah Swt. dan damaikanlah orang-orang yang berseteru di antara kalian. Saling tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan taqwa. Jangan saling tolong menolong atas dosa dan aniaya, maka Allah Swt. akan melindungi kalian dengan rahmatNya dan akan menebarkan kebaikanNya. Jangan seperti orang yang berkata: “Aku mendengarkan” padahal mereka tidak mendengarkan.

Wassalamu fi al-mabda’ wa al-khitam. 

Dipanggil Yang Kuasa

Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman.

Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:

1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.

2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.

3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.

Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.

Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.

Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada disamping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada ditempat, Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).

Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.

Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa Inna Ilayhi Raji’un.

Kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan belasungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau ditenggah Pesantren Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab Hasbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat".

***

Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. []

Sanad Ilmu KH Hasyim Asy’ari Sampai ke Shohih Bukhori Muslim dan Al-Muwatho’ Imam Malik

Hadlratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Ahlussunnnah wal Jama’ah terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), merupakan ulama yang memiliki banyak jalur sanad keilmuan kepada ulama-ulama terdahulu, bahkan sampai kepada para sahabat dan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.

Terkait dengan pentignya sanad keilmuan, Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tiada ilmu tanpa sanad”.

Organisasi NU merupakan organisasi ulama yang memiliki banyak jalur sanad karena memang menekankan pentinya sanad keilmuan. Berbeda halnya dengan beberapa organisasi lain. Inilah keberkahan Nahdlatul Ulama.

Ibnul Mubarak berkata, “Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32).

Ulama yang shalih, ketika berkata dengan kitab Imam Al-Bukhari itu karena mereka sudah memiliki sanad kepada Imam Al-Bukhari, demikian pula yang lainnya. Hadlatusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari juga memiliki sanad penyusun Ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim) serta sanad kepada Al-Muwaththa’ Imam Malik.

Berikut silsilah sanadnya:

SANAD KH HASYIM ASY’ARI SAMPAI SHAHIH AL-BUKHARI

سند الشيخ هاشم أشعري لصحيح البخاري :

قال رحمه الله : اتصلت الينا رواية صحيح البخاري سماعا من أوله الى آخره عن شيخنا العلامة محمد محفوظ بن عبد الله الجاوي ثم المكي قرأت عليه من أول سنة 1317 هـ الى 1319 هـ بمكة المكرمة وأجازني بقراته كما أجازني بقراءة غيره من كتب الحديث عن شيخه السيد أبي بكر بن محمد شطا المكي عن السيد احمد زيني دحلان عن الشيخ عثمان بن حسن الدمياطي عن الشيخ على الشنواني عن عيسى بن احمد البراوي عن الشيخ احمد الدفري عن الشيخ سالم بن عبد الله البصري عن والد عبد الله بن سالم البصري عن الشيخ محمد بن علاء الدين البابلي عن الشيخ سالم بن محمد السنهوري عن النجم محمد بن احمد الغيطي عن شيخ الإسلام زكريا الأنصاري بن محمد الأنصاري عن الحافظ احمد بن علي بن حجر العسقلاني عن ابراهيم بن احمد التنوخي عن ابى العباس بن ابي طالب الحجاز عن الحسين بن المبارك الزبيدي الحنبلي عن ابى الوقت عبد الأول بن عيسى السحزي عن أبي الحسين عبد الرحمن بن مظفر الداوودي عن أبي محمد عبد الله بن احمد السخسي عن أبي عبد الله بن محمد بن يوسف الفربوي عن جامعه الإمام أبى عبد الله محمد بن إسماعيل البخاري ابن المغيرة بن بردزبة رحمه الله ونفعنا به وبعلومه. آمين

SANAD KH HASYIM ASY’ARI SAMPAI KE SHAHIH AL-MUSLIM

وقال فى سنده لصحيح المسلم :

