TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan mengkomunikasikan, peserta didik mampu :
Memahami definisi tentang materi Mafhum dengan baik;
Menyimpulkan tentang materi Mafhum dengan baik;
Mengomunikasikan tentang materi Mafhum dengan baik;
MAFHUM
Dalam ushul fiqh (ilmu dasar dalam hukum Islam), "mafhūm" merujuk pada konsep pemahaman atau implikasi yang terkandung dalam suatu teks hukum (nash), terutama dalam teks Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Istilah ini merujuk pada makna tersirat atau implisit yang dapat diambil dari teks hukum tersebut, meskipun makna tersebut tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks.
Dalam konteks mafhūm, terdapat dua jenis pemahaman:
Mafhūm al-Mukhālafah (Pemahaman Implikasi Kebalikan): Ini merujuk pada pemahaman bahwa jika suatu teks hukum menyatakan suatu hal adalah haram (larangan), maka secara implisit mengisyaratkan bahwa segala yang berlawanan dengan hal tersebut adalah halal (diperbolehkan). Contohnya, jika dalam Al-Quran disebutkan bahwa "Minuman beralkohol adalah haram," maka secara implisit dapat dipahami bahwa minuman non-alkohol adalah halal.
Mafhūm al-Musāwābah (Pemahaman Implikasi Kesamaan): Ini merujuk pada pemahaman bahwa jika suatu teks hukum menyatakan suatu hal memiliki suatu sifat atau hukum tertentu, maka secara implisit mengisyaratkan bahwa hal yang serupa atau setara memiliki sifat atau hukum yang sama. Contohnya, jika Al-Quran menyatakan bahwa "Daging domba yang disembelih dengan cara yang benar adalah halal," maka dapat diambil pemahaman bahwa daging domba lain yang disembelih dengan cara yang benar juga halal.
Pemahaman mafhūm ini merupakan salah satu aspek penting dalam ijtihad (usaha penafsiran hukum) dan ushul fiqh, karena memungkinkan mujtahid (ahli ushul fiqh) untuk mengambil kesimpulan hukum yang tidak hanya berdasarkan teks yang eksplisit, tetapi juga berdasarkan implikasi dan pemahaman yang terkandung dalam teks tersebut. Hal ini memungkinkan hukum Islam untuk bersifat lebih komprehensif dan relevan dengan berbagai situasi yang mungkin tidak diatur secara eksplisit dalam sumber-sumber hukum utama.
Proses penarikan mafhum dari suatu teks hukum berbeda dari penarikan makna yang eksplisit atau tersurat dari teks tersebut dalam beberapa hal utama:
Keterbukaan pada Kemungkinan Tersirat: Ketika penafsiran hukum berfokus pada makna eksplisit atau tersurat, mujtahid berusaha untuk memahami dan mengklarifikasi apa yang sudah secara jelas disampaikan dalam teks. Namun, dalam penarikan mafhum, mujtahid dapat lebih terbuka pada kemungkinan makna tersirat atau implikasi yang tidak secara langsung disebutkan dalam teks.
Penafsiran yang Lebih Spekulatif: Proses penarikan mafhum seringkali melibatkan spekulasi atau penalaran tambahan untuk mengidentifikasi makna tersirat. Ini memungkinkan mujtahid untuk mencari implikasi hukum yang mungkin tidak ditemukan secara eksplisit dalam teks, tetapi harus disusun berdasarkan logika dan pengetahuan hukum.
Fleksibilitas dalam Penarikan Kesimpulan: Penarikan makna eksplisit atau tersurat dari teks cenderung lebih kaku karena terbatas pada apa yang sudah disebutkan dalam teks. Di sisi lain, dalam penarikan mafhum, terdapat lebih banyak ruang bagi mujtahid untuk mempertimbangkan konteks, prinsip-prinsip hukum Islam, dan pemahaman yang lebih luas dalam menentukan hukum.
Keterkaitan dengan Prinsip-prinsip Ushul Fiqh: Penarikan mafhum erat terkait dengan prinsip-prinsip ushul fiqh (ilmu dasar dalam hukum Islam), seperti Al-Qiyas (analogi), Al-Istihsan (preferensi), dan Al-Maslaha (kepentingan umum). Ini berarti bahwa dalam penarikan mafhum, mujtahid seringkali harus menggabungkan prinsip-prinsip ini dengan pemahaman teks untuk mencapai kesimpulan hukum.
Pemahaman yang Lebih Komprehensif: Penarikan mafhum dapat memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap hukum Islam karena mujtahid tidak hanya terbatas pada apa yang telah dijelaskan secara eksplisit dalam teks. Ini memungkinkan Islam untuk bersifat lebih fleksibel dan relevan dengan berbagai situasi yang mungkin tidak diatur secara eksplisit dalam sumber-sumber hukum utama.
Proses menentukan apakah suatu mafhum (pemahaman tersirat) dapat diterima atau relevan dalam penarikan hukum Islam melibatkan beberapa pertimbangan kritis dan prinsip-prinsip ushul fiqh (ilmu dasar dalam hukum Islam). Berikut adalah beberapa langkah dan kriteria yang umumnya digunakan oleh mujtahid atau ulama dalam menilai keberhasilan dan relevansi suatu mafhum:
Konsistensi dengan Prinsip-Prinsip Hukum Islam: Suatu mafhum harus konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum Islam, seperti ketentuan Al-Quran, hadis Nabi Muhammad, ijma' (konsensus ulama), dan qiyas (analogi). Mafhum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ini biasanya tidak dapat diterima.
