Hakikat 'Ujub

Mula-mula ujub itu hanya berada di dalam hati, yakni menganggap dirinya paling mulia, paling segala-galanya dan paling sempurna dibandingkan orang lain. Karena anggapan yang demikian itu maka hatinya merasa puas dan bangga apa yang dirasa kelebihan pada dirinya.

Kemudian berkembang menjadi suatu perkataan yang mengungkapkan tentang pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah .

Karena seseorang sudah dijangkiti penyakit ujub maka lalu ada sikap meremehkan dalam berbuat amal, maka tepatlah kiranya jika ujub ini adalah pangkal kemaksiatan, kelalaian dan kesenangan nafsu untuk merasa puas dengan dirinya. Sedangkan orang yang merasa puas dengan dirinya sendiri karena menganggap sempurna maka dia buta dengan kelemahan-kelemahan yang dimiliknya.

‘Ujub secara bahasa adalah membanggakan (mengherankan) diri dalam hati (bathin), sedangkan dalam istilah diartikan memastikan (wajib) keselamatan badan dari siksa akhirat.  ‘Ujub termasuk dalam kategori dosa besar, dimana dalam hatinya bercongkol suatu sifat yang dapat menghilangkan kekuasaan Allah, termasuk dalam segala perbuatan yang telah Allah ciptakan (sifat baik dan buruk)[1], maka dari itu Allah berfirman dalam surah Al-A’raf  ayat 99:

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.

Dari pemaparan diatas dapat kita fahami bahwa ‘ujub yaitu suatu sikap membanggakan diri, dengan memberikan satu penghargaan yang terlalu berlebihan kepada kemampuan diri dalam hal menghindar dari siksa neraka. Sikap ini tercermin pada rasa tinggi diri(superiority complex) dalam bidang keilmuan, amal perbuatan ataupun kesempurnaan moral. Sehingga sampai pada sebuah kesimpulan sudah tidak memperdulikan bahwa sebenarnya Allah-lah yang membuat kebaikan ataupun keburukan, serta Dia-lah yang melimpahkan kenikmatan yang nyata[2].

Maka dari itu, Allah kembali mengingatkan kepada orang-orang yang beriman mengenai sifat ‘ujub ini dalam surah Al-An’am ayat 82:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“ Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

 

Pendapat Syaikh Ahmad Rifai seiring dengan hadith Nabi SAW yang diriwatakan oleh Imam Tabrani, sebagaimana yang telah di kutip oleh Imam al-Ghazali, yaitu: ([1] إحياء علوم الدين 3 / 360 ط. الحلبي 1939م.)

“Tiga perkara yang membinasakan yaitu: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman(takjub) seseorang kepada dirinya sendiri (‘Ujub[3])”.

[1]اسْتِعْظَامُ النِّعْمَةِ وَ الرُّكُونُ إِلَيْهَا، مَعَ نِسْيَانِ إِضَافَتِهَا إِلَى الْمُنْعِمِ

Membesarkan ni’mat dan condong kepadanya, dibarengi lupa menyandarkan ni’mat tersebut kepada Pemberi ni’mat.

Berbangga diri dan melupakan pemberi ni’mat, baik nikmat itu berupa harta, anak, kepandaian/kecerdasan, kekuatan fisik, kemuliaan nasab, dll merupakan perkara yang membinasakan diri manusia, dan masuk dalam kategori syirik kecil, yakni menyekutukan Allah dengan diri.

Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi bahwa Rasulullah bersabda:

[2]ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِه

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub/bangganya seseorang terhadap dirinya.”

[2] وأورده المنذري في الترغيب والترهيب (2 / 286) وقال: رواه البزار والبيهقي وغيرهما، وهو مروي عن جماعة من الصحابة، وأسانيده – وإن كان لا يسلم شيء منها من مقال – فهو بمجموعها حسن إن شاء الله تعالى

Dalam hadits qudsi, Rasulullah saw berkata, bahwa Allah swt berkata:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ

‘Aku adalah dzat yang tidak membutuhkan sekutu, maka barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan menyertakan sekutu selain diri-Ku, maka Aku berlepas diri darinya, dan ia milik sekutu yang disertakannya itu.” (H.R. Ibnu Majah)

Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ‘ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena terlalu ujub terhadap dirinya sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah SWT akan menjatuhkan martabatnya.”

Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya serta menganggapnya bagai angin lalu. Nabi SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)

Bisyr Al-Hafi menjelaskan ‘ujub sebagai berikut: “ Menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”

Sufyan Ats-Tsauri meringkas makna ‘ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”.

Al-Fudhail bin Iyadh berkata:

إذْظَفَرَ اِبْلِيْسُ مِنْ اِبْنِ آدَمَ بِاِحْدَىْ ثَلاَثٍ خِصَالٍ قَالَ: لاَأطْلُبُ غَيْرَهَا: إعْجَابُهُ بِنَفْسِهِ،

وَاسْتِكْثَارُهُ عَمَلَهُ، وَنِسْيَانُهُ ذُنُوْبَهُ

“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ‘ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia (Iblis) berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ‘ujub?

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka AllahSWT berfirman: “Siapakah yang lancang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)

Lebih jauh, Syaikh Ahmad Rifa’i menukil dari pendapat Imam al-Ghazali dalam kitabnyaIhya’ Ulum al-Diin, Jilid III halaman 390-391[4], yaitu:

 

وَحَقِيْقَةُ الْعُجْبِ تَكَبُّرٌ يَحْصُلُ فِى الْبَاطِنِ بِتَحَيُّلِ كَمَالٍ مِنْ عِلْمٍ وَعَمَلٍ , فَإِنْ كَانَ خَائِفًا عَلَى زَوَالِهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْجِبٍ . وَإِنْ كَانَ يَفْرَحُ بِكَوْنِهِ نِعْمَةً مِنَ اللهِ فَهُوَ لَيْسَ مُعْجِبًا بَلْ هُوَ مَسْرُوْرٌ بِفَضْلِ اللهِ, وَإِنْ كَانَ نَاظِرًا إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ هُوَ صِفَةٌ غَيْرَ مُلْتَفِتٍ إِلَى إِمْكَانِ الزَّوَالِ وَلَا إِلَى الْمُنْعِمِ بِهِ إِلَى صِفَةِ نَفْسِهِ فَهَذَا الْعُجْبُ وَهُوَ مِنَ الْمُهْلِكَاتِ وَعِلاَجُهُ أَنْ يَتَأَمَّلَ فِى الْعَاقِبَةِ, وَأَنَّ بَلْعَامَ كَيْفَ خُتِمَ بِالْكُفْرِ وَكَذَلِكَ إِبْلِيْسَ, فَمَنْ تَأَمَّلَ فِى إِمْكَانِ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ وَإِنَّهُ مُمْكِنٌ فَلاَ يَعْجُبُ بِشَيْئٍ مِنْ صِفَاتِهِ .

“Bahwa hakikat ‘ujub adalah kesombongan yang terjadi dalam diri seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan amal dan ilmunya. Apabila seseorang merasa takut kesempurnaan (ilmu dan amalnya), itu akan dicabut oleh Allah, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujub.

Demikian juga apabila ia merasa gembira karena menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan merupakan suatu nikmat dan karunia Allah, maka ia juga bukan masuk ke dalam jenis ‘ujub.

Akan tetapi sebaliknya, apabila ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan itu lenyap, serta tidak pernah memikirkan siapa Sang pemberi kesempurnaan tersebut, maka inilah yang dinamakan ‘ujub. Sifat ini sangat membahayakan bagi setiap manusia, karena ia mengajak kepada lupa dosa-dosa yang telah dibuatnya dan mengesampingkan (acuh)terhadap dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Satu-satunya jalan untuk terhidar dari sifat ‘ujub ini, kita selalu mencoba mengingat kembali apa yang telah kita lakukan supaya cepat kembali ke pangkal jalan (insyaf), sebagaimana Ulama Bal’am dan Iblis La’natullah ‘alaih yang ibadahnya sudah mencapai ribuan tahun pun pengakhiran hidupnya dengan pengakhiran yang buruk (Su’u al-Khotimah), Karena, sifat ‘ujub menjadikan hati seorang mukmin menjadi ingkar akan segala nikmat yang telah Allah berikan padanya (kufr al-nikmat).

