Mahkum Fîh
TUJUAN PEMBELAJARAN
Melalui kegiatan mengamati, menanya, mengeksplorasi, asosiasi, dan mengkomunikasikan, peserta didik mampu :
Menganalisis materi tentang Mahkum Fîh dengan baik;
Memahami materi tentang Mahkum Fîh dengan baik;
Menyajikan dalam bentuk peta konsep materi tentang Mahkum Fîh dengan baik;
Mengomunikasikan hasil analisis tentang Mahkum Fîh dengan baik.
Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
هُوَ الفِعْلُ المُكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقُ بِهِ حُكْمُ الشَّارِعِ
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
1. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43
وَاَقِيْمُوا الصًلوةَ { البقرة:43}
Artinya: “dirikanlah shalat...” ( QS Al-Baqarag:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
2. Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:13
وَلاَ نَقْتُلُوا النًفْسَ الًتِىْ حَرًمَ الله اِلاً بِلْحَقِّ..... { الأنعام: 151}
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan allah melainkan dengan suatu (sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkaitdengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan tanpa haq itu hukumnya haram.
3. Rasulullah SAW. Bersabda:
Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalangn (mani) untuk menerima waris.
4. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
5. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan puasa pada bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir, maka masalah itu adalah mahkum fih yang bertalian dengan masalah ibadah.
Firman Allah Swt:
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah:185)
Berdasarkan dalil diatas, maka berbuka pada siang hari bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan adalah mubah.[2]
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah dinamakan mahkum fih dalam hukum Islam.
Syarat Mahkum Fih
Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat :
a. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil melaksanakan itu ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya abu lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk dibawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilakasanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
1) Yang kesukarannnya itu luarbiasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilakanakan.
2) Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa.
d. Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaraan yang luar biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan adakalanya juga bukan krena kehendak mukallaf dan ikhtiyarnya.