al-Habib Seqqaf bin Muhammad as-Seqqaf
Buah Ma'rifat kepada Allah
Sesungguhnya tidak memandang keutamaan diri sama sekali
adalah buah ma'rifat kepada Allah dan kebesaran-Nya.
Al-Habib Segaf bin Muhammad Assegaf, semoga Allah meridhainya, hidup pada abad ke-12 Hijriyyah. la tumbuh besar dalam asuhan dan didikan ayahandanya, Al-Habib Muhammad bin Umar bin Thaha Assegaf.
Kepada ayahnya, di antaranya ia mempelajari kitab Tuhfah, karya Ibn Hajar, sampai-sampai ia hampir menghafal isinya, juga kitab Minhaj, karya Imam An-Nawawi, yang dengan kitab ini disebutkan pintu hatinya sering terbuka (Fath).
Begitu bersemangatnya ia belajar, hingga ia selesai menelaah kitab Al-Ubab, karya Al-Muzjid, dalam satu majelis diteras rumahnya. Al-Ubab adalah kitab yang cukup tebal di antara kitab-kitab penting dalam Madzhab Imam Syafi'i.
la juga dapat menghafal Al-Quran dengan hafalan yang sangat kuat. Itu dikarenakan, setiap kali ia telah menghafalnya, ia mengulanginya lagi. Disebutkan, ia telah menghafalnya sampai tujuh kali hafal. Menceritakan pengalamannya tentang hal itu, ia bertutur, "Jika ibuku melihat aku terlalu banyak belajar, beliau merasa kasihan. Adakalanya beliau lalu mengambil mushaf dari tanganku, karena kasihan melihat diriku."
Sejak dari kecil pula ia telah terbiasa hidup secara zuhud. Zuhudnya Habib Segaf adalah zuhudnya kaum arifin yang menyadari bahwa “cinta dunia merupakan sebesar-besamya hijab dalam menempuh jalan menuju Allah”, la pernah menjual barang-barang miliknya dengan harga yang rendah, sebagai tanda ketidaksukaannya kepada barang-barang tersebut.
Selain sikap hidup yang zuhud, sejak masa kecilnya ia juga telah membiasakan diri beribadah dengan tekun. la selalu bangun di akhir malam untuk mengerjakan shalat Tahajjud di masjid Habib Thaha bin Alwi. la pernah mengatakan, "Aku tak pernah meninggalkan shalat di akhir malam sepanjang hidupku, sekalipun hanya sekali. Dan aku, berkat karunia Allah, sudah melakukannya sejak berusia tujuh tahun."
Kepekaan sosialnya juga telah terasah sejak ia masih kecil. la pergi ke luar kota untuk sekadar membawa ikatan kayu bakar perempuan-perempuan yang lemah hingga menuju ke dalam kota . Dimalam hari, ia mengisi kolam-kolam di kota yang biasa dipergunakan sebagai tempat minum binatang ternak. Itu semua dilakukannya untuk menggembleng jiwanya dan mengatasi hawa nafsunya, di samping juga karena merasa kasihan terhadap makhluk-makhluk Allah yang lemah.
Sehelai Daun
Guru Habib Segaf yang paling utama adalah ayahnya, yaitu Habib Muhammad bin Umar bin Thaha Assegaf, seorang ulama besar yang disepakati kewalian-nya. Habib Muhammad semasa hidupnya dipercaya memegang jabatan qadhi.
Sedar kecil, Habib Segaf selalu dekat dengan ayahnya. Bahkan hampir-hampir tidak pernah berpisah dengannya. Selain menonjol dalam keilmuan, sifat wara' sang ayah juga sangat dikenal dan menurun kepadanya.
Sekali waktu ia pemah berjalan di belakang ayahnya. Saat melewati tepian sawah, ia memetik sehelai daun. Kemudian ayahnya menoleh ke arahnya seraya mengatakan, "Dari mana engkau memperolehnya di akhirat nanti jika Tuhanmu menanyai engkau tentang sehelai daun itu?" Setelah berusia lanjut, ia mengatakan, "Pertanyaan ayahku itu senantiasa terngiang-ngiang di dalam hatiku dan masih melekat sampai sekarang."