Supaya kita lebih memahami makna yang tersirat dari perkataan Imam al-Ghazali  di atas, para ulama ahli sufi dengan jelas memberikan suatu gambaran kepada kita, yaitu[5]:

 

لَا تُفَرِّحْكَ الطَّاعَةُ لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ لِأَنَّهُ يُوْرِثُ الْعُجْبَ وَالْكِبْرَ وَإِهْمَالَ الشُّكْرِ

وَافْرَحْ بِهَا لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنَ اللهِ إِلَيْكَ قُلْ بِفَضْلِ اللهِ الْإِسْلاَمِ وَبِرَحْمَتِهِ الْقُرْأَنِ

فَبِذَالِكَ الْفَضْلُ وَالرَّحْمَةُ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ .

“Jangan sesekali merasa diri kita paling taat kepada-Nya, karena ia dapat membawa malapetaka, seperti menganggap diri kita yang paling mulya (‘ujub), takabbur kemudian lupa akan segala nikmat-nikmat-Nya. Dan merasa-lah dalam hati kita, bahwa ketaatan itu sejatinya merupakan pemberian Allah semata, dengan petunjuk-Nya telah memberikan satu karunia cahaya ke-Islam-an dan iman yang diridhai-Nya, dengan kasih sayang-Nya turunlah Al-Quran sebagai pedoman sehingga kita mampu membedakan mana yang hak dan yang bathil, dengan demikian, merasalah bergembira dalam hati atas segala anugerah yang telah Allah limpahkan kepada kita.”

 

Sebab-Sebab ‘Ujub[6]:

1. Faktor Lingkungan dan Keturunan

Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dan sebagainya.

2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan

Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقُ صَاحِبَك

“Celakalah engkau, engkau telah memotong leher sahabatmu”. (Muttafaq ‘alahi)

Seringkali kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Pujian adalah fatamorgana yang dihajatkan oleh nafsu.

At-Tsauri berkata:

فَاِنْ لَمْ تَكُنْ مُعْجِبًا بِنَفْسِكَ فَإِيَّاكَ اَنْ تُحِبَّ مَحْمَدَةَ النَّاسِ وَمَحْمَدَتُهُمْ اَنْ تُحِبَّ اَنْ يُكَرِّمُوْكَ بِعَمَلِكَ، وَيَرَوْا لَكَ بِهِ شَرَفًا وَمَنْزِلَةً فِى صُدُوْرِهِمْ

“Apabila kamu sudah tidak ‘ujub pada diri, kamu juga mesti menjauhi sifat ‘suka dipuji’. Bukti bahwa kamu suka pujian orang adalah bahwa kamu ingin agar mereka menghormati kamu kerana sesuatu amal yang kamu lakukan dan supaya mereka mengetahui kemuliaan dan kedudukan kamu di hadapan mereka”.

 

Pujian ditujukan kepada kerja yang kita lakukan atau ucapan yang telah kita sampaikan. Orang memuji mempunyai tujuan tertentu, sedangkan kita sendiri mengetahui hakikat sebenarnya apa yang ada pada diri kita, tetapi kita lupa atau terpedaya.

Fudhail bin ‘Iyadh mengemukakan parameter supaya kita dapat mengukur dan mengetahui hakikat diri sendiri:

إِنَّ مِنْ عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ اَنْ يُحِبَّ الْمَدْحَ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ،

وَيَكْرَهَ الذَّمِّ بِمَا فِيْهِ، وَيَبْغَضَ مَنْ يَبْصُرُهُ بِعُيُوْبِهِ

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda orang munafik adalah bahwa ingin mendapat pujian dengan perkara yang tidak ada padanya, sedangkan ia membenci terhadap celaan yang ada pada dirinya, dia marah kepada orang yang memandang berbagai kekurangan yang ada pada dirinya”.

3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang akan mengikuti tingkah laku temannya. Rasulullah SAW bersabda:

Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Bukhari Muslim)

Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.

4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah SWT

Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah SWT yang telah memberinya nikmatnya. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ‘ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah SWT telah menceritakan kepada kita kisah Qarun:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي …..

Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”.(Al-Qashash: 78)

5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna

Pada hari ini kita banyak mengeluhkan masalah yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal tersebut. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”. Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!

6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)

Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ‘ujub. Ia pasti meminta kepada Allah SWT agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:

  “Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.

Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina.

Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.

Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?

Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!

Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.

Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur.

Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.

Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesudahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.

7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan

Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak ragu lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ‘ujub.

Dalam sebuah kisah pada zaman khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Bait Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada sayyidina Umar dan mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar  pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!”

Umar menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!” Tidakkah engkau ketahui bahwa: Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi, dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya. Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu.

8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati

Barangkali inilah hikmahnya Rasul SAW melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)

Dalam hadits lain Rasul bersabda:

Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)

9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit ‘Ujub

Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ‘ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ‘ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasul:”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasul, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?”

Rasul menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”

(HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Dampak ujub

1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.

2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. sebagaimana firmannya:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)

3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.

Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ‘ujub akan berteriak: ‘Oh kawan, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah SWT, mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu:

Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?

Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?

Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.

Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?

 

4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya.

Allah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)

Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’'

5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam hadits disebutkan:

Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.”(HR. Al-Bukhari)

Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ‘ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di dunia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah SWT mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.

Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ‘ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.

Penjelasan mengenai ‘ujub diatas mengandung muatan kritik terhadap 3 kalangan[7]:

Perbedaan antara Ujub dan Riya’

Ujub itu temannya riya’, tetapi riya’ itu perbuatan syirik kepada Alloh dan yang dijadikan sekutu adalah makhluk selain dirinya, sedangkan ujub yang dijadikan sekutu adalah dirinya sendiri. (Jadi riya’ itu beribadah kepada Alloh tetapi disertai niatan dan tujuan lain dari perkara dunia, sementara ujub itu merasa hebat, paling pintar dan menyombongkan diri dihadapan Alloh -ed.)

Pelaku riya’ itu tidak merealisasi firman Alloh ‘Iyyaka na’budu’ sedang pelaku ujub tidak merealisasi firman Alloh ‘Iyyaka nasta’iin’, maka barang siapa yang merealisasi ‘Iyyaka na’budu’ menghilangkan riya’, sedangkan yang merealisasi ‘Iyyaka nasta’iin’ menghilangkan ujub.

Perbedaan Ujub dan Sum’ah

Ujub itu didalam hati sedangkan sum’ah itu dengan lisan dan sum’ah itu semakna dengan riya’ dalam hal sekutunya yaitu selain Alloh dari makhluk. (Maka sum’ah itu memperdengarkan amal kebaikannya kepada orang lain agar mendapat pujian atau dikatakan hebat dst. –ed.)

Perbedaan antara kibr (sombong) dan Ujub

Ujub itu ta’jub dengan amalannya memuji diri sendiri melupakan Alloh ta’ala dan tidak membesarkan diri dihadapan orang lain, dan tidak merendahkan manusia; tapi jika ujub ini sampai melihat dirinya lebih baik dari yang lain dan merendahkannya maka tatkala itu mejadi sombong.

Diantara tanda-tanda sifat yang terkumpul dalam ujub :

Tidaklah kamu melihat riwayat dari Aisyah ketika ditanya kapan seorang itu telah dikatakan berbuat keburukan? Dia menjawab: ‘Jika dia menyangka telah berbuat ihsan’. Benar kata Aisyah! Jika ia telah menyangka berbuat ihsan dan takjub dengan amalnya

Begitu khawatirnya orang-orang shaleh terhadap sifat ‘ujub ini, seorang tabi’in bernama Muthorrif bin Abdullah rahimahullahmengatakan:

لأن أبيت نائماً وأصبح نادماً أحب إليّ من أن أبيت قائماً وأصبح معجباً

Jika aku melewati malam dengan tidur dan pagi dalam kondisi menyesal (krn tdk bangun beribadah) itu lebih aku sukai daripada aku melewati malam dengan ibadah dan pagi harinya dengan berbangga diri.

