25. Rukun Sholat
(فصل ) أركان الصلاة سبعة عشر : الأول النية ،الثاني تكبيرة الإحرام ، الثالث القيام على القادر في الفرض ،الرابع قراءة الفاتحة ، الخامس الركوع ، السادس الطمأنينة فية ، السابع الإعتدال ،الثامن الطمأنينة فيه ، التاسع السجود مرتين ،العاشر الطمأنينة فية ، الحادي عشر الجلوس بين السجدتين ، الثاني عشر الطمأنينة فية ،الثالث عشر التشهد الأخير ،الرابع عشر القعود فيه ،الخامس عشر : الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ،السادس عشر السلام ،السابع عشر الترتيب .
Arkaanushsholaati Sab’ata ‘Asyaro : Al-Awwalu Anniyyatu , Ats-Tsaani Takbiirotul Ihroomi , Ats-Tsaalitsu Al-Qiyaamu ‘Alal Qoodiri , Ar-Roobi’u Qirooatul Faatihati , Al-Khoomisu Ar-Rukuu’u , As-Saadisu Aththuma’niinatu Fiihi , As-Saabi’u Al-’Itidaalu , Ats-Tsaaminu Aththuma’niinatu Fiihi , At-Taasi’u Assujuudu Marrotaini , Al-’Aasyiru Aththuma’niinatu Fiihi , Al-Haadi ‘Asyaro Aljuluusu Bainassajadataini , Ats-Tsaani ‘Asyaro Aththuma’niinatu Fiihi Ats-Tsaalitsu ‘Asyaro Attasyahhudul Akhiiru , Ar-Roobi’u ‘Asyaro Alqu’uudu Fiihi , Al-Khoomisu ‘Asyaro Ashsholaatu ‘Alannabiyyi Shollallaahu ‘Alaihi Wasallama Fiihi , As-Saadisu ‘Asyaro Assalaamu , As-Saabi’u ‘Asyaro Attartiibu .
Rukun-rukun Sholat yaitu 17 : Yang pertama niat , yang kedua takbirotul ihrom , Yang ketiga berdiri atas orang yang mampu , Yang keempat membaca Fatihah , Yang kelima ruku’ , Yang keenam tuma’ninah di dalam ruku’ , Yang ketujuh i’tidal , Yang kedelapan tuma’ninah di dalam i’tidal , Yang kesembilan sujud 2 kali , Yang kesepuluh tuma’ninah di dalam sujud , Yang kesebelas duduk antara 2 sujud , Yang kedua belas tuma’ninah di dalam duduk antara 2 sujud , Yang ketiga belas tasyahhud akhir , Yang keempat belas duduk di dalam tasyahhud akhir , Yang kelima belas sholawat atas Nabi SAW , Yang keenam belas salam , Yang ketujuh belas tertib
Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Rukun Shalat
Rukun shalat ada tujuh belas. Pertama, niat. Tempat niat adalah di hati. Dan niat dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan pertama dalam shalat, yaitu takbirat al-ihram. Sedangkan melafadzkan niat dengan lisan adalah disunahkan demi membantu kehadiran niat di dalam hati. Tapi melafadzkan dengan lisan tidak wajib dilakukan.
Kedua, takbirat al-ihram. Dinamakan takbirat al-ihram, sebab dengan memulai takbir maka secara otomatis segenap sesuatu yang halal sebelum shalat, seperti makan dan berkata-kata, telah diharamkan setelah memasuki takbir shalat tersebut. Al-ihram adalah pengharaman sesuatu yang halal disebabkan sedang mengerjakan shalat.
Ketiga, berdiri bagi orang yang mampu mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri. Dalil yang dijadikan sebagai dasar pijakan hukum bahwa berdiri adalah salah satu syarat shalat adalah sebuah perkataan Nabi Muhammad SAW kepada ‘Imran bin Husyen pada saat ‘Imran terserang penyakit ambeyen; “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah. Jika tidak mampu duduk, maka tidur lah”. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari. Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai ada tambahan redaksi bahwa, “jika tidak mampu, maka terlentanglah. Sebab Allah tidak membebani makhluknya, justru Allah memberikan leleluasaan dan kelapangan bagi hambanya untuk beribadah sesuai dengan kadar kemampuannya”. Jelas bahwa dalam Islam, sungguh sangat lentur dan kompromistis dalam menetapkan rumusan hukum dan kondisional.
