Spiritual dan Rahasia Haji: Dalam dialog seorang sufi besar dengan ahli Bait Keluarga Nabi saw.

A’uudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim

Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ‘alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

amma ba'du,

 

Sebagai seorang Imam dan Ulama besar yang mendalami ilmu tasawwuf dan hidup zuhud, Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin ra. menilai ibadah tidak hanya dari lahiriah saja, tetapi tekanan utamanya diarahkan kepada kebulatan batin orang yang menunaikannya. Ia mengajarkan kepada murid-muridnya, bahwa kesempurnaan ibadah hanya dapat dicapai bila dilakukan dengan tiga unsur yang tidak boleh dipisahkan, yaitu unsur batin (qalbiy), unsur ucapan (qaulty), dan unsur perbuatan (fi’liy). Pandangannya yang sangat cermat dan mendalam itu dapat kita ketahui dari dialog dengan salah seorang muridnya yang bernama Asy-Syibliy (terkenal Ulama besar sufi dan juga waliyullah).

 

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin ra. dalam dialog dengan muridnya yang telah mencapai martabat ilmu yang tinggi itu mengungkapkan kesempurnaan ibadah haji dari segi hakikat pengertian dan hikmahnya, tidak semata-mata dari syarat-rukunnya belaka, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin awam. Kiranya amat besar manfaatnya bila wejangan Imam

 ‘Ali Zainal ‘Abidin ra. kepada Asy-Syibliy direnungkan dan diamalkan oleh setiap muslim pada waktu menunaikan ibadah haji, agar dapat meraih keridaan Allah sebesar-besarnya.

Pada suatu hari setiba kembali Asy-Syibli dari Makkah menunaikan ibadah haji, ia memerlukan datang menghadap gurunya ( Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin ra.) untuk menyampaikan pengalaman-pengalamannya. Dalam pertemuan tersebut berlangsunglah dialog sebagai berikut :

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Wahai Syibli, Anda telah menunaikan ibadah haji, bukan?”

Asy-Syibli: “Ya, benar, semoga Allah berkenan menerimanya.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah berhenti di-Miqat, kemudian menanggalkan pakaian berjahit dan terlarang bagi setiap orang yang sedang menunaikan ibadah haji? Dan setelah itu Anda lalu segera mandi?”

Asy-Syibli: “Ya, semuanya itu telah saya lakukan.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : Ketika berhenti di miqat apakah Anda meneguhkan niat  dan niat menanggalkan “pakaian” maksiat dan menggantinya dengan pakaian ‘taat’?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat Anda menanggalkan pakaian yang terlarang itu (pakaian berjahit) apakah Anda juga telah membuang perasaan riya' (pamrih mendapat pujian orang), nifaq (kelainan antara hati, ucapan, dan perbuatan), serta segala macam syubhat (hal-hal yang diragukan halal dan haramnya)?”.

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda mandi dan membersihkan diri sebelum ihram, apakah Anda juga berniat membersihkan diri dari semua perbuatan dosa?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu berarti Anda belum berhenti miqat, tidak menanggalkan pakaian berjahit, dan tidak pula mandi membersihkan diri.”

 

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin ra. bertanya lebih lanjut :

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda mandi, ber-ihram, dan mengucapkan niat untuk menunaikan ibadah haji, apakah Anda telah membulatkan niat dan tekad hendak membersihkan diri Anda dan ‘mencucinya’ dengan pancaran cahaya taubat yang setulus-tulusnya kepada Allah SWT?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat ber-ihram apakah Anda berniat untuk menjauhkan diri dari segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm “Setelah Anda dalam keadaan sedang menunaikan ibadah haji termasuk semua ketentuan yang mengikat diri Anda, apakah Anda merasa telah melepaskan diri dari semua jenis ikatan keduniaan dan hanya mengikatkan diri kepada Allah SWT?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, Anda belum membersihkan diri, belum ber-ihram, dan belum mengikatkan diri dengan ibadah haji. Bukankah Anda telah memasuki miqat, telah menunaikan shalat ihram dua rakaat, kemudian mulai mengucapkan talbiyah?”

Asy-Syibli: “Ya, semuanya itu telah saya kerjakan.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat memasuki miqat apakah Anda berniat ziarah mendekati keridhaan Allah semata-mata?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat menunaikan shalat ihram dua rakaat, apakah Anda berniat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dengan tekad hendak memperbanyak amal ibadah yang tertinggi nilainya yaitu shalat (yakni memperbanyak shalat-shalat sunnah)?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, Anda belum memasuki miqat, belum mengucapkan talbiyah, dan belum menunaikan shalat ihram dua rakaat.”

 

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin ra. masih terus bertanya :

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah memasuki Al-Masjidul Haram, menatap Ka'bah dan menunaikan shalat disana?”

Asy-Syibli: “Ya, semua telah saya lakukan.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat memasuki Al-Masjidul Haram, apakah Anda berniat bulat untuk mengharamkan diri Anda dari segala bentuk perbuatan mempergunjingkan orang  Muslim?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Setiba di Makkah, apakah Anda membulatkan keyakinan sekokoh-kokohnya bahwa Allah SWT adalah tujuan hidup satu-satunya?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, Anda belum memasuki Al-Masjidul Haram, belum menatap Ka'bah, dan belum menunaikan shalat di tempat itu.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah ber-thawaf mengitari Ka’bah Baitullah dan telah pula menyentuh sudut-sudutnya (yakni sudut Ka'bah letak Hajar Aswad)?”

