Sunan Ampel

SUNAN Ampel benar-benar sudah diyakini oleh semua peneliti sejarah, “bukan orang Jawa”. Ia adalah pendatang dari Campa atau Cempa atau Jeumpa. Masih belum jelas, di mana tepatnya. Bahkan juga disebutkan bahwa Sunan Ampel, berdarah Arab dan keturunan Cina.

Selain itu semua, ada lagi kisah tentang nasab atau garis keturunan Sunan Ampel. Dalam Babad Tanah Jawi- Galuh Mataram, versi Soewito Santoso, menegaskan bahwa Sunan Ampel berasal dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW (Shalallahu ‘Alaihi Wasallam).

Azzumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, 1994,halaman 30, bahwa ayah Sunan Ampel orang Arab bukan sekadar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum tersebut juga dikuatkan oleh keterangan GWJ Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Kalijaga Jogjakarta, 21 November 1971, sebagaimana diberitakan pada Bulletin Antara, terbitan LKBN Antara, edisi pagi, 22 November 1971, halaman 1.

Salah satu bangsa di dunia yang senang dan paling rajin mencatat nasab dan silsilah adalah Bangsa Arab, terutama kaum Alawiyyin. Ini karena ciri khas kaum ini yang bangga dan hormat terhadap orang tua dan leluhurnya. Kabilah Arab menyusun cacatan silsilah ini dengan rapi. Syekh Al-Fadil wa al-Tahrir al-Kamil Abi al-Faus al-Bagdadi yang biasa disebut al-Syuwaidiy dalam bukunya: “Sabaik al-Zahab fi Ma’rifati Qabail al-Arab, menulis tentang silsilah dan pecahan kabilah di Arab perantau sampai ke India.

Dalam kitab itu juga diuraikan tentang garis keturunan Nabi Muhammad SAW ke Siti Fatimah yang menjadi penyebar agama Islam sampai ke Timur Jauh, yakni: India, Kamboja, Siam, Annam, Malaysia dan Indonesia.

Dalam beberapa silsilah Nabi Muhammad yang kemudian sampai ke Sunan Ampel, terungkap pada Serat Babad Para Wali Tanah Jawa sebagai versi pertama, silsilah dari 1’Nabi Muhammad terus ke generasi 2.Sayyidah Siti Fatimah az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib, terus ke 3.Husein — 4.Ali Zainal Abidin — 5.Muhammad al-Baqir — 6.Ja’far Shadiq — 7.Ali — 8.Muhammad — 9.Isa — 10.Ahmad Muhajir — 11.Ubaidullah — 12.Alwi — 13.Muhammad — 14.Alwi — 15.Ali Khaliq — 16.Muhammad — 17.Alwi — 18.Abdul Malik — 19.Abdullah Khan — 20.Ahmad Jamaluddin — 21.Jamaluddin Husain al-Akbar — 22. Ibrahim as-Samaqandi dan terus ke 23. Ahmad Rahmatillah dikenal Raden Rahmat.

Jadi, Sunan Ampel nama lengkapnya Ahmad Rahmatillah memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu raja Champa, ipar Dwarawati) alias Haji Bong Tak Keng (anak buah Sam Po Bo) yang menjadi Kapten Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) di Champa. Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu (Kyai Bantong) menantu Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit.[1][2] Puteri dari Kyai Bantong menikah dengan Prabu Brawijaya kemudian melahirkan Raden Fatah. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya.

Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim alias Haji Bong Tak Keng keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati (anak raja Champa) yang menjadi permaisuri raja Brawijaya.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil isteri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara. Dipati Hangrok telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan isteri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Anak dari Putri Pasai tersebut wafat ketika isterinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristerikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai isteri oleh Sunan Kudus, sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.

Gelar Raden

Biasanya, kalau penyebar agama Islam berasal dari Arab, ia sering dipanggil syekh. Sebagaimana panggilan untuk ulama besar di Sumatera, terutama di Minangkabau atau Sumatera Barat. Tetapi itu sama sekali tidak, pada Sunan Ampel dan beberapa sunan lainnya. Kecuali ada sebutan syekh untuk Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Syekh Maulana Yusuf.

Berbagai sumber dan babad, semuanya menyatakan Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Rahmat.