سماعا لبعصه وإجازة لباقيه على الشيخ محفوظ عن الشيخ أبي بكر شطا بسنده الى الشيخ عيسى البراوي عن الشيخ احمد بن عبد الفتاح الملوي عن الشيخ حسن الكودي عن أحمد بن محمد القشاشي عن الشمس محمد بن احمد الرملي عن الزيني زكريا بن محمد الأنصاري عن عبد الرحيم بن الفرات عن محمد بن الفرات عن محمد بن خليفة الدمشقي عن الحافظ عبد المؤمن بن خلف الدمياطي عن ابي الحسن المؤيد بن محمد الطوسي عن ابى عبد الله محمد بن الفضل الفراوي عن عبد الله الغافر بن محمد الفارسي عن ابي احمد محمد الجلودي عن ابى اسحاق محمد بن سفيان الفقيه النيسابوري عن الإمام الحافظ ابي الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري رضي الله تعالى عنهم ونفعنا بهم

.

SANAD KH HASYIM ASY’ARI SAMPAI KE AL-MUWATHTHA’ IMAM MALIK

و قال فى سنده للموطأ :

حصلت لنا رواية وإجازة بقراءة موطأ الإمام مالك عن شيخنا محمد محفوظ عن الشيد ىمين المدني عن الشيخ عبد الغني بن ابى سعيد العمري عن عبد العزيز بن احمد العمري عن والده احمد بن عبد الرحيم العمري عن محمد وفد الله المكي عن الحسن بن علي العجيمي عن عبد الله بن سالم البصري عن الشيخ عيسي المغربي عن الشيخ سلطان بن احمد المزاحي عن احمد بن خليل السبكى عن النجم محمد بن احمد الغيطي عن الشرف عبد الحق السنباطي عن البدر حسين بن حسين عن محمد بن جابر الوداشي عن ابي محمد عبد الله بن هارون القرطبي عن القاضي ابي القاسم احمد بن يزيد القرطبي عن محمد بن عبد الرحمن بن عبد الحق الخزرجي عن ابى عبد الله محمد بن فرج مولى ابي طلاع عن ابي الوليد يونس بن عبد الله بن مغيث الصفار عن ابي عيسى يحيى ابي عبد الله بن يحيى عن عم ابيه ابي مروان عبيد الله بن يحيى عن ابيه يحيى بن يحيى الليثي عن إمام دار الهجرة الحافظ الحجة مالك بن انس الأصبحي رضي الله عنهم ونفعنا بهم

Inilah Maklumat Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari Untuk Ulama Aswaja

Maklumat ini dibuat langsung oleh Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ary rahimahullah ditujukan kepada ulama ahlussunnah wal jamaah secara umum dan anggota Syuriah NU pada khususnya.

Tertera sebagai maklumat No. 7, kop surat NU, tertulis Sasak Street No. 66 Surabaya. Tertanda: Rais, Katib Awal, Presiden dan Sekretaris Jamiyyah Nahdlatul Ulama, bertepatan dengan Idul Fitri tahun 1355 H.

Maklumat tersebut tertulis:

بسم الله الرحمن الرحيم

نشرة

ينشرها الادارة العالية لنهضة العلماء بقلم الفقير الفاني محمد هاشم أشعري الجمباني عامله الرب بلطفه الداني امين الى علماء اهل السنة و الجماعة عموما و اعضاء شورية الجمعية خصوصا.

السلام عليكم و رحمة الله وبركاته

حمدا لله وصلاة و سلاما على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه. وبعد : فالادارة العالية لنهضة العلماء انها نظرا لمجيئ العيد الجديد و شهر السرور و الفطر السعيد رأت ان تنبه جميع اعضائها عموما و علمائها و علماء اهل السنة و الجماعة خصوصا مع تعييدهم و تهنئتهم تقبل الله منا ومنكم الصيام و القيام و اعاد علينا و عليكم بالعفو التام الى ثلاث نقط.