Selain kepada ayahnya, ia juga berguru kepada Habib Ali bin Abdullah Assegaf. Habib Ali, seorang wali yang diyakini telah mencapai maqam quthb, maqam tertinggi dalam kewalian, adalah gurunya yang paling terkemuka, bahkan termasuk syaikhul futuh (guru pembuka tabir pengetahuan) baginya.
Sejak muda usia, gurunya ini dikenal rajin bermujahadah dengan mujahadah yang sangat berat. Kepada gurunya ini, ia meleburkan dirinya selebur-lebumya, sampai-sampai diibaratkan hampir bercampur dengan darah dagingnya.
Di antara akhlaq terpuji Habib Ali, semasa hidupnya, bahkan di dalam sakit yang berakhir dengan kewafatannya, ia tidak pemah meninggalkan satu sunnah pun dari sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.
Setelah Habib Ali bin Abdullah Assegaf wafat, Habib Segaf mendirikan sebuah bangunan kubah di atas makam tempat bersemayamnya jasad mulia itu.
Selain berguru kepada Habib Ali bin Abdullah Assegaf, ia juga menuntut ilmu kepada Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih, Habib Ahmad bin Zein AI-Habsyi, Habib Muhammad bin Zein Bin Smith, Habib Umar Hamid, Habib Hasan bin Abdullah bin Alwi AI-Haddad, dan Syaikh Muhammad bin Yasin Ba Qais.
Mirip Akhlaq Rasulullah
Akhlaq Habib Segaf mirip dengan akhlaq Rasulullah SAW. la adalah seorang yang shiddiq, atau jujur, hingga bila ia berbicara sering ia mengulang-ulanginya. "Saya khawatir, bertambah satu kalimat itu adalah dusta." la selalu berkata benar walau di tempat-tempat yang membahayakan jiwanya, seperti di hadapan sultan atau orang-orang zhalim.
la juga seorang yang telah mencapai sifat wara' sampai pada suatu tingkat yang jarang ditemukan di masa sekarang, hingga disebutkan sedikit sekali bahkan dari kalangan orang shalih yang mencapai tingkatan wara' seperti yang dimiliki-nya. Sifat wara' sudah menyatu dalam hidupnya dan tidak pemah berpisah dengannya walau sekejap mata pun, baik dalam hal makan, minum, maupun urusan lainnya.
Soal pakaian, bila hendak membuat baju, ia mengambil kapas dari tempat yang baik, lalu ia serahkan kepada wanita yang ia tahu keadaannya sangat miskin sekali. Kemudian ia serahkan kepada tukang tenun yang wara'.
Soal makanan, ia juga sangat hati-hati. la membeli makanan dari seorang yang sangat ia kenal, dan masih terhitung kerabatnya, yaitu Habib Muhammad bin Alwi bin Thaha. Ia membeli makanan darinya dikarenakan ia tahu persis setiap tahapan proses dan asal-muasal makanan yang ia beli. Mengenai hal itu, ia mengatakan, "Aku perhatikan makanan darinya lebih mendekati kepada halal, karena ia adalah seorang pemilik sawah, dan ada petani yang mengurusnya."
Di rumah tinggalnya, selain terdapat harta milik keluarganya sendiri, ia juga mendapatkan sedikit bagian dari wakaf masjid, sebagai pengurus masjid.
Jika ia disuguhi kutma, ia akan menanyakan hal itu, "Ini wakaf, atau dari uang kalian?"
Jika dijawab "Dari wakaf, kurma itu dikembalikannya. Tentang hal itu ia mengatakan, "Barangkali aku bukan orang yang telah melaksanakan seluruh tugas dengan sebenar-benarnya."
Di antara akhlaq terpuji lainnya adalah ia tidak memandang keutamaan diri sama sekali dan ia benar-benar merasa membutuhkan Allah Ta'ala. Sesungguh-nya tidak memandang keutamaan diri sama sekali adalah buah dari ma'rifat kepada Allah dan kebesaran-Nya.