Dalam riwayat berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan menyeberangi samudera dan lautan, Rahmat datang pusat kerajaan Majapahit bersama adiknya Raja Pandhita alias Santri dan anak pamannya bernama Beureurah atau Burerah. Paman Rahmat atau ayah Burerah adalah Raja Cempa. Di keraton Majapahit mereka bertiga diterima sebagai keluarga kerajaan. Sebab, Rahmat dan Raja Pandhita alias Santri adalah kemenakan dari permaisuri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Murtiningrum atau dalam Babad Tanah Jawi – Galuh Mataram disebut Ratu Darawati.

Nah, saat berada di Majapahit inilah, mereka bertiga memperolah gelar “raden”, sehingga Rahmat menjadi Raden Rahmat, Raja Pandhita alias Santri menjadi Raden Santri dan Beureurah menjadi Raden Burerah.

Kemudian, Raden Rahmat sebagai ulama dan oleh Prabu Brawijaya diberi kesempatan untuk menguasai suatu wilayah di Surabaya, tepatnya di Ampel. Tidak hanya itu, dalam buku Oud Soerabaia (1931), karangan G.H.von Faber, halaman 288, disebutkan bahwa Raden Rahmat pindah bersama 3.000 keluarga pengikutnya (drieduizend huisgezinnen).

Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java(1817), halaman 117 menulis kepindahan Raden Rahmad dari keraton Majapahit ke Ampel disertai 3.000 keluarga (three thousand families). Sementara itu menurut Babad Ngampel Denta, jumlah orang yang boyongan bersama Raden Rahmat ke Ampel Surabaya sebanyak 800 keluarga (sun paringi loenggoeh domas). “Domas” menurut S.Prawiroatmodjo dalam buku Bausastra Jawa – Indonesia (1981) artinya delapan ratus.

Jadi, pemberian gelar raden untuk Rahmat sehingga bernama Raden Rahmat, karena ia dianggap sebagai bangsawan dan perlu mendapat penghormatan. Bisa juga, karena dia sebelumnya bergelar asy-Syarif atau as-Syayyid yang merupakan ningrat Arab, tulis G.F.Pijper dalam “Beberapa Studi Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950” terjemahan Tudjimah dan Yessi Augusdin (1984).

Berdasarkan padanan itu, lalu disejajarkanlah Rahmat dengan keturunan raja-raja Jawa, ia diberi gelar raden. Dengan adanya gelar raden itu, ia tidak lagi menjadi orang asing di sini. Apalagi dalam riwayat berikutnya, Raden Rahmat kawin dengan pribumi dan beranak-pinak sebagai “Orang Jawa”.

Sunan dan Wali

Setelah masa lalunya akrab dengan nama Raden Rahmat, kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam dari Surabaya, terus berkembang ke seluruh Tanah Jawa. Raden Rahmat tidak sendiri, ia dibantu murid-murid dan anak-anaknya.

Sebagai guru besar agama Islam ia kemudian mendapat julukan “Suhun”. Dalam buku Javaansch-Nedherlansch Handwooenboek(1901) karya J.F.C Gerieke dan T.Roorda, disebutkan bahwaSuhun merupakan kata dasar dari Sunan. Nah, kemudian berubahlah panggilan suhun menjadi sunan. Karena menetap di Ampel, maka Raden Rahmat kemudian popular dengan sapaan Sunan Ampel.

Kata “wali”, berasal dari kalimat waliyullah atau wali Allah. Dalam tradisi Jawa, terutama kalangan orang-orang Islam, tulis Drs.H.Syamsudduha dalam Jejak Kanjeng Sunan (1999), “wali” tidak hanya sekedar sebutan, tetapi ada “roh” atau “geest” di dalamnya.

Sebutan wali di situ tidak bisa dilepaskan dari Al Quran, seperti terdapat dalam Surat Yunus ayat 62-64. Ayat itu mengandung makna wali Allah, ialah orang yang karena iman dan taqwanya tidak merasa takut, tidak mengenal sedih, selalu gembira atau senantiasa optimistik dalam perjuangan, karena yakin dengan janji Allah yang akan memberi kemenangan dan keberhasilan.

