II. Permulaan Hidayah

Bismillahirahmanirrahim             Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam atas makh­luk-Nya termulia, Muhammad, Rasul dan hamba-Nya, serta atas keluarga dan sahabat beliau.

            Ketahuilah wahai manusia yang ingin mendapat curahan ilmu, yang betul-betul berharap dan sangat haus kepadanya, bahwa jika engkau menuntut ilmu guna bersaing, berbangga, mengalahkan teman sejawat, meraih simpati orang, dan mengharap dunia, maka sesungguhnya engkau sedang berusaha menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhirat dengan dunia. Dengan demikian, engkau mengalami kegagalan, perdaganganmu merugi, dan gurumu telah membantumu dalam berbuat maksiat serta menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut. Gurumu itu seperti orang yang menjual pedang bagi perompak jalanan, sebagaimana Rasul saw. bersabda, "Siapa yang membantu terwujudnya perbuatan maksiat walaupun hanya dengan sepenggal kata, ia sudah menjadi sekutu baginya dalam per­buatan tersebut."

            Jika niat dan maksudmu dalam menuntut ilmu un­tuk mendapat hidayah, bukan sekadar mengetahui riwa­yat, maka bergembiralah. Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya untukmu saat engkau ber­jalan dan ikan-ikan paus di laut memintakan ampunan bagimu manakala engkau berusaha. Tapi, engkau harus tahu sebelumnya bahwa hidayah merupakan buah dari ilmu pengetahuan. Hidayah memiliki permulaan dan akhir serta aspek lahir dan batin. Untuk mencapai titik akhir tersebut, permulaannya harus tersusun rapi. Be­gitu pula, untuk menyingkap aspek batinnya, harus di­ketahui terlebih dahulu aspek lahirnya.

            Oleh karena itu, di sini akan aku tunjukkan padamu permulaan dari sebuah hidayah agar engkau bisa men­coba dirimu dan menguji hatimu. Apabila engkau men­dapati hatimu condong pada hidayah tersebut lalu di­rimu berusaha untuk menggapainya, maka setelah itu engkau bisa melihat perjalanan akhir darinya yang me­laju dalam lautan ilmu. Sebaliknya, jika engkau men­dapati hatimu berat dan lengah dalam mengamalkan apa yang menjadi konsekuensinya, ketahuilah bahwa jiwa yang mendorongmu untuk menuntut ilmu tersebut adalah jiwa al-ammaarah bi as-su' (yang memerintahkan pada keburukan). Jiwa tersebut bangkit karena taat ke­pada setan terkutuk untuk dijerat dengan tali tipuannya. Ia terus memberikan tipudayanya kepadamu sampai engkau betul-betul binasa. Ia ingin agar engkau mem­perbanyak kejahatan dalam bentuk kebaikan sehingga ia bisa memasukkanmu dalam kelompok orang yang me­rugi dalam amalnya. Yaitu, mereka yang sesat di dunia ini, yang mengira bahwa mereka telah melakukan suatu perbuatan baik. Saat itu setan menceritakan padamu tentang keutamaan ilmu, derajat para ulama, serta berba­gai riwayat di seputarnya. Namun, setan tersebut membuatmu lalai dari sabda Nabi saw., "Siapa yang ber­tambah ilmu, tapi tidak bertambah hidayah, ia hanya bertambah jauh dari Allah." Juga dari sabda Nabi saw. yang berbunyi, "Orang yang paling keras siksanya di hari kiamat, adalah orang alim yang ilmunya tak Allah berikan manfaat padanya."

 

Nabi saw. berdoa:

 Allahumma innii a'udzubika min 'ilmi laa yanfa'u wa qalbin laa yakhsya' wa 'amalin laa yurfa'u wa du'ain laa yusma'u

"Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari amal yang tak diterima, dan dari doa yang tak didengar."

Sabda Nabi saw., "Di malam aku melakukan Israk, aku melewati sekelompok kaum yang bibir mereka digun­ting dengan gunting api neraka. Lalu aku bertanya, 'Sia­pa kalian?' Mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang memerintahkan kebaikan tapi tidak melakukan­nya, dan mencegah keburukan tapi kami sendiri me­ngerjakannya!"

 

Oleh karena itu, jangan engkau serahkan dirimu untuk ­diperdaya oleh jerat tipuannya. Celaka sekali bagi orang bodoh, karena ia tidak belajar. Tapi celaka seribu bagi orang alim yang tak mengamalkan ilmunya!

