PERTEMUAN 13
HAKIM
- Sebelum Melakukan Pembelelajaran, mari kita bersama- sama berdo'a agar proses pembelajaran berjalan lancar.
- Selama proses pembelajaran berlangsung, mari bersama-sama menciptakan suasana belajar yang tenang dan tertib.
- Materi ini dapat diakses setiap hari kecuali absensi Online dan Evaluasi.
TUJUAN PEMBELAJARANMelalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan mengkomunikasikan, peserta didik mampu :
- Menelaah dasar hukum materi tentang Hakim dengan baik;
- Memahami materi tentang Hakim dengan baik;
- Mengomunikasikan penerapan ketentuan materi tentang materi tentang Hakim dengan baik.
Hakim
1. Pengertian hakim
Hakim adalah orang yang diangkat pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan dan memutuskan hukum suatu perkara dengan adil. Dengan kata lain, hakim adalah orang yang bertugas untuk mengadili. Ia mempunyai kedudukan yang terhormat selama ia berlaku adil.
Terkait dengan kedudukan hakim, Rasulullah Saw. menjelaskan dalam salah satu sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi:
“Apabila hakim duduk di tempatnya (sesuai dengan kedudukan hakim adil) maka dua malaikat membenarkan, menolong dan menunjukkannya selama tidak menyeleweng. Apabila menyeleweng maka kedua malaikat akan meninggalkannya. (H.R. Al-Baihaqi).
2. Syarat-syarat hakim
Karena mulianya tugas seorang hakim dan beratnya tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundaknya demi terwujudnya keadilan, maka seorang hakim harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
a) Beragama Islam. Karena permasalahan yang terkait dengan hukum Islam tidak bisa dipasrahkan kepada hakim non Muslim.
b) Aqil baligh sehingga bisa membedakan antara yang hak dan yang batil
c) Sehat jasmani dan rohani.
d) Merdeka (bukan hamba sahaya). Karena hamba sahaya tidak mempunyai kekuasaan pada dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain.
e) Berlaku adil sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran
f) Laki-laki.
g) Memahami hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis.
h) Memahami ijma’ ulama serta perbedaan perbedaan tradisi umat.
i) Memahami bahasa Arab dengan baik, karena berbagai perangkat yang dibutuhkan untuk memutuskan hukum mayoritas berbahasa Arab.
j) Mampu berijtihad dan menguasai metode ijtihad, karena tak diperbolehkan baginya taqlid.
k) Seorang hakim harus dapat mendengarkan dengan baik, karena seorang yang tuli tidak bisa mendengarkan perkataan atau pengaduan dua belah pihak yang bersengketa.
l) Seorang hakim harus dapat melihat. Karena orang yang buta tidak bisa mendeteksi siapa yang mendakwa dan siapa yang terdakwa.
m) Seorang hakim harus mengenal baca tulis.
n) Seorang hakim harus memiliki ingatan yang kuat dan dapat berbicara dengan jelas, karena orang yang bisu tidak mungkin menerangkan keputusan, dan seandainyapun ia menggunakan isyarat, tidak semua orang bisa memahami isyaratnya.
3. Macam-macam Hakim dan Konsekuensinya
Profesi hakim merupakan profesi yang sangat mulia. Kemuliaannya karena tanggung jawabnya yang begitu berat untuk senantiasa berlaku adil dalam memutuskan segala macam permasalahan. Ia tidak boleh memiliki tendensi apapun kepada salah satu pendakwa atau terdakwa. Jika ia melakukan tindak kezaliman ketika menetapkan perkara maka ancaman hukuman neraka telah menantinya.
Namun sebagai seorang hakim juga ia berusaha dengan sebaik-baiknya dan seadil- adinya jikapun ia salah ia tetap mendapatkan satu pahala dan jika benar tentu mendapatkan dua pahala.
Kesimpulannya, kompensasi yang akan didapatkan oleh seorang hakim yang adil adalah surga Allah dan martabat yang mulia. Sebaliknya, hakim yang zalim akan mendapatkan balasan yang buruk dimana ia akan distatuskan sebagai penghuni neraka.
Hal ini sebagaimana Rasulullah Saw. sampaikan dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut:
“Hakim ada tiga macam. Satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga, hakim yang mengetahui kebanaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka, dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya, maka ia masuk neraka.” (HR. Ibnu Majah).
4. Tata cara menentukan hukuman
Orang yang mendakwa diberikan kesempatan secukupnya untuk menyampaikan tuduhannya sampai selesai. Sementara itu terdakwa (tertuduh) diminta untuk mendengarkan dan memperhatikan tuduhannya dengan sebaik-baiknya sehingga apabila tuduhan sudah selesai, terdakwa bisa menilai benar tidaknya tuduhan tersebut.
Sebelum dakwaan atau tuduhan selesai disampaikan, hakim tidak boleh bertanya kepada pendakwa, sebab dikhwatirkan akan memberikan pengaruh positif atau negatif kepada terdakwa. Setelah pendakwa selesai menyampaikan tuduhannya, hakim harus mengecek tuduhan-tuduhan tersebut dengan beberapa pertanyaan yang dianggap penting. Selanjutnya, tuduhan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang benar.
Jika terdakwa menolak dakwaan yang ditujukan kepadanya, maka ia harus bersumpah bahwa dakwaan tersebut salah. Rasulullah sampaikan hal ini dalam salah satu sabda beliau :
Rasulullah bersabda: “Pendakwa harus menunjukkan bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah" (HR. Al-Daru Qutni dan Al-Baihaqi).
Jika pendakwa menunjukkan bukti-bukti yang benar, maka hakim harus memutuskan sesuai dengan tuduhan, meskipun terdakwa menolak dakwaan tersebut. Sebaliknya, jika terdakwa mampu mementahkan bukti-bukti pendakwa dan menegaskan bahwa bukti-bukti itu salah, maka hakim harus menerima sumpah terdakwa dan membenarkannya.
Kemudian yang perlu diperhatikan juga, bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan vonis hukuman dalam beberapa keadaan berikut:
a) Saat marah
b) Saat lapar
c) Saat kondisi fisiknya tidak stabil karena banyak terjaga (begadang)
d) Saat sedih
e) Saat sangat gembira
f) Saat sakit
g) Saat sangat ngantuk
h) Saat sedang menolak keburukan yang tertimpakan padanya
i) Saat merasakan kondisi sangat panas atau sangat dingin
Kesembilan keadaan ketika memutuskan perkara dalam diri hakim inilah yang dapat menyebabkan ijtihad hakim tidak maksimal. Karenanya, hakim dilarang memutuskan perkara dalam keadaan-keadaan tersebut. Ia dituntut untuk senantiasa menggulirkan berbagai keputusan seadil-adilnya dan seobyektif mungkin.
5. Kedudukan Hakim Wanita
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan pengangkatan hakim wanita. Sedangkan Imam Hanafi membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk menyelesaikan segala urusan kecuali urusan had dan qisas. Bahkan Ibnu Jarir ath- Thabari membolehkan pengangkatan hakim wanita untuk segala urusan seperti halnya hakim pria. Menurut beliau, ketika wanita dibolehkan memberikan fatwa dalam segala macam hal, maka ia juga mendapatkan keleluasaan untuk menjadi hakim dan memutuskan perkara apapun. Oleh karena itu hakim yang ada di Indonesia diperbolehkan bagi wanita.