Perkembangan zaman dan semakin tumbuhnya kehidupan manusia, maka penyebaran Islam di Tanah Jawa semakin nyata. Sunan Ampel tidak lagi sendiri, tetapi ada delapan lagi penyebar agama Islam yang juga memperoleh gelar yang sama. Dari delapan orang yang bergelar Sunan, satu di antaranya dipanggil Syekh.

Sunan Ampel dengan tujuh Sunan dan satu Syekh ini disebut sebagai Wali yang sembilan atau Wali Sanga atau Wali Songo. Mereka adalah Sunan Ampel di Surabaya, Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria di Gunung Muria, Sunan Kudus di Kudus dan Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Riwayat Hidup

Syekh Ibrahim Asmarakandi seorang ulama berasal dari Samarqandi ayah Sunan Ampel ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Husein Al-Akbar untuk berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian dijodohkan dengan putri raja Cempa (Muangthai) bernama Dewi Candrawulan. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat tiga orang putra yaitu Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah (Raden Rahmat),Sayyid Alim Murtadho (Raden Santri) dan Syekh Maulana Ishaq 

Adik Dewi Candrawulan yaitu Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Sehingga Raden Rahmat itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong pangeran kerajaan. Pada saat itu Kerajaan Majapahit sedang terjadi kemunduran, hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan yang suka berpesta dan berjudi serta mabuk-mabukan, sehingga mudah bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit. 

Ratu Dwarawati mengajukan pendapat kepada suaminya bahwa ia mempunyai keponakan yang bernama Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah yang dapat mengatasi kemerosotan budi pekerti. Maka diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah datang ke Majapahit. Lalu raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya tercinta ke Majapahit. Keberangkatan Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah untuk berdakwah ke Jawa ditemani oleh ayahnya (Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi) dan kakaknya (Sayyid Ali Murtadho). 

Ketika mereka sampai di desa Gesikharjo, Tuban maka Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia hingga beliau dimakamkan di Tuban. Sayyid Ali Murtadho kemudian meneruskan dakwah ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sedangkan Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah tetap meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya. 

Setelah Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah sampai di kerajaan Majapahit, lalu Prabu Brawijaya meminta beliau untuk mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar berbudi pekerti mulia. Setelah mendengar kesediaan Sayyid Ali Ahmad Ramatullah, maka Prabu Brawijaya memberi tanah berikut bangunan di Ampeldeta, Surabaya. Disanalah sayyid Ali Ahmad Rahmatullah mendidik para bangsawan, pangeran, dan rakyat Majapahit. 

Selanjutnya Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati. Dengan demikian Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit. Setelah Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah sampai di Ampeldenta, maka beliau membangun masjid dan pesantren. Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah, sehingga diperbolehkan mendakwahkan Islam diseluruh Majapahit. 

Sayyid Ali Ahmad Rahmatullah dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Akhirnya pada tahun 1478 Masehi, Sunan Ampel meninggal dunia, kemudian beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. 

Jasa Sunan Ampel sangat banyak diantaranya sebagai pelopor lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. 

Dari perkawinan Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati (Nyai Ageng Manila) dikaruniai beberapa orang anak yaitu Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Qosim (Sunan Drajad), Maulana Akhmad (Sunan Lamongan), Siti Mutmainah, Siti Alwiyah, Siti Asikah (istri Raden Patah). 

Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo(Ki Bang Kuning) beliau dikaruniai dua orang putri yaitu Dewi Murtasia (istri Sunan Giri) dan Dewi Mursimah (istri Sunan Kalijaga). 

Sejarah dakwah

Syekh Jumadil Qubro (Syaikh Jamalludin Husain), dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim as-Samaraqandi/samarakandi (bukan Sunan Gresik) dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.

Raden Rakhmat dilahirkan kira-kira dalam tahun 1401 M, di Champa, sebagai putera dari raja Champa. mengenai nama Champa ini berselisih para ahli sejarah. Kalau menurut Encyclopedia Van Nederlandesh Indie, Champa ini suatu negeri kecil yang terletak di Kamboja. akan tetapi Raffles, mengatakan bahwa champa itu bukan di kamboja, tetapi terletak di Aceh (Sumatera) yang sekarang bernama : Jeumpa.

