Hijrah Kedua ke Nusantara
Habib Lutfi, Pekalongan, Jawa Tengah
Daerah pesisir yang didatangi para habib selepas dari Palembang, selain Jakarta, adalah Pekalongan, Jawa Tengah. Tokoh di sana adalah Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Athas. "Mereka ditampung, diberi biaya untuk dakwah dan merantau ke daerah-daerah lain sampai Palu, Papua," kata Ali Yahya.
Ahmad yang lahir di Hajrein, Hadramaut, sekitar 1835 Masehi, meninggal pada 1929 dan dimakamkan di pekuburan Sapuran, Pekalongan. Setiap peringatan haulnya, 15 Syakban, ratusan ribu orang datang dari berbagai penjuru. Selain Ahmad, peletak dasar pendidikan kaum Alawiyin di Pekalongan adalah Muhammad bin Abdurrahman Baragbah. Cuma namanya tak menonjol.
Kini habib yang paling top di Kota Batik itu adalah Muhammad Lutfi bin Yahya. Abdurrahman Wahid, saat menjadi presiden, sangat hormat dan sering mengunjungi kediamannya di Gang VII, Kampung Noyontaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan petinggi di republik ini juga sering minta "petunjuk" Ketua Tariqah Mu'tabarah an-Nahdiyah (semacam asosiasi tarekat Nah dlatul Ulama) ini. "Mereka datang ke sini dalam kapasitasnya sebagai umat Islam. Saya tak mengundang, tapi masak pe jabat datang diusir," kata Lutfi kepada koresponden Tempo, Edi Faisol.
Tiap hari ratusan orang datang mengunjunginya. Tak jarang jika ada acara, Jalan Dr Wahidin, salah satu jalan terbesar di Pekalongan yang menghubungkan Gang VII, harus ditutup total untuk menampung jemaah. Lutfi menetap di kampung permukiman padat itu sejak 1971. Materi kajian tarekat di Kanzul Sholawat begitu nama tempatnya tak hanya mengkaji syariat, tapi juga kecintaan terhadap Tanah Air dan wawasan kebangsaan. "Karena itu bagian dari ajaran tarekat yang mengajak pada kemaslahatan," ujar Lutfi. "Islam bukan milik bangsa Arab atau Jawa saja, tapi semua manusia dan umat di dunia."
Habib Neon, Surabaya
Dikisahkan, Habib Muhammad Husein Alaydrus pernah menghadiri majelis taklim di sebuah masjid di Surabaya. Menjelang kedatangannya, listrik di tempat pengajian padam. Panitia kebingungan. Tapi, aneh bin ajaib, saat Husein Alaydrus memasuki masjid, tiba-tiba menjadi terang benderang laksana disinari cahaya lampu neon, meski listrik masih mati. Sejak saat itu Husein Alaydrus terkenal dengan julukan Habib Neon. Dan hingga kini, makamnya di Pemakaman Umum Pegirian, Surabaya, tak pernah sepi dari peziarah.
Orang percaya, lampu neon tanpa kabel yang dipegang Husein Alaydrus bisa menyala seketika. Sampai sekarang, kisah itu terkenal di sekitar kampung Arab di Surabaya, seperti Nyamplungan, Pegirian, Ampel, dan Panggung. Putra ketiga Habib Neon, Habib Syekh bin Muhammad Alaydrus, 65 tahun, mengakui nama Habib Neon lebih dikenal masyarakat daripada nama aslinya. Mengenai kelebihan yang dimi liki mendiang ayahnya, Syekh tak mau banyak bicara. "Itu kelebihan yang diberikan oleh Allah," katanya.
Husein Alaydrus, yang lahir pada 1888, datang dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Menurut Muhammad Alaydrus, ayahnya itu dikirim ke Indonesia saat masih berusia 20 tahun. Sebelum menetap di Surabaya, Husein Alaydrus sempat tinggal di Singapura dan Palembang selama lima tahun. Di Palembang Husein menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Mustafa Alaydrus, dan dikaruniai tiga anak. Setelah itu, mereka pindah ke Pekalongan sebelum akhirnya menetap di Ketapang Kecil, Surabaya.
Habib Neon berdakwah dari kampung ke kampung mendirikan majelis burdah, yakni mengaji kitab-kitab burdah setiap Kamis malam. Menurut Muhammad Alaydrus, awalnya majelis itu hanya diikuti oleh 4-5 orang. "Lama-lama jemaahnya makin banyak," katanya. Bahkan, setelah meninggal di usia 71 tahun, dan pengajian burdah dite ruskan Muhammad, pengikut tetap banyak, 300-500 orang setiap pekan.
Ketenaran Habib Neon membuat hari peringatan wafatnya yang diadakan setiap Rabiul Awal selalu banjir hadirin. Menurut Muhammad Alaydrus, mereka datang dari semua kalangan, mulai rakyat jelata hingga pejabat.