Asy-Syibli: “Ya, saya telah ber-thawaf.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat ber-thawaf, apakah Anda berniat jalan atau lari menuju keridhaan Allah Yang Maha Mengetahui?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu berarti Anda belum ber-thawaf dan belum menyentuh sudut bangunan Ka'bah (tempat Hajar Aswad).”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah berjabatan tangan dengan Hajar Aswad (yakni memegang dan menciumnya) dan telah pula menunaikan shalat di Maqam Ibrahim?”

Asy-Syibli: “Ya, benar….itu telah saya lakukan.”

 

Mendengar jawaban Asy-Syibli itu, Imam Ali Zainal Abidin (ra) tiba-tiba menangis dan meratap seolah-olah hendak meninggalkan dunia ini, "Ya sungguh benarlah, barangsiapa berjabatan tangan dengan Hajar Aswad seolah-olah ia berjabatan tangan dengan Allah! Karena itu, ingatlah baik-baik wahai manusia, janganlah sekali-kali kalian berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan martabat kalian…, Janganlah sekali-kali memerosotkan kehormatan kalian sendiri dengan perbuatan maksiat dan durhaka kepada Allah. Jagalah kalian melakukan sesuatu yang diharamkan Allah swt seperti yang dilakukan oleh mereka yang hidup bergelimang di dalam dosa!”

 

Setelah berkata demikian itu beliau bertanya lagi :

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, apakah Anda membulatkan tekad hendak tetap berdiri di atas kebenaran dan ketaatan kepada Allah serta bertekad hendak meninggalkan segala maksiat?”

Asy-Syibli: “Tidak, ketika itu tekad belum  saya ucapkan sebagai niat.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika menunaikan shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, apakah Anda bertekad hendak mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. , baik dalam hal shalat dan sembah sujudnya kepada Allah maupun dalam hal kegigihannya menentang bisikan setan?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu berarti Anda belum berjabatan tangan dengan Hajar Aswad, belum berdiri di Maqam Ibrahim, dan belum melakukan shalat dua rakaat di atasnya

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah memusatkan pandangan ke sumur Zamzam dan meneguk airnya?”

Asy-Syibli: “Ya, itu telah saya lakukan.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah pada saat Anda sedang memandangnya, Anda menumpahkan seluruh perhatian kepada usaha mematuhi semua perintah Allah. Dan apakah pada saat itu Anda berniat menutup mata dari segala macam kemaksiatan?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu berarti Anda belum memusatkan pandangan ke sumur Zamzam dan belum meneguk airnya.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah ber-sa'i antara Shafa dan Marwah?”

Asy-Syibli: “Ya, benar…. saya telah melakukannya.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah pada saat itu Anda menumpahkan seluruh harapan akan rahmat Allah dan merasa takut gemetaran menghadapi kemungkinan azab siksa-Nya?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, Anda belum ber-sa'i antara bukit Shafa dan bukit Marwah!”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda sudah pergi ke Mina?”

Asy-Syibli: “Ya, tentu.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda pada saat itu berniat bulat hendak berusaha agar  setiap orang aman dari gangguan lidah, hati dan tangan Anda?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, Anda belum pergi ke Mina.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda telah ber-wuquf di padang Arafah? Sudahkah Anda mendaki bukit Jabal Rahmah, berziarah ke Wadi Namirah, dan berdoa kepada Allah di perbukitan As-Sakharat?”

Asy-Syibli: “Ya, kesemuanya itu telah saya lakukan.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika berada di Padang Arafah, apakah Anda benar-benar menghayati makrifat akan keagungan Allah? Apakah Anda telah beroleh hakikat ilmu yang akan mengantarkan diri Anda kepada-Nya? Apakah saat itu Anda menyadari sedalam-dalamnya bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan, perasaan dan kata hati sanubari Anda?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah Anda tulus ikhlas mengharapkan rahmat Allah untuk setiap mukmin, dan mengharapkan bimbingan untuk setiap muslim?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda berada di Wadi (lembah) Namirah apakah Anda berketetapan hati untuk tidak menyuruh orang lain sebelum Anda sendiri berbuat kebajikan? Apakah Anda bertekad tidak akan mencegah orang lain berbuat keburukan sebelum Anda sendiri pantang berbuat buruk?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda berada di atas perbukitan itu, apakah Anda sadar bahwa tempat itu menjadi saksi atas kepatuhan Anda kepada Allah? Tahukah Anda bahwa atas perintah bukit-bukit itu bersama malaikat mencatat semua perbuatan Anda?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu Anda belum berwuquf di Padang Arafah, belum mendaki Jabal Rahmah, belum berziarah ke Wadi Namirah dan belum memanjatkan doa di tempat-tempat tersebut.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Apakah Anda mellintasi dua bukit Al-‘Alamain dan menunaikan shalat dua rakaat sebelumnya? Apakah setelah itu Anda melanjutkan perjalanan ke Muzdalifah, memungut batu-batu Jumrah di sana lalu terus berjalan melewati Masy'arul Haram?”