Keempat, membaca al-Fatihah. Cara membaca al-fatihah boleh dengan hafalan, melihat langsung Mushaf, atau dengan cara mengikuti bacaan sang guru yang melatih atau mengajarinya. Membaca al-fatihah diwajibkan bagi setiap orang yang mekalsanakan shalat, baik shalat berjamaah atau sendirian (munfaridl), baik sebagai imam atau makmum.
Dalil al-Quran yang mewajibkan membaca al-fatihah yaitu;
وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ
“Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran yang agung”. (QS. Al-Hujarat: 87).
Sebagian besar para ulama menafsirkan mab’u al-matsani yang terdapat dalam ayat tersebut adalah surah al-fatihah. Sebagaimana menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya yaitu Mafatih al-Ghayb atau Tafsir al-kabir menjelaskan bahwa;
إذا عرفت هذا فنقول : سبعاً من المثاني مفهومه سبعة أشياء من جنس الأشياء التي تثنى ولا شك أن هذا القدر مجمل ولا سبيل إلى تعيينه إلا بدليل منفصل وللناس فيه أقوال : الأول : وهو قول أكثر المفسرين : إنه فاتحة الكتاب وهو قول عمر وعلي وابن مسعود وأبي هريرة والحسن وأبي العالية ومجاهد والضحاك وسعيد بن جبير وقتادة ، وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ الفاتحة وقال : هي السبع المثاني رواه أبو هريرة ، والسبب في وقوع هذا الاسم على الفاتحة أنها سبع آيات ، وأما السبب في تسميتها بالمثاني فوجوه : الأول : أنها تثنى في كل صلاة بمعنى أنها تقرأ في كل ركعة . والثاني : قال الزجاج : سميت مثاني لأنها يثنى بعدها ما يقرأ معها . الثالث : سميت آيات الفاتحة مثاني ، لأنها قسمت قسمين اثنين ، والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « يقول الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين » والحديث مشهور . الرابع : سميت مثاني لأنها قسمان ثناء ودعاء ، وأيضاً النصف الأول منها حق الربوبية وهو الثناء ، والنصف الثاني حق العبودية وهو الدعاء . الخامس : سميت الفاتحة بالمثاني ، لأنها نزلت مرتين مرة بمكة في أوائل ما نزل من القرآن ومرة بالمدينة . السادس : سميت بالمثاني ، لأن كلماتها مثناة مثل : { الرحمن الرحيم } [ الفاتحة : 3 ] { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ * اهدنا الصراط المستقيم * صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } [ الفاتحة : 5-7 ] وفي قراءة عمر : ( غير المغضوب عليهم وغير الضالين ) . السابع : قال الزجاج : سميت الفاتحة بالمثاني لاشتمالها على الثناء على الله تعالى وهو حمد الله وتوحيده وملكه
Jika kita simak ungkapan tersebut bahwa terdapat banyak sekali penafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab’u al-matsani adalah fatihah al-kitab atau surah al-fatihah, seperti pendapat sahabat Umar, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, al-Hasan, Aby Tsa’labah, Mujahid, al-Dlahhak, Sa’id bin Jabir dan Qatadah telah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi membaca al-fatihah dan beliau berkata; sesungguhnya surah al-fatihah ini adalah as-sab’u al-matsany, diriwayatkan oleh Abu hurairah. Sebab surah al-fatihah dinamakan itu karena al-fatihah terdiri dari tujuh ayat, yaitu as-sab’u. Sedangkan dinamakan dengan al-matsani terdapat beberapa aspek, pertama, karena surah al-fatihah selalu dibaca di setiap rakaat dalam shalat. Kedua—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—dinamakan Matsani karena dipuji setelah dibacanya. Ketiga, sebab al-fatihah di dalamnya terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi berkata bahwa “Allah mengatakan bahwa aku bagi shalat, yaitu sebagian adalah bagianKu dan sebagian yang lain untuk hambaKu”. Keempat, dinamakan dengan al-matsani sebab di dalamnya terdapat dua bagian, yaitu tsana’ (pujian dan sanjungan) dan doa, sebagian hak Tuhan (rububiyah) yaitu tsana’ (pujian) dan sebagian lagi hak hamba (‘ubudiyah) yaitu doa. Kelima, al-fatihah dinamakan dengan matsani sebab sebagian ayatnya diturunkan di Makkah dan sebagian lagi di Madinah. Keenam, dinamakan dengan al-matsani sebab dalam ayat-ayatnya terdapat dua kalimat yang dobel seperti ar-rahman dan ar-rahim, atau iyyaka na’butdzu dan iyyaka nasta’in, dll. Ketujuh, al-fatihah dinamakan dengan al-matsanai—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—karena di dalamnya terdapat pujian, sanjungan dan peng-EsakanNya.