Tidak Bertentangan dengan Makna Tersurat: Suatu mafhum harus sesuai dengan makna tersurat atau eksplisit dalam teks hukum yang bersangkutan. Jika mafhum tersebut bertentangan dengan makna tersurat, maka biasanya tidak dapat diterima.
Logika dan Penalaran yang Kuat: Penarikan mafhum harus didasarkan pada penalaran logis yang kuat. Ini mencakup penggunaan prinsip-prinsip logika yang benar dan akurat. Mafhum yang didasarkan pada penalaran yang cacat atau tidak logis biasanya tidak dapat diterima.
Kesesuaian dengan Konteks dan Tujuan Teks: Mafhum harus sesuai dengan konteks teks asal dan tujuan hukum yang ingin dicapai oleh teks tersebut. Ini memerlukan pemahaman mendalam tentang situasi saat teks diturunkan dan tujuan hukum yang ingin dicapai.
Kesesuaian dengan Kasus atau Situasi yang Dihadapi: Mafhum harus relevan dengan kasus atau situasi hukum yang sedang dihadapi. Penerapan mafhum harus mempertimbangkan konteks dan kenyataan praktis yang dihadapi oleh masyarakat.
Pertimbangan Ijma' dan Kepastian: Jika terdapat ijma' (konsensus ulama) yang telah diterima dalam masyarakat atau telah ada kesepakatan bahwa suatu mafhum benar-benar merupakan pemahaman yang benar dari teks hukum tertentu, maka mafhum tersebut lebih dapat diterima. Kepastian (yaqin) dalam penarikan mafhum juga menjadi faktor penting.
Pandangan Ulama Terkemuka: Pendapat ulama terkemuka dan otoritatif dalam ushul fiqh seringkali memiliki pengaruh besar dalam menentukan apakah suatu mafhum dapat diterima atau relevan. Ulama yang dihormati dan diakui dalam tradisi hukum Islam dapat memberikan pandangan yang lebih berwibawa.
Perkembangan Zaman dan Kebutuhan Masyarakat: Ketika merumuskan mafhum, mujtahid harus mempertimbangkan perkembangan zaman, kondisi sosial, dan kebutuhan masyarakat. Ini memungkinkan hukum Islam untuk tetap relevan dan bersesuaian dengan perubahan zaman.
Kemungkinan Kesalahan (Ishtiqāq) dan Perbedaan Pendapat: Mujtahid harus selalu mengakui bahwa penarikan mafhum adalah upaya manusiawi dan tidak selalu bersifat mutlak atau tanpa kesalahan. Oleh karena itu, ketika terdapat perbedaan pendapat dalam penarikan mafhum, mujtahid harus mempertimbangkan kehati-hatian dan peluang adanya kesalahan.
Penting untuk diingat bahwa penarikan mafhum adalah suatu bentuk ijtihad (usaha penafsiran hukum) yang memerlukan pengetahuan mendalam tentang hukum Islam, pemahaman yang cermat terhadap teks-teks hukum, dan penerapan prinsip-prinsip ushul fiqh yang relevan.
Berikut adalah contoh konkret penggunaan mafhum dalam ijtihad dalam ushul fiqh dan bagaimana mafhum membantu dalam merumuskan keputusan hukum:
Contoh: Penggunaan Mafhum dalam Penentuan Kadar Hukuman dalam Kasus Pencurian
Dalam Al-Quran, hukuman pencurian dicantumkan dalam Surat Al-Ma'idah (5:38), yang menyebutkan potongan tangan sebagai hukuman. Namun, teks Al-Quran ini tidak memberikan rincian tentang kapan hukuman ini harus diterapkan atau dalam situasi apa. Dalam hal ini, mujtahid menggunakan mafhum untuk merumuskan keputusan hukum.
Pertimbangan Mafhum:
Mafhum al-Mukhālafah: Dari teks tersebut, dapat ditarik mafhum al-mukhālafah bahwa jika seseorang tidak memenuhi kriteria tertentu, maka hukuman potongan tangan tidak berlaku. Misalnya, jika pencurian dilakukan oleh seseorang yang dalam keadaan kelaparan dan keputusasaan.
Mafhum al-Musāwābah: Jika seseorang melakukan perbuatan yang serius seperti membahayakan nyawa orang lain, maka mafhum al-musāwābah (kesamaan) dapat digunakan untuk mempertimbangkan bahwa hukuman yang setara harus diterapkan dalam situasi tersebut. Sebagai contoh, jika pencurian mengancam nyawa orang lain atau keamanan umum, hukuman yang setara dengan potongan tangan mungkin diterapkan, seperti penjara atau denda yang sesuai.
Dalam kasus ini, penggunaan mafhum memungkinkan mujtahid untuk mempertimbangkan situasi-situasi yang tidak diatur secara eksplisit dalam teks Al-Quran dan untuk merumuskan keputusan hukum yang lebih relevan dan adil dengan mempertimbangkan konteks sosial dan tujuan hukum Islam. Hal ini membantu dalam menghindari penyalahgunaan hukum dan memberikan keadilan dalam berbagai situasi yang mungkin tidak sesuai dengan makna harfiah teks tersebut.