 

Ketahuilah bahwa dalam menuntut ilmu, manusia terbagi atas tiga jenis:

(1) Seseorang yang menuntut ilmu guna dijadikan bekal untuk akhirat dimana ia ha­nya ingin mengharap rida Allah dan negeri akhirat. Ini termasuk kelompok yang beruntung;

(2) Seseorang yang menuntut ilmu guna dimanfaatkan dalam kehidupan­nya di dunia sehingga ia bisa memperoleh kemuliaan, kedudukan, dan harta. Ia tahu dan sadar bahwa keada­annya lemah dan niatnya hina. Orang ini termasuk ke dalam kelompok yang berisiko. Jika ajalnya tiba sebelum sempat bertobat, yang dikhawatirkan adalah peng­habisan yang buruk (su' al-khatimah) dan keadaannya menjadi berbahaya. Tapi jika ia sempat bertobat sebe­lum ajal tiba, lalu berilmu dan beramal serta menutupi kekurangan yang ada, maka ia termasuk orang yang beruntung pula. Sebab, orang yang bertobat dari dosa­nya seperti orang yang tak berdosa;

(3) Seseorang yang terperdaya oleh setan. Ia pergunakan ilmunya sebagai sarana untuk memperbanyak harta, serta untuk berbang­ga dengan kedudukannya dan menyombongkan diri de­ngan besarnya jumlah pengikut. Ilmunya menjadi turn­puan untuk meraih sasaran duniawi. Bersamaan dengan itu, ia masih mengira bahwa dirinya mempunyai posisi khusus di sisi Allah karena ciri-ciri, pakaian, dan ke­pandaian berbicaranya yang seperti ulama, padahal ia begitu tamak kepada dunia lahir dan batin.

 

Orang dari kelompok ketiga di atas termasuk golong­an yang binasa, dungu, dan tertipu. Ia tak bisa diharap­kan bertobat karena ia tetap beranggapan dirinya ter­masuk orang baik. Ia lalai dari firman Allah Swt. yang berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman. Mengapa ka­lian mengatakan apa-apa yang tak kalian lakukan?!" (Q.S. ash-Shaff: 2). Ia termasuk mereka yang disebutkan Rasul saw., "Ada yang paling aku khawatirkan dari kalian ke­timbang Dajjal." Beliau kemudian ditanya, "Apa itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ulama su' (bu­ruk)." Sebab, Dajal memang bertujuan menyesatkan, se­dangkan ulama ini, walaupun lidah dan ucapannya me­malingkan manusia dari dunia, tapi amal perbuatan dan keadaannya mengajak manusia ke sana.       

             Padahal, realita lebih berbekas dibandingkan ucapan. Tabiat manusia lebih terpengaruh oleh apa yang dilihat ketimbang meng­ikuti apa yang diucap. Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatannya lebih banyak daripada perbaikan yang di­sebabkan oleh ucapannya. Karena, biasanya orang bo­doh mencintai dunia setelah melihat si alim cinta pada dunia. Ilmu pengetahuan yang dimilikinya, menjadi fak­tor yang menyebabkan para hamba Allah berani ber­maksiat pada-Nya. Nafsunya yang bodoh tertipu, tapi masih memberi angan-angan dan harapan padanya. Bahka, ia mengajaknya untuk mempersembahkan sesuatu untuk Allah dengan ilmunya. Nafsu tersebut membuat­nya beranggapan bahwa ia lebih baik dibandingkan hamba Allah yang lain.

            Maka dari itu, jadilah engkau ter­masuk golongan yang pertama. Waspadalah agar tidak menjadi golongan kedua karena betapa banyak orang yang menunda-nunda, ternyata ajalnya tiba sebelum ber­taubat sehingga akhirnya rugi dan kecewa. Lebih dari itu, waspadalah! Jangan sampai engkau menjadi golong­an ketiga karena engkau betul-betul akan binasa, tak mungkin selamat dan bahagia.

            Apabila engkau bertanya, "Apa permulaan dari hida­yah tersebut sehingga aku bisa menguji diriku dengan­nya?" Maka ketahuilah bahwa hidayah bermula dari ketakwaan lahiriah dan berakhir dengan ketakwaan ba­tiniah. Tak ada balasan kecuali dengan takwa dan tak ada hidayah kecuali bagi orang-orang bertakwa. Takwa adalah ungkapan yang mengandung makna melaksana­kan perintah Allah Swt. dan menghindarkan larangan-­larangan-Nya. Masing-masing ada dua bagian. Di sini aku akan menunjukkan kepadamu secara ringkas aspek lahiriah dari takwa dalam dua bagian tersebut secara bersamaan. Aku masukkan bagian ketiga agar tulisan menjadi lengkap dan cukup. Allah tempat meminta pertolongan.