Terdapat banyak hadits Nabi yang menegaskan akan kewajiban membaca al-fatihah dalam shalat. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang edua menyatakan bahwa Nabi berkata “Tidak ada shalat (baca tidak sah) bagi seseorang yang tidak membaca al-fatihah”. Dan hadits Nabi lain yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi mengatakan “Barang siapa yang melaksanakan shalat tidak membaca Ummul-Quran (induk al-quran, yaitu al-fatihah) ,ala shalatnya tidak bisa dianggap sempurna”.
Syarat shalat yang kelima, ruku’. Tata cara ruku’ yaitu pertama, meletakkan kedua tepalak tangannya pada kedua lutut. Kedua, kedua telapak tangan menekan kedua lutut. Ketiga, merenggangkan jari-jemarinya. Keempat, merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya. Kelima, membentangkan dan meluruskan punggung sampai selurus papan tulis atau dapat diibaratkan jika punggung itu dituangkan air dari atasnya maka tidak akan tumpah. Keenam, membungkukkan punggung tidak terlalu kebawah dan tidak pula mendongkak terlalu ke atas. Tapi di tengah-tengah di antara keduanya.
Syarat shalat yang keenam, tuma’ninah (diam dan bersahaja) dalam ruku’. Pada saat tuma’ninan, seseorang disunahkan membaca subhana rabbiya al-‘adhim wa bihamdihi (maha suci Tuhanku yang maha agung) minimal satu kali bacaan, dan lebih baiknya dibaca sebanyak tiga kali bacaan.
Syarat yang ketujuh, i’tidal. Yang dimaksud i’tidal adalah kembali berdiri dari ruku’. Disunahkan pada waktu i’tidah tepat pada saat mengangkat pundak untuk berdiri dari ruku’ membaca doa “sami’alLahu li-man hamidah” (Allah maha mendengar hamba yang telah memujiNya)
Syarat kedelapan, tuma’ninah dalam i’tidal, yaitu diam dan bersahaja berdiri sambil disunahkan membaca doa “Rabbana laka al-hamdu mil’us-samawati wa mil’ul-ardhi wa mil’u ma sy’tha min syai’in ba’dhu” (Tuham kami, hanya bagiMu segala puji yang memenuhi langit, bumi, dan segala sesuatu yang telah Engkau inginkan).
Syarat kesembilan, sujud sebanyak dua kali. Disunahkan pada waktu sujud dengan membaca doa “Subhana rabbiyal-a’la wa bi-hamdihi” (Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, dan dengan menujimu).
Syarat kesepuluh, tuma’ninah (diam dan bersahajah) dalam sujud.
Syarat kesebelas, duduk di antara dua sujud. Pada saat duduk di antara dua sujud disunahkan membaca doa “Rabby ighfirly warhamny wajburny warfa’ny warzuqny wahdhiny wa’afiny wa’fu ‘anny”
Syarat kedua belas, tuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud.
Syarat ketiga belas, tasyahhud al-akhir.
Syarat keempat belas, duduk dalam tasyahhud.
Syarat kelima belas, membaca shalawat pada Nabi dalam tasyahud.
Syarat keenam belas, membaca salam. Ada dua salah, yaitu salam pertama dengan memalingkan wajah ke samping kanan dan salam kedua dengan memalingkan wajah ke samping kiri. Salam pertama hukumnya wajib, karena termasuk syarat shalat. Sedangkan salam kedua hukumnya sunnah. Salam paling minimal diucapkan; “Assalamu’alaikum”, dan maksimalnya diucapkan; “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”.
Syarat ketujuh belas, tertib. Artinya menjalankan shalat harus secara tartib (berurutan) mengerjakan satu syarat ke syarat yang lain. Kewajiban mengerjakan shalat secara tartib sebab dalam hadits disebutkan “Shalluu kama ra’aytumuny ushally” (shalatlah kalian seperti kalian melihat langsung saya shalat). Jadi segenap pekerjaan shalat harus sesuai dengan shalat Nabi. Sedangkan shalat yang dikerjakan Nabi dilaksanakan secara tartib. Maka setiap orang yang mengerjakan shalat pun harus tartib sebagaimana Nabi mengerjakan shalat.