Asy-Syibli: “Ya, semuanya itu telah saya kerjakan.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda menunaikan shalat dua rakaat, apakah Anda mengawalinya dengan niat tasyakur (shalat Syukur) pada malam tanggal 10 Dzulhijjah, dengan harapan semua kesukaran akan tersingkir dan kemudahan akan datang?

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda melewati dua bukit itu dengan sikap lurus, tidak menoleh ke kanan ataupun ke kiri, apakah Anda  memantapkan tekad tidak akan bergeser kepada agama lain, tetap teguh berpegang pada agama Islam, agama yang hak yang diridhai Allah SWT? Benarkah Anda berbulat tekad tidak akan bergeser, baik dengan hati, dengan lidah, dan dengan perbuatan atau dengan gerakan anggota badan Anda?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika berada di Muzdalifah dan mengambil batu di sana, apakah Anda benar-benar bertekad untuk melempar jauh-jauh segala perbuatan maksiat dari diri Anda, dan berniat untuk mengejar ilmu dan amal yang diridhai oleh Allah SWT?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat Anda berjalan melewati Masy'arul Haram, apakah Anda memandang diri Andasendiri wajib bersyiar ( menjadikan diri Anda sebagai teladan yang melambangkan keagungan Islam)  seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup penuh takwa dan takut kepada Allah SWT?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, berarti Anda belum melintasi dua bukit Al-‘Alamain, belum menunaikan shalat dua rakaat, belum berjalan ke Muzdalifah, belum memungut batu-batu Jumrah, dan belum pula lewat Masy'arul Haram.”

 

Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin ra. masih terus menghujani Asy-Syibliy dengan berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan hakikat ibadah haji dan hikmah-hikmahnya :

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Wahai Syibli, apakah Anda telah sampai di Mina, telah melempar Jumrah, telah mencukur rambut, telah menyembelih binatang kurban, telah menunaikan shalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Mekkah dan melakukan thawaf ifadhah?”

Asy-Syibli: “Ya, benar, semuanya telah saya lakukan.”

 

Ali Zainal Abidin (ra): “Setelah tiba di Mina dan melempar Jumrah, apakah Anda menyadari diri Anda telah sampai kepada tujuan, dan bahwa Allah telah memenuhi semua hajat hidup Anda?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat melempar Jumrah, apakah Anda berniat melempar musuh Anda, yaitu iblis, dan memeranginya dengan jalan menyempurnakan ibadah haji yang mulia itu?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat Anda mencukur rambut, apakah Anda berniat menghapus kenistaan yang ada pada diri Anda dan mencukur semua dosa, sehingga Anda merasa bersih dari dosa,  seperti pada saat Anda lahir dari kandungan ibu Anda?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda menunaikan shalat di Masjid Khaif, apakah Anda  bertekad  tidak akan takut kepada siapa pun selain Allah SWT dan takut dosa perbuatan Anda sendiri.”

Asy-Syibli: “Tidak.”

Ali Zainal Abidin.rhm : “Pada saat Anda menyembelih hewan kurban, apakah Anda berniat  memotong belenggu ketamakan dan kerakusan yang melilit diri Anda? Apakah Anda juga berniat hendak menghayati kehidupan yang bersih dari noda dan dosa? Apakah Anda juga bertekad hendak mengikuti jejak Nabi Ibrahim.as  yang rela melaksanakan perintah Allah menyembelih putra kesayangannya sendiri?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Ketika Anda kembali ke Mekkah dan melaksanakan thawaf ifadhah, apakah dalam hati Anda berniat tidak akan mengharapkan kebaikan dari siapapun selain dari rahmat Allah, tetap taat dan patuh kepada-Nya, selalu menumpahkan kecintaan kepada-Nya, menunaikan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya dan senantiasa ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya?”

Asy-Syibli: “Tidak.”

 

Ali Zainal Abidin.rhm : “Kalau begitu, Anda belum di Mina, belum melempar Jumrah, belum mencukur rambut, belum menyembelih kurban, belum melaksanakan manasik, belum menunaikan shalat di Masjid Khaif, belum ber-thawaf ifadhah, dan belum mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena semuanya itu hendaklah Anda kembali saja…,ya… kembalilah ke Makkah. Anda sesungguhnya belum menunaikan ibadah haji sebenar-benarnya!”

 

Mendengar keputusan gurunya demikian itu, Asy-Syibli menangis tersedu-sedu menyesali kekurangan yang telah dilakukannya dalam menunaikan ibadah haji. Beliau bertekad hendak mengulang kembali ibadah hajinya tahun mendatang, dan untuk kesempurnaannya beliau hendak menggali sedalam-dalamnya hakikat ibadah tersebut serta hikmah-hikmahnya. (Al-Mustadrak 10: 166)

 

 

Wallahu ‘alam bish showab, wal ‘afu minkum,

Wassalamu a’laikum warrahmahtullahi wabarakatuh

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!