Mbah Ma’shum Lasem

Mbah Ma’shum Lasem merupakan ayahanda dari KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta. Ditangan ayahanda tercinta inilah Kiai Ali mendapatkan prinsip hidup dan pendidikan yang memadai. Sebagai putra sulun, KH. Ali Maksum lahir sebagai sosok yang demokratis, visioner, dan ngalim.

Nama asli Mbah Ma’shum adalah Muhammadun. Beliau lahir sekitar tahun 1868 sebagai anak bungsu pasangan H. Ahmad dan Qosimah. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah.

Oleh kedua orangtuanya, beliau kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama. Karena sejak kecil dia telah ditinggal wafat oleh ibunya. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah.

Mbah Ma’shum menikah dua kali. Istri pertamanya banyak versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra pertama Mbah Ma’shum, Kyai Ali Ma’shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.

Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, “Mbah Masum adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat Nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”

Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (Kiai Abdullah, Kiai Abdul Salam, dan Kiai Siroj), Kudus (Kiai Ma’shum dan Kiai Syarofudin), Sarang Rembang (Kiai Umar Harun), Solo (Kiai Idris), Termas (Kiai Dimyati), Semarang (Kiai Ridhwan), Jombang (Kiai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kiai Kholil), hingga Makkah (Kiai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Riwayat Mbah Ma’shum Lasem

yai besar dan Wali Allah yang amat dihormati dikalangan umat Islam ini, yang biasa disapa Mbah Ma’shum, adalah salah satu dari dua “Gembong Kyai” asal Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. 

Beliau senantiasa menjalin silaturahmi, jujur, mengayomi, menghormati tamu dan teguh menjaga kebenaran. Seluruh hidupnya diabdikan kepada masyarakat, terutama kaum papa. 

Beliau bahkan menganggap pengabdian ini sebagai laku tarekatnya. Menurut Denys Lombard, ahli sejarah terkenal, "Mbah Masum" adalah seorang guru (kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya.”

Nama aslinya adalah Muhammadun, diperkirakan lahir sekitar tahun 1870. Ayahnya bernama Ahmad, seorang saudagar. Dari jalur ayahnya, beliau masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, dan silsilahnya bersambung hingga ke Rasulullah SAW. 

Ibunya bernama Nyai Qosimah. Mbah Ma’shum punya dua saudara, yakni Nyai Zainab dan Nyai Malichah

Sejak kecil Mbah Ma'shum telah dikirim ke beberapa pesantren untuk mendalami ilmu agama, di antaranya kepada Kyai Nawawi Jepara, Kyai Ridhwan Semarang, Kyai Umar Harun Sarang, Kyai Abdus Salam Kajen, Kyai Idris Jamsasren Solo, Kyai Dimyati Termas, Kyai Hasyim Asy'ari Jombang dan Kyai Kholil Bangkalan. Di Mekah beliau berguru kepada Syekh Mahfudz Al-Turmusi dari Termas. 

Kemuliaan KH. Ma’shum Ahmad Disaksikan oleh Syaikh Mbah Kyai Kholil Bangkalan

Tanda-tanda keutamaan Mbah Ma'shum telah diketahui secara kasyaf oleh Mbah Kholil Bangkalan, seorang wali Qutub yang amat masyhur. Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma'shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, "Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".

Begitu Mbah Ma'shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20-an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. 

Mbah Ma'shum disuruh oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. 

Yang aneh, pengajaran dilakukan oleh Mbah Ma'shum di sebuah kamar tanpa lampu, sedangkan santri-santrinya berada di luar. 

Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma'shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Pernikahan KH. Ma’shum Ahmad

Mbah Ma'shum menikah dua kali, nama istri pertama ada beberapa versi, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah

Putra pertama Mbah Ma'shum, Kyai Ali Ma'shum, kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional.

Tirakat KH. Ma’shum Ahmad

Sejak muda Mbah Ma'shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri, juga berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti

Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebu ireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia Mbah Ma’shum lebih tua. 

Mbah Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. 

Mimpi itu terjadi di beberapa tempat, di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). 

KH. Ma’shum Ahmad Merintis Berdirinya Pesantren

Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. 

Beliau juga bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.” 

Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil Mbah Ma'shum dengan sebutan Kangmas Ma'shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. 

Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar. 

Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad ibn Abdullah ibn Tholib Alatas, Sapuro, Pekalongan. Menurut Mbah Ma’shum, saat berziarah pada malam Jum’at, Habib Ahmad Alatas menemuinya dan memimpin doa bersama. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren. 

Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali Kwitang, Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma'shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. 

Mbah Ma'shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren Al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali.

Pengabdian KH. Ma’shum Ahmad

Mbah Ma'shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang, artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. 

Di antaranya adalah pelajaran Al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin.

Mengenai kitab al-Hikam ini Mbah Ma’shum menyatakan bahwa beliau mengkhatamkannya sebanyak usia beliau.

 

Mengenai Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.rhm, beliau berujar, "Saya khawatir kalau melihat santri yang belum pernah khatam kitab Ihya tapi sudah berani memberikan pengajaran kepada umat; yah, semoga saja dia selamat" 

kitab "Fathul Wahhab" juga dikhatamkan sebanyak usianya, sehingga beliau pernah berkata bahwa ilmu Fiqh telah ada di dalam dadanya. 

Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri Mbah Ma'shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karomah. 

Beliau juga tak segan-segan menegur khatib Jum’at yang khotbahnya terlalu lama dengan cara bertepuk tangan. Banyak muridnya yang menjadi kyai besar, seperti Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, dan masih banyak lagi.

Mbah Ma'shum sesepuh Tokoh NU

Sebagai kyai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama kyai-kyai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU. 

Bahkan Mbah Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kyai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. 

Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, Mbah Ma’shum termasuk yang setuju, dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. 

Menurutnya, “Saya sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin). 

Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor Kyai Haji Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. Mbah Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya: “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhamadiyyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain … Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.”

Ketika pecah huru-hara PKI Mbah Ma'shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.

Mbah Ma'shum wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat Jum’at. Upacara pemakamannya dibanjiri massa yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh ulama, petinggi partai politik dan pejabat pemerintah.

Karomah Mbah Ma'shum Lasem

Mbah Ma’shum Lasem, Jawa Tengah, adalah ulama besar yang tindakannya sering sulit dicerna nalar awam. Setelah peristiwanya, barulah orang mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.Diperkirakan, Mbah Ma’shum lahir pada tahun 1868. Dia adalah anak bungsu pasangan Ahmad dan Qosimah. Oleh orangtuanya dia kemudian diserahkan kepada Kiai Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama, karena sejak kecil diatelah ditinggal wafat oleh ibunya. Dari Kiai Nawai dia mendapat pelajaran dasar ilmu alat (nahwu) yang diambil dari kitab Jurumiyyah dan Imrithi.Pengembaraannya mencari ilmu tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara,Kajen (Kyai Abdullah, Kyai Abdul Salam, dan Kyai Siroj), Kudus (Kyai Ma’shum dan Kyai Syarofudin), Sarang Rembang (Kyai Umar Harun), Solo (Kyai Idris), Termas (Kyai Dimyati), Semarang (Kyai Ridhwan), Jombang (Kyai Hasyim Asy’ari), Bangkalan (Kyai Kholil), hingga Makkah (Kyai Mahfudz At-Turmusi), dan kota-kota lain.

Suatu saat, di Semarang, dia tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Ketika di Bojonegoro, dia tidak hanya bermimpi, melainkan, antara tertidur dan terjaga, dia bertemu dengan Nabi, yang memberikan ungkapan La khayra ilia fi nasyr al-ilmi, yang artinya “Tidak ada kebaikan (yang lebih utama) daripada menyebarkan ilmu”.

Di rumahnya sendiri, dia bermimpi kembali. Dalam mimpinya, ia bersalaman dengan Nabi Muhammad SAW, yang berpesan, “Mengajarlah, segala kebutuhanmu insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Di kemudian hari, Mbah Ma’shum menjadi ulama besar yang dikenal memiliki banyak karamah. Inilah beberapa kisah karamahnya:

Walisongo Bertamu

Ada satu kisah karomah lain yang menunjukkan ketinggian kedudukan spiritualnya. Hari itu datang sembilan orang tamu ke Lasem. Mereka ingin berjumpa dengan Mbah Ma’shum. Namun, karena tuan rumah sedang tidur, Ahmad, salah seorang santrinya, menawarkan apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan. Ternyata mereka menolak.

Lalu mereka semua, yang tadinya sudah duduk melingkar di ruang tamu, berdiri sambil membaca shalawat, kemudian berpamitan.

“Apa perlu Mbah Ma’shum dibangunkan?” tanya Ahmad sekali lagi.

“Tidak usah,” ujar me­reka serempak lalu pergi.

Rupanya saat itu Mbah Ma’shum mendusin dan bertanya kepada Ahmad perihal apa yang baru saja terjadi.

Setelah mendapat penjelasan, Mbah Ma’shum minta kepada Ahmad agar mengejar tamu-tamunya.

Tapi apa daya, mereka sudah menghilang, padahal mereka diperkirakan baru sekitar 50 meter dari rumah Mbah Ma’shum.

Ketika Ahmad akan melaporkan hal tersebut, Mbah Ma’shum, yang sudah bangun tapi masih dalam posisi tiduran, mengatakan bahwa tamu-tamunya itu adalah Walisango dan yang berbicara tadi adalah Sunan Ampel. Setelah mengucapkan kalimat terse­but, Mbah Ma’shum tertidur pulas lagi.

Beras Melimpah

Ada sebuah kisah : suatu ketika Mbah Ma’shum menyuruh santri bernama zulkifli untuk mengecek persediaan beras di al hidayah. Beras sudah habis, dan habisnya beras itu disusul dengan terjadinya musim kemarau di lasem. Mbah Ma’shum menyuruh zulkifli untuk memanggil cucu-cucunya. Bersama cucu-cucunya (santri zulkifli diajak juga) Mbah Ma’shum memimpin istighotsah dan membaca potongan syair burdah berikut : 

 يَا اَكْرَمَ الْخَلْقِ مَالِىْ مَنْ اَلُوْذُ بِهِ # سِوَاكَ عِنْدِ حُلُوْلِ الْحَدِيْثِ الْعَمَم

Artinya : wahai makhluq paling mulia (muhammad) saya tidak ada tempat untuk mencari perlindungan, kecuali kepadamu, pada kejadian malapetaka nan besar.

Syair Burdah tersebut dibaca 80 kali, dilanjutkan dengan doa sebagai berikut: “Ya Allah, orang-orang yang ada dalam tanggungan kami sangat banyak, tetapi beras yang ada pada kami telah habis. Untuk itu kami mohon rizqi dari-Mu.”

Selain mengamini, Nadhiroh, salah seorang cucunya, berteriak, “Mbah, tambahi satu ton.”

Ditimpali oleh Mbah Ma’shum, “Tidak satu ton, tepi lebih….”

Beberapa hari kemudian, beras seolah mengalir dari tamu-tamu yang datang dari berbagai kota, seperti Pemalang dan Pasuruan, ke tempat Mbah Ma’shum. Menurut bapak zulkifli, wirid istighosah itu jika diamalkan sangat manjur, tentu dengan bimasya’atilah.

Masih soal beras. Pada kali yang lain, setelah mengajar 12 santrinya lalu diikuti dengan membaca Alfiyah, Mbah Ma’shum minta mereka mengamini doanya, karena persediaan beras sudah habis.

“Ya Allah, Gusti, saya minta beras….”

“Amin…,” ke-12 santri itu, yang ditampung dan ditanggung di rumah Mbah Ma’shum, khidmat menyambung doanya .Doa tersebut di sampaikan tanpa muqoddimah dan tanpa penutup seperti umumnya doa. 

Jam sebelas siang, datang sebuah becak membawa beberapa karung be­ras. Tanpa pengantar, kecuali alamat ditempel di karung-karung beras itu. Di sana tertera jelas, kotanya adalah Banyuwangi. Kepada santrinya yang bernama Abrori Akhwan, Mbah Ma’shum minta agar mencatat alamat yang tertera di karung itu.

Suatu saat ketika berkunjung ke Banyuwangi, Mbah Ma’shum bermaksud mampir ke alamat itu. Saat alamat tersebut ditemukan, tempat itu ternyata kebun pisang yang jauh di pedalaman. Ironisnya, masyarakat di sana hampir- hampir tak ada yang kelebihan rizqi. Lalu siapa yang mengirim beras...? 

Mengetahui bisikan hati

H. abrori akhwan saat masih nyantri di al hidayah pada awal dekade 60-an, dia pernah di minta untuk memijiti Mbah Ma’shum. Saat sedang memijit, H. Abrori akhwan bertanya-tanya dalam hati, beberapa pertanyaan itu antara lain:

Jika benar Mbah Ma’shum seorang kyai, kenapa dia tidak sering terlihat menggunakan peci haji atau serban saat keluar rumah?

Jika benar Mbah Ma’shum seorang kyai, kenapa dia tidak tampak sering berdzikir dalam waktu yang lama?

Jika benar Mbah Ma’shum seorang kyai, kenapa tidak banyak kitab kuning di ndalemnya?

Pertanyaan tersebut tergelitik dalam hati H. Abrori akhwan saat sedang memijiti Mbah Ma’shum. Tanpa di duga, Mbah Ma’shum secara lisan Memberikan penjelasan yang merupakan sebuah jawaban atas apa yang sedang di pikirkan oleh H. Abrori akhwan di dalam hatinya tadi. Mbah Ma’shum saat itu menyatakan bahwa :

Seorang kyai tidak harus menggunakan peci haji atau serban.

Dzikir seorang kyai tidak harus berupa membaca beberapa bacaan tertentu, dan dalam waktu yang lama. Berdzikir kepada Allah SWT bisa di lakukan langsung secara praktik, seperti mengajar atau menolong sesama.

Kitab kuning yang di miliki Mbah Ma’shum sebenarnya banyak, tetapi mayoritas di bawa (untuk di kaji ) oleh putranya yang bernama ‘Ali ma’shum.

Penjelasan Mbah Ma’shum di atas dengan sendirinya dapat dipahami bahwa beliau tidak tertarik dengan simbolisme keagamaan dan tidak sebaliknya bahwa beliau lebih senang atau menekankan isi ketimbang kulit.

“Dua Tahun Lagi Saya Menyusul”

“Seandainya Paman wafat pada hari ini, saya akan menyusul dua tahun kemudian,”demikian reaksi Mbah Ma’shum ketika mendengar kabar bahwa pamannya, Kiai Baidhowi, meninggal hari itu, 11 Desember 1970.

Bahkan ucapan itu ditegaskan sekali lagi langsung di telinga almarhum ketika dia menghadiri pemakamannya, “Ya, Paman, dua tahun lagi saya akan menyusul.”

Mbah Ma’shum tutup usia pada 28 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1332, sepulang dari shalat Jum'at di masjid jami Lasem, tak jauh dari rumahnya. Persis seperti ucapannya, menyusul dua tahun setelah pamannya wafat.

Mengajar atau Menolong Orang juga “Dzikir”

Kisah lain, sambil memijit badan Mbah Ma’shum, Abrori Akhwan, yang kala itu, awal dekade 1960-an, masih menjadi santri di pesantren Mbah Ma’shum, Al-Hidayat, dalam benaknya terlintas pertanyaan, kenapa Mbah Ma’shum tak pernah menggunakan peci haji atau sorban bila keluar rumah, tidak pernah berdzikir dalam waktu yang lama, dan tidak banyak kitab kuning di rumahnya.

Pikiran itu rupanya terbaca oleh Mbah Ma’shum. Tak lama kemudian, ia berujar,“Seorang kyai tidak harus meng­gunakan peci haji atau sorban."Berdzikir" kepada Allah bisa dilakukan langsung secara praktek, seperti misalnya kita mengajar atau menolong orang, tidak harus dalam waktu lama dengan bebe­rapa bacaan tertentu. Kitab kuning sebenarnya banyak, tapi dipinjam oleh Ali, anak sulungku.”

Insya Allah akan Kembali

Ketika dalam perjalanan silaturahim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Mbah Ma'shum kehilangan kacamata di kereta api yang tengah meluncur, antara Tegal dan Pekalongan. Menyadari hal itu, ia kemudian mengajak para pengikutnya membaca surah Adh-Dhuha. Dan ketika sampai ayat wawajadaka dhaallam fahada, ayat tersebut dibaca delapan kali.

“Dengan membaca surah tersebut, insya Allah barang kita yang hilang akan kembali. Setidaknya Allah akan memberikan ganti yang sesuai,” katanya kemudian.

Ketika rombongan mampir ke rumah Kyai Faturrahman di Kebumen, Mbah Ma’shum melihat sebuah kacamata di lemari kaca tuan rumah, persis miliknya yang hilang. Dengan spontan ia berkata, “Alhamdulillah.”

Kepada Faturrahman, ia bertanya, “Apa ini kacamata saya...?”

Dijawab Kyai Faturrahman dengan terbata-bata, “Ya mungkin saja, Mbah….”

Kemudian kacamata itu diambil dan dipakai oleh Mbah Ma’shum.

Kendaraan Soal Belakang

Kali ini soal dokar/delman. Santri yang mengawal Mbah Ma’shum kebingungan. Se­telah maghrib, sudah menjadi kebiasaan, dokar di daerah Batang, Pekalongan, tidak akan ada yang berani keluar ke­cuali kalau dicarter. Namun Mbah Ma'shum berkata,“Shalat dulu, kendaraan soal belakang.”

Ketika itu rombongan Mbah Ma'shum sudah sampai di sebuah musholla. Maka shalatlah mereka secara berjamaah. Bahkan dilanjutkan hingga shalat Isya.

Setelah semua selesai, rombongan pun melanjutkan perjalanan. Dan, tanpa diduga, begitu rombongan keluar dari halaman musholla, lewatlah sebuah do­kar kosong. Mereka pun menaikinya. Subhanallah.

Akal-akalan Kiyai Bisri

Perbedaan pandangan yang meruncing antara Kiyai Idham Khalid dan Pak Subhan ZE sebagai pimpinan puncak NU membuat para sesepuh prihatin. Mbah Kiyai Ma’shum Lasem pun memanggil Kiyai Bisri Mustofa.

“Sri, mbok kamu bikin ikhtiar untuk merukunkan Idham sama Subhan!” perintahnya.

Kiyai Bisri garuk-garuk kepala. Di satu sisi, ia memahami keprihatinan para sesepuh. Di sisi lain, ia sendiri punya dugaan bahwa mungkin saja “perselisihan” di antara dua pemimpin itu disengaja. Paling tidak diperlukan. Kenapa?

Indonesia dan NU sedang dalam masa-masa genting peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Ada harapan-harapan, tapi tak ada yang bisa memastikan apa yang akan dilakukan oleh Soeharto, si penguasa baru. Di depan mata hanya ada pilihan-pilihan sulit. Oleh karenanya, “perselisihan” di antara kedua pemimpin itu ibarat “menyediakan sekoci di tengah badai”.

Kiyai Bisri merasa, tidak mudah menjelaskan pikirannya itu kepada Mbah Ma’shum, sedangkan ia terlalu ta’dhim kepada beliau untuk membantah. Maka ia berusaha mengelak,

“Panjenengan yang sepuh kan lebih berwibawa, ‘Yai”.

“Nggak bisa! Ini soal rumit. Harus pakai akal-akalan. Kamu kan banyak akal!” Mbah Ma’shum memaksa.

Tak berkutik, Kiyai Bisri pun mematuhi perintah Mbah Ma’shum, yakni merancang akal-akalan.

Ia beli satu peti Green Spot (soft-drink yang populer waktu itu) dan satu peti sirup Kawis (sirup khas produk Rembang). Dia suruh santri mengantarkan Peti Green Spot kepada Pak Subhan ZE dengan pesan: “Dari Kiyai Idham Khalid, mohon tanda terima”. Pada saat yang sama, santri lain disuruh mengantarkan limun Kawis kepada Pak Idham dengan pesan: “Dari Pak Subhan ZE, mohon tanda terima”.

Maka diperolehlah dua lembar tanda terima:

1. “Telah terima satu peti Green Spot dari KH Idham Khalid. Terimakasih sebesar-besarnya. Ttd: Subhan ZE”

2. “Telah terima satu peti limun Kawis dari Saudara Subhan ZE. Jazaakumullah. Ttd: Idham Khalid”.

Kiyai Bisri menghaturkan kedua lembar tanda terima itu ke hadapan Mbah Ma’shum.

“Sudah bisa rukun, ‘Yai”, ia melapor, “lha ini sudah saling kirim-kiriman…”

Mbah Ma’shum sumringah.

Entah siapa yang pada hakekatnya menjadi sasaran akal-akalan…

Mendengar keluhan orang-orang di neraka

Di tahun-tahun terakhir hayat beliau, beliau selama beberapa waktu pernah menyuruh seoarang santrinya yang bernama harir, untuk membaca ayat berikut :

Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang Telah kami kerjakan". dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.

Mbah Ma’shum menyuruhnya untuk membaca ayat tersebut karena beliau merasa sedang mendengar keluhan keluhan orang-orang yang ada di neraka. Ayat tersebut dibaca berulang-ulang setiap malam selama beberapa bulan.

Mbah Ma’shum dan Santri Jin

Ada kisah menarik yang terjadi saat KH Ma’shum Ahmad, ayahanda KH Ali Ma’shum, saat bersilaturrahim ke seorang kiai di Lombok. Menjelang waktu maghrib kiai asal Lasem itu sampai di sana. Saat dijamu oleh tuan rumah, Mbah Ma’shum mengetahui betapa ramainya pesantren sang kiai. Hiruk-pikuk para santri yang melakukan aktifitasnya sangat tampak. Segenap santri terlihat mengaji dan berdzikir. “Alhamdulillah, pesantren Tuan sudah maju. Santrinya banyak. Semoga mereka bisa jadi pemimpin kaumnya,” kata Mbah Ma’shum. Setelah mengamini doa temannya, tuan rumah hanya tersenyum penuh arti. 

Akan tetapi, keesokan harinya, tiba-tiba saja pesantren itu mendadak sepi, tak seorang pun santri yang terlihat berlalu lalang, dan di tempat itu hanya ada sang kiai saja, yang bersama keluarga rumahnya berada di tengah-tengah pelataran pesantren. Dia bertanya kepada sang tuan rumah, kemana gerangan para santrinya. Lalu, kiai itu pun menjelaskan bahwa santri-santrinya itu adalah segenap jin.

Sang kiai itu memang sangat alim, tangguh, dan memiliki banyak kekeramatan, sehingga umatnya tidak saja manusia. Kekeramatannya yang lain, adalah air dari buah-buah kelapa yang tumbuh di lingkungan pesantrennya. Air kelapa itu sangat mujarab untuk menyembuhkan banyak penyakit. Mbah Ma’shum ketika berpamitan pun diberi bawaan atau oleh-oleh berupa beberapa biji buah kelapa itu. Kiai dari Lombok itu bernama Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, pendiri organisasi Nahdhatul-Wathan pada 1356 H (1936 M). 

Pertemanan Mbah Ma’shum dengannya berawal ketika keduanya masih sama-sama belajar di Makkah. Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid belajar di Makkah, dalam didikan Syekh Hasan bin Muhammad al-Massyath al-Makki, salah seorang ulama terkenal di Hijaz pada eranya. Dia sangat akrab dengan Mbah Ma’shum, dan keduanya sama-sama saling menghormati meskipun dalam hal organisasi keduanya berbeda jalan. 

* Dinukil dari Mbah Ma’shum Lasem: the Authorized biography of KH Ma’shum Ahmad karya M. Luthfi Thomafi Pustaka Pesantren/2007. Dimuat di Majalah AULA No. 03/XXXII edisi Maret 2010 dalam rubrik ‘IBRAH’

(Disadur dari Majalah Alkisah No. 26/Tahun VII)