PERTEMUAN 9
Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak
Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan mengkomunikasikan, peserta didik mampu :
Menelaah dasar hukum materi tentang Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak dengan baik;
Memahami materi tentang Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak dengan baik;
Menyajikan fakta-fakta terkait materi tentang Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak dengan baik;
Mengomunikasikan materi tentang Hukum Penyamun, Perampok, dan Perompak dengan baik;
1. Pengertian merampok, menyamun dan merompak
Merampok, menyamun dan merompak adalah istilah yang digunakan untuk pengertian “mengambil harta orang lain dengan menggunakan cara kekerasan atau mengancam pemilik harta dengan senjata dan terkadang disertai dengan ancaman bahkan pembunuhan”.
Wahbah Zuhaily mendefinisikan "setiap tindakan dan aksi yang dilakukan dengan maksud dan tuiuan untuk mengambil harta dalam bentuk yang biasanya korbannya tidak mungkin untuk meminta bantuan dan pertolongan. Perbedaannya hanya ada pada tempat kejadiannya;
• menyamun dan merampok di darat
• sedangkan merompak di laut
Dalam kajian fikih, praktik merampok, menyamun, atau merompak masuk dalam pembahasan hirabah atau qat'ut tarıq (penghadangan di jalan).
Elemen-elemen yang mendukung hal itu dikatakan perampok, penyamun, dan perompak adalah, melakukan penyerangan dan penghadangan terhadap orang yang lewat di jalan untuk mengambil dan merampas hartanya dengan cara-cara kekerasan dan paksaan dalam bentuk yang menyebabkan korban terhalang jalannya dan tidak bisa
meneruskan perjalanannya, baik apakah itu dilakukan oleh sekelompok orang atau hanya oleh satu orang saja, apakah penyerangan dan penghadangan itu dilakukan dengan menggunakan senjata tajam atau yang lainnya berupa tongkat batu, balok kayu, dan sebagainya.
Apakah penyerangan dan penghadangan itu dilakukan oleh seluruh sindikat kelompok perampok atau hanya dilakukan sebagiannya sedangkan sebagian yang lain bertugas membantu dan mengambil harta yang ada. Karena suatu aksi kejahatan perampokan hanya bisa terjadi dan berhasil dengan melakukan keseluruhan perkara- perkara tersebut, sama seperti dalam aksi pencurian, juga karena memang yang biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok.
Seperti diketahui merampok, menyamun dan merompak merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa. Kala seseorang merampas harta orang lain, dosanya bisa lebih besar dari dosa seorang pencuri, karena dalam praktik perampasan harta terdapat unsur kekerasan.
Jika perampas harta sampai membunuh korbannya, maka dosanya menjadi lebih besar lagi, karena ia telah melakukan perbuatan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan agama. Maka wajar adanya, jika perampok, penyamun, dan perompak mendapatkan hukuman ganda. Ia dikenai had, dan diancam hukuman akhirat yang berupa azab dahsyat. Allah Swt. berfirman:
"……. dan di akhirat mereka (para penyamun) mendapat azab yang besar." (QS. Al-Maidah [5]: 33).
Had merampok, menyamun, dan merompak secara tegas dinyatakan dalam al- Qur’an, surat al-Maidah ayat 33:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara silang) atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar…” (QS. Al-Maidah [5]:33).
Dari ayat di atas para ulama sepakat bahwa had merampok, menyamun, dan merompak berupa : potong tangan dan kaki secara menyilang, disalib, dibunuh dan diasingkan dari tempat kediamannya.
Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai had yang disebutkan dalam ayat tersebut, apakah ia bersifat tauzi'i dimana satu hukuman disesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan seseorang, atau had tersebut bersifat takhyiri sehingga seorang hakim bisa memilih salah satu dari beberapa pilihan hukuman yang ada.
Jumhur ulama sepakat bahwa hukuman yang dimaksudkan dalam surat al- Maidah ayat 33 bersifat tauzi'i. Karenanya, had dijatuhkan sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan seseorang. Berikut simpulan akhir pendapat mayoritas ulama terkait had yang ditetapkan untuk perampok, penyamun, dan perompak:
a) Jika seseorang tidak merampas harta orang lain dan tidak juga membunuhnya semisal kala ia hanya ingin menakut-nakuti, atau kala ia akan melancarkan aksi jahatnya ia tertangkap lebih dulu, dalam keadaan seperti ini, ia dijatuhi hukuman had dengan dipenjarakan atau diasingkan ke luar wilayahnya.
b) Jika seseorang merampas harta orang lain dan tidak membunuhnya maka hadnya adalah dihukum potong tangan dan kaki secara menyilang.
c) Jika seseorang tidak sempat merampas harta orang lain akan tetapi ia membunuhnya, maka hadnya adalah dihukum mati.
d) Jika seseorang merampas harta orang lain dan membunuhnya maka hadnya adalah dihukum mati kemudian disalib.
Perlu dijelaskan bahwa hukuman mati terhadap perampok, penyamun, dan perompak yang membunuh korbannya berdasarkan had bukan qishash, sehingga tidak dapat gugur walaupun dimaafkan oleh keluarga korban.
Taubatnya seseorang yang merampok, menyamun, dan merompak setelah tertangkap tidak dapat mengubah sedikitpun ketentuan hukum yang ada padanya. Namun jika mereka bertaubat sebelum tertangkap, semisal menyerahkan diri dan menyatakan taubat dengan kesadaran sendiri, maka gugurlah had. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt :
"Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS.Al-Maidah [5] : 34)
Diisyaratkan dalam ayat tersebut bahwa Allah Swt. akan mengampuni mereka (perampok, penyamun, perompak) yang bertaubat sebelum tertangkap. Ayat ini menunjukkan bahwa had yang merupakan hak Allah dapat gugur, jika yang bersangkutan bertaubat sebelum tertangkap.
Prinsipnya, hikmah pengharaman merampok, menyamun, dan merompak sama dengan hikmah pengharama mencuri.