Selain akhlaq terpuji di atas, Habib Segaf juga memiliki banyak keunggulan sifat. Berikut sekilas dari beberapa sifat utamanya:
• Sabar Menghadapi Musibah. Suatu hari, seorang anaknya yang sangat dicintainya dan sangat ia harapkan akan menggantikannya kelak, yaitu Abdurrahman, jatuh sakit. Dari hari ke hari penyakitnya bertambah parah, hingga berakhir dengan kematian.
Pada saat itu, seluruh penduduk kota menjadi gempar, karena putra Habib Segaf ini dikenal sebagai seorang pemuda yang, sekalipun baru berumur 17 tahun, keluasan ilmunya sulit dicari tandingannya. Menyaksikan kedukaan orang banyak itu, ia sendiri hanya tersenyum, bahkan ia mengatakan, "Di hatiku muncul perasaan gembira yang sangat besar.... Aku ridha... aku ridha."
• Mendahulukan Orang Lain, la adalah seorang yang banyak berpuasa. Suatu malam, di saat akan berbuka, ia disuguhi makanan yang lezat. Saat itu ia mengatakan, "Antarkan makanan ini kepada Abdun Masyik." Abdun Masyik adalah seorang yang dikenal sebagai lelaki shalih pada saat itu.
Allah menggambarkan orang yang memiliki sifat demikian dalam firman-Nya, "Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." - QS AI-Hasyr (59): 9.
Jika musim kemarau berkepanjangan dan keadaan semakin bertambah berat, ia mendatangi orang-orang kaya dan berutang kepada mereka dan kemudian menitipkan uangnya itu di toko-toko. Setiap kali ia melihat ada orang yang sedang kesusahan, ia menyuruh orang tersebut mendatangi toko-toko yang telah dititipinya uang untuk mengambil barang-barang yang dibutuhkan.
Beberapa kali ia juga melunasi utang-utang kerabatnya tanpa sepengatahuan para kerabatnya itu, padahal ia sendiri bukanlah terhitung orang yang mampu. Bahkan untuk itu, seperti telah disebut di atas, ia sendiri terpaksa berutang. Namun demikian, dalam masalah berutang pun ia seorang yang selalu berusaha menyegerakan untuk melepaskan diri dari utang. la selalu memikirkan utangnya bila dalam waktu agak cukup lama ia belum dapat melunasinya. Tampak di wajahnya tanda-tanda kesedihan hingga ia dapat melunasi utangnya tersebut.
• Mudah Memaafkan. Sekali waktu, Sultan Muhsin bin Umar, penguasa kala itu, ingin mengangkatnya untuk mengurus anak-anak yatim. Karena merasa berat dengan amanah itu, ia tidak mau menerima pengangkatan tersebut. Rupanya Sultan tersinggung dan kemudian mengancam akan membunuhnya. la menyuruh salah seorang budak-nya untuk menembak Habib Segaf, seraya mengatakan, "Kalau kau tidak berhasil membunuhnya, kau akan kubunuh."
Singkat cerita, ketika Habib Segaf keluar dari rumah salah seorang sahabatnya yang bernama Umar Ash-Shabban , ia pun ditembak oleh budak itu dengan jarak yang cukup dekat, hingga mengenai dan menembus sisi samping perutnya. la pun terjatuh. Namun sebelum sampai jatuh di tanah, ia telah menghalalkan perbuatan budak itu. la khawatir, bila ia mati sebelum memaafkan, dengan sebab perbuatan itu si budak kelak akan disiksa di akhirat. Namun demikian, ia selamat dari usaha pembunuhan itu.
Sungguh benar apa yang difirmankan Allah SWT, "Sifat-sifat yang baik tersebut tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." - QS Fushshilat (41): 35.
• Membersihkan Hati sebelum Tidur. Apabila hendak tidur, ia merenungkan keadaan dirinya dan memperhatikan hatinya, apakah pada saat itu di dalam hatinya terkandung niat yang kurang baik terhadap seseorang yang memusuhinya atau menzhaliminya. Bilamana mendapatkan hal itu, ia segera menghilangkannya terlebih dahulu, lalu ia menghadapkan hatinya kepada Allah dengan niat yang sebaliknya.