النقطة الاولى:

ان الغاية التي ترمى اليها الجمعية هي توحيد صفوف العلماء و ربطهم برابطة واحدة فقد كان لا يخفى عليكم ان الاتحاد و الوئام سلاح قوي يتذرع الناس الى مقاصدهم، و طريق موصل يسلكونه الى حيث غاياتهم. ومما لا شك فيه اننا في عصر ينظر فيه الناس الى الدين نظرة بعيدة عن الاحترام. فحسبنا ان نلتفت قليلا الى الاماكن العامة مثل الطرقات و الاسواق لنعرف كيف ان روح الدين ضعيفة جدا. فكان لزاما على علمائنا ان يسلموا شعثهم و يوحدوا صفوفهم و يؤخروا مقاصدهم الشخصية فيزجوا بانفسهم في سبيل اعلاء كلمة الله تعالى . قال تعالى :” الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ” بلى ان الفتن و المصائب التي منها هذا الضنك الذي يعانيه الناس اليوم انما هي تجارب و اختبارات يمتحن الله بها قلوب عباده ليظهر ايهم صادق في ادعاء الايمان و ايهم كاذب فحكمة الحكيم العليم اقتضت ثقل الحق و خفة الهوى ليهلك من هلك عن بينة و يحيى من حي عن بينة قد تحقق عند كل واحد ان التكاليف الشرعية و ان كانت امورا اعتدالية فهي شاقة على النفس و لا تتلقى الا بالصبر الجميل ولذلك وجب علينا ان نعضدها بالصبر فان فى الصبر خيرا كثيرا اذ حفت الجنة بالمكاره و حفت النار بالشهوات وما من داع الى الله الا وهو يأمر المدعو بشد عقدة الصبر حتى عده رسول الله صلى الله عليه و سلم نصف الايمان . قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” الايمان نصفه صبر و نصفه شكر”. و قال سيدنا عيسى عليه السلام : ” انكم لا تدركون ما تحبون الا بالصبر على ما تكرهون”. و قال سيدنا موسى عليه السلام لقومه: ” استعينوا بالله واصبروا “. فتعاونوا اخواني بركوبكم مطية الصبر على حمل اعباء التكاليف الاجتماعية و لا تسنوا الكسل لانفسكم و لاخوانكم فإنه من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها الى يوم القيامة.

النقطة الثانية:

ان جمعيتنا في حاجة شديدة الى مساعدة رجالها العاملين قال عز و جل : ” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ “. فيظهر من هنا ان نصر الله ايانا معلق بنصرنا اياه . فإذا احببنا ان ينصرنا الله وجب علينا ان ننصره اولا وذلك بإعلاء كلمته العليا و الدعوة التامة لها و الدفاع عنها و الذود عن حياضها ولا يحصل ذلك الا اذا حققنا الوعود و العهود و القرارات التى اتفقنا عليها كما هو مكتوب فى القانون الاساسى لجمعيتنا بدون التفات الى مصاعب مادية و خسائر مالية و اثقال و اتعاب شخصية فإن الساعى على الارملة و المساكين كالمجاهد فى سبيل الله و كالقائم لا يفتر و كالصائم لا يفطر و من كان فى حاجة اخيه كان الله فى حاجته حديث صحيح رواه البخاري.

النقطة الثالثة:

ان جمعيتنا المباركة و لله الحمد قد حازت اقبال العوام عليها و ليس ذلك الا لكونها تعمل لمصلحتهم و تسعى لخيرهم دنيا و اخرى و لكونها مؤسسة على خطة سلف الصالح رضوان الله عليهم فيجب على كل واحد من علمائنا ان لا يعزب عن باله هذه القضية المهمة و هي ان اصلاح العوام و ارشادهم و اخراجهم من ظلمات الضلال الى نور الهدى و انشالهم من وهدة الجهالة و الرذالة الى ذروة العلم و الفضيلة كل ذلك محمل على اكتاف علمائنا فإن العلماء امناء الله على عباده كما ورد فى الحديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم ومن ثم فالواجب على علمائنا ان يضاعفوا جهودهم و ان لا يدخروا شيئا من وسعهم من ان يعملوا ما رواه البخارى فى صحيحه عن حذيفة رضي الله عنه انه قال : يا معشر القراء استقيموا فان اخذتم يمينا و شمالا لقد ضللتم ضلالا بعيدا فيلقبوا حينئذ امناء الله على عباده حتى لا يسوغ القائل ان يقول اذا خان الامناء فمن الذي يثقه الناس يا ترى يجب عليهم ذلك و هم متساندون متعاضدون متحالفون في ضلال جمعيتنا نهضة العلماء لما هو معلوم من ان يد الله مع الجماعة . وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.