Tabi’in lain bernama Atha’ rahimahullah menyatakan: “Barangkali Allah membukakan bagimu pintu ketaatan tetapi tidak membukakan bagimu pintu penerimaan amalan itu; barangkali Dia menakdirkan (membiarkan) engkau terjatuh dalam kemaksiatan, tetapi hal itu menjadi  sebab sampainya kamu kepada-Nya (dengan bertaubat). Kemaksiatan yang menyebabkan dirimu terhina dan tercerai-berai adalah lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan dirimu berbangga dan menyombongkan diri.”

Ma’âsyirol Muslimin Rahimakumullah

Sikap mereka ini  menunjukkan betapa khawatir dan takutnya mereka akan sifat ‘ujub ini, bukan berarti mereka  meremehkan amalan sunnah dan kebaikan, bukan pula berarti meremehkan maksiyat, sebab sifat meremehkan maksiyat adalah sifat orang durhaka, sebagaimana  perkataan Ibnu Mas’ud r.a :

إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ

Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya. Dan seorang durhaka memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di hidungnya (Riwayat Bukhory, at Tirmidzi dan Ahmad)

Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah tentang obat ujub :

“Apabila kamu mengkhawatirkan ujub terhadap amalanmu, maka perhatikanlah; ridho siapa yang kamu cari?, pahala siapa yang kamu harapkan?, hukuman siapa yang kamu takutkan?, kesehatan dan nikmat mana yang kamu syukuri?, dan bencana apa yang kamu ingat?. Sesungguhnya apabila kamu berfikir tentang salah satu dari beberapa perkara ini, pasti menjadi kecil di matamu amalanmu.”

(Ma’alim Fit Tarbiyah Wad Dakwah, Mawa’idh Al-Imam Asy-Syafi’i, Penyusun Sholih Ahmad Asy-Syami, hlm 9, Maktabah Syamilah)

Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah memberikan lima resep untuk mengobati sifat ujub tersebut:

1. Dalam beramal tentu seseorang mencari ridho Allah, dan dia tidak akan mendapatkan ridho Allah apabila ujub terhadap amalnya.

2. Dalam beramal tentu seseorang mengharapkan pahala Allah, dan dia tidak akan mendapatkan pahala Allah apabila ujub terhadap amalnya.

3. Dalam beramal tentu seseorang mengharapkan selamat dari hukuman Allah, dan dia tidak akan selamat dari hukuman Allah apabila ujub terhadap amalnya.

4. Semua amal kita apabila dibandingkan dengan nikmat yang diberikan Allah kepada kita tentu masih lebih banyak nikmat Allah yang kita terima yang harus kita syukuri, padahal kita tidak akan mampu mensyukuri nikmat-nikmat tersebut dengan sebenarnya. Lalu apa yang kita banggakan dari amal kita ?.

5. Berapa banyak bencana yang kita diselamatkan Allah darinya, padahal amal kita tidak seberapa dibanding bencana-bencana yang kita diselamatkan darinya. Lalu apa yang kita banggakan dari amal kita ?

Semoga Allah swt membersihkan dan menjaga kita dari buruknya sifat ‘ujub ini, dan menjadikan amal kita semata-mata untuk-Nya, dan menerima serta melipat gandakan kebaikan yang kita lakukan.

Shollallahu ‘Ala Muhammad Wa Aalihi

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

[1] Syeh Ahmad Rifa’i, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 21, halaman 16, baris 9, bisa juga lihat dalam kitab karangan beliau lainnya seperti dalam Abyan al-Hawaaij, beliau menerangkan ‘ujub hukumnya haram dan dosa besar, dicontohkan seorang Ulama yang bernama Bal’am sudah rusak imannya, yaitu dengan pengakhiran hayatnya dalam keadaan kufur (Su’u al-Khotimah).

[2] Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi, RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 135

[3] Hadith ini disebutkan oleh Al-Mundziry dalam kitab At-Targhib wa Tarhib 1/162 yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Al-Baihaqi serta dibenarkan oleh Al-Albany

[4] Opcit. Riayah Akhir, korasan 21, halaman 19, baris ke 2-9

[5] __________________, Riayah Akhir, Korasan  22, halaman 1, baris 10

[6] Risalah Al-Hujjah No: 54 / Thn IV / Rabiul Awal

[7] Dr. Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH.Ahmad Rifa’I ,

Kalisalak, LKiS, Yogyakarta, januari, 2001, halaman 152