Sepanjang hidupnya, ia tidak tidur kecuali dalam keadaan yang paling baik hatinya, karena ia khawatir akan dijemput maut pada saat tidumya. Inilah kebiasaan dirinya di setiap malam.
• Menggembirakan Hati Orang Lain. la terkadang duduk-duduk bersama para pengemis yang biasa berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta sedekah. la duduk sambil minum kopi bersama mereka. Apabila ada orang yang menderita kusta atau belang yang hendak menjabat tangannya, yang terkadang orang lain enggan melakukannya, ia justru me-nyambut jabatan tangan itu dengan hangat. Betapa besar perbuatan menggembirakan orang-orang yang hancur hatinya, yang karena penyakitnya ia sampai mengasingkan diri dari orang banyak....
• Membela Kaum Tertindas. Apabila ada orang-orang yang mendapat gangguan dari orang-orang yang zhalim, atau ada kasus-kasus dengan pihak penguasa, ia membelanya dengan keadaannya, hartanya, dan perkataannya. Karena sifat wara'nya, ia tidak mau menerima apa-apa dari seorang pun dari usaha yang telah dilakukannya itu.
• Tidak Gila Hormat. la sebenarya tidak suka orang mencium tangannya. Mencium tangannya bagai menyusahkan hatinya. Apalagi bagi yang hendak mencium kakinya. "Cukup tangan saja," demikian ia mencegahnya. Namun demikian, ia memahami ke-inginan orang-orang yang hendak bertabarruk kepadanya dengan mencium tangannya. Dalam hal itu, ia masih berusaha mendulang kebajikan dari hal tersebut. la, yang memang terbiasa memakai minyak wangi, sengaja membanyakkan minyak wangi di punggung te-lapak tangan kanannya. "Semoga itu menjadi balasan bagi orang yang menciumnya," ujarya beharap.
• Hadir bersama Si Miskin. Bila diminta hadir untuk suatu jamuan atau walimah pernikahan, ia tidak bersedia hadir kecuali kalau ia melihat di sana ada orang-orang mukmin yang miskin, lemah, dan melarat. Beberapa kali ia keluar rumah tempat diadakan sebuah jamuan karena syarat tadi tak terpenuhi. Akhimya, para pemilik hajat itu pun memintanya kembali, "Kembalilah, dan jangan patahkan hati kami. Engkau boleh membawa siapa saja yang kau kehendaki."
Maka ia pun kembali dengan terlebih dulu mencari orang yang dikehendakinya, yaitu orang-orang dari kaum dhu'afa. Setelah usai jamuan, ia mengatakan, "Berilah para peminta-minta itu." la tidak keluar dari rumah itu kecuali bila mereka telah mengeluarkan sesuatu untuk para peminta-minta tersebut.
Terompah Sang Guru
Di keheningan subuh itu, ia bangkit berdiri untuk shalat Subuh dan tidak meninggalkan satu pun dari sunnah-sunnah shalat.Usai shalat, ia merasakan perutnya melilit. Oleh anaknya, ia dipapah menuju kamar kecil. Kemudian ia mengambil wudhu kembali dengan dibantu oleh anaknya.
Setelah berwudhu, ia kembali ke tempatnya seraya menghadapkan diri kepada Tuhannya. Ketika rasa sakitnya bertambah, putranya mendengar ia mengucapkan sebuah ayat AI-Quran, "Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik."-QSAI-Anfal{8):17.
Setelah ajalnya semakin mendekat, perkataan terakhir yang diucapkannya adalah, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat." - QS AI-Mukminun (23): 29.
Habib Segaf bin Muhammad Assegaf wafat pada Sabtu subuh, tanggal 11 Syawwal 1195 H/1781 M.Setelah ia wafat, keluarganya membuka lemarinya. Di dalamnya tidak di-dapati harta benda dunia selain sepasang terompah milik gurunya, Habib Ali bin Abdullah Assegaf, yang ia ciumi setiap hari, karena kecintaannya yang mendalam kepada sang guru.