تبوايرع ، عيد الفطر من سنة 1355

ساسك سترات 66 سورابيا

الإدارة العالية لنهضة العلماء

الرئيس لنهضة العلماء – الكاتب الأول

فرسيدين لنهضة العلماء – سكرتاريس لنهضة العلماء

Berikut Terjemahannya:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pujian hanya untuk Allah. Shalawat dan salam semoga melimpah pada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mencintainya. Sesudahnya (wa ba’du): Bersamaan dengan datangnya hari raya idul fitri Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) perlu mengigatkan tiga hal penting di bawah ini kepada semua anggota NU pada umumnya, para ulama NU, dan ulama ahlussunnah wal jamaah pada khususnya.

Pertama:

Tujuan NU adalah mempersatukan barisan ulama dan mengikatnya dengan satu ikatan. Sungguh tidak diragukan lagi bahwa persatuan dan kesepakatan adalah senjata ampuh yang dimiliki manusia untuk menggapai tujuan-tujuannya, dan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan-tujuannya. Adalah sesuatu yang tidak diragukan bahwa sesungguhnya kita berada pada suatu masa di mana manusia tidak memuliakan agama. Cukuplah kita sedikit mengamati pada tempat-tempat umum sebagaimana jalan dan pasar, kita akan mengetahui bagaimana ruh agama sangat lemah. Maka suatu keharusan bagi para ulama kita untuk menyelamatkan dari perpecahan dan menyatukan barisan mereka, mengenyampingkan tujuan-tujuan pribadi dan menyediakan diri mereka di jalan Allah untuk meluhurkan kalimat-Nya. Allah SWT telah berfirman yang artinya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: ‘kami telah beriman’ dan mereka tidak diuji? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut 1-3).

Benar, sesungguhnya fitnah dan musibah yang menyebabkan kesulitan dan kesempitan yang dialami manusia hari-hari ini hanyalah merupakan ujian dan cobaan dari Allah bagi hati hamba-hamba-Nya supaya tampak jelas siapa di antara mereka yang sungguh-sungguh benar dalam pengakuan keimanan dan siapa di antara mereka yang berbohong. Adalah kebijaksanaan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dia telah menciptakan kebenaran itu berat sangganya dan keinginan hawa nafsu itu sangat ringan dan mudah, supaya orang yang binasa (kufur) itu binasa (kufur) dengan bukti yang nyata, dan agar orang yang hidup (beriman) itu hidup (beriman) dengan bukti yang nyata. Setiap orang telah membuktikan bahwa sesungguhnya tugas-tugas syari’at meskipun yang sedang-sedang itu berat bagi nafsu dan tidak dapat diterima kecuali dengan kesabaran yang tidak disertai keluhan. Sesungguhnya di dalam kesabaran terdapat kebaikan yang banyak, karena surga dikepung oleh hal-hal yang tidak menyenangkan dan neraka dikepung oleh hal-hal yang menyenangkan hawa nafsu. Tidak ada seorang pendakwah kecuali dia memerintahkan untuk memperkuat tali kesabaran. Karena pentingnya kesabaran inilah Rasulullah SAW menganggap sebagai separuh iman. Rasulullah SAW bersabda: “Separuh iman adalah kesabaran dan separuhnya lagi adalah syukur.” Nabi Isa AS berkata: “Sesungguhnya kalian tidak akan menemukan apa yang engkau cintai kecuali dengan kesabaran pada apa yang kau benci.” Nabi Musa AS berkata pada kaumnya: “Mintalah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.”

Wahai saudara-saudaraku, saling tolong menolonglah dengan kendaraan kesabaran kalian untuk melaksanakan tugas berat organisasi. Janganlah membiasakan kemalasan bagi dirimu dan saudara-saudaramu, sesungguhnya orang yang membuat kebiasaan buruk maka dosa keburukan itu baginya dan dosa-dosa orang yang menirunya sampai di hari Kiamat.

