Al-Imam Al-Hafizh Abu Al-Faraj Abdurrahman Ibn Al-Jauzi
Ahli Nasihat yang Mengarang Banyak Kitab
Sayangnya nama Ibn Al-Jauzi kalah oleh pamor yang dibangun pengikut-pengikut Ibn Qayyim dan Ibn Taimiyyah, lantaran kritiknya yang banyak ditujukan kepada para ulama yang mengaku bermadzhab Hanbali namun mengotori pemahaman yang dibangun Imam Ahmad bin Hanbal.
Sebahagian orang sering kali mengaitkan nama Imam Ibnu Al-Jauzi dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Padahal kedua tokoh besar ini adalah dua orang yang berbeda dan hidup dalam kurun waktu yang berbeda. Kesamaan keduanya, sebagaimana diakui sebahagian ulama, adalah sama-sama ahli fiqih dan dalam beberapa hal memiliki kemiripan. Namun kemiripan maupun kesamaan tetaplah berbeda. Sehingga, karena hal itu, banyak orang dalam pengutipan pendapat-pendapat sering kali keliru, lantaran melansir pendapat yang sejatinya benar tapi terkecoh akibat keteledoran.
Ibn Al-Jauzi adalah salah seorang imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang ahli ushul terkemuka dan bermadzhab Hanbali. Sedangkan Ibn Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Az-Zar’i (w. 751 H/1350 M), murid Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri. Nama Al-Jauziyyah yang tertera di belakang nama Ibn Qayyim merujuk pada Madrasah Al-Jauziyyah Damaskus, yang ayahnya bekerja sebagai kurator (qayyim) di sana. Sayangnya nama Ibn Al-Jauzi kalah oleh pamor yang dibangun pengikut-pengikut Ibn Qayyim dan Ibn Taimiyyah, lantaran kritiknya yang banyak ditujukan kepada para ulama yang mengaku bermadzhab Hanbali namun mengotori pemahaman yang dibangun Imam Ahmad bin Hanbal, dengan menisbahkan pendapatnya sebagai pendapat Imam Ahmad.
Orator Ulung
Imam Ibn Al-Jauzi bernama lengkap Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Abi Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaidillah bin Abdullah bin Hammadi bin Ahmad bin Muhammad bin Ja’far bin Abdullah bin Al-Qasim bin An-Nadhr bin Al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Faqih Abdurrahman bin Al-Faqih Al-Qasim bin Muhammad bin Khalifah Rasulillah Abi Bakar Ash-Shiddiq Al-Qurasyi Al-Bakri At-Taimi Al-Hanbali. Nasabnya bertalian dengan sahabat utama Nabi SAW sekaligus khalifah beliau, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Menurut Ibn Dihyah, kakek Ibn Al-Jauzi kedelapan, yakni Ja’far, terkenal dengan sebutan Ibnul Jauzi (anak kelapa/sejenis pohon kelapa), karena dialah pemilik satu-satunya kebun kelapa yang berada di Wasith, Baghdad. Ada juga yang mengkaitkannya kepada sebuah tanjung bernama Al-Jauz, sebuah dataran di Sungai Dajlah dekat kota Baghdad.
Imam Ibn Al-Jauzi lahir pada tahun 510 H/1116 M di Baghdad. Ayahnya meninggal ketika ia berumur tiga tahun. Kemudian ia diasuh oleh bibi dari pihak ayah.
Ketika ia mulai tumbuh remaja, bibinya membawanya kepada Al-Hafizh Ibnu Nashir, lalu ia belajar kepadanya.
Di usia belianya, ia dikenal sebagai sosok yang gemar menuntut ilmu meski harus meninggalkan kebiasaan bermain dan bersenda gurau. Selain itu, ia pun dikenal sebagai seorang pemuda dengan kemampuan menghafal yang sangat luar biasa dan memiliki kematangan berpikir pada usia dini.
Kemudian ia belajar berbagai macam ilmu kepada banyak ulama lainnya hingga dewasa di berbagai negeri yang disinggahinya. Kemudian ia menetap di kota Baghdad. Setelah mendapat izin dari para seniornya, ia mulai mengajar dan menyampaikan ceramah keagamaan yang mendapat perhatian besar kaum muslimin. Kefasihan, logika, dan kedalaman wawasannya, agaknya menjadi salah satu faktor ketertarikan orang untuk mendatangi majelisnya.
Kemampuannya beretorika ini diceritakan dalam manaqibnya bahwa sebagian majelisnya dihadiri oleh lebih dari 100.000 orang. Orang merespons positif apa yang disampaikannya dan apa yang disampaikannya berpengaruh besar pada setiap orang yang mendengarkan nasihatnya.
Dengan kelebihan lainnya, kegemaran menulis, ia membangun sebuah madrasah di Darb Dinar, yang memiliki perpustakaan besar, yang di antaranya memuat karya-karyanya itu.
Al-lmam Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi wafat pada malam Jum’at, 12 Ramadhan, tahun 597 H/1201 M, dalam usia 85 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Bab Harb di kota Baghdad, dekat dengan makam Al-lmam Ahmad bin Hanbal.
Kritik atas “Parasit” Hanabilah
Keahlian orasi Ibn Al-jauzi ternyata sebanding dengan kemampuannya dalam menulis. Sebagaimana dilansir dari berbagai sumber, tak kurang dari 300 buah karya yang telah dihasilkannya. Sebahagian masih berbentuk manuskrip, sedangkan sebahagian lainnya telah tercetak dan banyak ditemui di perpustakaan-perpustakaan Islam.
Di antara karya-karya monumentalnya adalah kitab Daf’u Syubah at-Tasybih bi Akaff at-Tanzih, Talbis Iblis, Shafwah ash-Shafwah, At-Tadzkirah fi al-Wa’zh, Kitab Dzamm al-Hawa, Shaid al-Khathir, Al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, Tarikh Bayt al-Maqdis, Liqath al-manafi’ fi ath-Thibb, A’mar al-A’yan, Kitab al-Adzkiya‘, Bustanul Wa’izhin wa Riyadh as-Sami’in, Durar al-Jawahir min Kalam asy-Syaikh ‘Abd al-Qadir,At-Tabshirah fi al-Wa’zh, Nawasikh al-Qur‘an, Zad al-Masir fi ‘Ilm at-Tafsir, Al-Mawdhu’at fi al-Ahadits al-Marfu’at, Al-Wafa bi Ahwal al-Mushthafa, Minhaj al-Qashidin, Manaqib Imam asy-Syafi’i, Fadhl Maqbarah Ahmad, Fadha‘il al-Ayyam, Al-Manfa’ah fi al-Madzahib al-Arba’ah.
Sayangnya, fenomena manipulasi terhadap khazanah keislaman karya ulama-ulama era klasik yang dilakukan sekelompok pihak juga menimpa nama besar Ibn Al-Jauzi. Sebagaimana telah dikemukakan semula, nama Ibn Al-Jauzi seakan tenggelam oleh nama Ibn Qayyim dan Ibn Taimiyyah, yang diklaim sebagai puritanis dan perintis pemikiran modern dalam bermadzhab oleh pengikutnya. Hal ini bisa dimaklumi, lantaran sikap kritisnya terhadap sebahagian ulama yang mengklaim sebagai pemurni ajaran sekaligus mujtahid dalam Madzhab Hanbali. Tidak itu saja, bahkan nama Ibn Al-Jauzi juga dicatut untuk kepentingan kaum Wahhabi, dengan cara memutarbalikkan pendapatnya yang termuat dalam berbagai karyanya, terutama yang berkaitan dengan pemahaman aqidah dan beberapa furu’ al-masail (masalah-masalah cabang dalam agama).
Untuk meluruskannya, di dalam kitabnya yang berjudul Daf’u Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih, sebagaimana termaktub pada halaman 98-101, Al-Imam Ibn Al-Jauzi berkata, “Aku melihat, ada beberapa orang dalam Madzhab Hanbali ini yang berbicara dalam masalah aqidah dengan pemahaman-pemahaman yang ngawur. Ada tiga orang yang menulis karya terkait dengan masalah ini, yaitu Abu Abdillah bin Hamid, Al-Qadhi Abu Ya’la (murid Abu Abdillah bin Hamid), dan Ibn Az-Zaghuni. Mereka semua telah menulis kitab-kitab yang telah merusak Madzhab Hanbali, bahkan dengan sebab itu aku melihat mereka telah turun ke derajat orang-orang yang sangat awam. Mereka memahami sifat-sifat Allah secara indrawi, misalkan mereka mendapati teks hadits Innallah khalaqa adam ‘ala shuratihi (Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan Adam berdasar bentuk-Nya”), lalu mereka menetapkan adanya shurah (bentuk) bagi Allah. Kemudian mereka juga menambahkan wajh (muka) bagi Dzat Allah, dua mata, mulut, bibir, gusi, sinar bagi wajah-Nya, dua tangan, jari-jari, telapak tangan, jari kelingking, jari jempol, dada, paha, dua betis, dua kaki, sementara tentang kepala mereka berkata, ‘Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala’, mereka juga mengatakan bahwa Allah dapat menyentuh dan dapat disentuh, dan seorang hamba bisa mendekat kepada Dzat-Nya secara indrawi, sebagian mereka bahkan berkata, ‘Dia (Allah) bernapas’. Lalu — dan ini yang sangat menyesakkan – mereka mengelabui orang-orang awam dengan berkata, ‘Itu semua tidak seperti yang dibayangkan dalam akal pikiran’.
Dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, mereka memahaminya secara zhahir (literal). Tata cara mereka dalam menetapkan dan menamakan sifat-sifat Allah sama persis dengan tata cara yang digunakan oleh para ahli bid’ah, sedikit pun mereka tidak memiliki dalil untuk itu, baik dari dalil naqli maupun dari dalil aqli. Mereka tidak pernah menghiraukan teks-teks yang secara jelas menyebutkan bahwa sifat-sifat tersebut tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, juga mereka tidak pernah mau melepaskan makna sifat-sifat tersebut dari tanda-tanda kebaharuan.”
Begitulah ungkapan keprihatinan Imam Ibnul Jauzi terhadap perjalanan Madzhab Hanbali yang ia tuliskan dalam muqaddimah kitab Da’fu Syubah al-Tasybih bi-Akaffi al-Tanzih, yakni salah satu karya monumentalnya dalam bidang aqidah.
Kitab ini memaparkan kesesatan-kesesatan aqidah tasybih (menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’alaa dengan makhluk), yang sangat penting untuk dibaca dan disebarkan guna menghalau kelompok-kelompok yang mempropagandakan aqidah tasybih, seperti sekte Wahhabiyah dan semisalnya mereka.
Begitu pula dalam kitab lainnya yang berjudul Talbis Iblis, Imam Ibn Al-Jawzi memperingatkan, “Mereka yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi, ada beberapa golongan. Mereka berkata bahwa Allah bertempat di atas arsy dengan cara menyentuhnya. Jika turun (dari arsy), Dia pindah dan bergerak. Mereka menetapkan ukuran penghabisan (bentuk) bagi-Nya. Mereka mengharuskan bahwa Allah memiliki jarak dan ukuran. Mereka mengambil dalil bahwa Dzat Allah bertempat di atas arsy, dari hadits Nabi SAW, Yanzilu Allah ila sama’ ad-dunya(Allah turun ke langit dunia), mereka berkata, ‘Pengertian turun (yanzil) itu adalah dari arah atas ke arah bawah’.
Mereka memahami makna nuzul (dalam hadits tersebut) dalam pengertian indrawi, yang padahal itu hanya khusus sebagai sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum Musyabbihah, yang memahami sifat-sifat Allah dalam makna indrawi (material). Dan telah kami paparkan perkataan-perkataan mereka dalam kitab karya kami berjudul Minhaj al-Wushul Ila ‘Ilm al-Ushul”.
Imam Ibn Al-Jauzi menegaskan, keyakinan bahwa Allah bertempat di atas arasy adalah keyakinan Musyabbihah yang tak patut dinisbahkan kepada pendapat Hanabilah. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal sangat bertolak belakang dengan cara pandang Musyabbihah seperti itu. Imam Ibn Al-Jauzi menambahkan, “Janganlah kalian memasukkan ajaran-ajaran aneh ke dalam madzhab orang salaf yang shalih ini (yakni Imam Ahmad bin Hanbal) yang nyata-nyata itu bukan dari ajarannya. Kalian telah menutupi madzhab ini dengan bungkus yang buruk, hingga tidak disebut siapa pun seorang yang bermadzhab Hanbali kecuali ia dianggap sebagai mujassim(berkeyakinan sesat bahwa Allah sebagai benda). Selain itu kalian juga telah merusak madzhab ini dengan sikap fanatik terhadap Yazid bin Mu’awiyah. Padahal kalian tahu sendiri bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, perintis madzhab ini, membolehkan melaknat Yazid. Bahkan Syaikh Abu Muhammad At-Tamimi sampai berkata tentang salah seorang imam kalian (yaitu Abu Ya’la Al-Mujassim), ‘Dia (Abu Ya’la) telah menodai madzhab ini dengan noda yang sangat buruk, yang noda tersebut tidak akan bisa dibersihkan hingga hari Kiamat’.” Sebagaimana juga diriwayatkan Ibn Al-Atsir dalam Al-Kamil fi At-tarikh, Imam Abu Muhammad At-Tamimi berkata, “Abu Ya’la telah mengotori orang-orang Madzhab Hanbali dengan kotoran yang tidak bisa dibersihkan dengan air lautan sekalipun.”