Hal ini besar kemungkinan, mengingat bahwa Aceh dalam sejarah terkenal sebagai daerah pertama di Indonesia yang memeluk agama Islam. menurut riwayat dikatakan, bahwa Sunan Ampel adalah putera dari Ibrahim Asmarakandi yang dikatakan berasal dari Champa dan menjadi raja di sana. kemudian wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban.

Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja.

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.

Dan bukan menjadi rahasia lagi, bahwa Raden Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi perencana dari kerajaan islam pertama di jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah sebagai Sultannya yang pertama.. Negara baru di Demak itu adalah hasil rencana dari Sunan Ampel. Inilah jasa beliau yang besar. Semasa hidupnya beliau ikut pula mendirikan Masjid Agung demak yang dibangun kira-kira pada tahun Saka 1401 atau kira-kira bertepatan dengan tahun Masehi 1479.

Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa berdirinya masjid Demak adalah berdasarkan candrasengkala yang berbunyi : “Kori Trus Gunaning Janmi” yang artinya adalah tahun Saka 1399 atau bertepatan dengan tahun 1477 M.

Adapun berdirinya kerajaan Bintoro Demak bersengkala “Geni Mati Siniram Janmi”, yang artinya api mati disiram orang.

Bagaimana pendapat sunan ampel terhadap berbagai masalah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat kiranya dapatlah kita ketahui dari hasil pada pemusyawaratan para wali. Pada waktu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersesaji itu dimasuki rasa ke-Islam-an, maka Sunan Ampel pun bertanyalah :

“Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari ? bahwa adat isitadat dan upacara-upacara lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran islam, sebab kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah?”.

Pertanyaan sunan ampel ini kemudian dijawab oleh sunan Kudus sebagai berikut :

“Saya setuju dengan pendapatnya Sunan Kalijaga, sebab menurut pelajaran agama Budha itu ada persamaannya dengan ajaran Islam, yaitu orang kaya harus menolong kepada fakir miskin. Adapun mengenai kekhawatiran tuan, saya mempunyai keyakinan bahwa dikemudian hari akan ada orang Islam yang akan menyempurnakannya”.

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.

Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel mendapat beberapa putra di antaranya :

1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

2. Raden Qosim, Sayyid Hasyim Syarifuddin atau Sunan Drajad.

3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.

4. Siti Mutmainah

5. Siti Alwiyah

6. Siti Asyiqah/Dewi Murtasimah yang diperistri Raden Patah.

Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putri yaitu :

1. Dewi Murtasiyah yang diperistri Sunan Giri.

2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.

3. Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)

4. Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)

5. Pangeran Tumapel

6. Raden Faqih (Sunan Ampel 2)

Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai pelopor penjaga aliran lama itu menjadi menantu Sunan Ampel.

Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.

Pada waktu kerajaan Islam Demak berdiri, Sunan Ampel juga yang mengangkat serta menetapkan Raden Patah yang berkedudukan di desa Glagah Wangi yang kemudian bertukar nama menjadi Bintoro Demak, sebagai Sultan pertama dengan gelar: Sultan Alam Akbar Al Fatah. Adapun kota demak letaknya disebelah selatan kota Kudus, jarak 25 km jauhnya. Itulah sedikit mengenai diri dan perjuangan Sunan Ampel.

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.

Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443.

Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah).

Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.

Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.

Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.

Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel.

Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.

Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ”salat” diganti dengan ”sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama Hindu.

Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.

Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).

Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.

Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus.

”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.

Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.

Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.

Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ”Ngulama Ampel Seda Masjid”. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya.

Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.

Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.

Kisah dua Murid Sunan Ampel

Tidak seperti beberapa wali yang lain. Sunan Ampel tidak banyak memiliki kisah mistis. Tidak seperti beberapa wali yang lain. Barangkali karena orang Jawa tidak puas dengan itu, maka pengikut Sunan Ampel-lah yang sering ditonjolkan memiliki kekuatan ghaib. Kalau pembantunya saja sudah hebat,apalagi Sunan AMPEL sendiri. Kedua pembantu Sunan Ampel yang sering di ceriterakan mempunyai kekuatan gaib adalah mbah Sholeh dan mbah Sonhaji.

Mbah Soleh

Bila ke Surabaya, mampirlah di kompleks Makam dan Masjid Sunan Ampel. Tempat ini banyak menyimpan sejarah Islam di tanah Jawa. Banyak kisah menarik di sini. Di antaranya kisah tentang Mbah Soleh, Murid Sunan Ampel. Kisah Mbah Soleh erat kaitannya dengan sembilan kuburan yang ada di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel.

Bila Berziarah ke Makam Sunan Ampel, sungguh, jangan lupa, ziarahi juga makam Mbah Soleh.

Mbah Soleh, semasa hidupnya punya keistimewaan yang tak dipunyai lain-lain orang. Ia tukang sapu Masjid Ampel saat Sunan Ampel hidup. Kalau menyapu, bersih sekali. Orang yang sujud di masjid ini dan tak pakai sajadah merasa nyaman karena merasa bersih tanpa debu sama sekali.

Usia manusia, siapa yang tahu. Mbah Soleh wafat. Ia dikubur di depan masjid.

Kematiannya sangat ditangisi. Ia meninggalkan warisan amat penting: kerja adalah ibadah. Bila pekerjaan dilakukan dengan iklas, hasilnya memuaskan. Begitulah Mbah Soleh. Tak ada seorang pun yang sanggup menyamai hasil kerjanya. Semakin lama, masjid yang dulunya bersih terasa semakin kumuh dan kumuh. Sunan Ampel sangat prihatin. Sunan Ampel pun berkata," Bila Mbah Soleh masih hidup, pasti masjid ini selalu bersih."

Tiba-tiba yang hadir dikejutkan sosok Mbah Soleh kembali menyapu di dekat tempat Imam biasa memimpin salat. Wow, Mbah Soleh kembali hidup. Masjid pun kembali bersih.

Tapi lagi-lagi, Allah mencabut nyawa Mbah Soleh. Lantas Mbah Soleh pun dikubur di samping kuburannya dulu.

Sepeninggal Mbah Soleh, masjid kembali kotor. Sunan Ampel pun bicara seperti dulu: "Seandainya Mbah Soleh masih ada..."

Ajaib, Mbah Soleh kembali hidup dan bersih-bersih. Masjid kembali tak ditempeli debu. Dan, Mbah Soleh, sekali lagi meninggal dan dikubur di dekat kuburan yang pernah menguburnya. Masjid kotor kembali. Sunan Ampel kembali prihatin dan berucap bila Mbah Saleh hidup. Ya ampun, Mbah Saleh hidup kembali.

Peristiwa itu berulang terus sampai delapan kali. Berarti Mbah Soleh hidup lagi kali ke-delapan. Nah, pada kehidupan Mbah Soleh yang ini, Sunan Ampel wafat. Setelah Sunan Ampel wafat, Mbah Soleh menyusulnya, dan ia dikuburkan di dekat kuburannya dulu. Jadi, total kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan terakhir di ujung paling Timur.

Mbah Bolong

Selain Mbah Soleh yang memiliki kisah fantastis, murid Sunan Ampel ada juga yang memiliki kisah yang juga ajaib. Namanya Mbah Sonhaji. Namun, ia sering pula disebut Mbah Bolong. Makamnya ada di depan Masjid Agung Sunan Ampel. Kenapa Mbah Sonhaji disebut Mbah Bolong? Begini ceritanya.

Sewaktu pembangunan Masjid Sunan Ampel, Sonhaji diserahi Sunan Ampel untuk memegang peran sangat penting, yakni mengatur lokasi pengimanan. Tentu saja peranan ini butuh keakuratan. Tidak main-main, tugasnya adalah menentukan posisi arah kiblat. Jangan sampai melenceng semiliderajat pun dari Kabah.

Banyak orang meragukan kemampuannya menentukan posisi arah kiblat. Tak jarang orang minta bukti bahwa pengimaman pada masjid yang baru jadi itu benar-benar pas menghadap kiblat.

Sonhaji tidak marah meski kemampuannya diragukan. Ia melobangi dinding pengimaman dan meminta orang yang meremehkan untuk melihat ke dalam lubang. Astaga, orang yang melihat ke dalam lubang ternyata langsung melihat Kabah yang ada di Mekah.

Sejak itu Mbah Sonhaji mendapat julukan Mbah Bolong.