Kedua:

Sesungguhnya jamiyyah kita sangat membutuhkan sumbangan tenaga para aktivis yang tangguh. Allah telah berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah dan rasul-Nya, maka Allah akan menolongmu untuk mengalahkan musuhmu dan Allah akan mengukuhkan kedudukanmu dalam pertempuran.” (QS. Muhammad 7).

Dari ayat di atas jelas sekali bahwa pertolongan Allah pada kita tergantung pada pertolongan kita pada agama dan Rasul-Nya. Dengan demikian jika kita menginginkan pertolongan Allah maka kita harus menolong-Nya lebih dahulu. Pertolongan pada Allah itu dengan meluhurkan kalimat-Nya, dakwah dengan sempurna, dan membela kehormatannya. Demikian ini tidak akan terlaksana kecuali ketika kita betul-betul mematuhi ketentuan yang terdapat dalam muqarrarat yang telah kita sepakati bersama sebagaimana yang terkandung dalam Qanun Asasi (AD/ART) jamiyyah kita tanpa memperdulikan kesulitan-kesulitan material, kerugian harta benda, beban dan kepayahan personal. Sesungguhnya orang yang berusaha menanggung janda-janda (beserta yatimnya) dan orang-orang miskin itu sebagaimana para mujahid fi sabilillah, sebagaimana orang shalat malam tanpa putus, dan sebagaimana orang puasa tanpa berbuka. “Barangsiapa memperhatikan kebutuhan orang lain maka Allah akan menanggung kebutuhannya.” (HR. Imam Bukhari).

Ketiga:

Sesungguhnya organisasi kita yang diberkahi telah memperoleh simpati orang umum. Demikian tiada lain karena organisasi ini bergerak untuk kemashlahatan dan kebaikan dunia dan akhirat mereka. Juga karena jamiyyah kita ini didasarkan pada garis orang-orang shalih terdahulu -semoga Allah melimpahkan ridlanya pada mereka-. Maka wajib bagi masing-masing ulama kita untuk mengingat dan memperhatikan ketentuan bahwa memperbaiki dan menunjukkan orang awam, mengeluarkan mereka dari kegelapan kesesatan menuju nur petunjuk, dan mengentaskan mereka dari lubang kebodohan dan kehinaan menuju puncak mulianya ilmu dan keutamaan, semua itu adalah merupakan beban tanggung jawab yang berada di pundak para ulama kita. Sesungguhnya ulama adalah kepercayaan Allah (untuk membimbing umat manusia) di muka bumi sebagaimana Hadis yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban bagi ulama kita untuk melipatgandakan kesungguhan mereka, tidak menyimpan sedikitpun potensi mereka untuk melaksanakan apa yang telah disampaikan Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Hudzaifah RA. Nabi bersabda: “Wahai para ulama, berjalanlah pada lajur yang istiqamah, jika kalian beralih pada jalan kanan atau kiri maka sungguh tersesatlah kalian dengan kesesatan yang jauh.”

Jika para ulama kita sudah dapat memenuhi Hadis di atas maka pantas disebut “umana`ullah (orang-orang kepercayaan Allah atas hamba-hamba-Nya)” sehingga tidak pantas ada seorang yang berkata: “Ketika para manusia yang menjadi kepercayaan (ulama) itu berkhianat maka siapa lagi yang dapat dipercaya?.”

Ketahuilah, betapa kewajiban tersebut harus dilaksanakan oleh para ulama dengan saling sanding-menyanding, kukuh-mengukuhkan, ganti-menggantikan di bawah naungan jamiyyah kita NU, karena sudah maklum bahwa pertolongan Allah itu diberikan pada jamaah (golongan yang bersatu). Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan berapa banyak Nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan di dalam urusan kami, dan tetapkan pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.’ Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencitai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran 146-148).

Tebuireng, Idul Fitri Tahun 1355 H.

Sasak Street No. 66 Surabaya

Idarah Aliyah Nahdlatul Ulama

Rais NU – Katib Awal

Presiden NU – Sekretaris NU

Gambar foto Maklumat Rais Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari

Oleh: PWNU Jawa Tengah. Teks asli maklumat berbahasa Arab, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh KH Ubaidullah Shodaqoh (Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah).